VILLAIN 3 (a)
"NAK, TOLONG SELAMATKAN Ibu!"
Tomo mengerjap membuka mata. Dia turun dari tempat rebahannya sambil mengucek mata. Suara ibunya barusan terdengar begitu jelas.
"Nak, leher Ibu sakit."
Suara itu berasal dari ruang tengah, terdengar pelan dan menyayat.
"Nak, balaskan dendam Ibu terhadap mereka!"
Wanita itu tampak masih ada di sudut ruangan, dengan kondisi yang masih sama saat hari kematiannya.
"Ibu ....."
Tangan Tomo terulur ke udara, menangkap sesuatu yang kosong, yang di bayangannya barusan adalah wajah kesakitan sang ibu—dalam bentuk sepenggal kepala.
Pria itu menghela napas, lantas beranjak bangun dan meninggalkan pembaringannya. Dia menggeser pintu kayu yang masih bergaya sama seperti ibunya masih ada.
Beberapa tahun telah berlalu, tetapi setiap patahan kenangan itu begitu melekat dan abadi dalam kepala, bahkan dalam benda-benda yang pernah bersinggungan dengan mendiang sang ibu.
Tomo mengusap wajah dengan kasar. "Bu, aku merindukanmu," bisiknya pilu.
Kalimat itu entah sudah berapa kali dia sebutkan. Hanya saja, setiap malam sekarang terasa berat baginya. Bayangan kematian sang ibu terus menghantui kepalanya, membuat setiap detiknya tak tenang. Hatinya pun hanya dilingkupi kesedihan, duka, dendam, dan ratapan.
Sekarang rumah luas yang dulu terasa hangat ini telah begitu sepi. Tak ada lagi sosok yang menghangatkan. Tak ada lagi aroma masakan lezat yang membuat cacing-cacing di perut berdemo. Tak ada pula suara lembut seorang wanita yang selalu melantunkan larik-larik kesedihan. Setiap ruangan sekarang terasa begitu kosong dan hanya dipenuhi kesedihan.
Kejadian pembantaian desa beberapa tahun lalu makin menambah derita yang ditanggungnya. Selain ibu, rekan-rekannya pun turut menjadi korban. Sekarang tak ada lagi panggung pementasan, decakan kagum penonton, atau sanjungan dari orang-orang yang mengagumi dirinya.
Namun, meski ada pun, Tomo tak akan bisa kembali ke panggung untuk melakukan kegiatan yang disukai ibunya. Dia tak akan pernah bisa karena seluruh semangatnya telah terenggut. Harapannya untuk hidup pun telah tiada.
Kehilangan sosok ibu membuatnya begitu terpuruk.
Suara ketukan membuat Tomo yang baru saja tertidur dengan menyandar ke dinding, sigap terjaga. Refleks pria itu mengambil pedang White Oni yang tak pernah jauh dari tubuhnya.
Ada yang datang dan Tomo menganggap itu musuh. Maka, dia setengah mengendap dengan pedang siap terayun saat melangkah ke pintu depan.
"Tuan Tomo?"
Tomo terkaget, sama kagetnya dengan pria yang ada di depannya itu. Ah, ternyata dia hanya penduduk biasa yang sepertinya memiliki kepentingan padanya.
"Ada apa?" tanya Tomo usai berdeham canggung. Hampir saja pedang yang dia pegang menyabet leher seorang pria tak berdosa.
"Maaf mengganggu pagi-pagi," katanya sungkan.
Hari memang telah berganti. Suara burung-burung yang berkicau terdengar di atas sana. Langit pun membiru cerah, tanpa awan-awan putih tipis yang biasa menghiasi. Udara terasa segar saat menyapa penciuman. Namun tetap saja, semua itu tak memberi energi positif pada Tomo.
Tomo mengangguk. Wajah suramnya membuat pria itu tampak makin sungkan.
"Tuan Daisuke meminta Anda untuk datang ke kediamannya," lanjut pria ber-hakama hitam.
Mendengar itu, Tomo termenung cukup lama. Sebenarnya dia baik-baik saja—menurutnya, hanya saja untuk meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini teramat berat baginya meski sekadar sebentar.
"Baiklah, aku akan segera ke sana," putusnya kemudian.
Lantas, pria jangkung berotot itu pun pamit undur diri. Tomo menutup pintu, kembali melangkah ke dalam rumah dengan pedang yang sudah disarungkan.
Tanpa membuang waktu lagi, dia segera bersiap untuk berangkat ke kediaman sang paman. Sebenarnya letaknya tak terlalu jauh, hanya perlu berjalan beberapa menit melewati jalan utama pedesaan.
Melalui rumah-rumah semipermanen yang tertata rapi, Tomo berjalan cuek saat para penduduk yang mulai beraktivitas memandangnya. Beberapa penduduk mulai memiliki pandangan lain usai melihatnya lihai menggunakan pedang. Namun, entah mereka kagum, takut, atau hal lain, dia sudah tak peduli.
Akhirnya Tomo sampai di kediaman sang paman. Dia memasuki pelataran rumah yang tampak terawat, berjalan menuju pintu dan disambut sang bibi.
Daisuke Maru tengah duduk termenung di halaman belakang, memandangi langit biru yang tampak cerah dan tenang. Danau kecil buatan tampak beriak tenang di sebelah kiri halaman. Tepat di dekatnya, ada pohon yang hanya tinggal ranting tetapi masih terawat dengan baik.
"Paman."
Pria tua yang tampak sudah ringkih di balik hakama putihnya itu berbalik. Ada senyuman tipis yang menyambut pandangan Tomo, sebelum kemudian matanya beralih pada janggut putih Daisuke Maru yang panjang, alisnya yang putih, serta wajah yang sudah keriput termakan usia.
"Duduklah, Nak!" titah Daisuke dengan suara tuanya yang sedikit serak.
Tomo pun duduk di dekatnya dan merapikan hakama.
Pamannya berdeham. "Bagaimana kabarmu?"
Daisuke Maru selalu menjadikan kalimat itu sebagai salam pembuka saat mereka berbincang. Lalu, Tomo akan memberikan jawaban yang biasa.
"Baik, Paman."
Padahal, Daisuke dapat melihat jelas betapa makin hari keponakannya itu kian terpuruk.
"Aku sudah memintamu untuk tinggal di sini, jadi sesekali menginaplah di sini," kata Daisuke tulus.
Tomo melebarkan senyum sebelum memberikan tanggapan yang juga selalu sama. "Aku lebih nyaman di rumah, Paman."
Selanjutnya, topik itu berakhir begitu saja. Lantas, keduanya menikmati keheningan yang menenggelamkan.
"Aku ingin menceritakan sebuah kisah," kata Daisuke, memecah sunyi.
Tomo otomatis memfokuskan seluruh indra di tubuhnya.
"Taira adalah teman sekaligus sainganku dulu. Dia sosok pekerja keras yang tak kenal kata menyerah." Daisuke memulai kisah sambil menerawang jauh. "Tekadnya begitu bulat, sikapnya ulet."
Diam mendengarkan, Taira belum memberikan respons sedikit pun.
"Salah satu tekadnya adalah mendirikan sebuah klan terkuat yang akan tersohor sampai ke pelosok negeri," sambung Daisuke. Senyumnya seketika luntur. "Namun, waktu adalah misteri. Ayahmu memang sempat menikmati masa jayanya sebagai pemimpin klan dan membawa klan ke titik tertinggi. Sayangnya ..., takdir menghalangi mimpi ayahmu."
Dalam diamnya, Tomo menebak-nebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
"Nak, aku sudah tua, tubuhku sudah ringkih sehingga kesulitan untuk melakukan banyak hal. Klan harus tetap berdiri kokoh, klan harus terus hidup. Harus ada seseorang yang melanjutkan tanggung jawabku."
Ucapan berikutnya dari Daisuke seketika memberikan penerangan di dalam kepala Tomo yang kalut.
"Aku tak ingin klan ini dipimpin oleh sembarang orang, apalagi yang tak memiliki keinginan cerah untuk masa depan klan." Daisuke kembali memandang langit yang mulai berawan. "Nak, aku ingin menyerahkan tanggung jawab mimpi ayahmu padamu, memintamu menaiki kedudukan dan menggantikanku."
Lantas, ada jeda hening yang cukup panjang. Sepasang mata Tomo yang hitam legam itu akhirnya bergerak pelan. Dia mengerjap dan menghela napas. "Aku tidak bisa, Paman, maaf," katanya dengan suara pelan.
Jawaban itu jelas bukan yang diharapkan oleh Daisuke, meski dia sudah menebak kemungkinannya. "Namun, kau darah daging Taira, takdirnya terhubung denganmu."
Tomo tetap menggeleng. Baginya, memimpin sebuah klan jelas bukan perkara gampang. "Tidak, Paman. Aku tidak akan sanggup untuk itu."
Daisuke membiarkan keheningan mengambil alih suasana, sebelum kemudian kembali bicara. "Pikirkanlah lagi, Nak. Kau mungkin menolak, tetapi jika takdir sudah berkehendak, kau hanya perlu melakukannya."
Senyuman tipis Daisuke dipandangi hampa oleh Tomo. Pria itu kembali melarikan pandangan ke sembarang arah.
"Aku tetap tidak akan bisa, Paman," ulangnya yakin.
Tepukan mendarat di pundaknya. Daisuke memandangi maklum keponakannya. "Aku tahu kau akan bisa. Kau sudah dewasa, sudah cukup untuk memimpin," hiburnya, berusaha meyakinkan.
Hanya terdengar hela napas, kemudian tak ada obrolan yang kembali berlanjut.
"Apa itu saja yang ingin dibicarakan Paman?" tanya Tomo usai memutuskan akan melakukan apa setelah ini.
Pamannya mengangguk. "Pikirkanlah baik-baik."
Tomo mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku pamit undur diri, Paman."
Dia lalu berdiri usai mendapat persetujuan dari sang paman.
Obrolan itu jelas membebani pikirannya. Sepanjang perjalanan, hanya tawaran sang paman yang dia pikirkan. Namun, dia tahu, dirinya tak bisa mengambil hal itu. Tanggung jawab itu terlalu besar.
Lalu, setelah semalaman memikirkannya, Tomo mengambil sebuah keputusan yang dia rasa sudah cukup tepat.
Pria itu mengambil pedang White Oni yang tersandar di dinding. Dia mengunjungi ruangan khusus tempat abu kedua orang tuanya disemayamkan, berdoa sebentar di sana, dan mengutarakan beberapa kalimat.
Aku akan pergi, Bu. Aku ingin selamanya bebas, batinnya saat menginjakkan kaki yang pertama ke luar rumah. Tekadnya sudah mantap, maka sekarang tak ada yang bisa menghentikan.
Tomo melangkah cepat meninggalkan desa, dengan hanya membawa pedang peninggalan ayahnya. Dia tak memiliki tujuan, hanya berjalan saja untuk menghindari takdir kata pamannya itu.
Lama berjalan, Tomo mulai memasuki hutan. Udara terasa segar, aromanya pun menenangkan. Pohon-pohon tumbuh rindang, terutama bambu-bambu yang menyebar acak di kanan-kiri jalan.
Pria itu mendongak begitu dia memasuki kawasan hutan lebih dalam. Pohon-pohon besar seolah-olah mengimpitnya; mereka dipenuhi lumut tebal. Tanah yang diinjak pun sudah berubah basah, becek.
Namun, dia kembali berjalan. Sampai kemudian, melihat sesuatu yang menarik di kejauhan. Ada sebuah danau di sana, danau berair biru jernih dengan uap tipis yang mengepul di atasnya.
Entah kenapa, Tomo merasa begitu tertarik sehingga langsung saja mempercepat langkah untuk menghampiri pinggiran danau. Suasana yang tenang membuat hati kelabunya sedikit dapat merasakan ketenangan.
"Ketibaanmu sungguh sebuah kejutan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top