#1 : Permulaan
“Ra... Rara... RARA!” kejut Dyan.
“Hah?” yang di panggil pun merasa kebingungan. “A... Ada apa, sih, Dyan? Kamu kok mengagetkan aku?”
“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Ada apa denganmu, Ra?” tanya Dyan. “Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu melihat ke arah Hutan Bambu itu?”
“Aku tidak melihat apa-apa. Aku... Hanya sedang banyak pikiran saja.” Jawab Rara.
Anak perempuan berambut pendek yang bernama Dyan itu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya yang akhir-akhir ini menjadi sangat pendiam.
Dipikiran Dyan, Rara menjadi sedikit aneh. Rara tidak seperti biasanya. Dia menjadi banyak melamun, tidak fokus dalam pelajaran maupun saat latihan, itu yang membuat Dyan menjadi heran kepada Rara.
Dyan dan Rara tergabung dalam suatu vokal grup yang diberi nama “Magic Band”. Grup tersebut beranggotakan 6 orang. Tugas Rara dalam grup itu adalah sebagai vokalis pertama. Sedangkan Dyan sebagai pemain keyboard, lalu ada Thalia sang gitaris, Fera vokalis kedua, Zaid sebagai drumer, dan Rangga pemain bass.
Semua anggota Magic Band menyadari perubahan sikap Rara. Apalagi Thalia, yang saat ini sedang berbincang-bincang dengan Dyan di kantin.
“Aku juga heran, Yan. Biasanya, Rara periang, orang yang jail, dan orang yang sangat bersahabat.” Ucap Thalia.
“Menurutku, dia mungkin ada masalah dengan orang tuanya?” tebak Dyan.
“Aku rasa tidak mungkin. Rara kan anak tunggal. Dia pasti sangat di manja oleh kedua orang tuanya.”
“Perlukah kita tanya langsung ke dia?”
“Aku rasa perlu,”
“Kalau begitu, kita tanya saja saat latihan pulang sekolah nanti.” Dyan pun mengakhiri percakapan singkat itu dan kembali ke kelas.
***
Pulang sekolah, mereka menuju ke rumah Thalia untuk latihan grup. Rara memutuskan untuk pulang dulu ke rumahnya untuk berganti pakaian.
Anggota yang lain pun turut hadir dalam latihan rutin yang dilaksanakan seminggu sekali ini.
“Maaf, ya. Aku terlambat.” Ucap Rara yang baru datang dan terlambat 5 menit dari waktu yang di tentukan.
Dyan segera memberi kode kepada Thalia agar dia segera bertanya mengenai perubahan sikap Rara.
Thalia yang menyadari kode dari Dyan hanya mengangguk tanda mengerti.
“Ehm... Oh ya, sebelum kita memulai latihan pada hari ini, aku mau menanyakan suatu hal kepada Rara,” Thalia membuka percakapan. “Sebenarnya, apa yang terjadi padamu? Kau jadi sering melamun. Bahkan, Dyan pernah cerita kalau kau sudah dua kali di tegur Bu Asya karena tidak memperhatikan pelajaran. Kau juga sering kurang konsentrasi saat latihan. Apa yang sebenarnya terjadi? Ceritalah pada kami, mungkin kami bisa membantu.”
“Aku tidak apa-apa, Thal.” Jawab Rara singkat.
“Jangan bohong, Ra.” Sela Rangga.
Rara menggigit bibir bawahnya. Dia merasa bimbang. Di bawah tatapan teman-temannya, dia menghembuskan nafasnya.
“Baiklah. Tapi, sebelum aku selesai bercerita, kalian jangan menyelaku, apalagi tertawa,” pinta Rara. “Jadi begini, sekitar dua minggu yang lalu, orang tuaku bilang bahwa perusahaan properti tempat ayahku bekerja akan membangun perumahan di daerah Hutan Bambu di depan sekolah kita.
Awalnya, aku tidak peduli karena tak ada hubungannya denganku. Tapi, tiga hari sejak orang tuaku memberitahukan hal itu, aku merasa aneh setiap kali melintas di depan Hutan Bambu itu. Aku merasa seperti... Sedang diawasi. Suatu hari, aku melihat seorang wanita berpakaian kebaya Jawa berwarna putih dengan rambut yang di sanggul. Di kebayanya itu terdapat bercak merah kehitam-hitaman seperti... Darah yang sudah mengering.
Aku terus memperhatikan wanita sampai Bu Asya menegurku. Aku menoleh ke arah Bu Asya. Tetapi, saat aku memalingkan wajahku untuk melihat wanita itu lagi, wanita itu telah tiada.”
Keheningan melanda setelah Rara menceritakan permasalahannya.
“Mungkin itu hanya khayalanmu saja,” ucap Zaid.
“Tidak, Id. Aku tidak berkhayal. Kejadian itu benar-benar nyata.” Kata Rara.
“Aku tidak tahu apa itu nyata atau pun tidak. Tapi mungkin, kita terlalu banyak latihan sehingga pikiran kita menjadi terganggu.” Simpul Thalia. “Mungkin akan lebih baik kalau kita cuti dari latihan untuk beberapa hari?”
“Ya, aku setuju.” Ucap Fera langsung.
Usul Thalia langsung di sambut baik oleh anggota yang lain. Setelah mengobrol beberapa saat, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Rara harus melewati sekolahnya—SMP Kerta Jaya 01, untuk sampai di rumahnya. Yang itu berarti dia juga harus melewati Hutan Bambu itu.
Rara berjalan kaki sendirian. Hari yang mulai senja, cukup untuk membuat bulu kuduk Rara berdiri.
“Rara... Rara...”
Rara menelan ludahnya saat dia mendengar suara bisikan halus dari arah Hutan Bambu itu.
Tuhan... Tolong selamatkanlah hamba-Mu ini. Batin Rara.
“Rara... Hihihi...”
Rara hampir saja menangis saat mendengar tawa mengerikan itu. Dengan sekuat tenaga, dia pun mengambil langkah seribu.
“Hi... Hi... Hi...”
***
Malamnya.
“Oe... Oe... Oe...” suara tangis bayi memecah keheningan di malam hari.
“Kenapa ada suara bayi?” tanya Rara kebingungan. “Tu... Tunggu dulu. Dimana aku?”
Rara mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dia tidak dapat melihat dengan jelas karena pencahayaan yang kurang.
Rara melihat ke atas, tampak bulan purnama yang tertutup awan. Daerah di sekitarnya terasa dingin dan diselimuti kabut tebal.
“Apa aku ada di tengah hutan?”
Rara meraba-raba ke sekitarnya. Dia merasakan daun-daun menyentuh kulitnya.
“Oe... Oe... Oe...” jerit tangis bayi kembali terdengar.
“Anakku, ojo nangis[1], nak”
Si... Siapa itu?
“Deleng, nak. Deweke wes teka[2].”
Rara mematung. Aura dingin membelai halus tengkuknya. Dengan perlahan, dia membalikkan badannya.
Mata Rara hampir saja loncat dari rongganya tatkala dia melihat seorang wanita berpakaian kebaya Jawa sambil menggendong bayi berada di hadapannya. Wajahnya terlihat samar-samar. Tiba-tiba, wanita itu tersenyum, senyumannya sangat lebar sehingga hampir saja menyentuh telinganya. Dia memamerkan gigi runcing yang berlumuran darah.
“Mampir karo kami, cah ayu[3].”
“TIDAAAAAK!!!!”
—
Hah... Hah... Hah...
Ya Tuhan! Untung saja Cuma mimpi!
Piyama yang di pakai Rara basah akan keringatnya sendiri. Tenggorokannya kering kerontang bagai tengah dilanda kemarau panjang.
Rara turun dari tempat tidurnya untuk mengambil air minum, untuk itu dia harus pergi ke dapur yang berada di bawah. Sebenarnya, Rara enggan keluar dari kamarnya setelah mimpi buruk begini, apalagi waktu masih menunjukkan pukul 2 pagi. Jadi, dengan berat hati, Rara keluar dari kamarnya dan menuruni satu per satu anak tangga.
Dapur yang gelap gulita menambah ketakutan di hati Rara. Dengan gerakan cepat, dia menyambar gelas dan mendekati dispenser. Ditemani cahaya bulan yang temaram, Rara duduk di kursi makan sambil meminum airnya.
Apa-apaan mimpi tadi? Gumam Rara.
Pikirannya terus melayang kemana-mana, hingga tanpa dia sadari, seseorang sudah berdiri tepat di belakangnya.
“Non...” sebuah tangan memegang bahu kirinya.
Kontan saja, Rara menjatuhkan gelasnya hingga isinya mengalir kemana-mana.
“Kyaaaaaaaaaaaaaa.........” Rara menjerit sekeras-kerasnya.
“Non Rara. Astaga, Non.” Seseorang itu lantas memperlihatkan wajahnya. Dan ternyata itu hanyalah Bi Rasni, Asisten Rumah Tangga Rara.
“Bi... Bi Rasni?”
“Iya, Non. Ini bibi,” ujar Bi Rasni meyakinkan Rara. “Non Rara kenapa jerit-jeritan begitu?”
“Bi Rasni ngagetin aku.”
“Maaf, Non. Habisnya, Non Rara ngapain gelap-gelapan di dapur?”
“Aku mau ambil minum, tadi.”
“Ya sudah, Non Rara tidur saja. Biar tumpahan airnya, bibi saja yang bersihkan.”
“Terima kasih, bi.”
***
Catatan :
[1] - Jangan menangis.
[2] - Tenang, nak. Dia sudah datang.
[3] - Ikutlah bersama kami, cantik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top