13. Ruang Hampa
"Viatrix akan keluar dari ruang cahaya dalam sepuluh detik."
Kapten mengambil posisi duduk, begitu juga awak anjungan yang sebelumnya berbaris satu saf di lantai bawah. Aku masih berdiri, di tengah ruang anjungan yang sunyi, di saat Vidi memberi peringatan.
"Duduklah. Kau sudah banyak menolong," ucap Kapten.
Aku menggeleng. "Tidak perlu. Kapten, mau kuambilkan air?"
Kapten ikut menggeleng. "Tidak usah repot," balasnya.
Aku kembali memandangi jendela pantau anjungan, menikmati kilatan-kilatan di ruang cahaya sembari menunggu Viatrix tiba di tujuan. Aku mendengar pintu lantai bawah terbuka-tutup sesekali. Para awak komando keluar anjungan secara bergantian hingga menyisakan aku dan Kapten seorang diri.
"Yakin tidak mau beristirahat sebentar?" tanya Kapten. "Aku bisa urus selanjutnya."
Aku menggeleng lagi. "Aku masih harus membantumu, Kapten."
"Lalu aku harus terus-menerus bergantung pada anak buahku?" tanya Kapten dengan nada keras. Membuat pandanganku seketika tertuju kepada perempuan muda itu.
Aku mendiamkannya sejenak, membiarkan gejolak emosinya yang tengah labil untuk menurun sendirinya.
"Keluar dari ruang cahaya, sekarang."
Vidi memberi peringatan bahwa Kapal Viatrix telah keluar dari ruang cahaya. Kapal ini pun tiba di ruang antarsistem, istilah untuk zona lingkar paling luar dari sebuah sistem bintang. Lebih luar dari lintasan planet dengan urutan orbit paling terakhir. Juga hanya terdapat objek-objek dingin nan beku di depan.
Ruang hampa, di mana yang kau temukan hanya bintik cahaya kecil dan bebatuan beku berwarna gelap yang membelakangi sumber cahaya utama sistem. Viatrix menghentikan laju mesin, perlahan menurunkan kecepatan. Kami pun bersembunyi di ujung sebuah sistem, di belakang awan-awan yang sangat dingin.
"Vidi, berikan aku informasi astrografi," ucap Kapten.
"Viatrix kini berada di ujung zona Sistem Crusai," balas si asisten kecerdasan buatan.
"Mau temani aku di sini?" tanya Kapten. Dirinya memalingkan pandangan ketika aku menoleh ke arahnya.
"Tentu saja, Milla."
Suasana anjungan menjadi hening seketika, tak ada satu pun kami berucap atau alat-alat kendali juga. Kapten berdiri, berjalan ke lantai bawah anjungan melalui tangga menurun di sisi lantai atas. Langkah kaki yang beradu dengan lantai memecah sunyi.
Aku mengikutinya dari belakang. Lantai bawah menjadi sangat gelap setelah beberapa konsol berada dalam mode tidur. Kapten berdiri di depan jendela pantau, denganku di samping.
Aku rasa ia tengah berdiam diri sembari menatap bintang-bintang kecil. Suasana hampa antariksa memang mampu membuat damai hati siapapun.
"Kau tahu?" tanyanya, membuatku menoleh ke arahnya. "Ini kesekian kalinya ... aku merasa diriku bukan orang yang tepat untuk memimpin." Kapten menundukkan kepala dan menghentikan ucapannya sejenak.
"Semua orang percaya kepadamu," ucapku.
Kapten menyentuh lapisan dinding transparan yang menampakkan langsung pemandangan gelap lautan hampa tak berujung.
"Tidak. Para perompak senior benar. Aku akhirnya sadar setelah kehilangan satu anak buah. Kalau aku memang pemimpin yang baik, sudah pasti tidak ada yang perlu mati."
Aku ikut terdiam saat Kapten menyelesaikan kalimatnya.
"Ayah dan Ibu tewas demi melindungi anak buahnya. Sedangkan aku? Membuat anak buahku meregang nyawa karena melindungiku. Orang lemah macam apa aku ini?"
Kehilangan kedua orang tuanya memang menjadi peristiwa paling memilukan untuk Kapten Milla. Sejak saat itu, Kapten mengambil alih kepemimpinan Viatrix atas dasar kepercayaan dari seluruh orang di sini. Namun Kapten masih terjebak dan mencari bayangan orang tuanya.
"Dulu, orang tuaku pernah terbang ke sini. Hingga mereka dicari dan direnggut nyawanya."
Aku mendekatinya. "Tapi, Kapten, kau sudah hebat ingin memimpin semua orang di sini."
Kapten menggeleng. "Saat aku berpikir suatu saat aku memimpin Kapal Viatrix, aku pasti membutuhkan mereka untuk membimbingku. Tapi, mereka pergi terlalu cepat. Terlalu ... cepat."
Aku mengerti betul apa yang Kapten rasakan. Kehilangan keluarga yang dicintai, membuatmu merasa tidak siap untuk hidup di tengah alam semesta nan luas. Mereka yang pergi meninggalkan sebuah ruang hampa di dalam diri.
Begitu juga aku, yang kehilangan keluarga dan segalanya, sebelum aku tiba di sini.
Aku menatap wajah Kapten. "Selalu ada bintang di kegelapan."
Kapten Milla tak berkutik setelahnya.
"Dulu aku pun begitu. Saat aku kehilangan semua anggota keluargaku, temanku, kampung halamanku."
Saat aku kecil sekali, mendengar kabar orang tuaku meninggalkanku selamanya membuatku sangat terpukul. Hingga aku tumbuh menjadi seorang pemuda, seorang pemimpi. Saat itu juga, kakek dan nenekku harus pergi, meninggalkan aku sendiri di tanah yang porak-poranda dikelilingi bangunan yang dimakan api beserta pasukan otomaton yang berdatangan tanpa henti.
Aku berlari, terbang, kabur menuju antariksa, menuju ruang hampa. Tempat yang aku kira bisa memberikan ketentraman. Ternyata hanya ruang hampa yang membuatmu merasa terisolasi. Saat itu, aku mengambang di tengah langit tanpa gravitasi. Saat itu, aku berpikir tak ada lagi harapan untukku.
Semuanya sirna, hingga sebuah kapal menemukanku. Viatrix, begitulah orang menyebutnya. Memungutku beserta pesawat yang jadi teman sepi dari tempat antah berantah. Saat aku berpikir semuanya sudah berakhir untukku, seseorang menjulurkan tangannya. Orang itu, para anak buah memanggilnya Kapten Milla yang Luar Biasa.
Teringat akan masa lalu, membuat diriku merasa kembali hilang di ruang hampa. Aku merasakan apa yang Kapten tengah rasakan.
Tanpa sadar, air mata mengalir perlahan di pipi. Tanpa aku sadari juga, Kapten menyentuh wajahku dengan tangannya, perlahan mengusap lembut air mataku.
"Kau menangis," ucapnya.
Sebenarnya akulah yang lemah. Sedari tadi, Kapten tak menangis sedikitpun. Lagi pula, dialah yang membuatku bangkit dan menemukan kehidupan lagi. Dialah ... bintang di tengah ruang hampa.
"Ti-tidak ... mataku berkeringat," balasku.
Kapten tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Mana mungkin!'
Aku ikut tertawa, ikut tersenyum. Lalu Kapten Milla meraih kedua tanganku, menggenggamnya. Lembut. Tunggu, sedari tadi Kapten tak mengenakan sarung tangannya?
"Kita bisa lewati ini semua, bukan?"
Kapten Milla tersenyum lebar saat aku menatap mata oranye berkilauan miliknya. Aku mengangguk mantap. Kami berdua saling menatap di tengah kesunyian.
Suara notifikasi dari alat komunikasi milik Kapten memecah suasana hening. Seseorang menghubunginya. Kapten mendengarkan ucapan orang itu dengan wajah cemberut.
Kapten membalas orang yang menghubunginya lewat saluran komunikasi. "Baiklah! Aku ke sana." Nada bicaranya seketika berubah menjadi kasar.
"Ada apa, Kapten?"
Kapten menjawab, "semua orang sudah siap untuk penghormatan terakhir."
Aku mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita pergi."
-----
Hangar telah penuh dengan segenap anak buah kapal yang berkumpul untuk acara penghormatan terakhir kepada Kaal, salah satu awak yang meregang nyawa di saat mempertahankan Viatrix. Kerumunan seketika menengok ketika Kapten dan aku melangkah melalui tangga menurun. Aku dan Kapten berjalan menuju sebuah peti kecil yang berada di dekat pintu luar hangar.
Dalam tradisi di Viatrix, seseorang yang meninggal harus mendapat peristirahatan yang tenang dengan cara menerbangkan peti jenazahnya ke antariksa lepas. Sebab tak mungkin bagi kami untuk mengubur di tanah, juga Viatrix tak punya ruang kremasi. Terakhir kalinya tradisi ini dilaksanakan adalah ketika kedua orang tua Kapten Milla meninggal dunia.
Namun, jasad Kaal tak mungkin ditemukan sebab ia tewas setelah pesawatnya meledak. Maka itu, penghormatan terakhir untuk orang yang telah berada di ruang angkasa adalah menerbangkan peti berisi barang berharga dari orang-orang terdekat.
Setiap awak yang berada di hangar tak berkutik. Mereka merasakan duka, meskipun yang pergi bukanlah orang terdekat. Sebab setiap orang di Viatrix menganggap satu sama lain sebagai keluarga.
Kapten mulai menutup peti yang berisi berbagai macam barang. "Semua yang ada di jagad raya adalah milik Sang Pencipta Semesta. Semuanya akan kembali," ucapnya di tengah suasana keheningan yang menyelimuti.
Aku dan Kapten meletakkan sebelah telapak tangan kami ke atas permukaan peti.
"Biarkan semua kenangan terbang dengan damai," ucapku.
Untukku, tradisi ini memiliki arti yang mendalam. Awak kapal yang menyerahkan barang untuk diterbangkan memberikan barang-barang yang memiliki memori dengan orang yang ditinggalkan. Untukku, ini berarti merelakan seseorang yang pergi untuk selamanya agar ia dapat beristirahat dengan tenang.
Sebuah alat yang mengangkat peti dinyalakan, membuat peti itu melayang di atas lantai. Aku menatap wajah Kapten Milla sembari mengangguk.
Kapten balas mengangguk. Kami berdua mendorong peti itu keluar hangar, menembus pelindung udara transparan hingga melayang-layang di tengah ruang hampa. Perlahan peti itu menjauh, terlihat semakin mengecil. Antariksa membiarkan peti itu terbang dengan bebas sebab tak ada gaya yang mempengaruhi gerakannya.
Kapten berbalik kepada barisan anak buah, aku pun mengikutinya.
"Untuk kita semua. Aku harap kita tidak berduka terlalu lama. Dunia takkan berhenti berputar. Kita harus melanjutkan apa yang telah kita mulai. Untuk kita, untuk Viatrix, dan untuk semua orang yang telah mendahului kita," ucap Kapten.
Awak kapal yang sebelumnya seolah membisu akhirnya kembali bersorak dengan lantang. "Yera-Yera Yo!"
Di tengah kebisingan, aku menoleh ke belakang, ke arah antariksa lepas yang bisa terlihat jelas melalui pintu besar hangar. Peti berisi barang-barang dari banyak awak itu kini terlihat seperti sebesar kotak korek api, dan semakin mengecil seiring waktu.
Hal terpenting dari setiap kehilangan adalah membuat bintang dalam hati tetap bersinar di ruang hampa. Tetap melihat ke depan dan mengingat suatu saat kematian akan datang juga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top