17. Mencuri Bulan

Hening. Kami berdua benar-benar seperti orang tak bisa bicara. Hanya suara mesin yang terdengar ke dalam kabin. Aku berani sumpah, jika ada kompetisi kabin pesawat paling buruk, pesawat ini mendapat juara pertama.

"Kita akan mendarat sekarang," ucap Natela. Suaranya terdengar melalui pengeras suara usang yang bergema.

Pesawat yang aku dan Kapten tumpangi akhirnya mendarat di hangar Viatrix. Natela datang dari kokpitnya, mengajak kami berdua keluar.

"Hei, kau pernah membawa orang dengan pesawat ini sebelumnya?" tanyaku, ketika sosok perempuan itu muncul di tengah kabin.

Natela menjawab, "Ya, aku pernah membawa sekumpulan imigran gelap. Tiga kali perjalanan, kalau tidak salah."

"Statusku berubah dari kapten kapal menjadi imigran gelap dalam lima menit," ujar Kapten.

Pintu belakang membukakan dirinya, membuatku bisa melihat para anak buah kapal yang berkumpul mengelilingi akses keluar pesawat.

Aku masih tak berani bicara kepada Kapten sejak aku tak sengaja mendekapnya. Meski aku tak punya tujuan macam-macam, aku pikir itu tindakan yang buruk.

"Ah, kita sudah sampai, ya?"

Kapten bertanya kepadaku, dan entah kenapa aku tidak berani menjawabnya. Aku hanya bergumam sembari mengangguk.

"Maaf soal yang tadi, Kapten."

"Tidak masalah. Ayo, Anak-anak sudah menunggu."

Aku dan Kapten turun, diikuti Natela yang menyusul kami. Anak buah kapal terheran, sebab orang yang mengantar kami ikut turun dan menampakkan dirinya.

Kapten berucap lantang, "Semuanya, kita kedatangan kawan baru. Dia adalah Natela, dan dia akan membantu kami mendapatkan Bulan Pertama."

Hangar jadi riuh dengan ucapan sekian banyak orang yang membicarakan si orang baru. Ada yang membahas keseriusan Kapten untuk mendapatkan sumber daya di Bulan Pertama Erenam, ada yang tidak setuju membawa orang luar begitu saja, bahkan ada yang membicarakan paras perempuan berambut merah gelap itu.

"Mulai sekarang, dia akan jadi bagian keluarga kita. Sambut dia dengan sambutan paling hangat, lalu kembali bekerja!"

"Yera-Yera Yo!"

"Saviela, temani Natela berkeliling Viatrix, supaya dia kenal dengan rumah barunya. 20 menit lagi, temui aku di ruang kerjaku."

Saviela langsung berlari menghampiri Kapten seketika setelah namanya dipanggil. "Baik, Kapten."

Orang-orang di hangar telah bubar, tinggal aku, Kapten Milla, dan tiga pesawat yang terparkir desak-desakan. Aku menghampiri perempuan itu. "Senang bisa dapat bantuan dari orang sepertinya."

Kapten mengangguk. "Aku ingin ke ruangan baruku. Mau ikut?"

"Tidak, aku akan pergi ke ruang makan," balasku sembari menggeleng.

"Baiklah, temui aku nanti."

-----

25 menit setelah aku dan Kapten kembali ke Viatrix.

Kapten mengundang seluruh awak anjungan, juga beserta Anra dan Natela. Tujuannya adalah membahas rencana pengambil alihan Bulan Pertama. Kami duduk di sebuah meja bundar, dengan sebuah proyektor holografik yang hadir di bagian tengah.

Kapten membuka obrolan. "Seperti yang kalian sudah tahu, Natela punya data tentang tempat yang akan kita datangi. Kesempatan terbuka, dan kita tidak bisa berlama-lama. Nampaknya Kapten Raye juga ingin mencuri Bulan Pertama."

"Silakan, Natela." Aku mempersilakan Natela untuk menjelaskan apa yang dia ketahui.

"Sebelumnya, aku sangat ingin berterima kasih, karena aku punya kesempatan untuk menolong kalian." Natela membuka penjelasannya dengan salam singkat.

Proyektor holografik menayangkan beberapa gambar. "Ini adalah ere-var, logam berharga yang bisa ditemukan di kedalaman Planet Erenam dan Bulan Pertama. Dan jika kalian tahu, Serikat telah menguasai pertambangan di Planet Erenam. Ini adalah kesempatan kita, sebab situs pertambangan di Bulan Kedua tidaklah sulit untuk diambil alih."

"Jadi, Anak Baru, jelaskan saja bagaimana cara kita supaya bisa mendapatkannya," ucap Pedra yang sedikit menggoda perempuan itu.

"Sistem pertahanan di Bulan Pertama memiliki meriam yang sangat kuat. Kalau aku taksir, mungkin bisa menghancurkan kapal ini dengan tiga kali tembakan."

Aku terkejut, begitu juga semua orang yang hadir di sini. Bertempur dengan kapal Serikat waktu itu saja kami sudah kewalahan. Beruntung saja aku tidak jadi puing antariksa sebab armada Republik tiba-tiba datang seperti malaikat penyelamat.

Natela malah tersenyum. "Tapi tenanglah. Sebelumnya aku sudah membuat rencana untuk Kapten Raye, dan semuanya sudah matang."

Saviela menimpal sembari menopang dagu. "Kalau begitu kenapa kapten kalian tidak memerintahkan untuk pergi dan mencuri bulannya?"

"Orang aneh itu malah ingin berfoya-foya dulu. 'Menikmati momen', katanya," jawab Natela. "Kembali ke topik awal. Meriam super itu tak bisa menghadapi kendaraan kecil dengan kemampuan manuver yang lincah. Untuk kasus ini, kita perlu pesawat tempur."

Kapten yang duduk menyilang kaki di kursi sebelahku langsung menoleh. "Kali ini aku ingin melihat aksi gilamu lagi, Yu'zar."

Aku tertawa kecil. "Yah, lihat saja yang akan aku lakukan nanti."

"Jika kita menyerang dengan pesawat, meriamnya tidak akan peduli dengan pesawat kita. Meriamnya sulit bergerak untuk mengunci target, terutama untuk sasaran yang berada di jarak dekat. Sehingga kita hanya perlu berurusan dengan turet pertahanan."

"Masuk akal juga," ujar Kapten Milla. "Lalu, bagaimana aku ke sana jika Viatrix tidak bisa terbang ke bulannya?"

"Itu dia." Natela mengungkapkan rencana selanjutnya. "Kita ada dua pesawat tempur dan satu pesawat kargo ...."

Kapten menggebrak meja. "Jangan bilang kau ingin aku naik pesawatmu lagi!"

Aku ikut berdiri ketika Kapten Milla membuat situasi menjadi panas. "Kapten, tolong dengarkan rencananya dulu." Untungnya Kapten mudah meredakan emosinya.

Natela malah tersenyum. "Tenang, Kapten. Kau bisa menempati kokpit. Biar awak kapal lainnya yang berada di kargo."

Saviela, Qamary, Euize, juga Pedra kompak menggebrak meja. "Kau ingin kami naik pesawatmu?!"

Natela tersenyum, dan Kapten melipat tangan. "Mau bagaimana lagi? Rencananya begitu," ujar Kapten.

Mereka berempat kembali duduk. Memang tidak ada yang berani membantah Kapten, mau itu orang paling sepuh di kapal sekalipun. Sehingga setelahnya, awak komando yang lain menghendaki rencana itu.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan ketika kita sudah berada di zona orbit Bulan Pertama?" tanyaku, supaya Natela melanjutkan penjabarannya.

Layar holografik menampilkan denah tiga dimensi stasiun tambang. "Dua pesawat tempur perlu melumpuhkan turet pertahanan, sementara pesawat kargoku akan mengantar Kapten Milla dan rombongan menuju stasiun seketika setelah sistem pertahanan mereka lumpuh. Kapten akan memberi pesan penyerahan, lalu mereka menyerah."

Kapten bertanya, "Bagaimana jika meriam besarnya malah berfungsi?"

"Meriam itu butuh waktu yang cukup lama untuk mengunci sasaran. Karena peruntukannya untuk menghadapi kapal besar, yang mana pergerakannya tidak selincah itu. Pesawat yang lincah bisa membuatnya tidak berkutik. Jadi kita perlu terbang dengan manuver gelombang."

Manuver gelombang adalah semacam cara menerbangkan pesawat dengan lintasan yang tidak membentuk garis lurus. Pesawat perlu terbang membentuk lintasan bergelombang, seperti namanya. Boleh itu bergerak naik-turun, atau juga ke kiri-kanan. Strategi yang jitu untuk menghadapi musuh dengan keterbatasan pergerakan.

Natela membuat rencana yang bagus dan disusun dengan baik. Tidak ayal Kapten Raye  menginginkannya sebagai istrinya (meski tetap saja aku menganggap lelaki tua bangka itu orang brengsek). Beruntung orang sepertinya mau menolong kami tanpa imbalan besar seperti ahli strategi tentara bayaran.

"Baiklah. Aku rasa semuanya sudah jelas. Sekarang, siapkan hangar, umumkan ke seluruh penjuru kapal bahwa kita akan memulai Operasi Mencuri Bulan!" ujar Kapten.

"Yera-Yera Yo!"

Anra beserta awak komando bersorak, sementara Natela hanya diam seperti diriku yang terlalu malu.

Lima-enam orang berlarian menuju hangar. Suara Saviela terdengar melalui pengeras suara, memperingatkan bahwa Kapten Milla dan jajaran awak komandonya akan segera mengambil alih stasiun tambang di Bulan Pertama Erenam. Sementara orang lain tengah sibuk dengan persiapannya masing-masing, aku sudah bersiap dengan jaket dan helm tempur yang melekat di tubuh.

"Hei, kau bisa dengar aku?"

Suara seorang perempuan terdengar melalui saluran interkom. Itu adalah Kapten Milla. Dirinya sedang berada di kokpit pesawat milik Natela.

Aku membalas Kapten, "Ya, aku mendengarmu, Kapten. Bagaimana dengan Anra?"

"Dia masih belum tersambung," jawabnya. "Kau tahu, Yu'zar? Ini pertama kalinya Viatrix tidak ikut beraksi."

Aku tertawa kecil. "Istirahat sejenak untuk sobat besar kita."

"Semoga berhasil. Aku ingin melihat pemandangan Erenam setibanya kita di sana. Denganmu."

Kata terakhir yang Kapten ucapkan membuat mulutku membeku seketika. "Y-ya. Ini akan jadi momen berharga untuk Viatrix." Aku mencoba untuk membalas tanpa membuat suasana menjadi canggung.

Semua orang yang terlibat sudah bersiap. Mesin pesawat tempurku sudah memanas dan bersiap mengangkat tubuh bajanya. Hangar bersih, seluruh pesawat sudah bersedia.

"Kepada seluruh pesawat, mari kita beraksi," ucapku.

Satu per satu pesawat telah keluar dari hangar. Aku di posisi paling depan, disusul Anra, lalu pesawat Natela berada di paling belakang. Dengan kecepatan maksimum, perlu waktu 15 menit untuk mencapai zona orbit Bulan Pertama.

Aku masih ingat pelarian diriku ke luar angkasa. Pertama kalinya aku menerbangkan pesawat tempur yang bukan bagian dari latihan. Pertama kalinya juga aku menyelam semakin dalam di lautan hampa tak berujung dan merasakan kesepiannya.

"Tujuh menit menuju lokasi," ucapku.

Tak banyak yang bisa dilihat ketika terbang di antariksa. Sehingga tak jarang aku merasa perjalananku seperti lebih singkat. Seiring waktu, Bulan Pertama menampakkan dirinya yang berbatu, tandus, dan berwarna abu pekat.

"Satu setengah menit menuju lokasi. Titik sudah ditemukan. Anra, bersiap di mode pertempuran."

"Mari lakukan ini!"

Aku terbang semakin dekat ke stasiun tambang. Di saat itu pula, sekelompok pesawat tempur nirawak menampakkan diri. Bukan sambutan yang aku harapkan sebelumnya.

"Mereka punya pesawat tempur?" ucapku tak percaya. "Lindungi aku, Anra. Aku akan mengalihkan mereka, dan kau singkirkan mereka satu per satu."

Aku harus terbang berbelok, sehingga lima pesawat tempur yang baru terbang itu mengejarku. Anra mengekor di belakang, lalu berhasil menembak jatuh satu musuh. Sialnya, musuh memperbarui formasi mereka, jadi dua pesawat berbelok dan mengejar Anra.

"Kita jangan terbang terlalu dekat, atau turet pertahanan mereka ikut menembaki kita."

Anra membalas, "Setuju, kita basmi laron-laron ini dulu."

Aku mencoba terhubung dengan Natela. "Natela, Kapten, kalian harus menunda ketibaan kalian. Mereka punya skuadron tempur yang menyerang kami."

"Yah, sayang sekali," balas Natela. "Ka- ...."

Satu pesawat mengirim tembakan yang mengarah ke pesawatku. Beruntung kerusakan yang diterima tak begitu parah, tetapi komunikasiku terputus sehingga kalimat terakhir Natela tak sempat aku dengar.

"Sialan."

Aku mematikan laju mesin, memanfaatkan inersia, dan membalik pesawatku sehingga terbang mundur dan terbalik. Dengan cepat aku membidik dan menyerangnya beberapa kali. Perlu lima tembakan untuk menyingkirkan dua pesawat yang mengejarku.

"Yu- a- to- -k- zzzz ...."

Aku menerima suara Anra yang terputus-putus akibat rusaknya sistem komunikasi pesawatku. Sepertinya dia perlu bantuan. Aku segera menyalakan kembali mesin, lalu menyeimbangkan posisi terbang. Setelahnya aku segera mengejar pesawat yang sedang berurusan dengan Anra.

Aku mengekor, dan beberapa kali mengirimkan tembakan yang tak menemui sasarannya. Dua musuh tiba-tiba berbelok lalu menghilang, dan sialnya radarku tak bisa menemukannya. Mungkin mereka sudah berada di belakangku dan bersiap memberi tembakan selamat tinggal.

"Anra, bisa kau temukan mereka?"

"Zzzzzz ...."

Anra juga berbelok, tetapi dirinya tak bisa aku dengar dengan jelas. Setelahnya, pesawatnya tiba-tiba muncul di sampingku. Saat itu pula aku langsung menyandarkan tubuhku di kursi dan membuang napas kencang.

Lanjut ke rencana berikutnya. Aku terbang menuju stasiun tambang Bulan Pertama. Benar saja, mereka punya sebuah meriam besar berbentuk kubah dengan moncong yang sudah menghadap ke atas. Juga ada kubah utama yang merupakan stasiun pengawasan, lubang yang digali entah berapa che-etrogal dalamnya, juga perangkat pertahanan yaitu empat turet di sekeliling kubah utama.

Semoga Anra mengerti ucapanku. "Ka-u per-gi ke a-re-a se-la-tan dan ba-rat." Aku sengaja berucap terbata-bata, mungkin pesannya bisa diterima dengan jelas olehnya.

"Zzzzzz ...." Jaringan interkom tak mau bekerja sama.

Aku segera terbang ke arah utara lalu menembak turetnya segera ketika berada di jarak tembak. Selanjutnya ke timur, dan aku terbang dengan ketinggian yang rendah. Turet satunya lagi tak mau diam dan terus-terusan mengirim tembakan. Aku perlu menggerakkan pesawatku dengan manuver gelombang, sehingga sulit untukku membidik sasaran. Aku ikut mengirim serangan tanpa mengunci target, hanya berharap peluru cahayaku tiba di sasaran begitu saja. Aku rasa aku tidak bisa berbuat banyak.

Anra tiba, lalu membuat turet terakhir meledak. Lagi-lagi aku yang kepayahan diselamatkan oleh bantuannya.

Kini pertahanan mereka telah lumpuh. Tinggal menunggu aksi penutup dari Kapten yang akan mengirim pesan permintaan menyerah. Sayang sekali aku tidak bisa mendengarnya, padahal momen seperti ini bagaikan musik di telingaku.

Namun, aku masih ingat. Setelah aku menginjakkan kaki di Bulan Pertama, aku akan mengajak Kapten Milla untuk melihat Planet Erenam, yang saat ini juga bisa aku lihat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top