VILLAIN 4

Suara ledakan kencang yang menggetarkan bumi dan nurani terus bersahutan di sepanjang teriknya siang kala itu. Seperti tak akan berhenti, terus merenggut nyawa-nyawa penduduk bumi, menghancurkan apa pun untuk membuat gentar para musuh bebuyutan.

"Titik koordinat sempurna, TEMBAK!" Teriakan seorang pria berpakaian lusuh dengan muka coreng-moreng mengawali serangan berikutnya.

Sepuluh rudal berdaya ledak tinggi ditembakkan dari moncong-moncong senjata, memelesat menusuk udara dengan gagah berani.

"Titik A sudah hancur lebur, Kapten!"

Laporan itu tentu membuat sang pemimpin pasukan tertawa kesenangan. Namun, dia belum mendapatkan kepuasan. Kota itu harus hancur lebur, dia tak mau tahu.

Sementara itu, di sisi lain, sekelompok orang pun tampak kerepotan. Mereka tidak berseragam tentara, atau memegang senjata seperti manusia-manusia kebanyakan yang bertahan di titik lokasi serangan.

"Serangan makin brutal, Capt!"

Mendengar itu, sepasang mata seorang pria tampak menajam. Bibirnya mengatup rapat; di dalamnya, giginya pun bergemeretak. Ada kobaran amarah yang membakar dadanya.

The Yellow Dollar melangkahkan kedua kakinya di antara puing-puing reruntuhan bangunan yang hampir tak berbentuk. Tidak hanya itu, penampakkan di sekitarnya pun tak kalah memilukan.

Tumpukan reruntuhan yang masih mengepulkan asap terlihat di mana-mana. Bahkan, mayat yang masih mengucurkan darah, dengan tubuh utuh atau hanya berupa potongan-potongan, menyebar di beberapa titik. Menghadirkan pemandangan ngilu dan memilukan.

Konflik militer memang bukan perkara yang bisa dianggap sepele dan selalu merenggut banyak korban.

"Selagi aku di sini, tak akan kubiarkan mereka menghancurkan bangsa ini!" teriak The Yellow Dollar dengan menggebu-gebu.

Dia mengarahkan kedua tangannya, maka terbentuklah sebuah plat pijakan dari besi tepat di bawah kakinya. Dia terbang dengan benda itu.

Sang Pure mulai memusatkan perhatian saat suara gemuruh peluru di langit kembali terdengar.

Pria yang berpakaian ala superhero dengan dominan warna kuning emas—terutama jubahnya; sementara seragam utama berwarna hitam—itu memasang kuda-kuda. Sebagai seorang Pure, dia memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan semua benda berunsur baja dan besi.

Satu rudal tampak mendekat dengan tiga rudal yang menyasar ke lokasi mereka. The Yellow Dollar mengangkat kedua tangannya, membuat plat pijakan besi membawanya terbang memelesat makin tinggi.

"Sebelum kau ledakkan dirimu, hadapi aku dulu!"

The Yellow Dollar mengajak rudal itu bicara, seolah-olah benda bermuatan daya ledak itu adalah manusia.

Namun, dia mengangkat kedua tangannya. Seperti ada daya tarik kuat yang keluar dari tangannya ketika rudal itu mulai mengurangi kecepatan meski tak melambat sepenuhnya.

Pria berkulit hitam dengan wajah khas Asia itu tampak berkeringat banyak saat rudal yang coba ditahannya terus berontak. Bahkan, setelah dia mengeluarkan lebih banyak tenaga, usahanya tak membuahkan hasil.

Rudal itu memelesat, kembali menyasar ke arah yang salah.

Dengan kecepatan tinggi, rudal tersebut akhirnya mendarat dan meledakkan sebuah permukiman penduduk.

Jeritan pilu menyusul setelahnya. Bangunan-bangunan runtuh dalam sekejap. Jalanan dipenuhi manusia dan puing-puing. Kepulan asap dari pembakaran atau bekas reruntuhan, mencemari udara.

"Anakku, di mana anakku?"

"Ayah!"

"Ambulans! Ambulans mana!"

"Sayang, bertahanlah, jangan tinggalkan aku! Ya Tuhan!"

Teriakan-teriakan pilu pun bersahutan. Banyak pendukduk yang memeluk mayat-mayat atau tubuh korban yang sudah sekarat. Darah segar merembes membasahi tanah kering yang penuh debu.

Kepanikan melanda kota. Rudal tadi menyasar beberapa bangunan tepat di pusat kota, terutama sebuah situs besejarah yang menjadi objek wisata dan tengah ramai dikunjungi para pengunjung.

Ternyata serangan tak hanya sekali. Rudal dan bom atom menyusul di beberapa waktu berikutnya, membuat kota makin porak poranda.

Dalam sekejap, siang yang tadinya tenang, hingga malam tiba, kepanikan belum juga mereda. Sebagian penduduk berhasil melarikan diri, sebagian lagi telah menyatu dengan bumi; tertimpa reruntuhan, telah meregang nyawa, terimpit oleh mayat-mayat.

Pemandangan memilukan itu dalam sekejap menjadi perhatian dunia.

***

"Tetaplah hidup."

Sepasang mata itu mendadak terbuka lebar-lebar. Lantas, pemiliknya merasakan sensasi dingin yang merayapi tubuh.

Dia terbatuk dan memuntahkan darah yang bercampur air.

Setelah bermenit-menit terdiam, pria itu akhirnya mulai meraih kesadaran.

Malam yang gelap tetapi ramai oleh kepanikan. Kobaran api di mana-mana. Bau amis darah, bau bensin, bau apak, dan beragam bau tak sedap lain, tercium dari segala arah.

Rasa nyeri yang luar biasa mendera tubuhnya begitu pria itu mencoba menggerakkan kedua tangan dan kaki. Nyaris mati rasa. Namun, dia tak boleh hanya berdiam diri di sini. Terlebih setelah kepingan ingatan terakhir sebelum dirinya tak sadarkan diri, kembali diputar di dalam kepala.

Keramaian kota, ledakan bom, kehancuran.

Ao Hiraga memaksakan tubuhnya untuk berdiri.

Berhasil. Namun, segera dia kembali terjatuh. Kepalanya nyungsep terlebih dahulu, tenggelam ke dasar sungai yang dangkal sehingga membentur beberapa batu.

Ao Hiraga tergemap, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tubuhnya basah kuyup. Namun, dengan kesungguhan tekad, pria itu kembali mencoba berdiri.

Dia melangkahkan kedua kakinya yang nyaris mati rasa, menapaki jalanan yang sudah hancur, membawa tubuhnya yang dipenuhi luka-luka basah. Sepasang matanya tajam menatap ke depan, seolah-olah mencari sesuatu.

Sepuluh langkah berikutnya, pria malang itu kembali tumbang.

"Ada korban yang masih hidup!"

Dia mendengar teriakan itu sebelum kesadarannya benar-benar lenyap.

Beberapa masa berikutnya setelah dia tertidur lelap. Kedua telinganya mulai mendengar keributan yang samar. Lantas, usai menghabiskan waktu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin tenaga, dia mulai bisa membuka kedua mata.

Samar, dia melihat atap ruangan yang berwarna putih. Lantas, ketika menggerakkan bola mata, dia berhasil menangkap pemandangan tirai biru yang mengelilingi kasurnya.

Kasur?

Ao Hiraga mengerahkan tenaganya untuk mengamati keadaan dengan lebih jelas. Lalu, dia menyadari ada kabel oksigen yang menutup hidungnya. Beberapa kabel juga menancap di badannya, terutama bagian dada dan tangan.

Napasnya sedikit sesak.

Di mana aku?

"Pasien nomor 345 telah sadar, tolong segera panggil dokter untuk mengecek kondisinya."

Suara lembut dengan nada cepat itu menarik perhatian Ao Hiraga.

Ternyata ada seorang wanita berpakaian keamanan lengkap khas rumah sakit yang membawa catatan dan bergerak ke sana kemari dengan cepat. Dia mengecek keadaan Ao Hiraga dengan serius.

"Pasien nomor 345 berhasil melewati masa kritis. Sebagian organ tubuhnya berfungsi normal."

"Pemulihan untuk menghilangkan efek paparan radiasinya akan memakan waktu yang cukup lama."

"Ya, beruntungnya rumah sakit ini telah dilengkapi peralatan lengkap untuk itu."

"Ah, benar. Sementara peperangan di luar sana masih belum reda."

Ao Hiraga masih dapat mendengar obrolan itu sesaat setelah dirinya diperiksa hampir satu jam lebih.

Usai diperiksa, dia mulai merasakan ada banyak hal aneh di dalam tubuhnya. Tak heran, tadi dia mendengar bahwa dia sangat beruntung karena menjadi korban peperangan yang masih hidup. Sayangnya, tubuhnya tak utuh lagi. Ada banyak organ yang dikatakan rusak.

"Selamat pagi, Tuan. Bagaimana perasaanmu?"

Itu pertanyaan sama yang selalu mengawali pertemuan Ao Hiraga dengan dokter yang menanganinya—dan sekarang sudah ada tiga dokter berbeda yang mengucapkan kalimat serupa.

Ao Hiraga hanya mengangguk, karena untuk bernapas pun dia masih sangat kesulitan dan mengandalkan alat bantu medis yang merepotkan.

"Little Boy dan Fatman telah benar-benar memporakporandakan Hiroshima dan Nagasaki. Serangan telak dari AS dengan bom atom itu menyasar kota penting yang pada akhirnya membuat Kaisar Hirohito mendeklaraskikan Jepang menyerah tanpa syarat dalam Perang Dunia II tersebut, seperti yang disampaikannya melalui pidato radio, pada 15 Agustus 1945."

Suara dari televisi hitam-putih mengisi ruangan yang teramat hening itu, selain tentu saja bunyi-bunyi dari banyaknya alat perawatan; bau obat-obatan, aroma khas orang sakit yang bercampur dengan bau mesin.

"Paru-parumu masih tidak dapat berfungsi dengan normal, tetapi organ bagian luarmu sudah sebagian pulih. Juga, beberapa bagian tubuhmu tak bisa diselamatkan." Penjelasan dokter itu tak semengerikan kemarin.

Ao Hiraga bahkan sudah sangat tersiksa dengan kondisi tubuhnya yang sekarang. Bahkan, untuk mengambil napas pun dia kesakitan setengah mati. Kemudian, dokter menjelaskan bahwa paru-parunya telah rusak.

Ao Hiraga memilih dan menginginkan lebih baik mati saja. Namun, para tim medis itu kukuh mempertahankan nyawanya.

"Aku mempunyai informasi yang membahagiakan untukmu," kata dokter itu lagi sambil mengecek beberapa kabel fungsi.

Hening.

"Pemerintah memberikan bantuan penuh untuk seluruh korban peperangan, salah satunya yang ada di rumah sakit ini." Dokter itu bergerak mendekati ranjang. "Kau akan mendapatkan operasi gratis untuk menopang kehidupanmu."

Seharusnya dia menolak tawaran—atau bahkan perintah itu. Seharusnya dia tak membiarkan para dokter itu bermain dengan tubuhnya.

Setahun dia habiskan untuk berdiam diri di ranjang rumah sakit, bolak-balik ke ruangan khusus untuk menjalani operasi. Sayangnya, operasi tersebut merupakan malapetaka untuknya.

"Ao Hiraga, pria salah satu korban tragedi bom Hiroshima yang masih bertahan hidup berkat usaha ekstra para pemerintah Jepang. Dia ditemukan nyaris tewas dan menjalani masa-masa kritis yang menyakitkan. Namun, berkat kecanggihan teknologi dan tenaga para ahli, sekarang pria itu dapat kembali menikmati hidup."

Ao Hiraga mendengkus sebal sesaat setelah mendengar narasi sang pembawa berita di televisi. Kedua tangannya yang tak utuh lagi sebagai tangan, mengepal kuat di atas paha.

Bukan hanya sekali dua kali namanya disebut media. Dari koran, televisi, radio, bahkan media berita lainnya, terus menyebut namanya. Bahkan, menjulukinya sebagai 'Manusia robot yang diberi nyawa kedua.'

Ya, Ao Hiraga telah berubah menjadi manusia robot yang diperhatikan dunia. Dia menjadi ikon dari tragedi bom Hiroshima yang mematikan. Sekarang, dia menjalani hidup bak di neraka yang terus dirongrongi media setiap saat.

"Ao Hiraga adalah bentuk kekejaman pemerintah. Mengapa mereka memasang dan menanamkan peralatan yang menyakitkan bagi tubuh manusia? Itu tak lebih dari penyiksaan! Apalagi dia dibiarkan hidup di antara masyarakat yang pastinya masih memiliki trauma."

Suara-suara dari dua kubu terus bersahutan. Namun, Ao Hiraga tak terlalu peduli. Karena yang dia pedulikan sekarang adalah kerinduannya terhadap kehidupan normal dulu, sebelum tragedi pengeboman itu terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top