#5 : Teror
Esok harinya, saat Rara bersiap-siap berangkat sekolah, mobil sedan Dyan tiba-tiba masuk ke pekarangan rumah Rara.
“Dyan? Kamu tidak berangkat sekolah?” tanya Rara begitu Dyan menurunkan kaca mobilnya.
“Aku ingin berangkat bersama kamu. Ayo naik.” Jawab Dyan sekaligus mengajak.
Rara pun naik ke mobil dan duduk di samping Dyan. Rara melihat ke kursi depan, tampak seorang supir dengan wajah yang asing di mata Rara.
“Dimana supirmu yang biasanya?” tanya Rara.
“Pak Sobri? Dia sedang cuti.” Jawab Dyan. “Oh ya, Ra. Kenapa matamu merah?”
“Aku kurang tidur.” Jawab Rara tanpa menoleh.
“Kenapa?”
“Menurutmu kenapa? Memangnya kamu pikir, aku bisa tidur dengan nyenyak begitu aku menerima surat itu?”
“Kamu masih memikirkan surat itu? Kamu ini bagaimana, sih? Apa susahnya, sih? Kan, tinggal dibuang saja.”
Mereka terus berdebat tentang surat yang tidak diketahui pengirimnya itu. Sang supir hanya bisa mengeluh mendengar keberisikan yang ditimbulkan Rara dan Dyan. Untunglah, rumah Rara dekat dengan sekolah, sehingga mereka pun sampai tanpa perlu memakan waktu banyak.
Dyan dan Rara segera turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Supir. Saat memasuki gerbang sekolah, mereka berpapasan dengan Thalia dan Fera, disusul Rangga dan Zaid yang baru bergabung.
Rara tersenyum kecil melihat semua temannya baik-baik saja. Semoga saja yang dikatakan Dyan itu benar. Surat itu hanya dari orang yang ingin mengerjaiku saja.
Mereka bercakap-cakap sebentar lalu masuk ke kelasnya masing-masing karena bel masuk sudah berdering.
Saat sampai di kelas, Bu Chintya belum datang sehingga seluruh murid masih mengobrol di sana-sini. Termasuk Rara yang sedang mengobrol dengan Rachel dan Emily.
Ternyata, semua guru sedang rapat, itulah yang dikatakan Farah. Semua murid pun berteriak kegirangan.
***
Sampai waktu istirahat, semua murid langsung keluar kelas untuk mengisi perut mereka. Begitu pun anggota Magic Band.
Para anggota Magic Band berkumpul di kantin dan bercanda-ria seperti biasanya. Mereka tertawa bahagia, begitu juga Rara.
“Kau lihat, kan, Ra?” tanya Dyan sambil berbisik di telinga Rara. “Semua akan baik-baik saja. Percayalah padaku,”
Rara tersenyum. “Iya, Yan.”
***
Hari ini, mereka pulang lebih awal karena semua guru masih rapat. Mereka membicarakan tentang Ujian Nasional yang akan dilaksanakan kelas 9 beberapa minggu lagi.
Seperti biasa, Rara pulang seorang diri menuju rumahnya. Tak sampai setengah jam, dia pun telah sampai di pekarangan rumahnya.
Setelah Rara melepas sepatunya, dia heran karena suasana rumah yang kelewat sepi. Dia menyusuri setiap inci rumahnya, berharap menemukan seseorang disana.
“Bi Rasni...? Mang Kardi...?” panggil Rara. Tak ada satupun jawaban dari para pekerja rumahnya itu. “Bunda...?”
Kini kakinya melangkah menuju dapur. Rara menoleh kesana kemari sehingga dia tidak menyadari kalau dia menginjak sebuah cairan kental dan lengket.
“Eww... Apa ini?” ringis Rara jijik.
Rara melihat asal cairan itu dan... “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa.............”
Matanya seakan tak Kuasa melihat pemandangan mengerikan yang ada di depan matanya ini. Pemandangan yang didominasi oleh warna merah. Darah.
Orang tuanya. Ayah dan bundanya. Terbujur kaku dalam keadaan mayat yang tak berbentuk. Kepala bunda sudah terpisah dari tubuhnya. Jari tangannya sudah tidak berada pada tempatnya, sudah terpisah ke segala arah. Banyak sekali luka tusuk di kaki bunda sehingga celana bahannya terkoyak sana-sini.
Lain halnya dengan ayah. Perutnya koyak dan menampakkan usus-usus yang terburai, lambung, ginjal, dan entah apalagi yang sudah keluar. Berbeda dengan bunda, jari kakinya justru yang sudah tak berada pada tempatnya lagi. Sedangkan dua buah pisau mendarat tepat di bola mata ayah. Di sampingnya, terdapat sebuah garpu taman berlumur darah yang sepertinya digunakan untuk memisahkan kepala bunda dan merobek perut ayah.
Di sekitarnya, darah mereka menggenang seperti telaga. Merah pekat, kental, lengket, dan amis.
Melihat pemandangan itu, Rara hampir memuntahkan isi perutnya. Dia sudah gemetar ketakutan. Air mata sudah membanjiri wajahnya. Tatapannya terpaku pada mayat kedua orang tuanya.
Rara mencoba berdiri dengan memegang salah satu kabinet dapur, tapi tak bisa karena tubuhnya sudah gemetar hebat sehingga dia terjatuh dan sikutnya terluka karena mengenai ujung kabinet yang tajam. Dia melihat kesana kemari. Berharap menemukan Bi Rasni atau Mang Kardi. Tapi dia tidak menemukan siapa pun. Namun tiba-tiba, tatapannya jatuh ke sebuah pintu kabinet yang tak jauh dari mayat kedua orang tuanya. Sebuah sobekan kain. Rara merangkak untuk melihatnya lebih jelas.
“Non Rara,” panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Bi Rasni.
Mendengar panggilan itu, Rara segera mengambil kain itu dan menggumpalkannya di tangannya.
“B... Bi...!!!” panggil Rara dengan suara serak.
Bi Rasni yang mendengar panggilan itu, lantas cepat mendatanginya. Bi Rasni benar-benar terkejut dengan apa yang dilihatnya kini.
“Ya Tuhan...” jeritnya yang segera memeluk Rara yang gemetar. “Mang... Mang Kardi!!! Cepat kesini, mang!!!”
Yang dipanggil pun cepat datang dan sama Terkejutnya dengan Bi Rasni.
“A... Apa yang... Terjadi, bi?” tanya Mang Kardi panik.
“Mang! Cepat hubungi polisi! Bibi akan membawa Non Rara keatas!”
Mang Kardi hanya mengangguk dan meraih ponsel di sakunya. Bi Rasni pun segera menuntun Rara yang sudah lemas ke kamarnya. Rara didudukkan di atas tempat tidur. Bi Rasni memeluk Rara yang sedang menangis tersedu-sedu.
***
Rara menyuruh Bi Rasni untuk menelepon Dyan. Bi Rasni menurutinya. Dia menelepon Dyan dan memberitahu semuanya. Dapat di dengar suara berisik dari ujung telepon. Setelah memberitahunya, Bi Rasni menutup teleponnya.
Tak lama kemudian, dari dalam kamar, Rara mendengar bunyi sirine mobil polisi dan ambulans. Setelah itu, terdengar bunyi beberapa langkah kaki menuju kamarnya.
“Pak Kardi, mayat kedua korban sudah kami angkut untuk segera di autopsi. Kami akan memeriksa TKP untuk melihat apakah ada jejak pelaku yang tertinggal.” ucap seseorang dengan nada berat dan tegas.
“Baik, pak.” Kata Mang Kardi.
Lelaki yang berbicara tadi masuk ke kamar Rara tanpa mengetuk pintu. Dia adalah seorang pria dengan kumis tebal dan berkulit gelap. Dia mengenakan seragam polisi dengan pistol terpampang di pinggangnya.
“Putri Raranti. Perkenalkan, saya Pak Runardi. Saya yang akan menangani kasus pembunuhan orang tuamu.” Jelas polisi bernama Runardi itu. “Biar saya perjelas disini, kamu adalah putri tunggal dari Pak Nouval Nazmi dan Ibu Melissa Randianti. Kamu menemukan mayat mereka sepulang sekolah. Benar, kan?”
Rara hanya mengangguk kecil.
“Baiklah, untuk sementara, sebaiknya kamu jangan tinggal disini dulu. Apakah kamu punya saudara terdekat?”
Rara menggeleng. Kini tangisannya mulai mereda. Pak Runardi menghela napas. “Sepertinya ini akan sulit,” gumamnya.
Pak Runardi sedang sibuk menelepon rekan-rekannya, sampai suatu saat Rara mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.
“Maaf, pak. Yang di dalam itu teman anak saya. Anak saya ini sahabatnya Rara.” Suara wanita yang berteriak itu seperti sedang memaki-maki polisi.
“Maaf, bu. Apakah ibu tidak bisa membaca? Lihat tulisan ini baik-baik. ‘Dilarang Melintasi Garis Polisi'. Biar masalah ini kami yang tangani.” Perintah sang polisi.
“Tapi, pak. Di dalam, teman saya pasti sedang syok berat karena kehilangan ayah dan bundanya.” Ucap seorang perempuan yang sepertinya lebih muda dari perempuan pertama. “Dimana perasaan bapak, hah?! Minggir, pak! Saya mau lihat teman saya.”
“Eh, kamu tidak bisa melewati garis ini!” bentak polisi itu.
“Halah, persetan dengan garis ini!” umpat perempuan itu.
Kedua orang asing itu menerobos masuk dan berlari menuju kamar Rara. Ternyata kedua orang asing itu adalah Dyan dan ibunya—Tante Afhita.
Dyan langsung memeluk Rara yang kembali menangis.
“Dyan... Ayah... Bunda...” isak Rara.
“Sabar, Ra... Kamu harus tegar.”
“Lho, lho. Ini siapa? Kenapa kalian bisa masuk kesini?” tanya Pak Runardi tak senang. Tatapannya kini jatuh ke arah polisi yang mengejar Dyan. “Kamu! Kan, saya sudah tugaskan untuk menjaga halaman depan. Kenapa mereka berdua bisa masuk?”
“Tidak apa-apa, pak. Dia ini teman saya,” ucap Rara.
“Huh. Ya sudah.” Pak Runardi memperbolehkan meski tak senang. “Sekarang, kita harus segera mengungsikan kamu. Kalau tidak, pihak kepolisian akan susah melakukan penyelidikan. Bagaimana kalaj di rumah Bu Rasni atau Pak Kardi saja?”
“Di rumah kami saja,” ucap Tante Afhita tiba-tiba.
“Di... di rumah kalian?” tanya Rara tak percaya.
“Iya. Di rumahku. Dan hari ini kamu harus pindah ke rumahku sekarang. Ayo, cepat bereskan barang-barangmu. Atau... Biar aku saja. Kamu duduk saja disini,”
Dyan lalu mengobrak-abrik lemari pakaian Rara dan memasukkannya ke dalam koper. Setelah semua pakaian masuk, Dyan menarik Rara keluar. Namun Rara menahan tarikan Dyan.
“Dyan... Tante... Apa kalian yakin?” tanya Rara memastikan.
“Rara, sayang.” Tante Afhita membelai pipi Rara dengan lembut. “Kami yakin, nak. Malah, tante senang kalau Rara tinggal bersama kami. Rara kan sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri.”
Rara tersenyum dan mengangguk.
“Eh, tunggu dulu.” Cegah Pak Runardi. “Bu, tolong beritahukan identitas ibu beserta anak ibu dan alamat tempat tinggal kalian.”
“Nama saya Afhita Vanessa, sedangkan suami saya Yusman Gaharu. Anak kami bernama Dyandra Afhita. Alamat kami di Jl. Sekar Waringin II No. 52. Apakah ada lagi, pak?”
“Tidak, terima kasih atas kerja samanya.” Ucap Pak Runardi setelah selesai mencatat data-data Tante Afhita.
Setelah Pak Runardi berkata begitu, Dyan lantas menarik Rara keluar kamar. Saat menuruni tangga, Rara melihat kearah dapur yang sudah dipenuhi garis polisi. Samar-samar dia melihat sebuah kabut putih, yang membuat tengkuknya merinding.
“Ngenteni giliranmu, cah ayu.[1]”
***
Catatan :
[1] ~ Tunggu giliranmu, cantik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top