15. Lebih Jauh

"Tiga musuh terdeteksi. 14 detik menuju musuh paling dekat."

"Dimengerti," ucapku, sembari memacu pesawat yang kutunggangi.

Pesawat musuh melancarkan serangan. Beruntung tanganku cukup lincah dan cekatan sehingga pesawatku tak tersentuh peluru laser mereka. Musuh yang paling dekat berhasil terkunci, sehingga mudah bagiku untuk melancarkan serangan kepadanya.

"Musuh Nomor 1 tereliminasi. Segera singkirkan musuh nomor dua dan tiga."

"Dimengerti," balasku.

Musuh nomor dua dan tiga berpencar. Jarak pesawatku paling dekat dengan nomor tiga. Aku mengejar pesawat itu, nampak bagian belakangnya begitu jelas. Pesawat itu lincah dan bisa menghindari pola seranganku. Sulit untukku mengunci target.

"Musuh Nomor 2 tepat berada di belakang."

Sial, aku teralihkan. Posisiku kini malah menjadi yang dikejar, layaknya kucing yang dikejar anjing ketika mengejar tikus. Aku bermanuver, mengendalikan pesawatku supaya terbang menjulang lalu berputar. Pada akhirnya, pesawatku kini berada di belakang dua pesawat musuh.

"Rasakan!" teriakku. Aku menembak dua musuhku, masing-masing satu kali tepat sasaran.

"Musuh telah disingkirkan. Yu'zar berhasil menyingkirkan musuh."

Setelah itu, muncul layar holografik bertuliskan jajaran nama. Namaku paling atas, dengan skor paling besar diantara nama-nama yang ada di bawahnya. Suasana pertempuran luar angkasa pun berubah. Palka atas pesawatku terbuka dan menampilkan ruangan dengan para siswa berseragam abu gelap di depan. Aku menyelesaikan pelatihan simulasi realitas mayaku, dengan nilaiku jadi yang paling tinggi.

Aku berdiri dari kursi pilot simulator. Kawan-kawanku menatap dengan ekspresi tak percaya.

"Luar biasa, Yu'zar!"

"Aku saja tertembak di detik-detik akhir."

Aku membalas ucapan kawan-kawanku sembari menggaruk-garuk kepala. "Yah, tapi itu cuma pertarungan tiga lawan satu. Bukan ujian akhir."

Seorang pria berdiri di sebelah mesin simulator, mengenakan seragam yang sama warnanya. "Nilai latihanmu terus-menerus meningkat, Yu'zar. Aku yakin kau akan jadi pilot yang hebat."

Aku mengangguk. "Terima kasih, tapi aku juga percaya dengan yang lainnya. Asal bekerja keras, kita semua bisa jadi pilot yang hebat."

-----

Tak bisa tidur lagi.

Bayanganku tentang menjelajah ruang angkasa adalah melihat objek indah nan elok layaknya yang banyak muncul di surat kabar dulu. Nyatanya setiap Viatrix akan menjelajah tempat baru, selalu membuat diriku sulit tidur.

Antariksa tak seindah yang dibayangkan. Bukan tempat penuh warna, melainkan lautan tanpa batas yang sunyi.

Malam ini, atau mungkin tepatnya sudah pagi, aku melamun sembari menatap kompas tua yang ada di genggamanku. Kompas ini sepertinya sudah tak bisa digunakan, apalagi tak berguna di Viatrix yang tak punya medan magnet layaknya sebuah benda langit. Kompas ini pemberian kakekku ketika aku masih mengenakan seragam abu gelap.

Mengingat masa lalu lagi.

Saat-saat aku hanya seorang remaja yang mendambakan melihat alam semesta lebih luas. Membuktikan apakah antariksa seindah yang para pendatang katakan. Aku hanya seorang kadet pemimpi yang saat ini tinggal di luar angkasa dan punya impian baru: menjelajah dunia ini lebih jauh.

Para awak kapal sepertinya sudah bangun. Mungkin aku bisa mengobrol dengan mereka di ruang makan sembari menyeruput secangkir kopi.

Aku berdiri dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu ruangan. Aku membuka pintu dan menemukan seorang perempuan menungguku, berdiri dengan tangan seolah sikap istirahat di tempat.

"Senior!"

Ternyata Saviela yang berada di depan ruanganku, mungkin sedari tadi. Tapi untuk apa dia menungguku?

"Mereka sudah menyajikan sarapan. Jadi, mau sarapan bersamaku?" tanyanya sembari memalingkan wajahnya.

"Hey! Aku yang duluan di sini!" seorang perempuan berseru sembari berjalan menuju koridor ruanganku. Ternyata Anra.

Saviela malah adu omong dengannya. "Aku yang mengajak Senior duluan. Jadi dia akan pergi denganku!"

"Kau bahkan masih tidur ketika aku tiba di sini. Aku akan sarapan bersamanya!" Anra juga masih tidak mau kalah.

Mendengar pertengkaran dua wanita membuatku bingung. Apalagi mereka malah memperebutkanku dan adu ucapan paling keras. Akhirnya kami bertiga sarapan bersama. Aku dan dua perempuan dengan wajah cemberut yang tidak mau saling tatap.

Lucu rasanya. Anra dan Saviela benar-benar seperti anak kecil yang berebut boneka. Yang lebih tua memalingkan wajah sembari menggembungkan pipi, sementara si adik menyilang tangan sambil manyun. Aku hanya menyantap bola-bola nasi isi daging cincang yang jadi menu sarapanku.

"Viatrix akan berangkat jam 8. Kalian sudah siap, kan?"

Baik Saviela atau Anra sama-sama tidak menjawabku. Sepiring bola nasi saja mereka biarkan.

"Ayolah, kalian berdua bisa makan bersamaku setiap saat," ucapku.

Mereka berdua berdiri dan menggebrak meja bersamaan. "DASAR LAKI-LAKI TIDAK PEKA!" teriak mereka. Alhasil aku mematung dan bola nasi yang ada di genggamanku terjatuh ke atas piring.

"Saviela, kau dipanggil Kapten untuk segera ke anjungan." Pengeras suara berucap, sepertinya Qamary yang berbicara dari anjungan. Saviela akhirnya buru-buru menghabiskan makanannya.

Saviela meninggalkan meja. "Awas saja kalau kalian dekat-dekat. Ini untukmu, Anra!"

"Sembarangan!" balas Anra berteriak. Kukira situasinya sudah mendingin.

Aku mengajak Anra mengobrol supaya situasi tidak canggung. "Mau latihan terbang setelah tiba di Erenam?" tanyaku.

"Entahlah," jawabnya, berhenti mengunyah makan paginya. "Aku masih belum siap untuk terbang lagi ... setelah hari itu."

Saat Kapten Milla menugaskan kami untuk mengambil ekstrak air waktu itu, aku memang melihat kejanggalan. Anra tidak seperti ingin menerbangkan pesawatnya. Sering diam dan memberi respon lambat. Setelah mendengar bahwa dirinya masih belum siap, aku rasa aku mengerti kenapa dirinya menjadi seperti itu.

Di antara semua orang yang masih berduka setelah kepergian Kaal, Anra lah yang merasa paling terpukul. Dialah yang melihat langsung dengan matanya ketika kobaran api melahap pesawat rekannya, membuatnya meledak dan hancur menjadi kepingan kecil.

"Maaf, aku malah menanyakan itu," ucapku.

"Tak apa, justru aku senang. Maksudku, lega rasanya bisa mengatakan yang aku rasakan sekarang. Puluhan balapan di antariksa ternyata tidak membuatku siap untuk bertempur."

Anra beres makan terlebih dahulu, entah bagaimana caranya padahal dari tadi dia saling diam dengan Saviela. Dia meninggalkan kursinya sembari membawa segelas kopinya. "Kalau mau mengobrol, kau bisa pergi ke kamarku."

"Anrhua," panggilku, dengan nama aslinya.

Dia menghentikan langkahnya. "Tak ada yang memanggilku seperti itu belakangan ini."

"Kembalilah terbang. Kapten tidak ingin semua orang berduka terlalu lama."

Anra menoleh. "Itu pasti, tapi aku masih butuh waktu." Dia pun kembali berjalan keluar dari ruang makan.

Aku hanya terdiam, sebelum kembali melanjutkan mengisi energi untuk perjalanan nanti.

-----

Pintu anjungan terbuka otomatis. Menampilkan suasana anjungan yang tak pernah berubah. Selalu sibuk ketika perjalanan akan dilakukan. Layar utama menyala, awak anjungan mengurus bagiannya masing-masing, dan Kapten Milla berdiri di depan meja kendali utama mengecek segala persiapan.

"Sudah siap untuk berangkat?" tanya Kapten menyambutku ketika aku baru tiba di anjungan. Aku membalasnya dengan anggukan.

Kapten mengalihkan pandangannya dariku, menghadap jendela raksasa berserta layar kendali lebar. "Bagus! Seimbangkan kapal dengan jalur. Siapkan mesin. Kita akan pergi lebih jauh!"

"Yera-Yera Yo!"

Semua prosedur persiapan telah siap. Peta Galaksi beserta proyeksi Sistem Erenam telah tampil di layar. Hanya tinggal menunggu Vidi sebagai prosedur pemastian.

"Viatrix sudah siap untuk memasuki ruang cahaya."

Tuas kendali kecepatan sudah berada di bawah telapak tanganku. "Ayo, Kapten."

Kapten seolah sedang menatap satu demi satu awak anjungan yang berada di lantai lebih rendah. Ia akhirnya mengangguk. "Kita melompat sekarang!"

Aku memajukan tuas, seketika kapal melaju dengan kecepatan dahsyat. Memasuki jalan pintas antar sistem bintang yang bisa diraih dengan pergerakan yang kecepatannya lebih dari sama dengan kecepatan cahaya.

"Memulai hitung mundur," Qamary si pengatur jalur berteriak dari posisinya.

"Semua aman?" tanyaku. Awak komando lainnya memutar kursi lalu mengacungkan ibu jari.

"120 detik menuju lokasi."

Suasana anjungan menjadi sepi. Seluruh awak bahkan Kapten masih terfokus dengan pemandangan ruang cahaya.

"Kau yakin dengan pilihan kita, Kapten?"

Kapten langsung menoleh. "Tentu. Edeatu dibentuk dengan uluran tangan sesama perompak."

"Benar. Tetapi aku khawatir sesuatu terjadi. Maksudku, mungkin akan ada orang yang berniat jahat kepada kita. Ini tentang perompak."

Wajah Kapten kembali dihadapkan ke layar utama. "Ayahku telah memberi tahuku tentang hubungan sesama perompak. Memang tidak semua bisa dipercaya, bahkan Tuan Matakrom sekali pun. Tapi, jika seseorang mengkhianati kepercayaan kita, buat mereka tidak percaya kepada kita juga."

"Keluar dari ruang cahaya dalam tiga ... dua ... satu." Vidi memberi peringatan.

Pemandangan langsung berubah menjadi ruang angkasa sepi dengan sebuah bintang paling terang yang jadi pusat Sistem Erenam. Sebuah planet oranye terlihat, mirip seperti kelereng, dengan bintik abu terang berada di dekatnya. Sepertinya itu Erenam, planet utama di sistem.

"Sebuah kapal terdeteksi. Kapal milik Serikat!" ujar Saviela.

"Tunjukkan," titah Kapten.

Hasil pemindaian radar tampak di layar utama. Sebuah kapal patroli dikelilingi pesawat tempur di dekatnya tengah menuju bulan milik Planet Erenam. Tujuh menit lagi sebelum kapal tersebut bisa mendekati kapal milik Kapten Raye dan menangkapnya.

"Kapal itu langsung menuju bulan, kemungkinan mereka akan mengejar kapal Kapten Raye," papar Saviela.

"Hubungkan aku dengan Kapten Raye," titah Kapten.

"Tidak bisa. Sepertinya ada kesalahan dengan sistem komunikasi milik mereka."

"Kita harus mencegahnya!" ujarku. Kapten langsung menoleh dengan cepat ke arahku setelahnya.

Kapten terdiam, nampaknya sedang berpikir dan menunda keputusan supaya tidak gegabah. Dia menatap layar utama dengan tajam. Wajah seriusnya tergambar jelas.

"Kapal Serikat mengubah jalurnya. Kapal itu berbelok menuju kita. Lima pesawat mengarah ke Viatrix. Tiga menit lagi mereka akan tiba di sini."

Layar utama menunjukkan deteksi optik. Lima pesawat tempur Serikat jenis FW-2 bergerak menuju Viatrix. Pesawat-pesawat itu dikendalikan dengan kecerdasan buatan dan memerlukan pilot. Sepertinya mereka punya tujuan khusus.

"Serahkan padaku! Aku bisa atasi mereka." Aku berbalik, hendak langsung berlari menuju hangar.

"Yu'zar!"

Kapten memanggilku. Langkahku langsung terhenti dan seketika tubuhku menghadap ke arah Kapten Milla. Aku melihatnya menatapku dengan ekspresi paling serius yang pernah ia tampilkan.

"Kau tidak bisa melakukan ini sendirian. Kau gila?!"

Aku menghampiri Kapten, mendekatinya. "Situasi sedang genting, Kapten. Percayalah."

Aku dan Kapten terdiam sekian detik. Kapten sepertinya mengkhawatirkanku jika aku menghadapi musuh sendirian. Terlebih saat ini Anra belum siap terbang dan turet yang rusak setelah pertempuran di Gundarna masih belum bekerja dengan optimal.

Kapten Milla menundukkan wajahnya. Tubuhnya terlihat seperti sedang menarik napas panjang. "Hati-hati," ucapnya.

Aku mengangguk. "Jangan khawatir."

"Kurangi kecepatan. Jaga jarak aman dengan kapal musuh." Aku masih mendengar perintah Kapten Milla kepada awak anjungan saat aku mulai berlari menuju hangar.

Setelah berlari terburu-buru, aku tiba di hangar dengan beberapa petugas yang menyiapkan pesawatku. Sembari mengenakan pakaian tempur, aku memandangi tubuh pesawatku, si pesawat curian yang aku gunakan ketika melarikan diri dari kampung halamanku.

Senna memanggilku, tentunya dengan sebutan aneh seperti biasa. "Pesawatmu sudah siap, Yu-Yu!"

Aku segera naik dan mempersiapkan benda ini untuk lepas landas. Tubuh pesawat mulai naik. Aku langsung memacunya keluar hangar setelah pesawat lepas landas.

Suasana luar angkasa langsung terlihat. Di layar utama pesawat, tampak deteksi dari radar yang menampilkan kelima pesawat musuh. Aku memacu pesawatku terbang dengan cepat menuju barisan pesawat tempur FW-2. Setir kendali berguncang, membuat lenganku harus dikencangkan supaya jalur terbang pesawat tetap stabil.

"Mari kita mulai senang-senangnya!" ujarku.

Barisan musuh ada di depan, sedikit lagi supaya aku bisa lebih dekat dengan mereka. Musuh dengan sistem kendali kecerdasan buatan sama sekali tak mengenaliku sebagai lawan, sebab pesawat curianku adalah pesawat militer Serikat dan aku seorang mantan kadet yang menghilang.

Aku melintas di atas barisan musuh. Dengan cepat aku memutar pesawatku sehingga aku mengejar musuh dari belakang. Bodohnya musuh tak menganggap pergerakanku berbahaya. Sembari berbelok, aku menembak habis tiga pesawat.

Aku tertawa keras. Ternyata pesawat nirawak tak sehebat yang aku kira.

Dua pesawat musuh mengejarku dari belakang dan langsung mengirim tembakan beberapa kali setelah pesawatku dianggap sebagai ancaman. Aku menghindar beberapa kali. Pola tembakan mereka benar-benar mirip serangan di simulator pelatihan pilot, jadi aku bisa mengantisipasinya dengan mudah.

Viatrix terhubung denganku, sehingga aku bisa mendengar ucapan awak anjungan. "Kapal musuh terdeteksi akan mengirim serangan ke sini!"

Aku terbang menuju kapal musuh. "Di mana meriamnya?"

"Bagian bawah kapal, yang panjang."

Berkali-kali aku menembaki meriamnya, tetapi perisai energi milik kapal musuh berhasil meredamnya. Ujung meriam menampakkan cahaya kemerahan. Seketika kapal musuh mengirim serangan kepada Viatrix.

"Sial!"

Kilatan cahaya dikirimkan, melintas dengan cepat dan menyilaukan mata. Beruntung, perisai energi milik Viatrix masih bisa meredam serangannya sehingga tidak membuat kapal mengalami kerusakan.

Dua pesawat musuh masih mengejar. Aku segera terbang mendekati kapal musuh dengan cepat.

"Yu'zar, apa yang kau lakukan? Menjauh dari sana!" Kapten memberi perintah.

"Sedikit lagi!"

Meriam utama kapal musuh sudah terlihat dekat. Aku terbang menukik untuk menghindari tabrakan, dan salah satu droid menabrak meriam utamanya hingga membuat ledakan. Satu pesawat lagi masih mengejar. Aku menghentikan laju mesin lalu memutar pesawatku sehingga aku terbang mundur. Target terkunci, dan dengan cepat aku menyingkirkan pesawat terakhir dengan sekali tembakan.

"Semua musuh berhasil dikalahkan!"

Pesawatku segera terbang kembali ke Viatrix. Aku menyandarkan tubuhku di kursi, sambil mengatur napas yang masih terengah-engah.

"Kapal musuh mengubar jalur. Mereka melarikan diri!" ujar Qamary.

"Yu'zar. Kembalilah," titah Kapten Milla.

Dengan cepatnya aku memacu pesawat ini agar tiba di hangar Viatrix sesegera mungkin.

Pesawatku mendarat di hangar. Ketika membuka kanopi dan berdiri dari kursiku, banyak orang berdatangan ke hangar mengelilingi pesawat sembari bersorak. Persis seperti yang aku dapatkan ketika masih kadet dulu. Tapi ada satu orang yang mencuri perhatianku, yaitu Anra dengan pakaian tempur yang tengah berdiri sembari memegang helmnya.

Aku segera turun dan menghampirinya. "Anra!"

"Kau ... menghadapi mereka sendirian seperti orang tidak takut mati? Kenapa tidak memanggilku?" ucapnya.

Aku menjawab, "aku pikir kau masih belum siap. Apalagi kita memasuki pertempuran tadi."

"Aku sudah siap. Aku akan terbang lagi," balasnya dengan sekali gelengan kepala. "Aku tidak ingin diam saja ketika semua orang butuh bantuan."

Aku mengangguk sembari memberi senyum. "Aku akan temui kau lagi nanti. Sekarang masih ada yang perlu aku urus."

Dengan segera aku berlari meninggalkan hangar.

Kapten menyambutku dengan senyuman, beserta sorakan dari awak anjungan lainnya. Riuh dan berisik seperti biasanya. Aku segera kembali ke tugasku sebagai wakil kapten.

"Kapten, bagaimana keadaannya sekarang?" tanyaku.

"Viatrix semakin dekat dengan bulan Erenam. Butuh waktu sekitar sepuluh menit menuju sana."

"Kapten!" teriak Saviela, memecah suasana senang kembali menjadi serius. "Kapten Raye mencoba menghubungi kita."

"Hubungkan!"

Layar utama terhubung dengan Kapten Raye. Yang kulihat dari tampilannya justru sebuah dinding dengan warna hijau. Apa ada yang salah?

"Hei! Turunkan layarnya sedikit. Kau mau mengejekku lagi?"

Aku menahan tawa. Ternyata tubuh Kapten Raye tergolong pendek, dan sepertinya sedang dikerjai oleh anak buahnya. Rupanya memang seperti foto yang pernah aku lihat sebelumnya, tetapi tubuhnya kecil seperti remaja umur 13 tahun.

"Aku tidak percaya kalau itu kau, Kapten Milla. Perangkat deteksi dan komunikasi kami sedang rusak, sehingga kami tidak menyadari ada musuh di sana. Ketika semuanya sudah kembali normal, kami baru sadar kapal Serikat mengejar kami dan mereka tiba-tiba menghilang. Terima kasih telah membantu."

"Tidak masalah. Edeatu dibangun atas dasar uluran tangan sesama perompak," balas Kapten Milla. "Tapi sebagai gantinya, aku meminta bantuan darimu, dan seluruh awak kapalmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top