5. Kutukan Perompak Antariksa
Sekelompok orang berlarian di hangar, menggotong tandu yang membawa seorang lelaki di atasnya. Lelaki itu sempat dikeluarkan dari sebuah pesawat yang rusak sebelum akhirnya dilarikan oleh orang-orang itu. Aku berlari dengan segera untuk mengikuti mereka.
"Yu'zar!" panggilku, meski aku tahu dia takkan membalas.
Mereka berlari dengan gegas membawa Yu'zar menuju ke ruang medis milik stasiun tambang. Tak pikir panjang, aku mengikuti orang-orang yang membawa tandu. Ketika aku hampir berlari beriringan, salah satu dari mereka menghentikan larinya.
"Kapten, jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja."
Bukan kalimat yang membuat jiwaku tenteram, tetapi mampu membuat langkahku ikut berhenti. Kelompok petugas medis akhirnya tetap berlari, sementara aku terpaku menatap mereka menjauh.
Aku menengok ke belakang, ke area hangar yang riuh dengan massa. Di tengah kerumunan orang, aku bisa melihat pesawat yang menjulang dalam keadaan rusak parah. Sayapnya tak lengkap, badannya menghitam dan lecet. Hampir semua bagian badan pesawat dipenuhi lekukan-leukan yang jauh dari kata estetis. Menjauhkan pesawat yang mampu melintasi ruang hampa dengan tangkasnya dari kesan gagah.
Aku mempertahankan Erenam 'tuk sekali lagi, tetapi apa yang harus kukorbankan?
Kerumunan mulai mereda, dan aku mulai menelusuri lorong dengan pandangan tertunduk.
50 jam standar setelah pertempuran.
Berhari-hari, Yu'zar menghabiskan waktu tidurnya di dalam tangki yang dipenuhi "cairan pemulihan". Aku memperhatikannya dari jendela kecil yang ada di pintu masuk sebab aku tak diizinkan memasuki area isolasi. Satu–dua lukanya pulih, tak tampak lecet sekali pun. Layar di sampingnya menunjukkan detak jantung yang normal. Namun, aku tak melihat tangan kirinya mulai membaik.
Tidak bohong, lengan bawah kirinya seperti tongkat kayu yang dipatahkan menjadi dua. Setiap kali aku melihatnya, aku langsung menutup mulut secara spontan. Semuanya hanya bisa aku saksikan dari jendela kecil sembari menahan tangis yang ingin kugelegarkan hingga ke angkasa.
"Kapten Mazcira," panggil seseorang. Cukup jarang orang memanggilku dengan nama belakangku.
Aku menoleh, mendapati kepala dokter stasiun. Dengan tablet di tangannya dan seorang perawat berjalan bersamanya, tampaknya dia hendak memasuki ruang intensif.
"Tuan, bagaimana keadaan Yu'zar sekarang?"
Tanpa satu kata pun terdengar atau sekali gelengan kepala terlihat. Dokter hanya diam sembari menundukkan pandangan. Kupikir ini kabar yang terlampau buruk untuk disampaikan dengan eskpresi apa pun. Aku ikut tak berkutik, hanya bisa melirik sesekali ke arah tabung pemulihan sembari berharap sosok di dalamnya tiba-tiba bergerak dan mengisyaratkan kabar baik.
Sepekan setelah pertempuran berlalu.
Aku tak melihat Yu'zar berada di dalam tabung lagi. Biasanya, ruang intensif dijaga dengan ketat oleh orang-orang berpakaian jas panjang dengan wajah tertutup masker. Namun kali ini, pintu terbuka dan tak ada satu orang berjaga di sana.
Meski Yu'zar belum sadar, tetapi ini pertanda baik. Dia telah dipindahkan dari ruang intensif, berbaring di sebuah ranjang di ruang rawat dengan tangan kanannya terhubung dengan sebuah selang kecil pengalir cairan infus. Sementara tangan kirinya, sepertinya tersembunyi di balik tubuhnya.
Kepalanya mengarah ke jendela di samping ruang rawat. Ketika aku melangkah, pandangannya mengarah kembali ke arahku. Wajahnya lemas -- biasanya memang datar, tetapi saat ini menunjukkan seolah tak punya jiwa sama sekali. Aku tak yakin diriku yang dia tatap, sebab pandangannya tertunduk seperti bocah pemalu.
"Milla," panggilnya.
Aku mendekat dan duduk di kursi kecil di samping kiri tempatnya terbaring. Aku bisa melihat sebelah lagi lengannya yang digantikan dengan lengan prostetik.. "Yu'zar, syukurlah kau selamat. Aku minta maaf."
"Aku masih hidup, Milla. Bagaimana pertempurannya?"
"Jangan memikirkan pertempuran dulu," balasku. "Aku lebih baik menyerah di pertempuran daripada harus membuatmu terluka."
Oh, bagaimana caranya menangis tanpa mengeluarkan air mata?
"Maaf, ini semua salahku."
Tanganku menutup wajah. Rasanya wajahku seolah terendam air mata yang tertahan, bersamaan dengan napasku yang tak karuan. Tiba-tiba, kurasakan sentuhan dingin menjalari punggung tanganku perlahan. Sentuhan dari lengan prostetik Yu'zar yang mencoba lembut dengan tangan kakunya.
"Tidak perlu merasa bersalah. Aku memilih untuk bertempur, dan ini resiko yang perlu kuterima."
Ruangan ini seakan menyatu dengan atmosfer Erenam yang senyap. Tak ada ucapan dari kami berdua, hanya ada tanganku yang telanjang -- tanpa sarung tangan yang biasa kukenakan -- menyentuh kulitnya yang terbuat dari logam khusus. Ketika kulepas, dinginnya membekas di telapak tanganku.
"Ada kutukan yang dipercayai oleh semua perompak di antariksa. Dikatakan, kami tak akan pernah menapaki daratan berlangit dan laut biru apabila kami masih serakah dengan harta di antariksa."
Aku sendiri memaknainya dengan dalam. Ayahku mengajarkanku tentang kutukan ini sejak kecil, dan ia tak ingin aku menanggapinya seperti kutukan sihir atau semacamnya. Sebenarnya ini adalah semacam peringatan.
"Jika aku masih ingin mencari harta karun di seluruh jagat Galaksi, aku tak akan pernah menapaki daratan planet laik huni."
Masih ada di dalam benakku hasrat untuk mencari harta paling berharga yang tersembunyi di jagat raya. Namun, aku ingin Erenam sebagai rumahku nantinya, meski planet tandus itu bukanlah dunia bertanah hijau, berlangit dan laut biru. Harta karun yang ingin kucari ialah jalan untuk membuat tanah oranye itu menjadi hijau.
Yu'zar menggeleng. "Tak ada yang harus aku salahkan. Dari dulu, aku sudah tahu, bertempur itu artinya siap mati."
"Tapi, kau tak perlu menanggung semuanya seperti itu," ucapku. "Kau tak perlu terluka, Kaal tak perlu mati."
"Sebuah bintang yang ingin menjadi besar harus siap planet terdekatnya terlahap," ucap Yu'zar. "Tak apa jika aku mengorbankan semua yang aku punya agar kau mendapat harta karun yang kau mau, Kapten."
Ucapan itu membungkam mulutku sekaligus menahan air mata untuk mengalir.
Nona perawat yang biasa berjaga menghampiri ruang rawat. "Maaf, Kapten," katanya, "Kami harus melakukan perawatan."
Aku mengangguk, tapi sekalinya kepalaku tentunduk, aku tak menegakkannya lagi. Aku menginggalkan ruangan itu dengan penuh perasaan bersalah. Lagi-lagi air mataku tertahan, tak kubiarkan mengalir deras. Di balik pintu ruangan ini, kusembunyikan semua rasa sedihku. Aku tak ingin Yu'zar ikut rapuh sepertiku.
Aku berjalan menuju Viatrix. Kapal itu sedang rehat di galangan ditemani beberapa orang yang sibuk dengan perangkat keras. Dia sibuk bertempur beberapa saat kemarin, sehingga butuh perawatan agar bisa kembali gagah. Saat aku tiba di galangan, aku terdiam, memandang tubuh besar berbalut cat violet yang beberapa bagiannya berlubang dan catnya luntur akibat luka tembak. Aku ingin membawa kapal ini menuju harta karun, bukan medan perang.
"Tidak mau beristirahat dulu, Kapten?" Suara seorang perempuan terdengar olehku di saat galangan riuh oleh orang yang bekerja. Ternyata Natela yang sepertinya sedang berjalan-jalan.
Aku membalas, "Aku sedang memantau pemeliharaan, yang mungkin bakal jadi pemeliharaan terakhir di sini."
"Meski kita menunda kepergian dari planet ini?" tanyanya.
"Nampaknya begitu," balasku. "Lagian aku telah menyiapkan Viatrix untuk perjalanan sedari kemarin."
Awalnya, rencanaku adalah untuk meninggalkan Erenam dan melepas stasiun ini beserta orang-orang di dalamnya. Namun, setelah situasi kacau beberapa hari kemarin, semuanya perlu kutunda. Perjalanan menuju Altxoria -- pusat para perompak -- harus ditunda setidaknya sampai Yu'zar dipulangkan dari rawat inap.
"Aku benci membicarakan kapten lamaku," celetuknya. "Tapi, dia pernah berkata, 'Sebuah planet yang indah terbentuk akibat benturan yang terjadi selama jutaan tahun.'"
Aku tak berkutik. Jika diingat, Natela benar-benar membenci mendiang mantan kaptennya. Namun, ucapan baik yang teringat dari orang paling dibenci adalah ucapan yang murni sehingga mendapat tempat di dalam hati.
Aku memandangi sosok kapal violet warisan keluaga Mazcira. Akankah aku jadi planet yang indah atau seonggok batu yang melayang di kehampaan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top