22. Keputusan untuk Meninggalkan
Sebuah kapal baru saja meninggalkan Bulan Pertama. Ialah sebuah kapal tongkang yang panjangnya 300 etrogal, jauh lebih panjang dari Viatrix yang hanya dua pertiganya. Desainnya benar-benar tak menarik mata, rupanya hanya seperti balok superbesar yang punya mesin pendorong di bagian belakang. Ia mengangkut bebatuan hasil tambang, termasuk logam ere-var yang nilainya tinggi.
Bicara soal ere-var, satu kontainer penuh berisi logam khas Bulan Pertama Erenam ditinggalkan di dekat pelabuhan tambang. Untuk apa? Tentunya dijual kepada pihak lain secara diam-diam.
Dari puncak kubah stasiun tambang, aku melihat area bawah. Banyak jejak yang ditinggalkan kendaraan tambang di atas daratan berdebu. Sebuah lubang berukuran besar juga terlihat, tampak gelap di bagian tengahnya.
Tuan Roic menghampiriku. Dia datang ditemani oleh Natela. "Apa semuanya terkendali, Kapten?"
"Jangan khawatir. Aku tidak akan membuatmu terlibat dengan kekacauan kemarin," ucapku.
"Bukan. Maksudku, pengiriman kontainer yang satu lagi. Kau tahu, kan?"
Aku mengalihkan pandanganku. "Ah, soal itu ya? Aku bilang kepada pembelinya untuk segera menghubungi Anda, Tuan."
"Baiklah kalau begitu," balasnya singkat.
Pikiranku soal pertempuran dengan kapal Serikat kemarin tak bisa kuhindari sesaat saja. Aku tak ingin melibatkan Tuan Roic meski dialah orang yang mendukung tindak-tandukku di sini. Dia tidak bersalah, meskipun orangnya licik dan mau saja ikut rencanaku menjual sebagian hasil tambangnya lewat jalur belakang.
"Tuan, yang kemarin anggap saja ulah perompak. Kau bisa laporkan aku karena sudah membajak stasiun dan mengalahkan kapal Serikat."
"Lalu menjebloskanmu ke tahanan?" Tuan Roic menggeleng pelan sembari terkekeh. "Kau tidak perlu khawatir. Saat ini, kita sama-sama mendapat untung, dan aku tidak ada niat untuk melaporkanmu. Sebaliknya, aku malah ingin mengajakmu bekerja sama."
"Kerja sama?"
"Benar," jawab pria tua itu dibarengi dengan angukan antusias. "Dengan menjual satu kontainer saja, para bawahanku bisa membeli mobil model terbaru, masing-masing satu. Bayangkan, jika lebih banyak ere-var yang bisa kita jual, kita akan semakin kaya."
Aku berjalan meninggalkan pria itu. "Tidak. Kapalku harus meninggalkan tempat ini."
"Tunggu sebentar!"
Kakiku berhenti melangkah. Tubuhku berbalik. Sebenarnya aku sudah tidak tertarik dengan uang banyak yang bisa dihasilkan di sini. Setelah insiden yang terjadi kemarin, Viatrix dan semua anak buahku pasti berada di bawah ancaman. Belum lagi para penyintas yang berhasil mengungsi. Aku tak bisa selalu memikirkan tentang keuntungan atau semacam itu.
Aku menjawab, "Tidak, Tuan. Aku mungkin saja tertarik dengan semua yang bisa aku dapat di sini. Tapi, sekarang prioritasku adalah keselamatan. Keselamatanmu, juga keselamatan anak buahku. Makanya aku akan meninggalkan tempat ini, dan sebaiknya kita tidak saling terlibat lagi."
Natela ikut berjalan di sampingku. Kami berdua hendak menuju galangan tempat Viatrix berada.
Aku berhenti sejenak. "Selain itu, Tuan Roic, kau orang yang licik."
Aku dan Natela berjalan beriringan. Wanita itu sama sekali tak berkutik, mungkin karena canggung dan kami pun belum saling mengenal begitu lama. Dia sudah menjalankan perintahku untuk menjaga tempat ini dengan baik selama Viatrix berada di pertempuran.
"Kapten," dia memanggilku. "Apa kau yakin untuk pergi dari sini?"
Aku hanya bergumam sembari mengangguk.
"Aku bisa mengerti," balasnya. "Sifat tamak itu seperti musuh dalam selimut, bukan?"
Aku berhenti melangkah, begitu juga Natela yang terkejut. Benakku memikirkan kalimat itu berulang-ulang.
"Ada masalah?" tanyanya.
Kami berdua terdiam di depan terowongan menuju galangan. "Tidak masalah. Ayo," ajakku.
Lantai berjalan membawa tubuhku menyeberangi terowongan. Kupandangi area luar melalui dinding transparan. Erenam sedang tidak terbit, dan Bulan Kedua pun tak terlihat. Yang kudapati hanyalah daratan berbatu yang hampa udara, kering, serta tandus yang ditemani langit yang tak pernah cerah.
Siapa sangka tempat seperti ini menyimpan harta karun?
Natela berkata, "Pasti sulit menjadi kapten, terutama di saat-saat seperti ini. Bukan begitu, Kapten?"
Aku membalasnya dengan bercanda. "Apa kau pernah bertanya seperti itu kepada kapten lamamu?"
"Yah, sebenarnya dia orang yang baik, meski sedikit aneh." Perempuan itu sedikit menahan tawanya.
Natela tampak sama sekali tak terpukul setelah tahu Kapten Raye tewas dalam kekacauan yang terjadi kemarin. Namun, aku sama sekali tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin dia menyimpan perasaan duka begitu dalam, sama seperti awak Etheri lainnya.
Atau justru dia senang? Tidak, aku rasa orang sebaik dia tak bersikap demikian. Tak mungkin juga aku menyimpan prasangka buruk kepada Natela.
Aku hanya berharap semoga Kapten Raye beristirahat dengan tenang dan seluruh mantan anak buahnya yang selamat baik-baik saja di Viatrix.
Kami berdua berada di ujung terowongan. Di depan, bangunan besar yang digunakan sebagai galangan sudah terlihat. Tubuh violet milik Viatrix yang memanjang serta menjulang tinggi pun bisa aku pandangi dari jauh, sedang terparkir. Di depan, sudah tampak pintu samping yang biasa digunakan sebagai akses keluar-masuk.
Natela terdiam. "Kapten duluan saja. Aku ... ingin menikmati pemandangan sekali lagi."
"Kau takut bertemu teman-temanmu di Etheri, kan?" tanyaku, langsung pada poin yang ingin kutuju. Pasti sulit bagi Natela. Wanita muda itu bisa saja dicap sebagai pengkhianat setelah kabur dari kapalnya. "Tak apa. Aku yakin mereka akan menerimamu lagi."
Aku meninggalkannya supaya dia bisa menyesuaikan dirinya. Setelahnya, aku masuk ke dalam Viatrix melalui pintu samping. Aku ingin memberitahukan semua anak buah kapal tentang rencanaku untuk meninggalkan Bulan Erenam. Namun, aku tidak akan pergi ke anjungan lalu memberi pengumuman lewat saluran pemberitahuan internal. Aku ingin mencoba cara baru, berkeliling kapal dan memberi tahu kepada anak buah yang aku temui.
Yah, dengan cara ini, aku bisa sedikit menyingkirkan rasa jenuh, sekaligus bisa bertemu dengan anak buah dengan bertatap muka langsung.
Yang pertama aku datangi adalah ruang makan. Para awak kapal tengah asyik dengan kegiatan mereka. Ada yang makan dengan tenang, ada yang tertawa dan bicara keras, ada juga yang tengah bermain beberapa permainan sembari pura-pura berkelahi.
Namun, mereka semua hening ketika aku memasuki ruangan.
"Kapten datang!" ucap seorang anak buah, seorang pria dengan janggut tebal. Luan namanya, salah satu awak senior di kapal.
"Lanjutkan saja keseruan kalian. Sebentar lagi, kita akan meninggalkan Bulan Pertama Erenam."
Awak kapal hanya diam dan membisu bak manekin. Setelahnya, mereka seketika meninggalkan tempat duduk mereka lalu berkerumun di depanku.
"Benarkah, Kapten?"
"Ke mana kita akan pergi?"
"Peta harta baru?"
Beberapa anak buah dengan hebohnya melemparkan pertanyaan hingga aku tak sempat memperhatikan mulut siapa yang berbicara. Aku mengangkat tangan sejenak, memberi tanda untuk senyap.
"Kita akan menemukan tempat baru yang lebih baik. Percayalah," ucapku.
Seorang perempuan memanggilku lantang di tengah keramaian. "Kapten!" ujarnya.
Aku melihatnya baru tiba dari ruangan dapur utama. Perempuan itu mengenakan apron serta mengenakan ikat kepala yang menutupi rambut hitamnya yang sebagian dicat merah. "Kau--"
"Izinkan aku dan teman-temanku ikut bekerja di sini, Kapten."
Benar, dialah salah satu mantan anak buah Kapten Raye. Dari pakaiannya, tampaknya dia baru saja membantu tukang masak mengerjakan pekerjaan mereka. Begitu pula beberapa kawannya yang lain.
Aku mengangguk. "Kalian bisa bekerja di mana saja kalian mau. Kecuali anjungan karena tidak ada kursi kosong," balasku sembari sedikit bergurau.
"Kau benar-benar menerima kami, Kapten? Kami yang sebelumnya ingin sekali kau terusir dari sini? Kau yakin?!" ujarnya. Nadanya terdengar heran, selaras dengan tatapan tajam yang dia arahkan.
"Tentu," jawabku. Singkat, tetapi aku menjawab dengan perasaan paling yakin.
Dia tertunduk di depanku secara tiba-tiba, tersedu-sedu. Aku segera mundur beberapa langkah. Aku merasa tak pantas membuat seseorang harus membungkuk kepadaku, apalagi di depan orang-orang. Aku bisa merasakan perasaan kehilangan harapan yang mendekapnya, yang meluap-luap hingga memaksanya terisak.
"Kaulah penolong kami!" ucapnya berkali-kali. Tak kalah keras dengan suara isak tangisnya, tak kalah deras dengan air matanya.
Aku berlutut di depannya. "Sudahlah, angkatlah kepalamu."
Wajah putus asanya yang masih berlinang air mata menghadap kepadaku. Aku segera memegang pundaknya.
"Jika kalian menemukan tempat yang lebih baik, pergilah. Tapi, jika kalian merasa Viatrix itu rumah baru kalian, aku tak akan menolak sama sekali."
Aku mengulurkan tangan, menolongnya bangkit. Setelah berdiri, aku pandangi wajah-wajah yang tertunduk, larut dengan suasana.
"Dengarkan. Kita semua mengalami masa yang sulit, tetapi kita akan kuat jika saling menolong," ujarku kepada anak buah kapal.
Tak biasanya aku mendapati suasana hening di kapal ketika anak buah berkumpul. Tak ada satu pun mereka bersorak-sorai layaknya biasa. Jangankan bersorak, bisikan saja tak kudengar.
Perempuan tadi tampak sedikit mengintip ke arah punggungku. Aku berbalik, mendapati Natela yang baru saja datang. Perempuan itu berlari dan memeluk Natela sembari menangis.
Sungguh, aku ingin menangis. Namun, tak bisa kulakukan itu di depan anak buah kapal yang tengah berkerumun. Mereka cepat bangkit, dan jika aku menampilkan betapa rapuhnya diriku, mereka akan ikut runtuh lagi.
Akhirnya aku meninggalkan ruang makan. Membiarkan para anak buah berbagi kesedihan. Percayalah, yang seperti itu justru akan membuat kami menjadi lebih kuat.
---
Hanggar adalah tempat kedua yang aku datangi. Pintu berbentuk trapesium setinggi dua orang dewasa terbuka secara otomatis. Aku kini berada di lantai atas hanggar. Ternyata aku bertemu dengan Saviela. Anak itu melambaikan tangannya kepadaku.
"Kapten!" panggilnya. Dia sedang berada di dekat pagar, mungkin sedang melihat-lihat keadaan sekitar. Aku menghampirinya.
Suasana lantai bawah hanggar masih sama seperti sebelumnya. Pakaian dan kain panjang dibentangkan menjadi alas tidur. Sementara kain tebal seperti handuk digunakan sebagai selimut. Ada belasan orang yang harus tidur di hanggar seperti gelandangan, karena kamar di kapal ini tak mampu untuk memuat mereka.
Sementara itu, beberapa anak buah kapal ikut menggelandang, setidaknya hingga jam tidur. Mereka bersiaga di hanggar, menemani teman-teman baru mereka. Untuk sekumpulan orang yang pernah saling lempar ejekan, mereka mudah berbaur.
Aku dan Saviela berdiri berdampingan sembari menyandarkan lengan di pagar. Suasana hanggar tampak jelas di hadapan. Saviela mengajakku sedikit mengobrol.
"Barusan, aku memberi tahu orang-orang tentang rencanamu pergi dari Bulan Pertama."
Aku bertanya kepada Saviela, "Kau sudah beri tahu orang-orang, kita akan pergi dari sini?"
Dia mengangguk sembari memberi senyum. "Tentu! Semua orang di hanggar sudah tahu."
"Terima kasih," balasku. "Sebenarnya, aku ke sini hendak memberi tahu mereka."
"Ayolah, itu pekerjaanku sebagai awak bagian komunikasi. Menyebar informasi kepada semua anak buah itu termasuk komunikasi, kan?"
Aku mengarahkan pandanganku kepada gadis di sampingku. Kami seumuran, tetapi tubuh Saviela lebih pendek dariku, yang justru membuatnya terlihat lebih muda.
Dia bertanya, "Memangnya kita akan ke mana?"
"Altxoria, tempat para perompak berkumpul. Di sana, kita bisa mempersiapkan perjalanan kita selanjutnya."
Tempat tujuan yang jadi rencanaku adalah lokasi rahasia. Hanya para perompak yang tahu, dan sebagian kecil masyarakat Galaksi. Namanya sulit ditulis, tetapi bisa dieja dengan "Alsoria". Tuan Matakrom tinggal di sana ketika kabar tentangku yang berhasil terbang ke Daerah Belum Terjelajah sampai ke kupingnya.
"Orang-orang langsung bertanya tentang tujuan kita selanjutnya. Bahkan yang kakinya pincang langsung cepat menghampiriku." Dia mengeluh soal anak buah kapal yang sering rusuh.
"Yah, tadinya aku ingin turun ke bawah sambil menyapa beberapa orang. Mereka tampak sedang sibuk ini-itu," ucapku.
"Kapten kapal sepertimu tak perlu serepot itu. Yu'zar sudah ada di sana, kok."
Saviela menunjuk sosok lelaki berawak tinggi dengan rambut putih-peraknya yang tampak mencolok di tengah keramaian. Yu'zar sedang mondar-mandir membawakan gerobak makanan untuk para penyintas. Dia juga memberikannya secara langsung.
"Beruntung sekali aku, ada orang sepertinya di sini."
"Beruntung karena kau punya pasangan yang baik?" tanya Saviela menggodaku.
"Bukan! Dia bukan pasanganku. Dia wakilku."
Dia mendekatkan wajahnya, menatapku tajam sembari memberi senyum yang menjijikan. "Benarkah?"
"Diamlah, aneh." Kalau aku tega, sudah kutampar dia.
"Ya sudah. Tahu rasa nanti kalau kurebut." Saviela langsung diam setelah itu, tetapi ekspresi wajahnya masih saja seperti orang mengejek.
Aku masih menolak untuk menatap Saviela. Kadang dia sedikit menjengkelkan, tetapi menyenangkan. Meski begitu, bercanda tentang lelaki ketika orangnya ada di sini tentulah tidak asyik. Bisa-bisa aku dibuat malu dan kehilangan harga diri.
"Hei, jika aku tidak mengusir Kapten Raye, mereka tidak akan kesusahan seperti ini, bukan?" celetukku. Aku menundukkan kepala. "Maksudku, mereka tak perlu kehilangan kapal dan pemimpin mereka."
Telapak tangan Saviela mendarat di tanganku. Lembut, memberikan perasaan begitu nyaman. Pandangan mataku mengarah ke sepasang bola mata berwarna biru gelap.
"Tak perlu membuat kilas balik seperti itu. Semua hal bisa diambil hal baiknya. Contoh gampangnya aku. Kalau telingaku tidak bermasalah, mana mungkin aku punya telinga sibernetik yang keren seperti ini." Dengan bangga Saviela menunjuk benda yang menempel di telinga kirinya.
Saviela benar-benar orang berjiwa positif. Dulu sekali, Saviela kecil ditemukan di sebuah kapsul mengambang, sebelum orang-orang di kapal ini mengasuhnya seperti anak mereka. Dulu, dia tak bisa bicara, bahkan mendengar, padahal aku sudah lancar membaca dan ingin membacakan dongen untuknya. Dari serangkaian nasib buruk yang dia dapat, dia masih bisa menunjukkan senyumnya hingga sekarang.
Wajahnya selalu berseri setiap hari.
Aku membalasnya, "Yah, mungkin aku tak akan bertemu orang luar biasa seperti dirimu." Dari sekian banyak pujian yang ingin aku ujarkan, hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dia tertawa. "Lalu siapa yang akan membuat Kapten Milla Mazcira tersenyum jika aku tidak ada di sini, ha? Terima kasih dulu kepadaku, yang banyak!" Saviela bercacak pinggang sembari mendongak.
"Terserah!" Aku menggelitiki perutnya hingga dia terkekeh-kekeh dan jatuh ke lantai. Aku lanjut saja mengerjainya, kalau bisa sampai mengundang anak buah yang ada di bawah untuk melihat Saviela tertawa seperti anak kecil. Seperti masa lalu, ya.
---
Anjungan riuh oleh dua-tiga suara berbeda. Awak anjungan melaporkan kesiapan kapal untuk angkat kaki dari Bulan Pertama Erenam. Sementara aku menatap ke dinding transparan, melihat ruang angkasa di hadapan. Viatrix akan kembali berlayar.
"Semua awak kapal sudah berkumpul di kapal, Kapten! Seratus persen siap," ujar Saviela.
"Mesin sudah siap." Euize mengacungkan ibu jarinya.
Qamary memutar kursinya. "Rute siap. Tujuan kita: Altxoria."
Yu'zar memanggilku, "Kapten." Aku menoleh kepada sang wakil kapten yang berdiri di sebelah kiriku. "Persiapan sudah selesai."
"Baiklah. Terbang sekarang!"
Viatrix keluar dari galangan besar milik stasiun tambang. Terbang bebas lagi di ruang hampa. Dari layar, aku bisa melihat kubah raksasa stasiun tambang dan galangan kapal yang dibangun di sekelilingnya. Mereka tampak mengecil, mengecil, dan mengecil, hingga yang bisa kulihat hanyalah batu abu-abu yang tampak layaknya bulatan sempurna di tengah kegelapan.
"Selamat tinggal, Erenam," ucapku, sembari mengingat semua yang terjadi di sini. Mulai dari ketika aku menaklukkan stasiun tambang, serangan tiba-tiba yang menghancurkan Etheri, hingga melayang-layang di daratan Bulan Pertama bersama Yu'zar.
Viatrix berlayar lagi di tengah laut gelap abadi. Dari layar, kulihat Erenam kini hanya terlihat sebesar kepalan tangan, dan bulan pertama terlihat seperti kelereng. Sementara dari jendela depan, tampak si bulan kedua yang sebagian tubuhnya lebih gelap.
"Viatrix sudah siap melompat ke ruang cahaya," ucap Vidi.
Aku menoleh ke arah Yu'zar yang tangannya sudah siap di atas tuas. "Ayo," ucapku. Dia membalasnya dengan anggukan yang begitu yakin.
Tiba-tiba, sebuah kapal muncul begitu saja--dari ruang cahaya lalu berhenti--di depan Viatrix. Jaraknya dekat, mungkin kurang dari satu menit lagi Viatrix bisa menabraknya. Kapal itu besar, aku perkirakan hampir dua kali lipat ukuran Viatrix, berwarna abu gelap, serta memiliki senjata yang jauh lebih kuat.
"Kapten!" Yu'zar berteriak.
Aku juga ikut berteriak, menyela ucapannya. "Putar kapal!" titahku dengan spontan.
Viatrix memutar haluan. Tubuhku terhempas ketika kapal ini berbelok dengan cepat guna menghindari kapal besar itu. Yu'zar menahanku dengan sigap, sehingga aku bisa berdiri lagi dengan cepat.
"Kapal berhasil berputar, Kapten!" seru Qamary dengan nada suara lemas sembari terengah-engah.
Aku menilik pantauan optik yang menunjukkan kapal yang baru saja datang. Yu'zar menatap layar dengan mata menyipit dan alis yang turun, tampak serius. Begitu juga awak yang lain, hingga mereka bangkit dari kursi dan mendongak ke arah jendela.
"Kapten, ada pesan!" Saviela berteriak.
"Sambungkan."
Suara samar-samar muncul di saluran komunikasi. Tiba-tiba muncul suara berat seorang pria yang terdengar familiar. Suara seorang ....
"Lama tak jumpa, Kapten Milla."
"Kau—"
Telingaku seolah menolak suara itu. Dialah Cox, seorang perwira Serikat yang dulu sempat menjadi tawanan Viatrix. Kali ini dia datang dengan membawa sebuah kapal tempur antariksa berukuran lebih besar yang menyergapku.
Viatrix kini seperti seekor ikan yang dicegat seekor hiu lapar, menunggu untuk dilahap secara brutal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top