#2 : Peringatan
Seminggu setelah Rara menceritakan masalahnya kepada teman-temannya, perubahan tak kunjung dirasakan teman-temannya terhadap Rara. Rara tetap pendiam. Bahkan, lebih parahnya lagi, dia bahkan tidak mau menceritakan satupun masalahnya.
"Ah, Rara. Akhirnya kamu datang." Sambut Dyan saat melihat Rara memasuki kelas 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. "Aku kira kamu tidak akan masuk."
Rara hanya tersenyum kecut mendengarnya. Dia lalu meletakkan tasnya di kursi.
"Aku tadi terlambat bangun. Untung saja Bi Rasni segera membangunkanku." Jelas Rara.
Dyan hanya menganggukan kepala sambil memandang prihatin sahabatnya itu.
Kasihan Rara. Dia harus menanggung semua masalahnya sendirian. Batin Dyan.
"Ehm... Ra,"
"Apa apa?"
"Kamu bisa menceritakan apapun padaku. Kalau kau tidak percaya dengan teman-teman yang lain, kau bisa percaya padaku. Aku janji tidak akan memberi tahu siapapun."
Rara tersenyum mendengarnya. Kali ini senyumnya tulus dan lebih cerah dari sebelumnya. "Terima kasih, Yan. Kamu memang sahabatku yang paling setia." Ucap Rara tulus. "Aku akan menceritakannya lain waktu saja, lagi pula, sebentar lagi kan mau masuk."
Dyan menganggukkan kepalanya.
Tepat setelah Rara mengatakan hal itu, bel masuk berdering nyaring. Murid-murid langsung berlari menuju ke kursinya masing-masing.
Kelas Rara menjadi hening tatkala Bu Khadijah, selaku pengurus Tata Usaha masuk ke kelas di ikuti oleh seorang anak perempuan berambut panjang yang tergerai begitu saja, sehingga hanya sedikit menampakkan wajahnya.
"Selamat pagi, anak-anak." Ucap Bu Khadijah.
"Selamat pagi, bu." Seru semua murid bersamaan.
"Hari ini, kalian akan mendapatkan teman baru. Dia pindahan dari sekolah di desa." Bu Khadijah melemparkan tatapannya menuju si anak baru. "Silakan kamu memperkenalkan diri,"
"Nama saya Ajeng." Anak baru yang bernama Ajeng itu memperkenalkan diri dengan suara rendah, namun dapat di dengar oleh seluruh penjuru kelas, suara yang dingin dan menusuk.
Entah kenapa, Rara menjadi gelisah. Bulu kuduknya pun berdiri tanpa di suruh.
Sebuah suara lembut memecah keheningan di kelas Rara. Pemiliknya tak lain adalah Farah, ketua kelas yang ramah dan bersahaja. "Kalau boleh tau, nama lengkapmu siapa?"
"Saya ndak punya nama lengkap." Jawab Ajeng singkat.
Logatnya medok sekali. Mungkinkah dia orang Jawa? Tanya Rara dalam hati.
"Baiklah, Ajeng. Silakan duduk di kursi yang kosong."
Ajeng mendekati kursi Rara-atau lebih tepatnya kursi dibelakang Rara. Sebenarnya itu kursi Rachel dan Emily. Tapi karena Rachel tidak masuk, Emily pun pindah ke kursi sebelah Farah. Setelah memastikan Ajeng mendapatkan tempat duduk, Bu Khadijah pun langsung melenggang keluar.
Saat Ajeng baru saja duduk, Dyan langsung memutar badannya untuk berhadapan dengan Ajeng.
"Hai, Ajeng." Sapa Dyan. "Perkenalkan, namaku Dyandra Afhita. Kamu bisa panggil aku Dyan."
Dyan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ajeng, tapi Ajeng hanya memandangi tangan Dyan. Tak lama, Ajeng pun bersuara dengan nada rendah dan dingin. "Singkirkan tanganmu sekarang sebelum kucabut dari tubuhmu,"
Dyan terkejut bukan kepalang mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Ajeng. Dyan pun segera menarik tangannya kembali.
Sebenarnya Rara juga sangat kaget mendengarnya, tapi dia tak sempat memikirkannya karena guru Bahasa Inggris-Bu Chintya sudah datang dan memberikan setumpuk tugas untuk dikerjakan sekarang. Untuk sementara, Rara dapat mengalihkan perhatiannya dari anak misterius yang bernama Ajeng itu. Meski diam-diam, Rara tetap memperhatikannya lewat pantulan di kaca jendela di sampingnya. Sorot mata Ajeng sangat dingin dibalik rambutnya yang tergerai.
***
Waktu istirahat.
Dyan telah keluar terlebih dahulu, sedangkan Rara masih duduk untuk menyelesaikan tugas yang masih belum selesai. Saat ini, hanya ada Farah, Ajeng, dan dirinya saja di kelas ini.
Tiba-tiba, Farah mendekati meja Ajeng. Dan menyapanya. "Ajeng, kamu pindahan dari sekolah mana?"
Rara menguping pembicaraan mereka sambil sibuk menyelesaikan tugas.
"Sekolah Alam Kubur." Jawab Ajeng.
"Eh? Memangnya ada, ya, sekolah dengan nama aneh begitu?"
"Kamu ndak percaya?" tanya Ajeng kepada Farah. Yang ditanya hanya dapat menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, aku akan ajak kamu kesana, tapi... Kamu harus mati dulu."
"A... Apa? Ma... Mati?" setelah mendengar perkataan Ajeng, Farah melangkah mundur perlahan. "A... Aku kantin duluan, ya. Bye, Ajeng. Bye, Rara."
Sekarang, hanya ada Ajeng dan Rara di kelas. Hanya berdua saja. Itu membuat Rara menjadi enggan berlama-lama di kelas, apalagi sejak Ajeng berkata begitu.
Rara pun bangkit berdiri, tapi bahunya di cegat oleh sebuah tangan yang dinginnya mengalahkan es batu. Tangan itu mencengkram semakin kuat sehingga Rara merasa kesakitan.
"Hentikan pembangunan itu!" ucap Ajeng.
"A... Apa?"
"Hentikan pembangunan itu!" ulangnya, kali ini ada suara serak-serak basah yang mengikuti suara Ajeng. "Kau harus menghentikannya kami ndak akan melepaskan dirimu dan teman-temanmu!"
Rara menggeliat kesakitan saat dirasakannya kuku-kuku panjang menggores kulitnya yang tipis. Barulah setelah Dyan dan Thalia datang, Ajeng melepaskan cengkramannya.
"Ah, disini rupanya kau, Putri Raranti. Kami menunggumu sampai ubanan, tau!" ucap Thalia marah. "Ayo ikut kami,"
Thalia dan Dyan menyeret Rara tanpa menghiraukan Ajeng. Seolah Ajeng menjadi tak kasatmata di hadapan mereka. Rara yang kehilangan semua tenaganya pun tak kuasa memberontak.
Rara diseret menuju kantin, dimana disana sudah menunggu 3 orang sahabatnya yang lain-Fera, Rangga, dan Zaid.
"Akhirnya Rara datang juga." Sambut Fera.
"Eh, Ra. Dengar-dengar, di kelasmu ada siswi baru, ya?" tanya Rangga langsung. "Siapa namanya? Orangnya cantik, gak?"
"Namanya Ajeng. Hanya Ajeng. Dia gak punya nama panjang, dan menurutku dia itu orang Jawa, soalnya gaya bicaranya medok banget." Jawab Dyan.
"Kok malah Dyan yang jawab? Kan, yang ditanya Rara." Protes Fera. "Eh... Ra, bajumu kenapa? Kok sobek?"
Fera menunjuk ke arah bahu Rara. Tampak sedikit koyak. Rara yang segera menyadari sedang diperhatikan, segera menutup bajunya yang sobek.
"Ti... Tidak apa-apa. Mungkin tersangkut sesuatu." Dusta Rara.
"Ra," panggil Zaid. Yang dipanggil pun menoleh ke sumber suara. "Kau kenapa? Kenapa mukamu pucat sekali?"
Teman-teman yang tadinya tidak memperhatikan pun langsung melihat dengan saksama ke wajah Rara.
"Kau baik-baik saja, Ra?" tanya Dyan khawatir.
"Ya. Aku baik-baik saja." Jawab Rara. Ada getaran pada suaranya yang menandakan dia sedang ketakutan.
"Kalau ada yang kamu mau ceritakan, cerita saja pada kami." Ujar Zaid.
"Iya, Ra." Timpal Rangga.
"CUKUP!!!" teman-temannya cukup kaget akibat bentakan yang dilakukan Rara. "Urus saja urusan kalian sendiri. Jangan mendesak aku terus. Aku sudah lelah di kejar-kejar masalah mengerikan ini. Kumohon, jangan menambah bebanku!"
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Rara beranjak pergi dari kantin.
Orang lain yang berada di kantin juga cukup terkejut akibat bentakan keras yang dilakukan Rara. Selain orang-orang di kantin, ternyata ada yang memperhatikan ulah Rara di balik jendela kantin sambil tersenyum keji.
***
Rara kembali ke kelas. Dia melihat Ajeng menatapnya dengan pandangan kosong.
Bertepatan dengan itu, bel masuk pun berbunyi. Dyan juga turut masuk ke dalam kelas. Dia langsung duduk di samping Rara tanpa menyapanya.
Suasana berjalan dengan canggung, sampai guru matematika-Bu Triyana datang sambil membawa buku tulis matrmatika yang sempat di kumpulkan minggu lalu, dan langsung menyuruh Farah untuk membagikannya.
Bu Triyana pun langsung menjelaskan materi baru di papan tulis. Rara tak dapat berkonsentrasi pada pelajaran, meskipun materi baru itu tergolong rumit. Rara merasa sangat sedih karena sudah membentak teman-temannya.
Satu jam kemudian, bel tanda pulang berkumandang. Semua murid langsung heboh merapikan alat tulis mereka masing-masing.
Rara melenggang keluar kelas dengan lesu. Dia sama sekali tak bertenaga. Beberapa teman menegurnya, tapi Dyan sama sekali tidak berbicara apapun. Dia bahkan berjalan mendahului Rara. Mungkin dia marah padaku. Pikir Rara.
Rara pulang dengan berjalan kaki. Meskipun Rara adalah seorang anak dari pengusaha properti terkemuka di Indonesia, dia tetap pulang berjalan kaki daripada diantar dengan supir dan mobil mewah milik ayahnya. Alasannya sederhana, rumahnya tidak begitu jauh dari sekolahnya.
Rara berjalan memasuki perumahannya yang bernama Asri Indah. Sebelum, itu dia sempat mampir ke Indoapril untuk membeli minuman. Sesampainya di rumah, Rara di sambut Bi Rasni yang sedang menyiram tanaman.
"Eh, Non Rara sudah pulang." Sambut Bi Rasni.
"Iya, bi. Bunda belum pulang?" tanya Rara.
"Belum non. Beliau sedang pergi. Katanya, ibu mau ke supermarket untuk membeli barang. Tadi diantar Mang Kardi." Jawab Bi Rasni.
"Oh, ya sudah. Nanti kalau bunda sudah datang, bilang ke bunda kalau aku mau bicara sesuatu. Aku ada di kamar."
"Baik, non. Nanti bibi sampaikan."
Rara segera masuk begitu mendengar ucapan Bi Rasni. Rara menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Di dalam, Rara mengambil ponsel pintarnya dan membuka grup chat "Magic Band".
Rara pun mengetik sesuatu, "Teman-teman, aku minta maaf atas sikapku di kantin tadi. Pikiranku sedang kacau. Terlalu banyak yang aku pikirkan hari ini...."
Rara pun menceritakan apa yang dialaminya saat berada di kelas.
Setelah selesai mengetik, dengan penuh keyakinan, Rara menekan tombol send. Tepat pada saat itu, bunda datang dan membuka pintu kamar Rara.
"Raranti, sayang. Ada apa, nak?" tanya bunda sembari duduk di tempat tidur. Tangannya pun membelai lembut rambut Rara. "Tadi Bi Rasni bilang, kamu mau bicara sesuatu ke bunda?"
"Iya, bun. Rara Cuma mau bilang, bagaimana kalau pembangunan perumahan yang di rencanakan ayah dipindahkan? Masih banyak tanah kosong disekitar sekolahku, kan?" kata Rara sambil menatap lekat-lekat mata bunda.
"Lho, memangnya kenapa, nak? Ayah memilih tanah itu karena ukurannya luas dan harganya murah." Ucap bunda. "Lagipula, tak ada lagi tanah yang seluas tanah di depan sekolah Rara. Memangnya ada apa, sih?"
"Ya, aku merasa kalau di tanah itu, ada sesuatu yang aneh,"
"Aneh? Aneh apanya?"
"Begini, bun. 3 hari sejak ayah menceritakan rencana pembangunan itu, Rara merasa ada yang mengawasi Rara di balik Hutan Bambu yang tumbuh di tanah itu, bun."
"Ah, itu paling Cuma khayalanmu." Sergah bunda. "Sudahlah, Ra. Terima saja keputusan ayah."
"Tapi, bun..."
"Sst..." bunda menempelkan telunjuknya ke bibir Rara. "Sudah, sudah. Bunda tidak mau lagi membahas hal konyol ini lagi. Lebih baik, sekarang kamu ganti pakaianmu, dan turun untuk makan siang. Bunda beli soto ayam tadi." Ucap bunda sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. Tiba-tiba bunda berhenti melangkah saat ingin menutup pintu. "Oh ya, Ra. Kamu jangan bicarakan ini dengan ayah, ya. Kamu kan tau sendiri, ayah paling tidak suka membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti ini. Lagipula, proyek itu akan dilakukan tidak lama lagi, kok."
Rara mendesah. Dia melihat ponsel pintarnya. Ternyata Dyan membalasnya, "Tidak apa-apa, kok, Ra. Kami juga salah. Seharusnya kami tidak mendesakmu begitu. Kami tidak memperdulikan suasana hatimu saat itu. Maafkan kami, terutama aku, ya, Ra."
Lalu muncul lagi balasan dari Zaid, "Iya, Ra. Aku juga minta maaf. Omongan Ajeng itu, sebaiknya tak usah kau cemaskan. Mungkin dia hanya bercanda. Tidak usah diambil hati."
Mengapa semua orang tidak percaya kepadaku? Batin Rara.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top