#6 : Siapa?

Tante Afhita memasukkan koper ke dalam bagasi mobil dan mengajak Rara untuk masuk.

"Ayo, Rara. Masuk," ajak Tante Afhita.

"Apa tidak apa-apa, Tante? Pakaianku kotor begini." ucap Rara sambil melirik pakaiannya.

"Tidak apa-apa, Ra. Ayo naik." kali ini Dyan yang mengajaknya.

Supir mobil Dyan langsung tancap gas begitu pintu mobil di tutup. Saat Rara melihat wajah Pak Supir, ternyata masih melihat supir yang sama seperti tadi pagi.

Mobil melaju begitu cepat hingga tak terasa kalau mereka sudah sampai di rumah Dyan. Setelah barang-barang Rara di turunkan dan di bawa masuk oleh Pak Supir, Rara pun mengucapkan terima kasih kepada Pak Supir.

"Terima kasih, ya, Pak." ucap Rara.

Jawaban yang terdengar hanyalah dehaman kecil dari Pak Supir.

"Mbak Asih...!!!" panggil Tante Afhita setengah berteriak.

"Iya, Bu." orang yang dipanggil Mbak Asih itu langsung menyahut dan menghampiri Tante Afhita.

"Tolong angkat koper ini ke..." Tante Afhita menggantung perintahnya dan langsung melirik ke arah Rara. "Rara mau tidur di kamar tamu atau di kamar Dyan?"

"Kalau boleh, di kamar Dyan saja, Tante." jawab Rara dengan sopan.

"Tentu saja boleh. Tolong angkat kopernya ke kamar Dyan, ya." perintah Tante Afhita.

"Baik, Bu."

Koper Rara di bawa masuk ke kamar Dyan oleh Mbak Asih. Dyan segera menyusun pakaian Rara di lemarinya.

Rara duduk termenung di kursi belajar Dyan.

Dyan melihat sekilas ke arah Rara. Merasa sahabatnya butuh semangat, Dyan pun menghampiri Rara dan menepuk pundaknya.

"Tenang saja, Ra. Aku akan selalu ada buatmu, kok." ucap Dyan sambil tersenyum.

Rara melihat ke arah Dyan, lalu matanya pun menjadi basah. "Terima kasih, Yan. Kamu memang sahabat terbaikku."

"Ra? Sikutmu terluka?" tanya Dyan ketika melihat sikut Rara yang memerah.

"Ah, iya. Sikutku terkena ujung kabinet,"

"Biar aku ambil kan obat merah dulu. "

Dyan mengambil kotak P3K dan mengambil botol obat merah di dalamnya. Dia segera meneteskan obat merah itu di sikut Rara.

"Ah," seru Rara.

"Kenapa, Ra? Sakit?"

Rara menggeleng. Dia baru menyadari kalau dia terlalu lama mengepalkan tangannya sehingga telapak tangannya menjadi lembab.

"Apa itu?" tanya Dyan begitu Rara membuka kepalan tangannya dan memperlihatkan sobekkan kain berwarna abu-abu.

"Aku menemukkan ini di dekat tubuh Ayah dan Bunda."

"Boleh kulihat?" tanya Dyan. Rara mengangguk sebagai jawabannya. Dyan mengambil sobekkan kain itu dan memperhatikannya dengan seksama. "Kalau tidak salah, ini kan fleece."

"Fleece?"

"Bahan yang sering dibuat menjadi jaket. Memangnya orang tuamu memakai jaket?"

Rara diam. Dia kembali mengingat-ingat pakaian apa yang dipakai ayah dan bundanya saat itu.

"Tidak. Ayahku memakai kemeja biru dengan celana bahan. Sedangkan bunda hanya memakai blus dengan celana katun. Tidak ada yang memakai jaket disana."

"Hmm... Lalu ini punya siapa?"

"Aku tidak tahu, Yan. Dan aku tidak mau memikirkannya."

Dyan memaklumi kondisi sahabatnya itu.

"Baiklah. Lebih baik kamu membersihkan diri dulu. Biar lebih segar." saran Dyan.

Rara mengangguk. Dia bergegas berdiri dan menuju ke kamar mandi.

***

Rara mandi hampir setengah jam. Dia keluar dengan handuk dan rambut yang basah.

Rara melihat pakaiannya sudah disediakan di tempat tidur, tapi tidak ada Dyan disana.

Rara meraih pakaian itu dan segera memakainya.

"Ah, kamu sudah selesai mandi?" tanya Dyan yang tiba-tiba masuk.

"Sudah,"

"Baguslah,"

Saat Rara sedang mengeringkan rambut dengan hair dryer, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan merangsek masuk ke dalam benak Dyan.

"Ra," panggil Dyan. Nada suaranya menegang. "Ba... Bagaimana kalau... Kain itu milik si... Si pembunuh?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu bilang, orang tuamu tidak ada yang menggunakan jaket, lalu kain itu juga kamu temukan di dekat tubuh orang tuamu. Kemungkinan besar, kain itu sobek dari jaket pembunuh itu!"

"Ta... Tapi... Pak Anwar bilang... Marni..."

"Lupakan soal Marni. Orang mati tidak bisa membunuh, Ra!"

"Tapi... Ajeng... Surat itu..."

"Ra... Dengarkan aku!" Dyan menggenggam pundak Rara kuat-kuat. "Hantu, roh, atau semacamnya itu tidak ada. Mereka sudah mati, dan mereka tidak bisa membuat orang mati. Yang membunuh orang tuamu itu manusia, dan kain itu adalah buktinya!"

"Lalu kita harus bagaimana?"

"Kita harus memberitahu Pak Runardi secepatnya!"

Rara mengangguk.

Na... Na... Na...

Ponsel Rara tiba-tiba saja berdering. Pertanda ada pesan yang masuk. Rara mengambil ponselnya dan mengeceknya.

Dari : +628528666xxxx

Bagaimana rasanya kehilangan kedua orang tuamu? Semoga kamu tidak menjadi gila. Itulah akibatnya jika bermain-main denganku!

"Apa-apaan ini?!" geram Dyan yang ikut membaca pesan yang diterima Rara.

"Si... Siapa yang tega?" Rara mulai tersedu-sedu.

Dyan yang geram langsung meraih ponsel Rara dan menelepon orang kurang ajar itu.

Nomor yang Anda putar tidak terdaftar. Mohon periksa kembali.

"Cih..." Dyan semakin geram dibuatnya. "Kita harus menemukan pelakunya!"

"Tapi, bagaimana dengan Pak Runardi?" tanya Rara.

"Kita tidak tahu apa Pak Runardi akan menanggapi ini dengan langsung. Kalau kita bisa menemukan pelaku ini secepatnya, itu malah lebih bagus."

Rara mengangguk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top