21. Keputusan untuk Tinggal
Suasana hangar yang biasanya hanya berisikan mesin-mesin dan orang-orang tertentu berubah menjadi tempat pengungsian. Pesawat yang ditumpangi awak Etheri yang selamat berhasil mendarat di hangar. Atas perintah Kapten, awak Viatrix ikut turun tangan untuk menyelamatkan mereka yang terluka.
Begitu pesawat itu mendarat, banyak awak kapal termasuk beberapa awak anjungan yang langsung menghampiri lantai pendaratan. Aku melihat mereka, orang-orang yang selamat dari kapal Etheri yang hancur lebur. Mereka berdesak-desakan di kabin sebuah pesawat pengangkut barang.
Awak Viatrix menghampiri kabin pesawat yang sumpek dipenuhi orang-orang yang terluka. Satu per satu digotong keluar, satu per satu berjalan dengan sendirinya. Dengan kaki pincang, tangan menutup luka, bahkan merangkak.
Aku menggendong seorang lelaki bertubuh kurus dengan pakaian bernoda darah. Kapten mengikutiku dengan segera. Aku dan Kapten dihampiri seorang perempuan berambut hitam yang sebagiannya dicat merah. Dialah perempuan yang sebelumnya menghubungi Viatrix di tengah pertempuran.
Kapten bertanya, "Di mana Kapten Raye?"
Tak terlihat goresan sama sekali di tubuhnya. Tak seperti sebagian besar awak Etheri yang selamat. Perempuan itu tak menjawab. Setelah menghampiri sesama awak Etheri tadi, perempuan itu langsung mengobati lelaki yang tengah meringis kesakitan.
Tidak. Dia menolak untuk menjawab.
"Jangan-jangan, Kapten Raye–"
Perempuan itu menyela kalimatku. "Benar. Kami tak berhasil menyelamatkannya. Kapten merasa dirinya tak bisa meninggalkan kapal, dan ingin semua anak buahnya bisa pergi dengan selamat."
Di tengah huru-hara yang terjadi di hangar, aku terdiam mengarahkan tatapanku kepada perempuan itu. Wajahnya terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan perasaannya.
Jika dibandingkan dengan awak Kapal Etheri yang megah, penyintas yang datang terbilang begitu sedikit. Aku dan Kapten memperkirakan ada sekitar 30 orang yang berhasil menyelamatkan diri.
Dan Kapten Raye, bisa dibilang mengorbankan dirinya supaya seluruh anak buahnya bisa melarikan diri.
Kapten menghampiri si perempuan berambut merah di ujungnya dan menepuk pundaknya. "Aku turut berduka. Sangat berduka."
"Kapten," panggil awak Etheri itu.
Aku dan Kapten hendak meninggalkan perempuan itu untuk memeriksa penyintas lainnya. Tetapi perempuan itu memanggil Kapten sehingga kami berdua menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya seketika.
"Di antara awak kami yang ada di sini, bisa saja ada yang menyetujui kehendak Kapten Raye untuk mengusirmu dari sini. Tapi, kenapa kau malah menyelamatkan kami?"
Pertanyaan itu begitu dalam. Ketika pertempuran sedang membara, aku bahkan tak berpikir untuk menyarankan Kapten agar segera menyelamatkan Etheri yang hampir karam di ruang hampa. Namun, aku melihat Kapten yang berpikir dalam-dalam pada saat itu.
Jika menilik ke belakang, Kapten Raye bukanlah orang yang berlaku baik bagi kami. Dengan terang-terangan, dia memberikan julukan merendahkan yang sama seperti perompak senior di luar sana. Setelahnya, Kapten Raye bahkan menantang Kapten Milla untuk memperebutkan daerah Bulan Pertama Erenam.
"Karena Edeatu dibentuk dari uluran tangan," Kapten Milla menjawabnya. Lantas perempuan itu hanya terdiam, bahkan lupa untuk melanjutkan pengobatan kepada lelaki tadi.
Kami berdua menuju lantai atas hangar. Dari atas, tampak orang-orang yang masih sibuk. Kapten tampak begitu saksama memperhatikan semua penyintas. Aku berdiri di sampingnya.
"Kamar medis tidak akan memuat mereka semua," ucapku.
"Benar," Kapten berdengus. "Bahkan hanggar pun terlihat begitu padat."
"Kau benar-benar ingin menolong mereka?" tanyaku.
Kapten menopang dagu di atas pagar pembatas sembari memandangi kesibukan di area hangar. "Tentu. Mereka perlu ditolong."
Aku masih terbayang dengan percakapan Kapten dengan salah satu mantan anak buah Kapten Raye.
"Bagaimana jika salah satu dari mereka membencimu?"
"Tidak apa. Kewajibanku hanya menolong. Setelah mereka bisa jalan kembali, mereka bisa pergi dari kapal ini jika mereka mau," jawabnya.
"Kapten. Jika kita membawa mereka menuju Stasiun Bulan Pertama, pasti akan lebih mudah," kataku. Kapten yang bersandar pada pagar logam sembari melihat area bawah mengalihkan pandangannya kepadaku. "Maksudku, stasiun tambang pasti punya fasilitas kesehatan yang memadai. Lagi pula, kapal ini bukan kapal medis, jadi bisa saja kita kekuarangan alat kesehatan."
Kapten menopang kepalanya. "Ide yang bagus."
Kami terdiam. Aku melihat Kapten masih mempertahankan posisi yang sama untuk waktu cukup lama. Sementara aku memperhatikan anak buah kapal yang perlahan mulai mengontrol situasi. Beberapa pengungsi dari Etheri sudah berhasil diobati. Mereka menjabat tangan, berpelukan, bahkan kembali tertawa dan bergurau dengan awak Viatrix seakan kapal mereka tak terkena hantaman serangan penuh energi sebelumnya.
Sementara para awak mulai pulih, Kapten belum. Dari samping, aku memperhatikan dirinya yang selalu menutup muka.
"Ini pasti sulit," ucapku, mencoba menenangkan suasana.
Dia hanya mengangguk.
Aku kembali memandangi suasana hangar yang mulai sembuh. "Lihatlah mereka. Sekitar setengah jam lalu, kapal mereka hancur, tapi mereka kembali tertawa."
"Bagaimana jika hal itu terjadi kepadaku? Kepada kita?"
Pertanyan Kapten membuatku tak bergeming.
"Apa aku siap mengorbankan diriku untuk anak buahku? Seperti Kapten Raye, atau seperti ayahku?"
Aku tak menjawab pertanyaannya, tepatnya tidak bisa. Tak ada yang begitu berani menjawab pertanyaan tentang kematian, bahkan pengorbanan diri. Akhirnya tak ada satu dari kami yang berucap lagi.
Aku memberanikan diri untuk memanggilnya, "Kapten."
Sosok perempuan yang tengah termenung di sampingku menatapku.
"Sebenarnya, kau tidak perlu berpikir sejauh itu," sambungku.
"Kau benar. Aku hanya takut," Kapten Milla membalas. Kepalanya kembali tegak, menatap ke arah pemandangan di hangar. "Mereka pulih begitu cepat, sedangkan aku jatuh terlalu lama."
Anak buahnya berhasil membangkitkan kembali diri para penyintas. Betul, mereka pulih begitu cepat. Aku merasakan ungkapan bahwa Edeatu dibentuk dari uluran tangan memanglah nyata. Aku bukan orang yang mudah menghafal wajah, tetapi wajah-wajah benci awak Etheri ketika mereka mendatangi kapal ini beberapa hari lalu masih terbayang, dan kini berubah menjadi senyuman yang cerah.
Aku ingin menangis, sumpah.
"Aku tahu, kau begitu terpukul, Kapten. Tapi kita perlu bangkit lagi, seperti mereka."
Kapten memberi anggukan. "Benar. Kita harus kembali bekerja." Kapten menghadap ke arahku. "Awak anjungan yang lain sedang sibuk di ruang medis, dan kapal akan berlabuh di Stasiun Bulan Pertama tidak lama lagi. Jadi, kita harus mengurusnya. Ayo!"
Aku memberi anggukan. "Ayo."
-----
Aku dan Kapten sedang berada di anjungan yang sepi. Hanya ada kami berdua serta segala perangkat dan layar yang masih menyala. Di depan meja kendali, Kapten mengutak-atik beberapa tombol dan menyesuaikan tampilan pada layar utama.
"Delapan menit lagi menuju Bulan Pertama," katanya.
"Apa ada yang bisa aku bantu?" tawarku. Mengendalikan kapal seorang diri pasti sulit.
"Mari kita lihat ...." Kapten terlihat seperti melirik ke berbagai arah secara bergantian. "Tolong ubah mode kendali menjadi manual."
Aku menatapnya. "Kau yakin?"
"Mengapa tidak?"
Aku hanya mengagguk, lalu melaksanakan apa yang Kapten perintahkan.
Kapal ini lebih banyak menggunakan sistem kendali semi-otomatis, ketimbang manual atau otomatis sepenuhnya. Di berbagai kasus, kami perlu mengendalikan kapal ini sendiri, sehingga kami tidak menyerahkan semua kendali kepada Vidi (dia asisten, bukan nahkoda). Sehingga, kesalahan sistem kecerdasan buatan dan keteledoran awak anjungan sama-sama bisa diminimalisir.
Namun Kapten Milla mencoba mode manual untuk saat ini.
"Gunakan mode inersia," titahnya lagi.
Aku sudah melakukan semua perintah Kapten. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku.
"Lihatlah." Kapten menekan sebuah tombol di atas meja kendali lalu mundur beberapa langkah. Setelahnya, dari bawah lantai, muncul sebuah kotak kira-kira setinggi pinggangku. Dari kotak itu, muncul sebuah roda kemudi. Kapten memandangi roda kemudi itu seperti menatap seorang anak kecil. "Selamat datang kembali," ucapnya.
"Itu--"
Kapten menoleh lalu mengangguk. "Ini roda kemudi yang digunakan untuk mengarahkan kapal dalam mode manual. Mau coba?"
Aku berdiri di sampingnya, lalu mengambil alih setir kemudi yang Kapten gunakan. Aku berusaha agar setir logam ini tak berubah arah dan menyebabkan kapal ini harus pindah jalur.
Jika aku membelokkan roda kemudi ke kiri, maka sistem propulsi kapal di sebelah kanan akan bekerja lebih keras, dan yang sebelah kiri akan menurunkan tenaganya. Sehingga setelahnya kapal akan berbelok ke kiri. Begitu pula sebaliknya jika aku memutar ke kanan.
Mengendalikan benda raksasa yang melayang di antariksa ternyata punya sensasi tersendiri. Berbeda dengan ketika aku menjadi pilot sebuah pesawat yang ukurannya lebih kecil.
"Bagaimana?" tanya Kapten.
Aku tertawa kecil. "Kalau boleh, aku ingin mengemudikan kapal ini lagi nanti. Sekarang kita tidak bisa berbelok, dan aku ingin memutar kemudi kencang-kencang hingga Viatrix berbelok."
Kapten ikut tertawa. "Yah, sepertinya kita harus memanggil awak anjungan sebentar lagi. Akan merepotkan kalau hanya kita yang mengendalikan kapal ketika berlabuh."
"Betul juga. Kalau aku memegang kemudi, mana mungkin aku memerintahkanmu untuk menurunkan kecepatan kapal, menyesuaikan ketinggian, dan menyambungkan jembatan."
"Eh, siapa bilang kau akan pegang kemudi?"
Aku dan Kapten tertawa lebih kencang dengan serentak.
Layar utama menunjukkan perhitungan waktu menuju ketibaan di Bulan Pertama Erenam. Sementara itu, dari anjungan sudah tampak sebuah bola berwarna abu-abu pekat. "Dua menit lagi," ucapku.
Kapten mengangguk. Dia mengarahkan tangannya, mendarat di tangan kiriku yang tengah memegang roda kemudi. "Kalau lebih lama, kau bisa mengemudikan kapal ini lebih lama juga. Sayang sekali ya."
Aku menatapnya, lalu menurunkan tanganku dari roda kemudi sehingga kami berpegangan tangan.
Kapten Milla mengarahkan tanganku supaya kembali ke setir kapal. "Jangan diturunkan!"
"Baiklah."
Hanya sedikit lebih lama lagi, ya?
Bulan Pertama Erenam tampak makin besar. Kurang satu menit lagi menuju pendaratan.
Kapten berbicara melalui radio kapal. "Perhatian. Kepada semua awak anjungan, segera menuju anjungan. Cepat! Cepat!"
"Sudah saatnya menggunakan mode semi-otomatis?" tanyaku.
Kapten mengangguk. Aku segera mengembalikan mode kendali kapal seperti semula. Kapal akan segera mendarat di Bulan Pertama. "Kita akan tinggal di sini lebih lama lagi."
Selang beberapa detik, awak anjungan sudah kembali menuju pos mereka masing-masing.
"30 detik menuju pendaratan. Kurangi kecepatan, atur jalur, lalu sambungkan dengan penambat," titah Kapten.
"Yera-Yera Yo!"
Galangan kapal sudah terlihat. Viatrix sudah siap untuk segera berlabuh dan beristirahat selepas pertempuran.
"Viatrix berhasil berlabuh!" ucap Saviela yang suaranya terdengar lantang.
Kapten dan aku serentak mengembuskan napas kencang. Lalu kami berdua saling menatap.
"Kapten," panggil Qamary. "Jembatan sudah tersambung."
"Baiklah," jawabnya. "Dengarkan aku, Anak-Anak. Kalian semua tahu Kapten Raye ingin mengusir kita semua dari sini, tetapi kita tak bisa menyimpan dendam. Tolonglah semua orang yang selamat, dan rangkul mereka. Edeatu dibangun dengan uluran tangan."
Semua awak anjungan berbaris dan menghadap ke arahku dan Kapten. Setelahnya mereka segera meninggalkan anjungan.
"Aku akan ikut menolong," ucapku.
Kapten tersenyum kepadaku. Begitu manis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top