12. Yang Menolong adalah Kawan

Layar utama konsol kendali menunjukkan sesuatu yang tak ingin aku lihat dalam hidupku. Sebuah armada kecil (jumlahnya tidak sampai belasan atau puluhan) baru saja tiba. Meskipun armada itu tidak memiliki ribuan kapal berjajar, tetap saja mereka adalah ancaman yang besar. Viatrix mana bisa melawan jika kalah jumlah.

"Identifikasikan kapal," ucapku.

Asisten kecerdasan buatan tak berwujud, Vidi melakukan perintahku.

"Kapten, kita harus bagaimana?" tanya Yu'zar. Aku tahu pasti dia juga kesulitan berpikir.

Ada dua kemungkinan keputusan yang bisa saja aku ambil. Memfokuskan daya menuju mesin atau mengalihkan daya menuju perisai. Keduanya sama-sama berisiko, ibarat maju kena mundur kena.

Aku terdiam sejenak. Pasti ada jalan lain.

Saviela berteriak dari lantai rendah anjungan. "Kapten! Armada yang datang bukan dari Serikat."

"APA?!"

Layar utama menunjukkan deteksi optik. Awalnya armada yang datang tampak seperti kumpulan serangga. Namun setelah diperbesar, kini tampak rupa mereka sebenarnya. Satu kelas penjelajah sebagai induknya, dikawal dengan enam kapal lebih kecil, tampaknya kelas korvet. Eksterior mereka tak tampak seperti kapal Serikat.

"Mereka—"

"Republik?" timpal Yu'zar, menuntaskan kalimatku.

Armada milik Republik Antarbintang masuk ke wilayah Serikat Sistem Independen. Namun, untuk apa? Jumlah mereka sangat sedikit, apa karena kekurangan personel? Atau mungkin mereka tahu pasukan Serikat tak mendiami Gundarna?

Terlalu banyak pikiran di kepalaku, membuat fokusku teralihkan. "Saatnya melarikan diri!" ucapku.

Kapal Serikat yang sebelumnya mengejar Viatrix pasti terhambat oleh kejaran armada Republik. Seperti kucing yang mengejar tikus tetapi malah dikejar anjing. Momen tepat untuk menjauh ketika dua kubu yang bermusuhan sedang adu tembak.

Bisa dibilang Republik adalah kawan kami untuk sekarang. Mereka datang di saat kapal Serikat tinggal memberi pukulan telat terhadap Viatrix.

"Qamary, sudah dapat tujuan sementara?"

"Sudah. Ada sebuah ruang antarsistem yang aku yakin bisa jadi tempat pelarian diri."

Aku menilik layar utama. Qamary menunjukkan lokasi yang dia temukan. Jika diperhatikan, titik lokasi berada di antara dua sistem bintang. Artinya, jika aku memutuskan untuk pergi ke sana, akan ada dua pilihan tujuan selanjutnya.

Aku menyetujuinya. "Kita akan pergi ke sana. Hitung berapa waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak aman."

"20 detik, Kapten." Qamary menjawab.

Situasi menguntungkan tak bertahan lama. Radar menunjukkan formasi armada Republik terbagi dua, berpencar. Kelompok besar mengejar kapal Serikat bersama sang kapal induk. Sementara dua korvet terpisah dari pimpinannya. Mereka mengejar Viatrix.

"Kapten, mereka tidak mau membiarkan kita lari," ujar Yu'zar yang masih berdiri di sampingku.

Viatrix berada dalam kejaran dua unit kapal korvet. Berarti Republik bukan lagi kawan kami. Tak ada lagi yang bisa diandalkan selain Viatrix sendiri.

Aku harus memastikan Viatrix dan seluruh anak buahku tak bertambah lukanya lagi.

"Kecepatan maksimum!" ucapku.

Meskipun Viatrix tak selincah kelas korvet, jarak aman masih bisa terjaga. Butuh waktu lebih panjang lagi untuk segera keluar dari lingkaran setan ini sebab orang Republik tak mau kalah.

Suara Euize tiba-tiba terdengar di tengah ketegangan. "Kapten, kecepatan kapal menurun. Kapal musuh bisa mendekat dalam waktu sekitar dua menit ke depan."

Aku menggebrak meja kendali dan mengintip platform rendah anjungan lagi. "Apa? Kenapa bisa?"

"Tindakan pencegahan otomatis, Kapten. Sepertinya mesin mulai memanas. Meski begitu, kita masih bisa mempertahankan kecepatan sekarang secara konstan."

Aku mengepalkan kedua tanganku kencang, menatap tajamtajam layar utama. "Kalau kau ingin bertempur, kau akan dapatkan itu!"

"Siapkan meriam utama. Fokuskan perisai pada bagian belakang kapal. Kita buat mereka ketakutan," lanjutku memberi perintah.

Seisi anjungan kembali bersorak, seakan luka dan rasa sakit mereka telah terobati. "Yera-yera yo!"

Viatrix tak bisa menjauh lagi. Sudah saatnya untukku berhenti lari dari medan tempur. Meriam utama telah disiapkan, begitu juga sistem pertahanan lainnya. Hanya tinggal menunggu si mangsa mendekat ke umpan.

Oh, Viatrix punya jarak tembak lebih jauh ketimbang kapal kelas korvet. Maka itu aku tak berpikir dua kali untuk meladeni mereka yang sudah jauh-jauh ingin mengejar.

Qamary melaporkan perhitungan waktu menuju jarak tembak. "Kapal musuh akan tiba di jarak tembak 18 detik lagi."

"Turunkan kecepatan Viatrix," titahku.

Viatrix melambat, membuat perkiraan kapal musuh masuk perangkap menjadi lebih singkat. Hitung-hitung mengistirahatkan mesin sejenak dan membiarkan sistem pendingin bekerja.

"Tujuh detik lagi."

Layar utama tak luput dari perhatianku. "Bersiap untuk membidik!"

Kapal yang terbang di posisi lebih depan terpilih menjadi calon mangsa. Semakin sedikit waktu yang tersisa sebab musuh tak sadar mereka bak ikan yang mendekati kail penjerat. Sasaran dibidik, aku semakin tak sabar untuk menampar wajah mereka dengan persenjataan yang kupunya.

"Empat detik lagi."

Aku harus menunggu dengan sabar. Mataku tak bisa teralihkan dari pantauan radar. Jantungku berdegup kencang seiring dengan hitungan mundur yang tampil di layar.

Saatnya tiba. Jaraktembak sudah diraih, dan Viatrix sudah siap untuk menyerang. Aku pun berteriak,"Tembak!"

Meriam utama langsung mengirim tembakan laser dengan frekuensi tembakan sedang menuju sasaran. Kobaran api langsung terlihat di beberapa titik lambung kapal musuh setelah tembakan berhasil dikirimkan oleh Viatrix. Kapal pertama mundur usai kerusakan yang mereka terima dalam waktu singkat.

"Serangan kita membuat kapal pertama rusak berat," ucap Pedra.

"Hentikan!"

Tembakan berhenti. Aku mendapat waktu untuk berpikir tenang usai memperoleh keunggulan.

"Kapten, kita tak lanjut menyerang?" tanya Yu'zar.

Aku menggeleng. "Ini taktik bertahan. Kalau kita terlalu fokus menyerang, kita tak akan keluar dari sini."

Kapal kedua yang mengejar tak gentar. Radar menunjukkan jarak antara kami dengan kapal itu semakin memendek.

Saviela berucap dengan lantang. "Kapten, sepertinya serangan kita belum berhasil membuat mereka takut."

Aku berteriak, "Tembak!"

Meriam kembali mengirim tembakan, menghujam dinding terluar kapal musuh. Mereka membalas, untungnya tak sampai menembus perisai energi yang hampir sekarat.

Yu'zar menatapku. "Kapten, kalau begitu sebaiknya kita fokus melarikan diri saja. Mereka tidak mau mengalah."

Aku mengangguk. "Benar. Kecepatan maksimum!"

Viatrix mulai menjauh lagi, supaya tidak terus-menerus meladeni kapal Republik. Mereka bukan musuh kami, sebenarnya, sebelum mereka mulai mengejar. Mereka seharusnya sudah memuluskan rencana pelarian diri kami dengan menyingkirkan musuh mereka yang sebenarnya, bukannya ikut mengejar.

Tampaknya benar, perompak memanglah musuh bagi semua orang.

Aku duduk sejenak tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Berada di medan tempur benar-benar membuat tubuhku merasa lelah.

Qamary melapor, "Kapten, butuh 20 detik lagi menuju jarak aman."

"Euize, bisakah kecepatannya ditambah lagi?" tanyaku.

"Tidak, Kapten. Terlalu berisiko."

Aku berdiri lagi. "Baiklah, kita harus bertahan sedikit lebih lama."

Tiba-tiba anjungan berguncang lagi. Meja kendali masih bisa menopang tubuhku supaya tetap berdiri. Viatrix menerima serangan lagi, untungnya tak separah serangan pertama.

"Bagaimana perisainya?" tanyaku kepada Pedra.

"Sepuluh persen, Kapten."

Layar menampilkan kedipan cahaya merah, bersamaan dengan suara alarm yang berderu.

Vidi si arwah kapal bersuara. "Lompatan cahaya terdeteksi. Sebuah armada telah tiba."

Aku mengepalkan tangan kencang sesaat setelah mengecek hasil deteksi Vidi. Armada dengan jumlah kapal tak banyak kembali muncul, kini berada di sisi kapal perusak milik Serikat. Mereka tampak seolah meminta bantuan.

Dua kapal yang mengejar Viatrix, satu diantaranya sudah rusak ikut ke dalam formasi armada Republik. Tak menunggu lama, mereka langsung saling mengirim serangan.

Layar holografik luas menampilkan hasil deteksi optik. Beberapa kapal Republik sudah terbakar, begitu juga dengan beberapa kapal Serikat yang sudah dipenuhi noda bekas tembakan.

Aku kembali duduk di kursiku, mengirup napas sejenak sebelum melanjutkan perjalanan keluar dari kegilaan ini.

"Kapten," panggil Yu'zar. "Semuanya sudah lebih tenang. Kita bisa pergi sekarang."

Aku hanya duduk diam dan mengangguk satu kali.

"Kita melarikan diri seperti perintah Kapten sebelumnya," ucap Yu'zar kepada anak buah komando. Dia menggantikanku untuk sekejap.

Aku menatap lelaki berambut putih-perak itu dalam-dalam. Di saat aku duduk tak berdaya, semua orang di anjungan masih mampu berdiri. Aku merasa seperti orang paling lemah di sini.

Awak komando kembali bersorak. "Yera-yera!"

Pemandangan ruang angkasa gelap bertabur bintik cahaya kecil seketika berubah. Bintang-bintang kecil memanjang, lalu seketika membentuk terowongan cahaya. Kilatan-kilatan cahaya biasanya memanjakan mataku, tetapi lompatan kecepatan cahaya saat ini tak ada artinya selain usaha untuk lari dari masalah.

Yu'zar menghadap kepadaku. "Kapten, Viatrix sudah berada di ruang cahaya. Kita berhasil."

Aku berdiri menghadap lelaki itu, lalu mendaratkan kepalaku di dadanya yang selalu tegap. Air mataku mengalir, membasahi pipiku dan pakaiannya.

"Kapten?"

Aku semakin tak kuasa menahan tangis. Makin-makin aku merasa seolah akulah si paling lemah di anjungan, atau bahkan di seluruh bagian kapal Viatrix.

Yu'zar mendekapku, mempersilakanku menangis di pelukannya.

"Sudahlah. Tak ada yang perlu disesali," ucapnya.

Hei, apakah kau menerima sisi lemahku? Di saat aku tak berdaya, akankah kau berdiri untukku?

Aku melepaskan diriku yang berhasil menghentikan tangis. Aku menatap sepasang mata biru miliknya dan sesekali menyapu air mata di pipi.

Kami berdua kini menghadap ke arah barisan awak komando yang berdiri di lantai rendah.

"Kerja bagus, semuanya."

Mereka hanya membalas dengan anggukan.

"Kerja bagus, Kapten."

Entah mengapa ucapan mereka malah membuatku seolah mendapat tamparan keras. Bukan kerja bagus namanya jika harus menerima kerusakan di beberapa titik kapal dan bahkan kehilangan seorang anak buah. Ini bukanlah kemenangan, bukan juga kekalahan.

Meski semua tangis dan luka menyayat dinding baja Viatrix, kapal ini tak boleh berhenti dari penjelajahannya.

Aku akan berlayar lebih jauh lagi di tengah gelap dan hampanya antariksa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top