VILLAIN 9

Tempat yang sebelumnya penuh ingar-bingar dengan aroma pekat akan alkohol itu dalam sekejap sudah berubah situasi.

Kursi-kursi patah—dan patahannya berserak memenuhi lantai, meja-meja berubah posisis, pecahan-pecahan beling turut membuat berantakan ruangan. Namun, pemandangan yang paling mengerikan adalah mayat-mayat tergeletak dengan darah segar mengucur dari tubuh mereka.

"Tidak, tidak, ini mengerikan." Seorang wanita dengan tampilan acak-acakan tampak gemetar di sudut ruangan. Kedua matanya membola, tetapi menatap kosong.

"A–aku harus kabur .... Tidak ... tidak boleh mati di sini ...." Wanita malam lainnya juga sama paniknya.

Dia hendak beranjak saat tiba-tiba bunyi mendesis yang pelan terdengar di tengah keheningan mencekam itu. Lantas, muncul sesuatu di udara, bergetar-getar.

Plop!

Sebuah portal terbentuk begitu saja, terdiri dari gumpalan awan hitam yang dialiri cahaya terang menyilaukan.

Menyusul setelahnya, ada sebuah kaki—mungkin, karena bentuknya sangat aneh—keluar secara perlahan dari portal. Lalu, badan pemiliknya juga perlahan-lahan muncul.

Suara pekikan tertahan terdengar saat perwujudan orang itu terlihat sepenuhnya.

Makhluk itu muncul dengan tubuh terbakar api yang terus berkobar. Namun, wajahnya tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali, sedikit pun.

Kedelapan kaki laba-laba Nevilla refleks bergerak pelan, hendak bergeser untuk menjauhi makhluk beraura menyeramkan itu. Ao Hiraga pun langsung waspada, menyadari bahwa orang yang keluar dari portal itu amat berbahaya.

Oni itu tidak hanya tampil "meriah" dengan tubuh terbakarnya, tetapi juga membawa barang-barang yang menarik perhatian. Sebuah rantai besi besar terbakar mengalung di lehernya, belum lagi Spirit Sword yang digenggam kuat oleh tangan berototnya.

Lalu, tanpa kata, dia berbalik dengan tatapan dingin yang menyeramkan. Beberapa detik setelahnya, rantai yang terbakar itu memelesat cepat menarik ketiga orang yang tak sempat bereaksi.

Ao Hiraga refleks mengerahkan tenaganya untuk melepaskan diri dari cengkeraman makhluk menyeramkan itu. Tubuhnya panas, terlilit rantai yang terbakar. Belum lagi gesekannya menimbulkan rasa sakit yang makin menyiksa.

Dalam keadaan yang sama, Nevilla juga berusaha menggunakan kedelapan kaki laba-labanya untuk menahan tubuh, atau bahkan melawan tarikan kuat orang itu. Namun, usahanya sia-sia.

"Sial! Lepaskan aku!" jeritnya frustrasi.

Namun, makin berontak, dia justru makin kuat ditarik masuk. Hingga akhirnya, ketiga orang itu lenyap dari pemandangan.

***

Bunyi sirene yang menjerit membawa derita di malam yang dingin terdengar mulai memasuki kawasan TKP. Beberapa mobil aparat dan ambulans tiba dengan terburu-buru. Orang-orangnya langsung berlompatan keluar dengan cekatan.

Mereka memburu klub malam yang menjadi TKP. Lantas, dengan sibuk mulai membereskan mayat-mayat yang tergeletak di dalam ruangan.

Sebagian lagi langsung melakukan liputan, berbicara terburu-buru dan dengan nada lugas mengabarkan informasi dari TKP kepada media.

Kejadian itu bukan hanya sekadar penyerangan klub malam sang gembong narkoba, melainkan juga teror, terutama bagi para warga.

Dalam waktu singkat, berita menyebar cepat, menularkan kepanikan yang membuat para warga sipil tak tenang dan tak nyenyak tidur saat malam.

"Para superhero harus bertanggung jawab untuk hal ini!"

Seorang wanita beranak satu berbicara lantang dan penuh intimidasi di depan kamera.

Pendapatnya memang mewakili sebagian besar para penduduk. Bukannya apa, mereka berpikir, masalah ini tak akan ada kalau tak ada kekuatan sihir—atau semacamnya—di dunia ini. Para pahlawan super hanyalah orang-orang jahat berkedok yang licik. Mereka pasti memiliki maksud lain terhadap para penduduk.

"Selanjutnya, kami akan membagikan potongan atau cuplikan video dari CCTV di lokasi kejadian yang berhasil kami dapat."

Sebuah video yang tak terlalu jelas ditayangkan setelah sang pewarta membacakan kalimat pembuka. Di video itu terlihat jelas keributan yang dipicu oleh beberapa orang. Termasuk kemunculan wanita berkaki delapan.

"Kita tak bisa membiarkan kepanikan makin mengincar rakyat. Kita harus bertindak." Seorang ilmuwan botak ternama, berdialog dengan serius usai menyaksikan tayangan di layar lebar.

Beberapa orang yang juga ada di ruangan—mereka tengah mengadakan rapat darurat—tampak belum niat menyahuti ucapannya.

Dia berdeham. "Adanya manusia sihir dan nonsihir tentu sebuah konflik yang sensitif. Mereka perlu rasa aman untuk merasa dilindungi dari bahaya sekecil apa pun."

"Lalu, apa idemu, Master?"

Akhirnya satu orang rekannya menyahut. Sang ilmuwan menatap datar. Untuk sesaat, dia melarikan tatapannya ke luar jendela yang hanya memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit. Kota itu tampak sibuk, Tokyo memang selalu begitu.

Ya, kecepatan penyebaran informasi di era sekarang bisa menyaingi kecepatan cahaya. Berita terkait kejadian diduga penyerangan oleh para pahlawan super itu sudah tiba di meja para orang-orang berpengaruh, di markas Glade Asia yang berpusat di Tokyo.

"Kita harus menciptakan sebuah alat sebagai senjata perang," jawab sang ilmuwan botak. Dua kata terakhir dalam kalimatnya sengaja ditekankan.

Untuk sesaat, suasana ruangan berubah hening. Para rekannya tampak merenung, seperti tengah mempertimbangkan sarannya baik-baik.

"Lengkapnya?"

Senyum sang ilmuwan akhirnya terbit. "Kita bisa merancang robot Artificial Intelligence. Robot cerdas ini bisa kita desain untuk menemukan kelemahan apa pun para Pure."

Ide brilian itu jelas seperti napas baru bagi para Glade. Namun, sang ilmuwan genius itu belum puas membeberkan ide cemerlangnya. Dengan menggebu-gebu, dia kembali melanjutkan penjelasannya.

"Memang kita perlu data superlengkap dan percobaan tak sedikit. Namun, itu akan sebanding dengan hasil yang kita dapat."

Ide brilian itu sepertinya dapat disambut dengan baik. Mereka berencana membuat robot AI yang jadi teman manusia dan berperan sebagai "musuh" kalau-kalau ada Pure yang lepas kontrol.

Beberapa hari setelahnya, sebuah proposal rapi tampak berada di tumpukan berkas teratas. Proposal itu berjudul "Proyek Robot AI, Mecha Heart."

***

"Para superhero harus bertanggung jawab untuk hal ini!"

"Superhero sebenarnya orang jahat licik yang berpura-pura menjadi pahlawan kebaikan untuk melancarkan aksi busuk mereka!"

Entah sudah tayangan ke berapa berita itu disaksikan oleh seorang pria tua yang tengah duduk di kursi goyangnya. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sampai hampir tersedak. Namun, secepat kilat tawanya berubah menjadi tangisan yang meraung-raung. Wajah tuanya benar-benar memperlihatkan kefrustrasian yang mendalam.

"Aku tidak bisa diam saja ...."

Si kakek tua bangka itu berjalan tertatih-tatih meninggalkan kursinya. Dengan sebelah kaki yang pincang, dia berusaha menggapai pintu. Tangan keriputnya memutar kenop dan udara segar seketika menerpa tubuhnya.

Kemudian, sebelum melanjutkan perjalanan, dia melilitkan selembar kain kuning—yang entah bisa disebut jubah atau tidak—di lehernya. Usai itu, dia pun melanjutkan perjalanan.

Dengan langkah tertatih, si kakek tua itu setengah menyeret sebelah kakinya yang terluka dan terlihat seperti membusuk. Dia menyusuri rel kereta, menapaki koral-koralnya yang menusuk telapak kaki.

Wajahnya masih memperlihatkan kefrustrasian yang mendalam. Namun, tak ada lagi tangisan. Justru sepasang mata tuanya tampak berbinar saat melihat kemunculan kereta dari arah berlawanan.

Tanpa takut sedikit pun, dia malah merentangkan kedua tangan meski kereta itu cepat masih jauh. Jantungnya berdegup kencang, penuh adrenalin.

"Kemarilah, sayangku!" katanya antusias.

Saat kereta itu makin dekat, sebuah keanehan terjadi.

Tiba-tiba baut besi yang menancap memperkuat rel kereta, terlepas begitu saja. Kemudian, patahan-patahan besi dari rel juga mulai tercabut. Tak hanya itu, seluruh besi di sekitarnya, seperti tiang-tiang fasilitas umum, mulai bergetar hebat.

"Ini masih hebat! Sungguh hebat!"

Si kakek tua itu tertawa makin keras saat patahan demi patahan besi tersedot ke tubuhnya, seolah-olah tubuhnya berubah menjadi magnet berdaya tarik kuat. Besi-besi itu membentuk sebuah armor pelindung.

Lalu, di saat bersamaan, kereta api makin dekat. Peluitnya dibunyikan senyaring dan secepat mungkin temponya. Namun, si kakek tidak bergeser sedikit pun. Dia malah kesenangan menyambut kereta api cepat itu.

Tatapannya berubah jenaka saat kereta api itu beberapa meter lagi menubruk tubuhnya.

Tabrakan pun tak terhindarkan.

Seharusnya tubuh si kakek tua itu terpental dalam keadaan hancur lebur, bukannya malah keretanya yang terpental keluar dari rel.

Gerbong depan kereta api cepat itu remuk di bagian moncongnya, dan beberapa gerbong juga terpental keluar. Kepulan asap hitam langsung keluar dari bagian yang rusak.

Aroma darah dapat tercium meski yang terpekat adalah bau hangus terbakar. Kereta bermuatan ratusan orang itu tergelincir hebat dan badannya hancur.

Si kakek tua tertawa terbahak-bahak.

The Yellow Dollar, sosok yang dituduh sebagai dalang di balik kejadian berdarah bom atom Hiroshima, hari itu mendeklarasikan kebangkitannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top