#4 : Surat

Di perjalanan menuju rumah Thalia, tidak ada yang bicara. Semuanya membisu. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Dyan angkat bicara.

“Halah, omongan macam itu seharusnya tak usah didengar. Membuang-buang waktu saja,” cemooh Dyan. Melihat teman-temannya tak menggubrisnya, dia jadi ikutan cemas. “Kalian tidak menganggap cerita itu benar, kan?”

Akhirnya mereka sampai di rumah Thalia. Mereka semua langsung masuk dan duduk di ruang tamu. Mereka disuguhkan beraneka macam camilan dan sirup.

“Bagaimana menurut kalian tentang cerita itu?” tanya Rara.

“Aku tidak tahu, Ra. Tapi sepertinya cerita itu ada benarnya,” jawab Fera.

“Seandainya bayi itu masih hidup... Dia pasti sudah seusia kita, kan?” tanya Rangga.

“Menurutku, Ajeng ada hubungannya dengan cerita itu.” Ujar Rara.

“APA?!” teriak semua orang terkejut.

“Aku... Ada firasat kalau dia...”

“Tu... Tunggu dulu, Ra.” Sela Dyan. “Mengapa kau bilang Ajeng ada hubungannya?”

“Pertama, benar yang dikatakan Rangga. Jika bayi itu masih hidup, maka usianya akan sama dengan kita. Kedua, bayi itu perempuan. Dan ketiga, Ajeng memintaku untuk menghentikan pembangunan itu. Menurutku, itu cukup untuk membuktikan kalau Ajeng adalah bayi itu.” Jelas Rara.

“Ra, hantu itu tidak dapat bertumbuh dan berkembang lagi.” Sangkal Dyan.

“Aku tidak pernah mengatakan kalau dia itu hantu. Mungkin saja, yang dikatakan Pak Anwar itu salah, dan mungkin saja bayi itu masih hidup hingga sekarang.” Kata Rara.

“Haduh, lagipula kalian ini percaya saja apa yang dikatakan Pak Anwar. Mungkin saja dia telah dibayar untuk menakut-nakuti Rara dengan cerita omong kosongnya agar orang lain dapat membeli tanah itu,” celah Zaid.

Teman-temannya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua tenggelam dengan aktivitasnya masing-masing.

Zaid dan Rangga sedari tadi sedang bermain mobile game. Sedangkan Fera dan Thalia sedang bermain-main dengan ponsel pintarnya. Dyan pun sedang sibuk mencatat pelajaran yang dia salin dari buku Rara. Hanya Rara yang sedang melamun sambil bersandar pada sofa, tiba-tiba suara Zaid membuyarkan lamunannya.

“Eh, sudah sore. Aku pulang dulu, ya Thal.” Pamit Zaid.

“Aku juga, ya.” Timpal Rangga.

Teman-teman yang lain pun satu per satu sudah mulai meninggalkan rumah Thalia. Kecuali Rara. Dia masih duduk di sofanya sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya.

“Kamu tidak pulang, Ra?” tanya Thalia.

“Iya. Aku sedang meng-SMS Mang Kardi untuk menjemputku, Thal.” Jawab Thalia.

Thalia hanya menganggukkan kepalanya. Dia lantas duduk di samping Rara sambil berbincang-bincang dengannya. Sampai 15 menit berlalu, Mang Kardi pun datang dengan mengendarai motor tua kesayangannya.

“Bye, Thal. Aku pulang dulu, ya.” Pamit Rara sambil melambaikan tangannya kepada Thalia.

“Bye, Ra. Hati-hati, ya.” Thalia pun membalas lambaian tangan Rara.

Rara duduk di jok belakang motor Mang Kardi. Mang Kardi segera tancap gas menuju rumah Rara.

Saat motor Mang Kardi ingin melewati jalan sekolahnya, Rara menepuk pundak Mang Kardi dengan cepat.

“Mang, lewat jalan yang satu lagi, aja.” Pinta Rara.

“Lho, kenapa Non? Jalan yang satu lagi, kan mutarnya lebih jauh,” ucap Mang Kardi.

“Gak apa-apa, Mang.”

Karena Rara terus memaksa,  Mang Kardi pun membanting kemudi dan memutar jalan. Sejujurnya, sejak Pak Anwar bercerita tentang Hutan Bambu itu, Rara jadi takut untuk melewati Hutan Bambu itu. Apalagi hari sudah mulai sore.

Setelah berkendara hampir 30 menit, akhirnya Rara sampai di rumahnya.

“Non Rara, kok baru sampai?” tanya Bi Rasni begitu Rara masuk rumah.

“Iya, bi. Tadi Rara lewat jalannya memutar,” jawab Rara sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu.

“Oh ya, Non. Tadi ada tukang pos ngenter surat buat, non. Ini, non.”

“Surat? Dari siapa, bi?”

“Gak tau, non.”

Rara mengamati amplop yang membungkus surat itu. Warnanya sudah kusam, diamplop itu tertulis nama dan alamat rumahnya dengan tulisan cakar ayam. Tapi tidak ada nama pengirimnya.

Rara mencium aroma familiar dari amplop itu. Rara mengingat-ingat, setelah beberapa lama barulah dia tau. Saat mengetahui aroma itu, Rara malah jadi bergidik. Bunga melati.

***

Rara menaiki tangga rumah dan memasuki kamarnya. Rara duduk di kursi meja belajarnya sambil merapikan rambutnya.

Rara mengambil amplop itu dan menyobeknya, dia lalu membaca isinya. Isinya ditulis dengan tinta merah dengan tulisan cakar ayam yang berantakan namun masih bisa dibaca.

Untuk : Putri Raranti

Aku sudah memperingatkanmu! Hentikan pembangunan itu atau orang tuamu hanya akan meninggalkan nama! Kuberi kau waktu sampai besok. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya!!

Begitu membaca isi surat itu, Rara langsung lemas. Tubuhnya seakan tak bertulang. Dia bingung, ingin meminta pertolongan siapa. Siapa yang akan mempercayainya? Rara ingin menjerit, tapi suaranya tidak kunjung keluar.

Rara menyambar ponselnya dan langsung menelepon Dyan. Dyan tidak mengangkatnya. Sekali... Dua kali... Barulah yang ketiga kalinya, Dyan mengangkatnya.

“Halo... Halo, Dyan. Kau dengar?”

“Ya halo. Ada apa, Ra? Kau terdengar sangat panik. Apa semua baik-baik saja?” tanya Dyan khawatir.

“Dengarkan aku, Yan. Aku menerima sebuah surat. Aku tidak tau siapa yang mengirimnya. Surat itu mengancamku. Bunyinya.......” Rara membacakan isi surat itu kepada Dyan.

Rara berbicara panjang lebar, Dyan mendengarkannya tanpa memotongnya sedikit pun. Setelah Rara bercerita, baru lah Dyan angkat bicara.

“Sudahlah, Ra. Tenangkan dirimu. Surat itu mungkin hanya dikirim oleh orang iseng yang ingin mengerjaimu saja,” ujar Dyan.

“Tapi, Yan...”

“Sudahlah, mengapa semakin lama kau semakin paranoid? Buang saja surat itu.” Perintah Dyan. “Ra, mamaku sudah marah-marah, nih. Aku kan tidak boleh menelepon lama-lama. Sudah dulu, ya. Bye”

Tut... Tut...

Meski Dyan sudah menyuruhnya membuang surat itu, Rara tetap menyimpannya. Rara masih gelisah. Dia takut terjadi sesuatu kepada orang tuanya.

Dengan tergesa-gesa, Rara turun ke bawah dan langsung menuju kamar bunda. Rara merangsek masuk dan menemukan bunda sedang tertidur.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top