28 Oktober, 17:35 - awal dari sesuatu yang baru
Setelah kepergian Andrew waktu itu, aku dan Andrew bukannya langsung putus atau apa. Kami masih saling mengontak satu sama lain--walau aku masih marah padanya. Bisa dibilang, hubungan kami merenggang.
Pada akhirnya, segala sesuatu di antara kami entah kenapa mulai terasa garing dan hambar. Which is why, setelah tiga bulan menjalani LDR yang lebih banyak dipenuhi dengan diam di depan layar HP dan hanya saling kontak jika ingat, aku dan Andrew memutuskan untuk putus via video call.
Bisa dibilang, kami putus secara baik-baik.
Namun sejak saat itu, aku memiliki ketakutan nggak wajar terhadap kemungkinan kalau suatu hari aku akan patah hati lagi. Oleh karena itu, begitu aku masuk SMA, aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari perasaan jatuh cinta. Cowok, menurut pengalamanku, cuma bisa meninggalkanmu dan mematahkan hatimu.
Dan saat Andrew, yang sudah nggak kudengar lagi kabarnya selama setahun lebih, tahu-tahu muncul kembali dengan video call nggak berfaedahnya sebulan yang lalu, sejujurnya aku masih merasa agak takut kalau Andrew akan menyakitiku lagi seperti dulu.
(Iya, walaupun aku setengah mati nggak mau mengakuinya, sebenarnya aku masih menyimpan perasaan kepadanya.)
But nevertheless, I just go with it. Aku tetap meladeni video call-nya (walau ternyata isinya cuma Andrew yang salah kirim video call ke pacarnya waktu itu), hanya karena sebagian kecil dari diriku masih merindukannya. Aku sama sekali nggak menyangka kalau sesi video call nggak sengaja itu akan mengarah ke sesi-sesi video call yang lain.
Dan aku sama sekali nggak menyangka kalau suatu saat aku harus berhadapan kembali dengannya, dengan cowok yang dulu pernah menyakitiku.
Bahkan percakapan-percakapan video call tidak penting kami sama sekali nggak mempersiapkanku untuk hal ini.
***
Jam setengah tujuh. Aula SMP-ku, yang tiap sudutnya masih kukenal dengan baik, didekorasi layaknya kondangan--terlalu lebay untuk ukuran reuni angkatan, if you ask me. Aku dikelilingi oleh wajah-wajah yang sudah nggak asing lagi, yang masing-masing bergiliran bercerita mengenai kehidupan mereka setelah kami mencar. Sandra, teman sejemputanku dulu yang dulu gemuk dan jerawatan, sekarang malah jadi cantik dan baru saja direkrut agensi modeling. Rian, jagoan gitar angkatan kami, baru membentuk band bareng teman-teman SMA-nya dan sekarang mereka rajin tampil di kafe-kafe tiap malam Minggu. Alia ternyata punya hobi nge-vlog.
Aku tahu aku seharusnya ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka, namun entah kenapa aku nggak bisa berhenti bertanya-tanya dalam hati apakah Andrew akan hadir di reuni ini atau nggak. Berkali-kali aku berusaha meyakinkan diriku kalau Andrew nggak mungkin datang karena 1.) ia tinggal di Bandung dan 2.) jarak dari Bandung ke Bogor amat jauh. Namun, di sisi lain, entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengan Andrew kembali. Mungkin untuk meminta maaf. Membuat segala sesuatu yang salah dalam hubungan kami benar lagi.
Jika saja aku siap.
"Diem-diem aja lo dari tadi, Rin," komentar Alia sambil mengunyah cupcake-nya. "Tumben. Perasaan dulu lo tuh yang paling banyak ngomong, deh."
"Anu," Ad, yang datang bersamaku, menyikut lengan Alia. "Dia gamon. Takut ketemu Andrew lagi di sana, katanya."
"Diam lo, Andi," aku balik menyindir Ad menggunakan nama gebetannya waktu kelas delapan, walaupun apa yang Ad katakan barusan (agak) benar. Kemudian, kepada Sandra, Rian, dan Alia, aku berkata, "Eh, gue sama Ad mau ke toilet bentar, ya." Aku pun langsung menarik lengan Ad keluar dari aula. Kami nggak ke toilet--aku hanya mengajak Ad berlari menuju koridor laboratorium, yang letaknya memang lumayan dekat dari aula walau jauh dari keramaian.
"Gue nggak siap ketemu Andrew, Ad." Aku menghela napas panjang. Berlarian di koridor sekolah dengan mengenakan high heels ternyata jauh lebih menguras tenaga dari yang kukira.
"Hm, sudah kudugong."
"Gue serius ini!"
"Cie," sahut Ad, yang membuatku memutar mata. Kadang-kadang cewek itu memang nggak bisa diajak serius. "Tapi seriusan, deh, kenapa lo nggak bisa santai aja, gitu? Kalaupun dia datang, anggap aja nggak ada. Beres. Selesai masalah."
Aku menghela napas panjang. "Nggak segampang itu, Ad," kataku. Dalam benakku, aku mulai menimbang-nimbang untuk memberitahu Ad mengenai percakapan video call kami selama ini, namun aku takut anak itu langsung mangap-mangap nggak jelas lantaran nggak percaya. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memberi tahu segalanya. "Jadi, tempo hari kan Andrew tahu-tahu ngajak gue vidcall, nih. Walaupun pada awalnya gue terheran-heran--dan dia nyebelin banget, asli--lama-kelamaan gue mulai enjoy gitu ngobrol sama dia. Dan di luar dugaan gue, perasaan suka gue sama dia muncul lag--"
"Ehem."
Kami menoleh ke arah deheman tersebut, yang ternyata berasal dari Andrew, yang sedang berdiri di depan koridor sambil menatap kami kebingungan. Ia menaikkan salah satu alisnya.
Mati.
Mau ditaruh di mana mukaku.
"HALO, ANDREW!" sapa Ad--yang kuduga sedang berusaha memanas-manasi keadaan--dengan nada yang kelewat ceria. Ia kemudian berjalan menghampiri Andrew dan menyenggol lengannya. "Lama ya, kita nggak ketemuan."
Andrew masih menatapku (mati mati mati mati mati) dan berkata, "Tadi gue kayak denger ada yang bilang kalo dia habis vidcall-an sama gue terus baper..."
Ya Tuhan, bunuh adek di rawa-rawa.
"Lo kangen gue, ya, Rin?" tanya Andrew dengan nada sok-pede-menjengkelkannya seperti biasa. Persis kayak di video call.
"Cih, apaan." Aku berusaha untuk terlihat senetral mungkin.
"Udah, ngaku aja kalo lo kangen." Andrew mulai mendekat padaku. Dalam hati, aku heran kenapa Andrew bisa terdengar begitu santai, begitu Andrew, namun serius dalam waktu bersamaan. "Karena gue juga kangen sama lo, Rin. Vidcall absurd kita selama ini bikin gue sadar kalo selama ini gue udah nyia-nyiain hubungan kita begitu aja. Gue tau gue waktu itu salah--dan gue mau minta maaf."
Aku menggeleng. Kali ini, aku benar-benar nggak bisa berbohong lagi. "Nggak papa," jawabku. "Gue maafin, kok. Dan oh, BTW, gue juga kangen sama lo." Kemudian, sambil mencubit pipi Andrew, aku berkomentar, "Ugh, lo tuh nyebelin tapi ngangenin, tau nggak."
"CIE IRIN ANDREW! CIE BALIKAN!"
Aku dan Andrew menoleh ke arah suara--yang berasal dari Ad, yang rupanya masih mengamati kami dari kejauhan sedari tadi.
"PAAN SIH LO? SYUH, SYUH," aku dan Andrew balas berteriak.
[ f i n ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top