11. Yang Menghadang adalah Lawan
"Lompatan terdeteksi. Ditemukan kapal yang baru tiba."
Vidi si arwah kapal memberikan peringatan. Aku menatap kapten tajam. Dari raut wajahnya terlihat sangat cemas, ditambah wajahnya tampak pucat.
"Kapten?"
Ia buru-buru beralih ke meja kendali. "Deteksi kapal milik siapa," ucapnya kepada Vidi.
Ketimbang mengkhawatirkan kapal yang baru tiba, aku lebih khawatir soal kondisi Kapten yang sedang tidak enak badan. Aku mengharap semoga ini bukanlah pertanda buruk.
"Aku akan panggilkan awak komando yang lain," ucapku.
Kapten hanya mengangguk. Aku menekan sebuah tombol untuk menyambungkan saluran komunikasi dengan ruangan masing-masing awak komando.
"Segera ke anjungan. Situasi darurat!"
Pemindaian Vidi akhirnya usai. Perangkat asisten kecerdasan buatan itu akhirnya mengidentifikasi kapal yang baru datang. Penampakan tubuh kapal itu tampak di sepetak layar holografik lebar. Ukurannya sebesar kapal perusak, dengan eksterior berwarna abu gelap. "Kapal di depan adalah milik Serikat."
Aku terkejut, Kapten pun tak kalah kaget. Bersamaan dengan itu, pintu lantai bawah anjungan terbuka. Awak komando yang lain segera bergegas ke konsol masing-masing. Pedra di konsol kendali pertahanan, Saviela di perangkat komunikasi, Qamary di depan komputer navigasi, dan Euize mengontrol daya kapal.
"Maaf mengganggu istirahat kalian, Anak-Anak," ucap Kapten.
Pedra menoleh. "Ada musuh?"
Kapten hanya mengangguk. Perempuan muda itu memandang ke arah jendela dengan tatapan tajam. Aku sendiri memperhatikan layar lebar di konsol Kapten yang menunjukkan deteksi optik. Aku tak bisa lepas fokus dari penampakan kapal itu.
Kapal perusak melawan kapal penjelajah ringan. Beruntung mereka hanya membawa satu.
"Saviela, sadap anjungan mereka. Aku ingin dengar siapa yang membawa kapal itu ke sini."
Saviela mencoba menuruti titah Kapten, tetapi sayangnya dia tak bisa. "Mustahil. Sistem keamanan mereka sulit ditembus."
Kapten duduk bersandar di kursinya dengan wajah lemas.
"Jangan paksakan dirimu, Kapten. Kita melarikan diri saja. Lagi pula, berdiam di sini tidak ada gunanya," ucapku.
Kapten menghendaki usulanku. "Qamary, siapkan rute darurat. Lebih baik kita melarikan diri sekarang."
Sistem sensorik milik Vidi memindai ancaman lagi. Kapal perusak milik Serikat melepaskan beberapa pesawat tempur, terbang menuju Viatrix.
"Gawat!"
Kapten kembali berdiri dari duduknya. Dia segera menghubungi regu penerbang, memberi perintah untuk mencegat yang datang.
Kapten tersambung dengan dua personel pilot pengawal Viatrix. "Anra, Kaal, halau mereka!"
"Kami segera ke sana, Kapten."
Tayangan di layar utama meja kendali menunjukkan deteksi radar. Pesawat musuh hampir mendekati Viatrix dalam waktu hanya sekitar tiga detik. Kami bereaksi, mengirimkan Anra dan Kaal untuk mencegat. Meskipun kalah jumlah, kemampuan Anra dan Kaal tak bisa dianggap remeh.
"Kami akan lepas landas ... sekarang!" seru Kaal.
"Kapten, apa aku perlu bersiap juga?"
Kapten menggeleng. "Situasinya dua lawan tiga. Bisa jadi itu hanya pengalihan supaya kita fokus ke pesawat mereka. Sedangkan kapal musuh semakin mendekat."
Aku mengerti situasinya. Kapten sedang tidak baik, sehingga aku tidak bisa meninggalkan anjungan begitu saja.
"Kapten. Sistem perisai sudah aktif. Persenjataan sudah siap," ujar Pedra.
"Alihkan daya maksimum menuju generator perisai. Kita akan melarikan diri setelah Qamary selesai dengan rute. Fokuskan turet untuk menyerang pesawat tempur mereka. Saat ini, lebih baik kita bertahan."
"Yera-Yera Yo!"
Pesawat tempur milik Anra dan Kaal berhasil menyingkirkan pesawat nirawak milik Serikat, dengan bantuan turet dari Viatrix. Seketika aku merasa lega setelah melihat radar. Namun, perasaan lega itu hanya bertahan sesaat setelah aku memeriksa sepetak layar yang menampilkan deteksi optik. Mereka mengirim unit pesawat tempur lagi.
"Kapten, bagaimana?"
Pesawat tempur denga sistem nirawak musuh datang dengan jumlah banyak. Kapal perusak dengan banyak pesawat sebagai pengawal bukanlah tandingan Viatrix. Mungkin sistem pertahanan tak akan kuat menahan gempuran mereka.
Kapten mendapat sebuah ide. "Kapalnya! Kapal yang kautangkap dari para pencuri kemarin."
Aku menoleh ke arah Kapten. Tak berucap, membiarkan perempuan itu menuntaskan pengungkapan idenya.
"Atur kapal itu dengan kendali nirawak. Kita kirimkan dia sebagai pengalihan," ucapnya.
"Memangnya rongsokan itu bisa dikendalikan tanpa awak?" tanyaku.
Kapten menatap ke bawah, ke arah Saviela. Perempuan berambut biru tua itu menampakkan wajah santai sembari mengacungkan jempol. Kapten membalasnya dengan anggukan.
"Bagus. Kirimkan kapal jelek itu kepada mereka. Kita menjauh, jangan sampai mereka memasuki jarak tembak."
Kapten melepaskan kapal kargo tangkapan untuk diterbangkan ke arah kapal musul sebagai pengalihan. Dengan kendali nirawak, tidak perlu khawatir jika kapal itu hancur. Kapten sendiri memberi perintah supaya kapal itu bergerak lurus ke arah kapal musuh dengan keadaan konstan. Sederhananya, kami ingin menakut-nakuti musuh dan mengalihkan fokus serangan sebelum kapal kargo menabrak mereka. Pertempuran menjadi dua lawan satu.
Rencana Kapten selanjutnya adalah melarikan diri dengan rute darurat setelah situasi aman dan Viatrix berada di jarak yang cukup jauh. Melarikan diri di situasi saat ini bukan mustahil, tetapi berisiko. Rute pelarian diri bisa diprediksi, bisa-bisa kami dikejar setelahnya. Selain itu, kapal musuh bisa saja mencapai jarak tembaknya lalu menembak sesaat sebelum atau bahkan saat hendak melakukan lompatan cahaya.
Aku mengatur arah Viatrix untuk berbelok ke arah kiri, kemudian menjauh untuk mendapatkan jarak aman ketika melakukan lompatan cahaya. Taktik pengalihan terlihat efektif. Tak ada satu pun tembakan dari meriam musuh diarahkan kepada kami.
Kapten menilik layar taktis. "Apa yang mereka lakukan? Mereka mengejar kita!"
Tampak dari radar, pesawat-pesawat musuh menghiraukan pengalihan dan bergerak mendekati Viatrix. Mereka lincah dan jauh lebih cepat ketimbang pergerakan Viatrix.
"Awas!" ujar Kapten ketika masih fokus dengan pantauan radar.
Pesawat musuh semakin dekat dengan Anra dan Kaal yang terbang di belakang Viatrix. Mereka menyerang dua pilot pengawal kami yang dibantu turet jarak dekat. Situasi pertarungan bukanlah menguntungkan untuk kami. Anra dan Kaal sangat kewalahan menghadapi skuadron nirawak milik musuh.
"Anra, Kaal, kembali ke hanggar! Pedra bisa mengurus semuanya," titah Kapten.
Kapten memerintahkan dua pesawat pengawal untuk kembali ke hanggar. Dia tak ingin kehilangan nyawa anak buahnya dan mengorbankan sistem turet untuk menyudahi perlawanan pesawat nirawak. Yah, turet masih bisa dibeli meskipun harganya tidak bisa dibilang murah.
Pantauan sensorik Vidi tak menampilkan pesawat Anra karena sudah masuk kembali ke hanggar. Sementara itu, pesawat Kaal masih tertinggal. Pantauan menunjukkan beberapa pesawat musuh mengejarnya.
"Kaal, sedikit lagi!" ucapku.
"Aku tertembak! Aku tertembak!"
Teriakan Kaal terdengar jelas melalui saluran interkom, membuatku napasku sesak seketika. Aku menoleh ke arah Kapten. Dia terdiam, bersamaan dengan tubuhnya yang mendarat keras di kursinya. Suara Kaal tak terdengar lagi usai teriakannya, sambungan komunikasinya terputus. Yang makin membuatku tak percaya adalah pesawatnya tak terdeteksi radar.
Salah satu bagian dari keluarga Viatrix telah pergi.
Seisi anjungan terdiam setelah mengetahui salah satu bagian keluarga Viatrix harus meregang nyawa, hampa bagaikan berpadu langsung dengan ruang angkasa. Aku duduk di kursiku, menundukkan kepala dan menutup wajah, menghela napas.
"Matilah kalian, bedebah-bedebah tak berotak!" teriak Pedra dengan kencang dari konsol kendali pertahanannya. Dia mengatur turet supaya melancarkan serangan balasan lebih intens.
Aku langsung berdiri dan menoleh ketika teriakan penuh kebencian memecah situasi hening. "Pedra!" panggilku. Pria itu tak meng-hiraukan ucapanku. Dia ingin membalaskan dendam Kaal kepada sayap besi dengan kecerdasan artifisial itu.
"Pedra, hentikan!" titah Kapten yang buru-buru berdiri dari singgasananya.
Membuat turet pertahanan untuk menembak dengan frekuensi tinggi bisa membuatnya kepanasan. Kapten tak mau ambil risiko sebab hanya itulah yang bisa diandalkan untuk pertarungan jarak dekat dengan pesawat tempur.
Pedra menoleh. "Kapten, kau tidak mau peluru mereka menembus lambung kapal, bukan?"
"Lakukanlah, tapi hentikan jika aku bilang berhenti," jawab Kapten.
Pedra tersenyum dengan mata berkedut, menahan tangis.
"Tak ada waktu untuk bersedih. Kita pertahankan kapal kita sekuat tenaga!" ucap Kapten dengan lantang. Mencoba untuk memercik api dalam hati para awak komando yang padam terkena hujan tangisan.
Turet pertahanan melayani pesawat tempur musuh yang semakin dekat. Dua pesawat berhasil disingkirkan dengan mudahnya. Radar hanya mendeteksi empat yang tersisisa. Namun begitu, situasi mudah sekali berbalik, baik itu untuk kami atau untuk musuh.
"Kapten, kita kehilangan turet nomor dua sebelah kiri."
Kapten tak berkutik, fokus pada layar pantau.
Dua pesawat tersingkirkan lagi. Aku beralih fokus terhadap pantauan kapal musuh. Mereka tak gentar untuk mengejar Viatrix meskipun kapal pengalihan bisa menabrak mereka dalam hitungan beberapa detik ke depan.
"Kapten!" panggilku. Aku menunjukkan hasil pantauan dari sepetak layar.
Aku dan Kapten menatap layar yang menampilkan pantauan optik si kapal pengalihan. Kapal jelek itu sudah sekarat. Lambung kapal berlubang, warna cat putihnya sudah berpadu dengan warna hitam, serta beberapa bagian tampak kobaran api. Kapal musuh menembak satu kali. Seketika kapal itu meledak dan terbelah menjadi dua.
Kapten menggebrak meja sembari mendekatkan wajahnya ke layar. "Tidak!"
Pedra melapor. "Kapten, pesawat musuh sudah dibersihkan." Aku dan Kapten serentak menoleh ke arah pria itu.
Satu sama. Kini Viatrix harus berhadapan langsung dengan kapal milik Serikat yang mengejar.
Kapten terdiam, tampak seolah sedang berpikir. "Alihkan tenaga menuju mesin. Jauhkan kapal dari musuh!" titahnya.
Tak lama kemudian, anjungan berguncang. Tubuhku menabrak konsol kendali utama hingga membuatku lemas. Aku berusaha bangun, tetapi rasanya mustahil. Tanganku tak kuat menopang, begitu juga kakiku yang tak berdaya.
Aku melihat Kapten dengan pandangan samar-samarku. Dia merangkak ke arahku, lalu memberikan uluran tangan. Aku rasa dia ingin menolongku berdiri.
Kapten memanggilku. "Yu'zar!"
Pandanganku mulai normal. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Uluran tangannya kuterima, dan aku berhasil bangun. Namun, tanganku sulit digerakkan, mungkin karena benturan dengan meja kendali.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Kapten.
Awak komando pun berusaha bangkit dan mengacungkan ibu jari. Pedra sedang menatap layar di konsolnya. Sementara yang lain segera meraih kursi mereka masing-masing.
"Kapten, sisi kanan menerima serangan," ucapnya.
"Separah apa?"
Hasil analisis langsung tampil di layar utama. Menampilkan ilustrasi penampang badan kapal dengan sisi kanan berwarna kuning berkedip-kedip.
"Perisai berhasil meredam, tetapi sekarang tingkat kekuatannya hanya tinggal 20 persen," jawab Pedra.
"Naikkan kecepatan menuju maksimum," titah Kapten.
Berdasarkan pantauan radar, Viatrix berhasil menambah jarak dengan kapal musuh secara signifikan. Lagi pula, kapal kelas perusak dengan tubuh yang lebih besar tak bisa bergerak secepat kapal penjelajah ringan.
Alarm kembali berbunyi, bersamaan dengan kedipan lampu ruangan mengeluarkan cahaya merah. Pertanda buruk lagi. Aku segera mengecek layar utama di meja kendali. Vidi menampilkan pantauan radar yang tak ingin aku lihat. Kumpulan kapal berjajar, tegak lurus di samping kapal milik Serikat.
"Kapten!" panggilku segera.
"Lompatan terdeteksi, ditemukan armada baru tiba."
Kapten kembali mendaratkan tubuhnya keras ke kursinya, menyandarkan kepala dan menengadah ke atas sembari menutup mata.
"Oh, tidak. Setelah ini apa lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top