18. Persaingan Saudara
"Ini perompakan. Kalian tak punya cara lagi untuk melawan. Serahkan semua kendali terhadap stasiun tambang ini kepada kami, hidup kalian akan aman."
Pesawat yang aku tumpangi hendak mendarat. Baru saja aku mengirim pesan kepada orang-orang yang ada di stasiun tambang Bulan Pertama. Mereka hanyalah tenaga kerja yang tak dibekali senjata - sebenarnya ada perangkat pertahanan di stasiun, tetapi Yu'zar dan Anra berhasil melumpuhkannya. Nyawa orang-orang di sana bukanlah sesuatu yang aku inginkan, justru orang seperti mereka mudah diajak bekerja sama.
"B-baiklah! Kami menyerah. Ambil yang kalian inginkan, asal jangan renggut nyawa kami."
Aku duduk di kokpit sembari memangku dagu, menyaksikan kubah stasiun tambang yang semakin dekat. "Tak perlu memohon seperti itu. Justru kalian bisa aku ajari cara menjadi kaya dalam sekejap," balasku.
24 jam setelah aku mendarat di Bulan Pertama.
Awak anjungan sudah mengantar Viatrix ke tempat singgah barunya. Sebuah galangan di bagian selatan stasiun, biasanya digunakan oleh kapal pengangkut hasil tambang. Baguslah, kapal violet itu akhirnya bisa beristirahat.
Pekerja di stasiun tambang bekerja seperti biasa. Benar-benar seakan lupa tempat ini habis dibajak 24 jam lalu. Mereka setuju saja ketika aku berikan langkah mendapat keuntungan. Dari semua produksi mineral, sebagian akan dijual ke pihak lain melalui jalur belakang, dan hasilnya akan dibagi antara kami dengan para pekerja. Sementara sebagian lagi akan dilaporkan. Seperti mendapat 5 karung hasil panen, 3 karung diberikan kepada pemilik ladang, sementara 2 lagi dijual secara diam-diam, lalu mengaku hanya dapat 3 karung.
Bicara soal tanaman, aku penasaran dengan tanaman yang membuat sebuah planet menjadi hijau.
Di sistem ini, ada beberapa planet berbatu, tetapi tidak ada yang mendukung kehidupan. Maka itu, Erenam beserta bulannya hanya dijadikan stasiun pertambangan. Biaya membangun habitasi berskala sangat besar pasti mahal terutama jika suhu permukaan yang ekstrim.
Di samping permukaannya yang tandus dan tak memungkinkan adanya kehidupan secara alami, aku ingin melihat Erenam dari tempatku berdiri. Saat ini, stasiun tambang sedang membelakangi Erenam, sehingga aku tidak bisa melihat planet oranye itu.
Di tengah ruang kepala stasiun tambang, ialah ruangan khusus yang berada di puncak kubah. Aku tengah mengamati sekitaran. Daratan bulan pertama yang berbatu, serta langit yang selalu gelap layaknya yang biasa aku lihat. Mungkin beberapa jam lagi, Erenam bisa aku lihat dari sini.
Yu'zar menghampiriku. Dia baru saja memimpin anak buah kapal untuk mengantar Kapal Viatrix mendarat di sini. "Kapten, semuanya sudah selesai."
Aku menghadap kepadanya. "Kerja bagus."
"Terima kasih. Bagaimana dengan pekerjaan para penambang?"
"Semuanya berjalan dengan lancar. Ditambah mereka punya droid yang bekerja dengan baik," aku menjawabnya. "Beruntung juga orang-orang itu mudah diajak bekerja sama."
"Begitulah. Orang-orang planet anggota Serikat sedang dalam krisis. Gaji pegawai negeri dialihkan untuk kegiatan kolonisasi, jadi orang-orang itu mencari jalan lain untuk mencari uang," papar Yu'zar.
Oh, Yu'zar itu orang yang melarikan diri dari salah satu planet koloni Serikat. Kota tempatnya tinggal tidak menerima keberadaan Serikat yang hendak memanfaatkan sumber daya alam di sana. Setelah itu, kota tersebut dibumi hanguskan, sehingga Yu'zar melarikan diri dan berakhir ditemukan oleh Viatrix dalam keadaan mengambang tanpa tujuan pasti. Dari sekian banyak orang di Viatrix, hanya aku yang dia beri tahu soal masa lalunya. Kelam, memang.
"Kapten," panggilnya. "Lebih baik Kapten beristirahat. Viatrix sudah berlabuh, jadi kau bisa menggunakan ruanganmu."
"Kalau begitu, aku serahkan semuanya padamu, Yu'zar. Selamat malam." Aku meninggalkannya, lalu berjalan menuju Viatrix, rumah berjalanku.
Setelah menghabiskan sepuluh menit berjalan, aku kembali menemui anak buahku di dalam kapal. Beberapa berjalan keluar, hendak melakukan perawatan terjadwal. Pedra sebagai awak anjungan bagian pertahanan juga ikut dalam perawatan.
Tidak lama bagiku untuk sampai di ruanganku. Semenjak aku pindah, ruangan lamaku dipakai oleh Yu'zar karena lebih lega ketimbang ruangan lamanya.
Aku segera berganti pakaian, mengenakan kaus hitam lengan panjang serta celana pendek selutut yang biasa aku kenakan ketika tidur. Aku menaruh pakaian kemeja putih gading, rok dan celana hitam, serta jubahku ke dalam lemari pembersih. Lemari tersebut akan mencuci dan merapikan kembali pakaianku sehingga aku bisa mengenakannya lagi besok.
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur. Diriku yang hendak mengisi energi langsung terlelap begitu saja tidak lama setelahnya.
"Ayah?"
"Putri kecilku."
Aku melihatnya, sesosok pria berbadan kekar dengan rambut gondrong yang sama cokelatnya dengan milikku. Dia tersenyum kepadaku, berjongkok, lalu menatapku dengan tatapan hangatnya.
"Apa suatu saat, aku bisa menjadi seperti ayah?"
Begitulah yang aku berusia lima tahun tanyakan kepada ayahku. Ayahku memang sosok yang hebat. Memimpin kapal ini dengan tangan dinginnya, menerjang sekian ratus tahun cahaya dan menyaksikan dunia-dunia yang asing.
"Kau bisa jadi apapun yang kau mau."
Ayahku memegang pundakku. "Lihatlah, putriku sudah besar." Aku diarahkan untuk menghadap cermin, sehingga aku melihat diriku yang berusia 15 tahun.
"Apa aku bisa menjadi seperti ayah?"
Begitulah yang aku berusia 15 tahun tanyakan kepada ayahku. Selama aku ikut berdiri di anjungan bersama ayah dan ibu, aku telah menyaksikan kehebatannya. Aku telah ikut menerjang sekian ratus tahun cahaya, menghabiskan hidupku di ruang angkasa, dan menyaksikan dunia-dunia yang baru.
"Kau bisa jadi apapun dengan caramu."
Aku menatap ayah dalam-dalam. Lalu aku kembali menghadap cermin. Aku dapat melihat diriku versi berusia 20 tahun, saat ini. Aku menyentuh cermin, sehingga telapak tanganku menyentuh telapak tangan milik refleksiku. Ini yang aku lihat sekarang, diriku yang dipercayakan orang untuk memimpin kapal ini.
"Apa aku sudah seperti ayah?"
Begitulah yang aku berusia 20 tahun tanyakan kepada diriku setiap hari. Apa aku memimpin kapal ini seperti ayah?
"Jadilah dirimu sendiri."
Aku menoleh. Tak kutemukan sosok ayahku yang lenyap begitu saja setelah ucapan tadi. Semuanya gelap. Tubuhku seketika melayang, begitu ringan bak tak berbobot. Melayang bebas tanpa ada yang menghambat, di tengah ruangan gelap nan hampa. Cahaya menyilaukan datang, membuat langit gelap berpendar kemerahan. Langit yang harusnya gelap abadi berkedip, seperti berada di dalam sebuah kamar yang lampunya dinyala-matikan.
"Kapten. Situasi darurat!"
Seseorang berteriak entah dari mana. Membuat aku tersadar dan mataku terbelalak seketika. Betul saja, alarm berbunyi bersamaan dengan lampu merah yang berkedip-kedip, membangunkanku dari mimpiku.
"Gawat!" ujarku. Aku segera bangun dari tempat tidur dan mengganti pakaian -- beruntung lemari pembersih hanya membutuhkan lime menit untuk mencucinya. Setelahnya, segera aku berlari menuju anjungan kapal.
Yu'zar dan anak buah lainnya sudah ada di anjungan ketika aku tiba.
"Ada apa?" aku bertanya. Tanpa mereka menjawab, layar utama anjungan menampilkan visual dari kapal panjang berwarna abu gelap. Etheri dan Kapten Raye datang ke sini.
"Kapten, mereka mencoba menghubungi kita," ucap Saviela.
"Sambungkan."
Wajah Kapten Raye muncul di layar sembari memangku dagu. "Tak kusangka kau telah mencuri bulanku, Anak Kecil."
"Aku yang meninggalkan jejak kaki di sini terlebih dulu. Jadi bulan ini milikku!" ujarku.
Kapten Raye tak terlihat senang. "Baiklah kalau begitu. Kita tentukan saja dengan kapal kita, Kapten. Biar ketangguhan kapal kita yang menjawab siapa yang berhak atas Bulan Pertama Erenam."
"Aku menolak," jawabku singkat.
"Jangan bilang kau takut kapalmu hancur lebur."
Kapten Raye menantangku, tetapi saat ini aku perlu berkepala dingin. Pertempuran kapal melawan kapal mendatangkan kerugian besar untuk dua pihak, apalagi kami sama-sama perompak Edeatu. Tak ada keharusan untuk saling tembak, yang menang akan jadi arang dan yang kalah jadi abu.
"Tidak," balasku. "Aku menantangmu duel satu lawan satu."
Wajah Kapten Raye menggambarkan ekspresi terkejut, begitu juga Yu'zar yang langsung menatapku dengan sigap.
"Kapten, kau serius?" Yu'zar bertanya dengan suara lantang.
Aku mengangguk dan menjelaskan rencanaku. "Karena kita sama-sama perompak Edeatu, berebut dengan kekerasan bukanlah jawaban yang tepat. Kapal kita akan sama-sama menerima kerusakan, awak kita bisa saja mendapat luka. Pikirkan tentang itu, Kapten."
Kapten Raye hanya terdiam mendengar penjelasanku.
"Maka itu, mari kita atur sebuah pertarungan yang adil untuk kita berdua."
Kapten Raye tersenyum dengan mata memicing. "Siapkan senjata terbaikmu. Akan kuajarkan bahwa perompak bukan permainan anak kecil."
"Aku tak sabar," balasku, dengan memberi senyuman juga.
Yu'zar segera mencengkram pundakku dan memberi tatapan setajam pedang. Aku sudah tahu dia akan marah dan menganggapku mengambil keputusan gegabah. "Kapten, kenapa kau ...?"
"Aku harus mempertahankan apa yang jadi milikku."
Wajah Yu'zar tampak rileks, tetapi tatapannya masih menusuk seperti tadi.
"Kosongkan hangar. Kita akan kedatangan tamu penantang," titahku.
"Laksanakan," balas Yu'zar sembari melepaskan tangannya dari pundakku. Beruntung dia tak melawan.
-----
Pesawat milik Kapten Raye telah dikirimkan menuju Viatrix. Hangar telah dipersiapkan untuk kedatangannya. Anak buahku berkumpul, berkerumun di belakang. Tak terkecuali Yu'zar yang tengah melihat pantauan radar melalui gawainya.
"Mereka tiba," ujarnya.
Wajah si pesawat antar-jemput tampak di depan pintu hangar yang selalu terbuka. Dengan mulusnya pesawat itu menginjakkan kaki. Pesawat itulah yang menjemput aku dan Yu'zar ketika Kapten Raye mengundang kami, si mewah nan megah.
Pintu belakangnya terdengar mulai terbuka. Aku yang berada satu langkah di depan kerumunan anak buah kapal bersiap menyambut kedatangan tidak ramahnya. Kapten Raye yang bertubuh pendek dikawal oleh lima orang wanita berpakaian pendek.
Sayang sekali tinggal di ruang angkasa tak membuat tubuh pria itu bertambah tinggi seperti kata orang-orang.
Seorang perempuan menghampiri Kapten Raye, melepaskan jubahnya. "Aku kira kau cuma anak kecil biasa. Ternyata aku salah menilai."
"Jangan anggap aku anak kecil, Paman. Akulah yang pertama kali meninggalkan jejak di Daerah Belum Terjelajah," balasku.
Tiba-tiba Natela muncul entah dari mana, dan langsung berdiri di barisan depan kerumunan. "Ada keributan apa ini?"
Pandangan Kapten Raye seketika terfokus kepada perempuan itu. "Pengkhianat!" teriaknya.
Barisan anak buah Kapten Raye menodongkan senapan. Aku segera berdiri tepat di depannya dan menghalangi tubuh perempuan itu, membuat tubuhku menjadi perisai untuknya.
"Urusanmu di sini hanyalah denganku, Kapten. Hadapi aku, atau jangan pernah menampilkan tubuh pendekmu kepadaku!"
Kapten Raye maju dan mengeluarkan senjatanya. Sebilah golok dipegangnya. Bukan golok biasa, melainkan bilah frekuensi tinggi yang mampu melawan pisau cahaya.
Jubahku kulepaskan dan dibiarkan tergeletak di lantai. Aku juga mengeluarkan pisau cahayaku.
"Mari kita buat aturan. Siapa yang jatuh lebih dulu dan tak bisa melawan, dia yang kalah," tawarku.
"Cukup adil," jawab pria itu dengan singkat.
Aku segera berlari ke arahnya tanpa rasa takut. Kutebaskan belati cahayaku, tetapi Kapten Raye masih mampu melawan. Percikan api terlihat ketika belatiku beradu dengan bilah frekuensi tingginya. Aku hanya mampu melakukan serangan dasar yang ayahku ajarkan kala aku masih kecil. Meski begitu, aku mampu melawan sebab kemampuan Kapten Raye sebenarnya tak begitu bagus.
Kami saling jual-beli serangan. Aku menyerang dari atas. Kapten Raye menahan seranganku. Gemercik kemerahan menyilaukan mata. Aku beralih menangkis ketika pria itu balas menyerang.
Kami saling mundur dan membuka jarak. Adu pedang mereda sejenak. Aku harus menyeimbangkan ritme napasku yang kewalahan. Begitu juga Kapten Raye yang fisiknya sudah tidak mumpuni karena usia.
"Begini saja kemampuanmu?" tanyanya, bermaksud memancing emosi.
Aku perlu lebih tenang. "Memang. Tapi nyatanya kau tidak menang melawan orang yang kemampuannya begit-begitu saja."
"Sialan kau!"
Kapten Raye berlari sembari berteriak dan bersiap memberi tebasan. Aku hanya menghindar selangkah panjang dan mengayunkan kaki ke arah perutnya. Karena Kapten Raye berlari cepat, tubuhnya berbenturan dengan kakiku dan dia langsung tergeletak.
"K-kau ...."
Tanpa menunggu Kapten Raye menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menodongkan belatiku ke arah wajahnya. "Sudah selesai?"
Jangankan membalas, untuk bernapas saja dia sudah kesulitan. Aku jadi merasa seperti orang paling durhaka sejagat setelah menyerangnya hingga jatuh.
"Bawakan aku paramedis," titahku. Aku langsung berjongkok dan menatap wajahnya yang memelas. Aku menawarkan uluran tanganku. "Ayo, aku bantu berdiri." Pria itu tak yakin. Aku hanya memberi senyuman kepadanya sebelum tangannya menerima uluranku dan berusaha bangun. Kapten Raye masih memegangi perutnya dan mengatur napas.
"Dengarkan, semuanya! Melalui pertarungan adil yang aku menangkan, kini aku mengakui bahwa Bulan Pertama Erenam adalah milikku."
Anak buah kapal Etheri tak percaya, begitu pula anak buahku yang masih menampilkan wajah tegang.
Paramedis datang dan menghampiri Kapten Raye. Anak buahnya pun berlari dengan buru-buru mendekati pemimpinnya. Sementara anak buahku bersorak-sorai, menyanyikan lagu yang biasa mereka gaungkan.
Yu'zar menghampiriku, lalu memegang wajahku dengan kedua tangannya.
"Syukurlah kau tidak terluka sama sekali," ucapnya.
Aku terdiam sejenak. Entah kaget atau apa tetapi aku benar-benar bingung harus menanggapi dengan cara bagaimana.
Lelaki itu menurunkan tangannya. "Maaf."
"Tak apa. Terima kasih sudah khawatir," balasku.
Kami berdua saling memberi senyum kala semua anak buah Viatrix bernyanyi lantang. Aku ikut berteriak sembari meninju udara dengan semangat. Yu'zar yang biasanya kalem juga tak mau kalah berisik. Aku merayakannya bersama orang terdekatku. Para pilot, awak anjungan, dan yang terpenting Yu'zar, wakilku.
"Yera-Yera Yo" akan terus berkumandang di atas daratan Bulan Pertama Erenam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top