20. Perburuan

Tujuh hari setelah pendaratan di Bulan Pertama Planet Erenam.

Segala rencana yang aku buat berjalan dengan begitu lancarnya seperti sebuah komet yang meluncur bebas. Di tengah ruangan di puncak kubah stasiun tambang, pesawat kargo mondar-mandir membawa muatan. Begitu juga mesin derek berat yang tertancap di atas permukaan berbatu. Bisa terlihat lubang tambang dari sini, entah seberapa dalamnya jika diukur dari permukaan tanah. Orang-orang berpakaian set baju pelindung pun terlihat, tetapi begitu kecil layaknya seekor semut.

Semua orang benar-benar bekerja keras. Terutama setelah mereka mendengar jumlah keuntungan yang bisa mereka dapat.

Cih, ternyata di bagian Galaksi mana pun, orang-orang berotak licik tetap saja ada.

Yu'zar menghampiriku dengan membawa sebuah tablet di dekapannya. "Sudah malam, Kapten. Sebaiknya kau tidur."

Aku menggeleng. "Nanti saja. Aku ingin melihat orang-orang yang sedang bekerja. Mereka bahkan belum tidur. Memangnya sekarang jam berapa?"

"Delapan malam waktu stasiun. Lagi pula, mereka yang bekerja sif malam."

"Yah, aku rasa aku memang perlu tidur." Aku memanggil Kepala Stasiun, Pak Roic. "Tuan, selama ini seluruh anak buah Anda bekerja dengan keras. Terima kasih," ucapku ketika seorang pria tua berperwakan kurus menghampiriku.

"Justru kami yang berterima kasih, Nona Muda. Jika semua hasil tambang diserahkan kepada perusahaan tambang Serikat, yang kami dapat hanya gaji bulanan. Sementara gajiku saja sudah tertunda sekitar dua bulan. Entah kenapa mereka begitu terobsesi dengan kolonisasi dunia baru."

Aku menjabat tangannya. "Kalau begini, kita sama-sama diuntungkan."

"Peperangan yang terjadi dengan penduduk asli membuat banyak orang sengsara, ditambah lagi Republik Antarbintang yang ikut-ikutan. Padahal semua hal bisa diselesaikan dengan jabatan tangan, seperti kita, juga seperti yang terjadi di planet asalku," papar Tuan Kepala Stasiun, Tuan Roic, yang menceritakan sedikit tentang latar belakang dirinya.

Aku menatap ekspresi datar Yu'zar.

"Kalau begitu, kami hendak kembali ke kapal. Terima kasih juga sudah menyediakan tempat di galangan," ucapku, pamit kepada Kepala Stasiun Roic.

Aku dan Yu'zar turun dari ruang kendali menggunakan elevator super cepat. Yu'zar pernah berkata, ketinggian di puncak kubah seperti ketika berada di gedung pencakar langit. Jadi sudah tidak mungkin jika pekerja di stasiun perlu menggunakan tangga untuk mobilitas. Boros tenaga.

Kami tiba di jembatan menuju galangan kapal. Ruang transparan satu arahnya langsung memberiku pemandangan malam abadi di tanah lapang berbatu. Planet Erenam juga tampak, tetapi terlihat lebih kecil ketimbang ketika aku dan Yu'zar melihatnya dua hari lalu.

Pengalaman yang luar biasa, ya, saat itu.

"Erenam?" Yu'zar menoleh ke arah planet oranye yang melayang di langit.

"Indah, bukan?"

Lelaki itu memberi senyuman lebar ketika aku menoleh ke arahnya.

Lantai bergerak tak mengizinkan kami menikmati suasana langit gelap terlalu lama. Kami berdua tiba di kapal kami, Viatrix.

"Kapten, aku akan ke ruanganku," ucap Yu'zar.

"Yu'zar!" panggilku ketika lelaki itu melangkah. "Selamat malam."

Dia berbalik dan memberikan senyuman.

Alarm berdengung ke seluruh penjuru lorong. Lampu interior berkedip merah, membuat orang-orang di sekitar bertanya-tanya. Mereka mulai berlarian, sebagian lagi masih menengok kanan-kini sembari menerka apa yang terjadi.

Istirahatku nampaknya harus tertunda.Aku segera menarik tangan Yu'zar dan berlari ke anjungan.

"Ayo!" seruku. Yu'zar hanya mengikutiku berlari.

Hanya di saat seperti inilah aku berani menggenggam tangannya tanpa ragu.

Kami berdua tiba di anjungan beserta anak buah kapal lainnya. Aku segera menuju meja kendali utama bersama Yu'zar.

"Ada masalah?"

Saviela tengah mengecek layarnya. "Kapten, Kapal Etheri mengirimkan pesan kepada kita."

"Tampilkan."

Seorang perempuan muda berambut hitam dicat merah tampil di layar utama. "Kapten Mazcira. Kami sedang berada di pertempuran dengan sebuah kapal Serikat di orbit Bulan Kedua. Kami khawatir, mereka melebihi kekuatan kami dan bisa berhasil mengambil alih tambang kami kembali."

Tidak mungkin.

Aku mengangguk. "Baiklah. Kami akan memberi bantuan dengan seluruh kemampuan kami."

"Saviela, sambungkan aku dengan seluruh penjuru kapal," perintahku.

Tak lama, aku berhasil tersambung dengan semua perangkat komunikasi di Viatrix.

"Ini Kapten yang berbicara. Pertempuran memanggil kita. Kapal patroli milik Serikat kembali datang ke sini, jadi ada kemungkinan mereka ingin mengambil alih tambang kita di sini. Kita harus mempertahankan apa yang kita dapatkan. Jadi, mari kita berjuang dengan segenap kekuatan kita!"

"YERA-YERA YO!"

---

"Persiapan terbang dimulai. Viatrix akan segera terbang dalam 30 detik." Vidi memberi peringatan.

Situasi memaksa kapal ini untuk kembali berlayar di antariksa. Sebuah kapal milik Serikat sedang terlibat pertempuran dengan Kapal Etheri. Jika mereka tak bisa mengusir Serikat kembali, maka kami adalah sasaran berikutnya.

Aku menoleh ke arah Yu'zar yang berdiri di sampingku. Dengan tatapan tajamnya, dia memberi anggukan mantap, seolah sudah siap untuk menghadapi pertempuran di hadapan.

"Terbang!" teriakku.

"Viatrix lepas landas."

Kapal ini kembali terbang melintasi ruang hampa setelah beristirahat di galangan. Viatrix berhasil meninggalkan Bulan Pertama Erenam. Aku menatap layar sembari memperkirakan waktu menuju medan pertempuran.

"60 detik menuju medan tempur, Kapten," ucap Qamary.

Aku melihat dua kapal dalam pantauan radar. Sebelumnya, awak kapal di Etheri menyebutkan mereka sedang kewalahan. Artinya situasi sedang buruk bagi kawan.

Tunggu. Kawan? Bukankah mereka awalnya ingin mengusir Viatrix dari Bulan Pertama?

"Kau tak apa, Kapten?"

Yu'zar bertanya kepadaku yang membuat lamunanku menjadi pecah. Seakan dia tahu, aku sedang memikirkan sesuatu.

Aku mengangguk. "Aku hanya sedang memikirkan strategi bertempur. Anak buah Kapten Raye bilang, mereka kalah kekuatan."

"Kau yakin?" tanyanya lagi.

Aku terdiam sejenak. Tak bisa aku langsung mengatakan diriku sedang bimbang di depan jajaran awak anjungan.

"Sebenarnya aku sedang berpikir, apakah kita akan rugi jika bertempur untuk menolong mereka?"

"Edeatu terbentuk dari uluran tangan, bukan?"

Aku seketika terdiam. Justru aku malah memikirkan perasaan pribadi ketimbang keinginan untuk menolong ketika situasi sedang darurat. Mereka, terutama Kapten Raye memang menginginkan aku untuk menyerahkan posisiku di Bulan Pertama, bahkan menyebutku dengan sebutan "Perompak Putih". Namun, bagaimana juga mereka merendahkanku, uluran tanganku harus tetap sedia.

"Kau benar."

30 detik menuju medan tempur.

Aku memberi perintah. "Tampilkan pantauan optik!"

Layar utama menampilkan visual dari pertempuran yang ada di depan. Betul saja, Etheri tidak dalam keadaan unggul. Beberapa bagian kapal bahkan mulai terlihat percikan api. Sementara lawannya masih gagah.

"Percepat kapal!"

Aku harus segera tiba. Jika tidak, Etheri bisa hancur berkeping-keping tak lama lagi.

"10 detik menuju medan tempur." Qamary tak henti memberi peringatan.

"Kita akan segera memasuki are pertempuran. Perlambat laju kapal! Siapkan senjata!"

Tanpa perbesaran visual, dua kapal yang tengah adu kuat tampak jelas dari jendela raksasa. Etheri dan sebuah kapal patroli milik Serikat saling berhadapan dan melempar serangan.

Kini giliranku.

Akan aku pertahankan apa yang aku dapat.

"Serang!" titahku, berteriak sembari mengarahkan tangan terbuka ke depan.

Meriam utama memberi serangan dengan frekuensi sedang. Aku yakin itu akan cukup merepotkan mereka.

"Langsung kena, Kapten," ucap Pedra.

"Mereka tak punya perisai energi?" tanyaku.

"Sepertinya perisai musuh dalam kekuatan rendah. Mereka sudah cukup lama bertempur," timpal Yu'zar.

Aku perlu bicara dengan Kapten Raye untuk mundur. Keadaan sudah terlampau buruk untuknya.

"Sambungkan aku dengan Etheri."

Perempuan yang rambutnya dicat sebagian tadi kembali muncul. "Ada apa, Kapten?"

"Aku perlu bicara dengan Kapten Raye."

"Kapten Raye sedang tak sadarkan diri karena kepalanya terbentur," balasnya.

"Kalau begitu, perintahkan kapalmu untuk mundur."

"Tidak bisa," jawabnya. "Mesin kapal mengalami kerusakan. Sehingga tidak memungkinkan untuk kapal kami bergerak bagaimanapun caranya."

"Tidak mungkin!" ujar Yu'zar.

"Kalau begitu, siapkan pengungsian. Bawa semua anak buah yang tersisa ke Viatrix. Biar kami yang urus kapal jelek itu," tutupku sebelum menyudahi komunikasi.

"Kau punya rencana, Kapten?" tanya Yu'zar.

Aku memberi perintah. "Naikkan kecepatan kapal, arahkan menuju musuh. Ketika aku memberi aba-aba, lakukan pengereman dengan pendorong balik. Ayo kita takut-takuti mereka."

Viatrix menambah kecepatannya dan terbang menuju kapal musuh dengan cepat. Tujuanku agar bisa mengalihkan perhatian kapal musuh kepada Viatrix. Mereka pasti berpikir, Viatrix akan menabrak kapal mereka sehingga mereka perlu memutar haluan.

"20 detik lagi menuju tabrakan, Kapten!" Qamary berteriak seolah takut kapal ini menabrak.

"Matikan pendorong utama. Siapkan pendorong balik dengan kekuatan maksimum!"

Jarak antara Viatrix dengan musuh semakin dekat. Kapal ini terbang dengan kecepatan konstan meski pendorong sudah tak menyala berkat momen inersia. Hanya tinggal menunggu waktu dan kapal musuh masih belum bergerak.

Mereka sengaja? Apa ini hanya semacam permainan untuk membuktikan siapa yang lebih penakut?

"15 detik lagi."

Qamary yang duduk di posnya masih berteriak dengan nada yang terdengar begitu khawatir. Begitu juga aku, yang sebenarnya sangat takut rencanaku tak berjalan mulus, atau malah berakhir buruk. Tubuhku mulai panas dan berkeringat dan dadaku berdegup makin kencang.

"Kau yakin?!" teriak Yu'zar. Ketika aku menatapnya, wajahnya tak kalah cemas. Aku tak sempat menjawabnya karena Qamary lagi-lagi meneriakkan peringatan.

"10 detik lagi."

Katakanlah kapal ini bergerak didorong oleh gaya yang besarnya 2, maka kapal ini perlu gaya sebesar 4 untuk mendorongnya ke arah berlawanan. Gaya sebesar 2 untuk menyeimbangkan, dan gaya sebesar 2 lagi untuk mendorong balik.

Ternyata bertempur itu seperti bertaruh.

"Kapten, mereka mengubah jalur." Pedra berseru.

"Nyalakan pendorong balik!"

Kapal berhasil menurunkan kecepatannya berkat pendorong balik. Meski kekuatannya tak sebesar kekuatan pendorong utama, aku berhasil membuat Viatrix semakin melambat dengan penurunan percepatan yang drastis. Jika terlambat 5 detik saja, sudah dipastikan bagian haluan kapal sudah menabrak musuh.

Sekarang saatnya.

"Serang!" titahku.

Viatrix menghujani tubuh kapal musuh dengan serangan bertubi-tubi. Sementara kapal musuh masih sibuk bertahan sembari memutar haluan. Mereka takut.

Dari layar, tampak kapal itu menaikkan kecepatan, seperti hendak menjauh dari Viatrix. Mereka tak kuasa menahan serangan yang kukirim lebih lama lagi. Mungkin mereka berpikir, kami masih punya kekuatan bertempur yang lebih besar ketimbang mereka yang sudah lebih lama adu tembak.

Jarak sudah terlampau jauh ketika mereka berhasil melarikan diri. Beruntungnya. Viatrix tidak mengejar, sebab aku lebih fokus kepada anak buah kapal yang masih terjebak di Etheri.

Mereka berhasil menjauh, tetapi mereka seperti orang yang merangkak untuk melarikan diri dari lawannya. Kapal musuh menerima serangan hingga beberapa bagian tampak rusak berat.

"Kapten, terjadi ledakan di Kapal Etheri." Euize memberikan sebuah peringatan yang terdengar buruk.

"Bagaimana dengan pengungsian?"

Satu pun awak anjungan tak ada yang menjawab. Artinya aku telah kehilangan kontak dengan mereka.

Ataukah tak ada yang selamat dari mereka?

Jika saja Viatrix datang lebih awal. Kapal musuh pasti bisa diusir dengan mudahnya.

"Ledakan terjadi lagi, Kapten!"

Wajahku ditutupi telapak tanganku. Mataku sama sekali tak ingin melihat apa pun, mau itu layar utama, dinding transparan raksasa di bagian depan anjungan, atau awak anjungan, bahkan Yu'zar. Aku "mengusir" Etheri dari Bulan Pertama, lalu menyaksikan kehancuran kapal itu beberapa hari setelahnya.

Haruskah kuanggap kemenangan atau pukulan telak?

"Kita masih perlu menyingkirkan musuh," ucap Yu'zar.

Aku sama sekali tak menoleh ke arahnya. Mataku masih terfokus pada tubuh kapal berwarna abu gelap itu. Aku hanya membalas dengan anggukan.

"Baiklah. Kita akan membalaskan dendam Etheri. Serang!" aku berteriak, bahkan sepertinya suaraku terdengar begitu lantang oleh semua orang di anjungan. Amarahku terbakar.

Viatrix kembali mengirimkan serangan. Perisai daya milik musuh tampaknya hanya menyisakan kekuatan yang begitu rendah. Beberapa serangan yang Viatrix kirim bahkan langsung mengenai badan kapal Serikat itu. Namun, kapal musuh berhasil menjaga jarak aman.

Siapa yang penakut di sini?

"Kapten, sepertinya mereka akan mengirim serangan," ucap Pedra memberi peringatan.

"Jangan hilang fokus, tetap kejar mereka!"

Viatrix kini mengejar kapal patroli Serikat yang masih berusaha melarikan diri, seperti orang yang sudah bonyok setelah adu jotos. Mereka juga masih bisa menyerang. Perisai daya masih bisa meredam, tetapi guncangan yang dihasilkan mampu membuat lantai anjungan bergetar.

Di tengah pengejaran, sebuah sinyal masuk.

Saviela begitu berisik. Dari nada suaranya, aku bisa perkirakan itu adalah pesan penting. "Kapten, pesawat dari Kapal Etheri mencoba menguhubungi! Mereka ... mereka berhasil melarikan diri dari kapal itu."

Keinginanku untuk menyingkirkan mereka membuatku lupa tentang keinginanku untuk menyelamatkan. Namun setelah aku mendapat angin segar, seketika aku lupa dengan tensi tinggi pertempuran. Aku merasa lega. Aku harus menyelamatkan mereka yang masih selamat.

"Perlambat laju kapal. Ayo selamatkan mereka," perintahku.

Yu'zar menoleh. "Tapi kita masih perlu menyingkirkan kapal musuh. Bukan begitu?"

"Sudah cukup."

Balasan singkatku membuat Yu'zar tak berkata lagi. Raut wajahnya seakan mencoba mengerti, tetapi aku bisa melihat dirinya yang tak sependapat.

Aku menekan sebuah tombol. "Sekarang," ucapku.

Kapal musuh menerima serangan hingga mengakibatkan ledakan di lambung kapal. Serangan itu berasal dari meriam pertahanan di Stasiun Bulan Pertama yang memancarkan energi begitu dahsyat. Serangan luar biasa tak bisa ditahan. Seketika serangkaian ledakan terjadi di berbagai bagian kapal musuh.

"Sesuai perintahmu, Kapten." Suara seorang perempuan terdengar begitu jelas di seluruh penjuru anjungan. Seluruh awak terkaget, bahkan Yu'zar. Orang itu adalah Natela, yang bekerja di balik kendali meriam pertahanan stasiun.

"Kapten ...?" Yu'zar memberi tatapan kosong.

Tatapanku tertuju pada pemandangan sebuah kapal yang berubah menjadi puing. "Aku begitu ragu. Tapi melihat mereka yang tak punya ragu untuk menghancurkan, membuat raguku seketika hilang. Mereka harus merasakan itu."

Pertempuran berakhir. Yang tersisa hanyalah Viatrix yang hampir terbakar menjadi arang dan dua pesawat yang menjadi abu antariksa. Aku berhasil menyingkirkan kapal patroli milik Serikat. Bukan, aku mengirim mereka menuju kehancuran, setelah mereka menunjukkan pesaraan begitu yakin untuk menghancurkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top