24. Harapan

"YU'ZAR!"

"YU'ZAR!!"

"YU'ZAR!!!"

Aku meneriakkan namanya berulang kali. Tak kudapati suaranya membalasku. Aku kehilangan kontak dengan Yu'zar sesaat setelah pesawatnya meledak. Anra masih berkutat dengan pesawt-pesawat musuh yang berdatangan. Satu melawan empat, hampir mustahil.

Aku terus memegangi kepalaku yang semakin pusing. Aku memantau layar yang menunjukkan perbedaan jarak antara Viatrix dan kapal musuh semakin signifikan.

"Anra, kembalilah ke hanggar. Sekarang!" ucapku.

"Tidak!" teriaknya.

"Tolonglah."

Dia tidak membalas setelah itu. Aku kembali menatap layar sembari berharap dia mengikuti perintahku. Dia melawan pasukan terakhir musuh, dengan teriakan yang muncul di saluran komunikasi.

"Matilah kalian, yang hidup tapi tak berjiwa!" Begitulah An berteriak, sangat melengking hingga memekakkan telinga. Aku bisa rasakan semua perasaannya berpadu, membentuk nada yang siapa saja tak ingin mendengarnya.

Aku memandangi pantauan radar dengan perasaan tak percaya. Anra mengalahkan musuh-musuh di sekitarnya, satu demi satu hingga bersih. Aku memunculkan tampilan kamera kokpit milik Anra. Aku bisa melihat medan pertempuran, di mana pesawat milik Anra berkelok-kelok, menembak, dan membuat pesawat musuh meledak seketika.

Tampaknya tak ada yang mustahil selagi cahaya harapan masih bekerlapan.

"Maaf, Kapten, aku akan segera kembali," ucapnya, membuatku yakin dia benar-benar berhasil mengalahkan pesawat musuh.

Aku mengembuskan napas kencang. "Bagus. Tapi tolong, lain kali jangan gegabah. Aku ... tidak ingin kehilangan lagi."

Aku menundukkan kepala. Terakhir kali pesawat Yu'zar terdeteksi layar berada di arah sekitar 30 derajat dari timur menuju timur-selatan. Sementara jalur putaran kapal akan menuju barat, dan musuh berada di utara. Artinya jarak kami akan semakin jauh karena kami akan bergerak berlawanan arah.

"Kapten, Kapal sudah siap berputar." Qamary memberi peringatan.

Sementara itu, aku menunda keputusan untuk membuat kapal lebih jauh. Mungkin jika Viatrix berputar ke arah lain, kesempatan untuk menemukannya akan jadi lebih tinggi. Aku begitu yakin Yu'zar masih hidup, tetapi aku tak bisa begitu saja mengubah rencana.

"Putar kapal!" ucapku, dengan berpura-pura tegar. Aku tahu, ini seperti aku meninggalkan Yu'zar yang menghilang. Tetapi aku harus melakukannya, untuk Viatrix.

Kapal mulai berputar. Di layar, sebuah trayektori muncul berkat perangkat Vidi yang mampu menganalisa. Kapal akan melintasi sebuah lintasan yang melingkari kapal musuh, lalu melarikan diri.

Pecundang, memang. Di saat pertempuran, yang kupikirkan hanyalah melarikan diri. Tetapi menjadi pecundang lebih baik daripada menjadi debu antariksa.

"Kapal sudah berputar, Kapten!" ujar Qamary.

Aku masih menatap layar holografik dengan tajam. Tepatnya aku melihat ke pantauan radar di mana pesawat milik Yu'zar terakhir kali terlacak. Aku terhanyut dalam lamunan, tatapanku juga menjadi kosong.

"... Kapten!"

Suara seorang terdengar, tetapi lamunanmu membuatnya menjadi samar.

"Serangan datang, Kapten!"

Aku terperanjat. Lamunanku seketika pecah. Sebuah serangan membuat kapal berguncang. Aku hingga terhempas dan berteriak. Layar anjungan berkedip merah, mengindikasikan sebuah bagian kapal menerima kerusakan.

Aku segera bangkit menuju meja kendali. "Perkuat perisai, daya penuh!" titahku.

Kapal masih dalam lintasan, tetapi musuh juga membelokkan kapalnya sehingga jaraknya mendekat. Dalam analisa trayektori, aku bisa melihat kemungkinan kapal musuh bisa mencegat Viatrix dalam waktu yang tak lama. Aku membuat keputusan yang buruk.

"Kapten, kapal musuh ikut berbelok. Menurutku kita harus berbelok menjauhinya lagi supaya jaraknya aman." Qamary memberikan rencananya.

Aku menerimanya, karena kupikir itu adalah solusi paling masuk akal untuk saat ini. "Lakukanlah."

"Kapten, mereka juga mengirim beberapa serangan. Tapi karena kita berhasil menjauh, akurasinya jadi menurun," timpal Pedra.

"Baguslah. Tetap pada rencana."

Kapal Viatrix perlu mengambil lintasan melingkar yang lebih jauh lagi. Mau bagaimana, sebuah kapal yang ukurannya beberapa kali lipat lebih besar ada di depan kami, sementara beberapa komponen pertahanan kami sudah tak berbentuk.

Apa ini yang seorang perompak lakukan di medan tempur? Melarikan diri seperti bocah yang ketahuan mencuri di toko permen. Namun bukankah Etheri yang dipimpin Kapten Raye hancur lebur karena mereka tak mau mundur? Apa ... apa yang seharusnya aku lakukan?

"Kapten, sebuah cahaya terdeteksi," ucap Saviela.

"Cahaya? Cahaya apa?"

Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Tetapi cahaya itu mengarah ke kapal musuh."

"Jangan-jangan ...."

Cahaya tadi menyerang kapal musuh, menciptakan rangkaian ledakan di lambung kapalnya. Ledakan tadi tampak jelas dari anjungan, membuat sebelah kiri jendela pantau terlihat silau.

"Periksa dari mana datangnya!"

Aku memperkirakan stasiun Bulan Pertama Erenam-lah yang menyerang, sebab aku pernah menggunakannya untuk menyerang musuh. Namun setelah kugunakan, senjata itu perlu waktu yang lama untuk mengisi penuh tenaganya.

Saviela menjawab, "Serangan itu datang dari Bulan Pertama, Kapten."

"Mustahil!"

"Itu benar. Kapal musuh menerima kerusakan, tetapi tidak langsung hancur. Artinya, tenaga meriamnya masih separuhnya." Euize menimpali dengan perkiraannya.

Benar juga. Meski meriam itu menyerang dengan sebagian tenaganya, tetap saja membuat silau dan menghasilkan kerusakan yang dahsyat. Bahkan telingaku bisa mengira-ngira suara ledakannya akan seperti apa.

Inilah tanda untuk maju.

"Arahkan Viatrix menuju musuh!" titahku dengan teriakan lantang.

Viatrix berbelok lagi, kini mendekati kapal musuh yang tak bisa bergerak. Musuh mengirim serangan, tetapi perisai Viatrix mampu meredamnya. Jarak tembak sudah semakin dekat, dan aku semakin siap untuk memberi perintah.

"Serang!" teriakku. Meriam utama Viatrix langsung menyerang seketika. Membuat ledakan dan meninggalkan lubang di lambung kapal musuh. Situasi berbalik begitu cepat.

Anjungan berguncang beberapa kali akibat menerima serangan. Mereka tak bisa menjauh, jadi mereka hanya bisa menyerang dan berharap kami mundur.

Namun, aku tak akan mundur lagi.

"Tambah lagi!" seruku.

Musuh tampak semakin dekat, hingga begitu jelas terlihat dari jendela pantau. Viatrix meningkatkan frekuensi tembakannya, sehingga kobaran api muncul di sebelah lubang-lubang. Namun, mereka masih tidak gentar, setidaknya belum.

Sebuah serangan diterima. Kali ini, guncangannya lebih kuat. Aku segera memeriksa bagian yang mana yang terkena dampak.

Layar menunjukkan bagian belakang kapal menerima kerusakan berat, sehingga kinerja pendorong tidak optimal dan kecepatan kapal yang menurun.

"Kita semakin dekat dengan musuh, Kapten!" ujar Qamary. Kendati kecepatan kapal yang menurun, jarak kami dengan musuh semakin terpangkas.

Aku segera memikirkan langkah selanjutnya supaya musuh tak berbalik unggul. Kami tak akan bisa melarikan diri dengan cepat jika Viatrix terkena serangan telak.

"Kita bergerak melingkari musuh. Maksimalkan perisai di sebelah kiri kapal. Serang!"

"Yera-Yera Yo!" Awak anjungan kembali meneriakkan sorakannya.

Kapal berbelok, lalu memutar melingkari musuh dengan lintasan yang berlawanan arah jarum jam. Hanya bagian kiri kapal yang akan menerima serangan jika musuh menyerang, sehingga pertahanan di sini sana harus maksimal.

Meriam masih tak henti memuntahkan laser bertenaga tinggi. Sementara musuh juga masih belum menyerah ingin menembak jatuh Viatrix.

Perlahan tapi pasti, musuh semakin kehilangan kekuatan. Satu per satu meriam mereka takluk dengan serangan kami. Begitu juga dinding baja yang mulai memerah dan meleleh.

Sementara itu, beberapa pesawat berukuran besar yang dimuat kapal musuh mulai meninggalkan induknya yang hampir menjadi bangkai. Satu per satu pergi menjauhi kekacauan.

Kami menang? Ya! Kami menang.

Serangan meriam Viatrix berhenti ketika kapal musuh itu tak mampu menembak lagi. Semua awaknya mungkin sudah jauh meninggalkan kapal besarnya, tak terlihat di radar. Sementara itu, si kapal sendiri sudah menjadi mayat.

Seluruh awak bersorak. Baik yang di anjungan, yang bisa kudengar langsung, atau yang ada di bagian lain kapal yang terdengar melalui saluran komunikasi. Aku sendiri tak kuasa. Jangankan untuk bersorak, berbicara saja sudah tak sanggup.

Tubuhku langsung mendarat di atas kursi. Aku langsung menutupi wajahku dengan telapak tangan, karena kutahu air mataku akan langsung mengalir setelahnya.

Di tengah riuh riang, aku menangis.

Sebuah transmisi muncul di saluran suara. Orang-orang terdengar sedang bersorak juga, tetapi mereka bukanlah awak kapal ataupun perompak. Merekalah orang-orang yang bekerja di stasiun Bulan Pertama.

"Yera-Yera Yo!" seru mereka, persis seperti yang seluruh awak Viatrix lantunkan.

Aku buru-buru berdiri menghadap layar. "Tuan Roic?!"

"Kapten Milla, sejak saat ini, kami bukan lagi bagian dari Serikat, dan kami ingin menunjuk Anda sebagai pemimpin kami."

Benar saja, merekalah yang menyerang kapal musuh dengan meriam pertahanan stasiun, dan mereka baru saja memulai pemberontakan.

Tuan Roic melanjutkan ucapannya, "Dan kami akan sangat tersanjung jika seluruh awak kapal Viatrix menganggap Sistem Erenam sebagai rumah."

"Yera-Yera Yo!" sorakan itu kembali terdengar.

Aku baru saja menaklukkan sebuah planet? Ya! Aku menaklukkan sebuah planet!

"Tentu. Erenam adalah rumah untuk Viatrix mulai sekarang!"

Anak buah kapal langsung menggaungkan sorakan lagi. Tak berhenti seolah pita suara mereka tak kenal lelah.

"Kami mengandalkanmu, Kapten," tutup Tuan Roic sebelum suaranya menghilang dari saluran.

Aku kembali duduk di kursi. Bersandar sembari menengadahkan kepala. Pandanganku mengarah menuju jendela pantau yang begitu jelas menghadirkan suasana ruang angkasa, ditambah dengan bahkai kapal besar yang baru saja Viatrix taklukkan.

Awak anjungan melantunkan nyanyian yang menyebut namaku berulang kali. Sementara itu aku hanya terdiam menatap ruang hampa seperti orang putus asa yang tak berdaya. Aku tak bisa menunjukkan rapuhnya diriku untuk saat ini.

Aku segera berdiri menghampiri meja kendali. Terlihat anak buah kapal yang menoleh ke arahku seketika. Sumpah, energi mereka tak habis-habis untuk meneriakkan sorakan.

"Anak-Anak, aku tahu kita sedang senang. Tapi, apakah kita masih bisa menemukan Yu'zar?"

Pertanyaanku membuat suasana menjadi hening seketika. Awak anjungan tampak bepikir keras, bahkan beberapa langsung beralih ke kursi masing-masing. Memang tampak buruk ketika aku menghancurkan euforia yang sedang berlangsung, tetapi Yu'zar adalah keluarga Viatrix juga.

"Maaf, aku malah mengacaukan suasana," timpalku.

Qamary membalas, "Tidak, Kapten. Justru momen ini membuat kami lupa. Kami yang harus minta maaf."

"Baiklah. Ayo kita cari Yu'zar!" perintahku.

Mendengar ucapanku, awak anjungan tak lagi menggaungkan sorakan. Suasana anjungan begitu sepi layaknya terhubung langsung dengan ruang angkasa.

Viatrix memutar haluan, bergerak menuju timur-selatan di mana Yu'zar terakhir kali terdeteksi radar. Bangkai kapal besar yang jadi musuh kami pun ditingalkan, membuatnya harus menunggu untuk didatangi pencuri kapal yang senang mempreteli bagian-bagiannya dan menjualnya. Pertempuran yang benar-benar menguras tenaga, bahkan hingga sekarang, tubuhku masih berkeringat.

Kami akhirnya tiba di area pertempuran yang melibatkan Yu'zar. Sisa-sisa pesawat musuh berupa plat baja kecil bisa terlihat dengan pantauan optik. Aku menilik layar, lalu sesekali beralih ke jendela pantau.

"Aku memperkirakan pesawat Yu'zar bisa terdeteksi dari sini. Tapi radar masih belum bisa mendeteksi," ucap Qamary.

"Sistem radar kapal rusak, Kapten. Makanya ia tidak bisa mendeteksi," tambah Saviela.

Aku mengusap wajah. Harapan untuk menemukan Yu'zar seakan sirna. Mencari sesuatu di antariksa dengan bantuan mata telanjang tak akan menghasilkan apa-apa. Sementara ruang angkasa itu begitu luas, dan pesawat Yu'zar relatif kecil jika dibandingkan dengan benda langit yang bahkan tak semudah itu terlihat.

"Kita tak akan bisa menemukannya, Anak-Anak. Aku ... aku tidak yakin."

Awak anjungan ikut kecewa mendengarnya. Mereka menundukkan kepala, menutup muka, bahkan berlinang air mata. Harus kehilangan anggota keluarga lagi tentunya sangat menyakitkan. Begitu juga untukku, yang sedari tadi berusaha menahan tangis, berpura-pura harapan masih ada.

Tidak. Harapan pasti masih ada meskipun hanya secercah cahaya lilin di tengah gelapnya antariksa.

"Tunggu! Pesawat punya sistem radar, bukan?" tanyaku. Awak anjungan kompak menoleh dengan wajah terkejut. "Hubungi Natela segera supaya dia menyiapkan pesawatnya. Aku punya rencana."

Aku segera meninggalkan anjungan, berlari menuju hanggar. Tak peduli apa yang terjadi di anjungan setelahnya. Gerak kakiku begitu kencang, tetapi melambat lama-kelamaan seiring dengan napasku yang terengah-engah.

Aku terjatuh dengan otot kaki yang terasa sakit sembari terbatuk-batuk. Namun, aku tak bisa terlalu lama terjatuh dan segera bangkit. Kakiku berat untuk dibawa berlari lagi. Aku berteriak, tak peduli akan ada yang mendengar. Aku kembali berlari.

Akhirnya, hanggar sudah terlihat. Beberapa orang pun ada di sana, langsung memberi sambutan kepadaku, juga mengucapkan harapan mereka supaya aku bisa menemukan Yu'zar. Aku berhenti di depan pesawat kargo milik Natela sembari mengatur napas.

"Sudah siap?" tanyaku.

"Tentu, Kapten. Ayo, kita akan segera menemukan Yu'zar."

Tadinya aku menundukkan kepala. Tetapi setelah mendengarnya, aku menatap perempuan itu dengan tatapan paling yakin. Aku mengangguk, lalu segera mengikutinya menuju pesawat.

Aku duduk di belakang kursi pilot. Bisa kukatakan beberapa perangkat di kokpit sudah ketinggalan zaman. Namun, aku tak begitu menghiraukannya. Yang kupikirkan hanyalah untuk menemukan Yu'zar.

Kami lepas landas langsung menuju ruang angkasa.

Pandanganku tak teralihkan dari layar persegi yang menampilkan pantauan radar. Layar itu bukanlah layar holografik, seperti yang aku bilang "ketinggalan zaman" tadi. Sementara Natela begitu fokus memacu pesawatnya.

Aku melihat titik berkedip di layar. "Bukankah itu ...?"

Natela teralihkan dan menilik layar setelahnya. "Aku akan memeriksanya."

Pesawat diarahkan menuju titik yang terdeketsi. Kami semakin dekat, hingga akhirnya bisa melihat benda yang terpantau. Namun, benda yang kutemukan bukanlah pesawat milik Yu'zar, melainkan bangkai pesawat yang tinggal setengah badannya.

Natela memperhatikannya lewat jendela. "Sepertinya itu bukan Yu'zar."

"Tunggu!" titahku. Aku memperhatikan benda itu begitu serius. "Kau punya pakaian pelindung, bukan?"

"Tentu, Kapten. Memangnya untuk apa?"

"Aku akan memeriksa benda itu secara langsung," jawabku.

Natela memutar kursinya sehingga bertatapan langsung denganku. "Kau yakin? Benda itu tak tampak seperti pesawat Yu'zar."

"Biarkan aku melihatnya," ucapku. Natela hanya membalas dengan anggukan.

Aku dibawa menuju kabin pesawat untuk meminjam pakaian pelindung. Kabin pesawat paling buruk di Galaksi ini menyimpan satu set pakaian pelindung yang bisa digunakan untuk keadaaan darurat. Aku dengan segera mengenakannya dan bersiap untuk meluncur langsung ke ruang angkasa.

Natela berbicara denganku dari balik pintu kokpit melalui saluran radio. "Kau bisa mendengarku, Kapten? Perangkat keselamatan sudah siap semuanya."

"Terima kasih. Aku akan segera pergi."

"Semoga beruntung. Aku tahu betul Yu'zar begitu berarti untukmu," balasnya.

Aku menarik tuas untuk menurunkan pintu belakang. Udara di dalam kabin langsung disedot keluar, bersamaan dengan pintu yang perlahan membuka. Aku melihat angkasa raya dengan begitu jelas.

Aku segera melompat keluar, langsung menuju ruang hampa. Aku merasa begitu takut. Ruang angkasa tak terbatas, tak ada atas, tak ada bawah. Hanya ada kegelapan abadi dan kesunyian tak henti.

Pendorong di punggungku mengarahkanku terbang seorang diri. Menuju bagian depan pesawat, lalu semakin dekat dengan objek temuan. Akhirnya aku bisa menyentuh benda itu, dan menilik ke dalamnya.

Benar, Yu'zar ada di dalam.

Aku segera mencari cara untuk membuka kanopinya. Kutekan sebuah tombol, lalu dikeluarkanlah semua udara dari dalam. Setelahnya, kanopi kokpit mulai terbuka. Namun, ketika kanopinya baru terbuka sedikit, perangkatnya macet sehingga tak terbuka lagi.

"Yu'zar!" teriakku, tak peduli dia akan mendengarku atau tidak.

Aku berusaha mengangkat kanopi itu dengan bantuan pendorong. Akhirnya kanopi itu terbuka sehingga aku bisa langsung menghampiri lelaku itu.

Aku meneriakkan namanya lagi. "Yu'zar!"

Lelaki itu sedang terpejam di atas kursi pilot. Aku mengguncang-guncang tubuhnya berkali-kali, lalu coba menggoyang-goyangkan helm pelindungnya. Kuteriakkan lagi namanya, tetapi sekeras apa pun aku berteriak di antariksa, tiada seorang yang bisa mendengarku.

Aku mulai menitikkan air mata di tengah kesunyian. Jika tak ada seorang yang bisa mendengar teriakanku, aku berharap seseorang bisa mendengar tangisku.

Tiba-tiba telapak tanganku digenggam oleh seseorang begitu lembut. Aku segera menatap lelaki itu. Yu'zar perlahan membuka matanya. Dia mendapati diriku sedang menangis.

Dia berucap, tetapi aku tak bisa mendengarnya. Seperti dua kata yang biasa aku dengar, jika aku perhatikan gerak bibirnya.

"Aku tak mau kehilanganmu. Tidak mau!" teriakku dengan kencang, sederas air mataku mengucur. Aku harap dia mendengar ucapanku.

Aku akhirnya bisa membawa Yu'zar menuju pesawat Natela. Pintu langsung tertutup seketika kami berhasil tiba, dan udara langsung ditiupkan untuk memenuhi kabin. Yu'zar sendiri langsung terjatuh lemas dengan pakaian pilotnya masih terpasang.

Aku mencoba membantunya bangkit, tetapi aku tak begitu kuat. Aku hanya bisa menolong melepaskan helm tempurnya. Terlihat wajahnya yang pucat dan lemas dengan mata yang masih sayu.

"Terima kasih, Kapten," ucapnya.

Aku duduk sembari menyandarkan kepalanya di atas pahaku. "Kau akan baik-baik saja."

Dia terlihat memejamkan matanya. "Aku juga, Kapten," ucapnya yang tak bisa aku mengerti maksudnya. Dia melanjutkan, "Aku juga tidak mau kehilanganmu."

"Eh?" Aku segera mengalihkan pandangan. Dadaku berdegup kencang, dan mungkin pipiku memerah saat ini. Meski memang memalukan, aku justru senang sebab dia bisa mendengar ucapanku tadi.

Aku tak ingin kehilangannya.

-----

Kami menapaki daratan kering berbatu oranye. Langit terlihat kuning dan berdebu, tetapi tak segelap pemadangan ruang angkasa yang selalu membuatku kesepian. Tak ada satu pun orang tinggal di atas daratan oranye ini. Memang bukan sebuah planet yang masuk kriteria laik huni, tetapi setidaknya aku bisa menikmati pemandangan Erenam yang baru pertama kali aku lihat.

Erenam jauh lebih indah ketika aku lihat langsung ketimbang ketika aku melihatnya dari daratan Bulan Pertama saat itu. Aku sendiri tinggal di Bulan Pertama setelah pertempuran hebat yang terjadi beberapa hari lalu. Saat ini, Yu'zar mengajakku untuk berjalan-jalan di Erenam, planet induk dari dua bulan yang sudah kutaklukkan.

"Ternyata begini rasanya menapaki sebuah planet yang katanya tidak layak huni," ucapnya. "Bagaimana, Milla? Kau suka?"

Sebenarnya perasaan ini begitu asing. Di luasnya daratan Erenam yang terhampar, hanya ada dua orang yang berdiri di atasnya. Namun aku sangat suka, selagi Yu'zar bersamaku.

Aku menatapnya dan menganggukkan kepala. Lalu aku menggenggam tangannya, begitu erat layaknya aku tak ingin melepaskannya. "Terima kasih," balasku singkat.

Yu'zar menatapku sambil memberi senyuman di wajahnya. Dia balas menganggukkan kepala, dengan jemarinya yang bertaut dengan milikku.

Aku ingin menginjakkan kakiku di daratan hijau suatu saat nanti. Ingin menghirup udara segar dan mencicipi sejuknya air paling bening. Aku ingin melihat banyak warna yang terlukis di langit, baik yang terang atau yang gelap seperti yang biasa kulihat di ruang angkasa. Dan yang paling penting, aku ingin melihat semua itu dari pantulan di bola matanya yang sebiru langit cerah dan lautan.

Kini, aku tahu, tak semua harta karun berwujud benda. Semua pemandangan yang pernah kupandangi indahnya, dan semua kejadian yang pernah kurasakan pahit manisnya. Juga semua orang yang membawa kapalku mengarungi hampanya sang Galaksi hingga sejauh ini. Semuanya berharga.

Dan orang yang berdiri di sampingku jauh lebih berharga bahkan jika dibandingkan dengan materi paling langka di alam semesta. Dialah harta karunku.

Aku ingin melihat setiap sisi Galaksi, bersamanya.

Perburuan harta karun berlanjut
di Volume 2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top