VILLAIN 3 (b)
"Ketibaanmu sungguh sebuah kejutan."
Tomo langsung siaga. Baru saja dia ingin memejamkan mata, tetapi suara berat yang agak serak itu membuatnya kembali waspada.
"Tenanglah, Nak. Aku tak akan punya kekuatan untuk melawanmu." Pria berpakaian serbaputih yang sedikit bersinar itu berjalan mendekati Tomo.
Dia berjalan di atas air! Melangkah lembut dengan permukaan air yang hanya sedikit beriak. Benar-benar membuat Tomo terkejut. Terlebih saat melihat mukanya. Muka pria tua itu membuatnya menarik diri pada kenangan puluhan tahun silam.
"Apakah kau sudah mengingatku?" tanya pria itu, seolah-olah bisa membaca isi pikirannya.
Tomo tak menjawab, tetapi ingatannya mulai memutar sebuah kejadian dengan jelas. Pria ini adalah biksu yang dulu dibunuh ayahnya di depan matanya.
"Ya, aku malah masih mengingat dengan jelas bagaimana tatapanmu waktu itu, Nak," sambung si pria tua yang sekarang sudah berada tepat di depannya, masih mengambang di atas air.
"Mengapa kau muncul di depanku? Seharusnya kau sudah mati," kata Tomo saking bingung mau mengucapkan apa.
Pria biksu di depannya tersenyum tipis. "Aku ingin menceritakan sebuah kisah panjang kepadamu."
"Untuk apa?" Tomo menatap waspada.
"Agar kau tahu banyak hal, seperti halnya mendiang ayahmu."
Karena pria itu menyinggung ayahnya, jelas Tomo langsung penasaran. Ada hubungan apa biksu ini dengan mendiang Taira? Selain setahunya, pria biksu ini mati di tangan ayahnya karena dianggap penyusup dari klan musuh.
"Nak, takdir adalah misteri terbesar kehidupan. Takdir selalu membawa kita pada situasi yang tak terduga." Pria biksu itu melarikan pandangannya pada pedang yang dipegang Tomo. Jelas membuat Tomo melakukan hal sama dan menyadari sesuatu.
"Apakah kau pernah membayangkan akan menyaksikan pembantaian sadis di depan matamu? Terutama melihat mayat ibumu sendiri."
Tomo membisu. Pria biksu ini jelas bukan orang sembarangan. Karena, bagaimana dia bisa tahu peristiwa pembantaian itu?
"Namun, tahukah, Nak, bahwa kejadian mengerikan itu pun karena ayahmu."
"Tidak mungkin," sangkal Tomo yakin.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Apakah kamu bisa menebak apa isi di dalam danau ini? Dan kalaupun kamu punya tebakan, apakah tebakanmu sudah benar?" Pertanyaan menusuk itu membuat Tomo kembali diam, kehabisan kata.
Si pria biksu berbalik, memunggungi Tomo yang diam menunduk.
"Jiwa manusia di alam dunia itu teramat banyak, seperti air yang terus mengalir, seperti sebanyak buih di lautan. Namun, jiwa mereka kadang seperti tak berharga di tangan orang yang salah."
Entah mengapa, Tomo seperti tak memiliki kekuatan lagi untuk meninggalkan atau bergerak sedikit saja dari posisinya sekarang. Dia hanya bisa diam, ingin mendengar lebih jauh apa yang disampaikan oleh—hantu mungkin—pria di depannya ini.
"Ayahmu ingin menjadi salah satu sumbu takdir. Maka, dia melakukan banyak hal untuk mewujudkan ambisinya." Ada senyuman di wajah keriput si pria biksu yang tak dapat dilihat oleh Tomo. "Musuhmu adalah darah dagingmu sendiri. Klan yang kalian anggap musuh adalah saudara kalian sendiri."
"Tak perlu terlalu melantur!" peringat Tomo gerah.
Namun, pria di depannya sama sekali tak terusik, bahkan tak memiliki ketakutan untuk dijadikan tanggapan terhadap gertakannya.
"Dia telah hidup selama ratusan tahun, berkelana, mencari kedudukan. Dia menciptakan kelompok-kelompok baru yang kemudian berkembang menjadi sebuah klan. Namun, klan-klan tersebut kemudian memiliki ambisi sehingga menciptakan peperangan. Bagi mereka, saling membunuh sudah menjadi kegiatan favorit."
Tomo dapat mendengar nada sinis di akhir kalimat pria itu.
"Apa yang kau rasakan, Nak, saat tahu ibumu dibunuh oleh saudaramu sendiri?" Pria biksu bergerak, sedikit menggeser posisi berdiri dan menolehkan kepala ke kiri. Mengintip bagaimana reaksi pria di belakangnya yang tampak dilingkupi banyak keraguan.
"Anda terlalu melantur," komentar Tomo setelah lama diam.
"Pedangmu, itulah jawabannya. Kelak kau akan menemukan banyak hal yang membuatmu memercayai ceritaku ini." Ucapan penuh keyakinan pria itu membuat Tomo makin merasa sedikit takut.
"Juga, pedangmu adalah benda yang diincar mereka. Ia benda istimewa yang menarik banyak nyawa," sambungnya.
Tomo seketika memandang pedang White Oni di tangan kirinya.
"Tahukah, Nak, apa yang terjadi pada ayahmu? Bukankah kau begitu penasaran akan alasan kematiannya?"
Pertanyaan berikutnya itu membuat Tomo refleks mengangkat pandangan.
"Yokai." Pria biksu itu tersenyum cukup lama. Menampilkan senyuman yang makin terlihat mengerikan.
"Yokai?" Tomo mengernyit bingung.
"Kau pasti pernah mendengarnya? Mereka hidup dari rasa takut dan bingung, mewujud ke dalam beragam bentuk yang akan menyiksa manusia-manusia tertentu." Pria biksu tersenyum lagi. "Ayahmu, di hari kematiannya, dia melihatnya, dia bertemu dengannya."
Penjelasan dan semua informasi yang dibocorkan pria di depannya ini benar-benar membuat Tomo makin kebingungan. Semua info itu tumpang tindih di kepalanya. Jelas dia masih ingat bagaimana luka-luka di tubuh mendiang ayahnya ketika ditemukan usai menghilang semalaman.
"Semua perbuatan dosa yang dia lakukan di masa lalu adalah pilihan untuk bagaimana caranya mati," lanjut si pria biksu.
Tomo menajamkan pendengaran, takut kehilangan setiap huruf yang diucapkan pria di depannya.
"Itu merupakan balasan untuknya, yang telah merenggut banyak nyawa dengan keji, hanya untuk memenuhi ambisi. Meskipun kematian mengenaskan itu belum setimpal dengan banyaknya nyawa tak berdosa yang dia renggut."
Tomo mengerjap saat suara pria biksu serasa makin jauh.
"Nasibmu tak akan jauh berbeda dengannya. Pedang itu telah memilihmu. Maka, bersiaplah untuk pertemuan-pertemuan besar dalam hidupmu. Kau akan menjadi bagian dari bangsa mereka dan memulai kisah penuh darah." Sekarang suara pria itu benar-benar terdengar dari tempat jauh yang dalam.
Lantas, Tomo mendongak dan kaget saat danau indah yang tadi dikunjunginya telah lenyap, malah berganti dengan keheningan yang mencurigakan. Sepasang matanya bergerak penuh waspada, mengamati sekitar dengan teliti.
Ada sesuatu yang terasa ganjil.
Tomo berbalik saat merasakan hawa aneh itu menguat. Seperti ada bahaya besar yang mendekat, mengincar dirinya. Keheningan melanda sekitarnya, seolah-olah semua suara di sana ditelan bulat-bulat oleh sesuatu semacam black hole. Cuaca pun dalam sekejap berubah. Hari makin gelap, hitam pekat.
"Ini berbahaya," gumamnya saat merasakan hawa dingin yang aneh makin menusuk.
Ini bukan sebatas dingin karena cuaca. Ada hal lain yang seperti mencekik.
Tiba-tiba muncul sesuatu yang keluar dari kegelapan dengan merangkak patah-patah. Kerangka itu hidup! Sepasang matanya menyala merah. Tulang-tulangnya berderak di keheningan.
Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Sepasukan kerangka hidup merangkak mendekati Tomo. Mereka datang dari setiap sudut, membuat pria itu terpojok.
"Siapa kalian?" Tomo berteriak, tetapi tak mendapat jawaban. Kerangka-kerangka hidup itu malah terus mendekat.
Tomo tak punya pilihan lain. Dia harus bertahan! Dia harus melawan mereka meski rasanya tidak mungkin.
"Kalian tak akan bisa menyentuhku sedikit pun! Justru akulah yang akan membunuh kalian!" Tomo bisa merasakan aura jahat dari tubuh-tubuh busuk mereka. Namun, dia tak boleh gentar.
Satu ayunan katana yang dipegangnya berhasil merusakkan tubuh salah satu kerangka hidup itu. "Cecunguk-cecunguk seperti kalian tak akan membuatku tumbang!"
Dia menyerang dengan membabi buta. Namun, musuhnya ternyata terus berdatangan. Satu tumbang, dua datang. Banyak sekali kerangka dan tulang-tulang yang berserakan di sekelilingnya.
"Berapa banyak lagi sih kalian?" Tomo mulai merasakan lelah. Tenaganya sudah banyak terkuras. Dia hanya akan kalah jika terus dalam posisi yang tidak menguntungkan ini.
Satu jam berikutnya, Tomo sudah dalam keadaan terdesak. Napasnya putus-putus, tubuhnya sudah dipenuhi banyak luka yang mengucurkan darah segar. Bahkan, setiap dia berpijak, darah segar itu membasahi tanah di bawahnya.
"Aku ... tidak boleh menyerah di sini!" Dia membulatkan tekad di tengah pertarungan yang mulai tak imbang.
Tubuh Tomo terlempar cukup jauh dan membentur pohon. Lima kerangka hidup langsung merangkak untuk menyerbunya.
Dia segera bangkit, meludahkan darah, memegang katana dengan lebih erat.
Denting dari katana yang berbenturan dengan tulang-tulang mengisi keheningan hutan di malam yang gelap itu.
"Akh!" Pria itu kembali terlempar usai mati-matian melawan pasukan kerangka hidup.
Dia benar-benar terdesak. Namun, tiba-tiba pedang di tangannya memancarkan cahaya hangat yang terasa lembut. Kemudian, Tomo merasakan sesuatu mengaliri tubuhnya dengan deras.
"Aku ... kuat?" Dia yakin, ada pasokan tenaga baru yang mengaliri di antara aliran darahnya. Memompa jantungnya sehingga dia merasakan adrenalin baru.
"Aku bisa menumbangkan mereka!" Tomo sudah kembali dalam performa terbaiknya. Tubuhnya kembali terasa ringan, bahkan seperti dapat bergerak dengan cepat.
Jadi, segeralah dia menghabisi pasukan kerangka hidup itu dan membuat mereka hancur berantakan. Tulang-tulang berserakan di tanah. Tomo bahagia melihatnya. Kemenangan akan ada di pihaknya.
"Akhirnya ... akhirnya aku menang!" kata Tomo usai menumbangkan kerangka hidup yang terakhir.
Namun, kesenangannya tak bertahan lama. Suasana yang teramat hening itu berubah lebih mencekam. Hawa dingin terasa lebih dingin dari tadi.
"Aku sudah menunggumu, Tomo."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top