4. Batas

Alam semesta memang tak berujung, tapi tercipta di bawah kekangan batas. Begitu pula makhluk hidup seperti manusia atau ras berakal lainnya.

Di lantai atas anjungan, aku menatap pantauan optik dari kapal musuh yang ada di depan. Formasi mereka unik, mengandalkan tiga kapal berukuran kecil dan satu yang lebih besar dan identik dengan Viatrix ada di belakangnya. Mereka tak datang dengan damai pastinya, sejak Viatrix baru saja mengusir kapal Serikat lainnya 

"Satu menit lagi, Kapten!"

Kapten tampak yakin dengan rencananya. Dia berdiri di depan mimbar kendali sembari melipat tangan. Tatapannya mengarah kepadaku, dan wajahnya terlihat muram.

"Kau ... tak apa?" tanyaku.

Dia menggeleng sembari melepaskan lipatan tangannya dan tersenyum tipis. Senyuman yang dia buat hanya untuk membuatku tenang. "Tidak ada apa-apa."

Aku berdiri lebih dekat dengannya, di depan hamburan cahaya dari layar holografik yang luas. "Ngomong-ngomong, kita belum pernah melihat kapal semacam itu. Sepertinya mereka unit baru."

"Apa kau yakin kita bisa pergi ke Bintang Redup dan membuat Erenam menjadi layak huni seperti yang kita mau?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Kapten. Dia tak menggubris ucapanku sebelumnya, kendati malah memberi pertanyaan lain yang tidak nyambung. Aku hanya diam, menatap matanya yang sama oranyenya

seperti Erenam, tak bisa menjawab apa yang dia tanyakan.

Dalam beberapa waktu terakhir sebelum Viatrix kembali berlayar dan bertempur lagi, kami banyak menghabiskan waktu untuk merencanakan teraformasi Erenam. Terdengar gila, karena kami hanya sekelompok perompak biasa yang tak punya sumber daya manusia berjumlah banyak dan biaya yang besar. Namun, Kapten berhasil menemukan sebuah cara yang akan membuat rencana ini menjadi kenyataan.

Ada suatu tempat kuno di sisi timur Galaksi, jauh ke dalam Daerah Belum Terjelajah, yang hanya ada di peta galaktik kuno. Bintang Redup namanya, lebih terdengar seperti julukan. Namun, ada satu alasan mengapa tempat itu disebut Bintang Redup: bintangnya tak terdeteksi lagi sehingga tak ada di peta galaksi saat ini.

Waktu itu aku dan Kapten sedang berada di atas ruang utama stasiun tambang, memperhatikan planet oranye Erenam yang sedang terbit. Aku berucap kepada Kapten, "Mungkin bintang itu sudah mati, jadi tidak bisa terdeteksi lagi."

Selain mempelajari daratan Erenam sembari merawat sekuntum bunga ungu, Kapten Milla banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari Bintang Redup.

Kapten menyangkal ucapanku tadi. "Sebuah bintang yang mati tidak akan menghilang atau menjadi bangkai. Kalau massa bintangnya sangat besar, dia bisa menjadi lubang hitam atau bintang neutron. Dan kalau massanya lebih kecil, bisa jadi hanya menjadi bintang kerdil."

Kapten menambahkan, "Sebelum sebuah bintang mati, dia akan bersinar sangat terang, jauh dari kecerlangan yang ia punya. Tapi bintang itu ... redup, dan aku tidak yakin bintang itu tidak redup dengan sendirinya."

Aku sebenarnya tidak begitu paham ilmu pengetahuan tentang ruang angkasa, dan Kapten sebagai perompak memang sudah seharusnya mempelajarinya. Namun, aku sedikit menangkap yang Kapten ucapkan kepadaku.

"Jadi, kalau begitu ..."

"Cahaya bintangnya dihalangi sesuatu yang sangat besar, yang lebih besar dari bintangnya," ucap Kapten. Dan itulah alasan mengapa tempat itu disebut 'Bintang Redup'.  "Peradaban kuno membangun benda yang sangat besar untuk mengurung bintang itu, sampai dia redup dan akhirnya tak terlihat lagi."

Kapten memunculkan sebuah peta kuno yang usianya tampak sudah ratusan tahun. Peta itu tak menemukan sistem bintang yang ditemukan di Era Antarbintang, bahkan beberapa sistem yang ditemukan saat Era Koloni--era di mana makhluk berakal sedang gencar melakukan penjelajahan ke dunia baru sebelum Era Antarbintang--tidak tampil di peta itu. Namun, Bintang Redup tampil di sana, di tengah sisi timur galaktik, di zona asing yang sampai sekarang masih disebut Daerah Belum Terjelajah.

"Peradaban kuno itu meninggalkan rahasia untuk 'menghidupkan planet mati'." ucap Kapten sembari menatap kepadaku dengan senyuman manisnya. "Aku menemukan peta harta baru. Ayo pergi ke sana."

Matanya oranye seperti Erenam, seperti planet yang kuinginkan menjadi rumah.

Saat itulah Kapten Milla dan aku berencana untuk pergi ke Bintang Redup, agar dapat mendapatkan  harta karun dan rahasia untuk "menghidupkan Erenam".

Kapten menyela lamunanku. "Maaf, aku tidak fokus dengan pertempuran," ucapnya.

Aku juga malah tidak fokus dengan keadaan sekitar. "Aku juga."

"Kapten, lihatlah! Semua kapal musuh adalah otomaton. Mereka tidak punya kru dan dikendalikan secara otomatis," ujar Saviela. Dia memunculkan informasi tentang kapal musuh di layar utama.

"APA?!" Aku dan Kapten sama-sama terperanjat. Militer Serikat benar-benar diambil alih oleh otomaton. Dari layar utama, aku melihat spesifikasi milik kapal musuh. Benar saja, mereka tak perlu pengendali, tak seperti Viatrix atau kapal tempur lainnya di luar sana.

Otomaton atau robot dan semacamnya memang terpandang hebat dan canggih, apalagi jika digunakan dalam ranah militer dan pertahanan. Mereka terdengar seperti makhluk buatan yang hebat, tetapi mereka tak tahu, mereka hidup di bawah kekangan batas juga. Otomaton tak punya kebebasan berkehendak dan berpikir di bawah algoritma. Mereka tercipta oleh akal yang terkekang batas, sehingga batas mereka jauh lebih besar.

"Mereka gila," ujar Kapten.

"Kapten, aku punya usulan. Kita serang saja si ketuanya, kapal besar yang ada di belakang." Aku menunjuk proyeksi layar yang menampilkan formasi kapal musuh.

Kapten menoleh. "Apa bisa?"

"Ya," jawabku mengangguk. "Otomaton model baru tidak mungkin dikendalikan melalui stasiun satelit pengendali. Jadi, satu regu otomaton pasti memiliki komandan di belakang mereka. Jika komandan mereka dikalahkan, mereka akan nonaktif."

Kapten terlihat berpikir, tampak merancang strategi dengan saksama. "Aku mengerti!"

"Dua puluh lima detik, Kapten. Kapal musuh ada di depan!" Qamary berteriak.

"Maksimalkan perisai! Siapkan senjata! Kita serang kapal yang ada di belakang. Bersiap untuk tumbukan dari kapal yang ada di depan, jangan hiraukan mereka." Kapten memerintah dengan suara lantang, mata memicing, dan alis turun.

Sementara aku memejamkan mata sejenak sembari menghela napas. Bersiap!

Viatrix melewati barisan depan yang tidak ramah. Mereka mengirim serangan dari meriam laser, menghamburkan energi tinggi. Jumlah meriam yang dimiliki tiap kapal hanya satu, tetapi masing-masing bergantian menembak ke arah kulit kapal violet ini. Seakan mereka mengharapkan pengakuan dari Viatrix atas kehadiran mereka.

Anjungan berguncang saat Viatrix menerima serangan. Kapten hampir terjatuh akibat guncangan itu. Dengan sigap, aku menarik tangannya dan mendekapnya dengan sebelah tanganku yang lain. Namun, anjungan berguncang lagi, sehingga kami berdua terjatuh di atas lantai. Aku telentang, sementara Kapten mendarat keras di atas tubuhku.

Kapten mencoba bangun sembari memegangi pundakku. "Maaf, aku tidak waspada."

"Tak apa," jawabku. Aku segera bangun dan menilik ke lantai bawah. Terlihat beberapa awak juga terjatuh dari tempat duduk mereka.

"Kerusakannya bagaimana?" tanya Kapten sembari berpegangan ke meja kendali.

"Masih aman, Kapten," Pedra menjawab. "Tapi, kita kehilangan 22% dari tenaga perisai daya dalam sepuluh detik awal."

"Percepat kapal! titah Kapten. "Semakin cepat kita menghampiri komandan mereka, semakin baik."

"Yera-Yera Yo!"

Sementara itu, aku sendiri mengamati peta taktis yang muncul di layar utama. Viatrix berhasil melewati barisan tiga kapal yang ada di depan. Sekitar 15 detik, jarak tembak dengan kapal bos bisa dicapai. Mataku secara tak sadar membuka lebih lebar ketika tiga kapal yang sudah dilewati itu berbalik.

"Kapten, mereka mengejar!" ujar Saviela dari lantai bawah, terdengar lantang hingga ke tempatku berdiri.

Kapten Milla mendekatkan wajahnya ke layar sembari menggebrak meja kendali. "Bagaimana ...?"

"Aku punya ide, Kapten," ucapku. "Kita tidak harus menghancurkan kapal musuh. Kita serang antena kapal komando, tiga kapal lainnya akan nonaktif. Jadi kita hanya akan menghadapi satu kapal."

"Tapi, sekarang tiga kapal di belakang kita sudah berbelok, dan kita dalam kondisi terkepung," sanggah Kapten.

Anjungan berguncang lagi. Viatrix menerima serangan dari kapal yang ada di depannya. Aku menilik layar utama, menunjukkan kekuatan perisai daya berkurang lagi sampai 5%. Rencanaku harus segera dilakukan, kalau tidak, Viatrix akan terjebak dalam kondisi satu lawan tiga sampai titik batas kemampuannya.

"Kita buat pengalihan," balasku. "Aku dan Anra akan menyerang antena kapal komando. Menghancurkannya tidak butuh tenaga besar, jadi pesawat tempur bisa merusaknya. Sementara Viatrix berhadapan dengan tiga kapal lainnya, menjauh dari si kapal komando."

Kapten mengangguk. "Baiklah," balasnya singkat. "Belokkan kapal! Ubah lintasan kapal dan siapkan persenjataan! Kita lawan tiga kapal kecil itu sampai pesawat tempur kita menghancurkan antena musuh. Paham?!" ujar Kapten kepada awak anjungan.

"Yera-Yera Yo!"

"Baiklah, aku harus segera ke anjungan." Aku berlari sekuat tenaga, secepat yang aku bisa.

---

Di ujung Sistem Bintang Erenam, menuju batas tata suryanya, pesawatku terbang lagi. Kapal besar musuh sudah terlihat di depan, menunggu sambutan kecil dariku dan Anra. Sementara itu, Viatrix sudah berbelok, mengalihkan perhatian dua kapal di belakangnya.

Aku mengarahkan pesawatku untuk terbang di bagian atas kapal musuh. "Anra, sasaran kita ada di belakang sana. Menara antena yang tinggi di belakang meriam utama."

"Aku bisa melihatnya," jawab Anra. "Tapi mereka punya turet, jadi kita harus hati-hati."

Aku menilik layar holografik kecil di dekat setir kemudi. "Begini, biar aku yang urus antenanya, kau yang urus turetnya."

"Dimengerti."

Aku mengencangkan genggamanku kepada setir kemudi ketika aku memacu kecepatan pesawatku. Kapal musuh mengirim serangan beberapa kali, tetapi pesawatku tak menerima sedikit kerusakan sama sekali--dan aku sudah hafal betul pola serangan otomaton. Anra terbang rendah, menghindari perhatian dari turet.

Bersiap

Sasaran sudah di depan. Menara tinggi menjulang dengan pemancar di atasnya yang mampu memberi perintah bahkan dari jarak yang begitu jauh. Aku memfokuskan mata, memantapkan ibu jari di atas tombol tembak. Dengan segera aku menekannya dengan kencang hingga tampak semburan peluru cahaya dari pesawatku.

Berkali-kali peluru sinar menghujam menara itu, hingga meleleh dan akhirnya meledak. Aku terbang memutar dari bagian belakang kapal musuh.

"Kapten, bagaimana di sana?" tanyaku, tersambung dengan Kapten dari saluran.

Kapten menjawab, "Berhasil. Kapal-kapal itu memang tidak berhenti bergerak, tapi mereka berhenti menyerang. VIatrix akan ke sana."

Aku menilik radar. Viatrix sudah meninggalkan tiga kapal itu, sementara mereka masih bergerak. Mereka sudah nonaktif, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan mereka sebab tidak ada penghambat di ruang hampa. Dari proyeksi lintasan, diperkirakan mereka akan saling menabrak beberapa menit lagi.

"Bagus sekali," ujarku.

Tiba-tiba, kilatan cahaya menyambar pesawatku, hingga badan pesawat ini berputar-putar. Ruang kokpit dihiasi kelap-kelip lampu merah dan alarm. Aku tak sanggup menahan guncangan ini–bahkan untuk berteriak pun aku tak mampu. Hanya dengan tangan kanan, aku mencoba menyeimbangkan setir kendali.

Setelah itu, semuanya seakan hilang.

---

Aku tak ingat pasti dengan yang terjadi belakangan ini. Yang jelas, aku telentang dengan pandangan yang kabur. Perlahan, tampak lampu neon panjang di atas langit-langit. Aku melihat sekitar: tangan kananku dihubungkan dengan selang infus dan tangan kiriku dibungkus perban yang tebal.

Ketika aku menyadarinya, sontak rasa sakit muncul dari sekujur tubuh, terutama dari tanganku yang diperban, seakan seluruh sarafku baru hidup kembali. Aku menahan rasa sakit ini sembari menahan teriak. Namun, teriakanku seolah teredam.

Sebuah otomaton berwujud setengah badan terbang muncul, seperti hantu atau mungkin malaikat pencabut nyawa. "Tuan Wakapten, syukurlah kau sadar." Robot itu datang bersama seorang wanita perawat. Mungkin lebih tepatnya seperti sepasang malaikat pencatat perbuatan baik dan buruk yang hendak memberikan penghakiman.

"Berapa lama aku pingsan?" tanyaku. "Di mana aku?"

"Beruntung kau sedang berada di stasiun tambang. Terakhir kau ditemukan sekitar dua hari lalu, saat pertempuran dengan musuh."

Aku terperanjat. "Bagaimana pertempurannya? Di mana Kapten?"

"Tenanglah, Tuan," kata si perawat. "Kapten akan mengunjungimu setelah ini."

Aku sedikit tenang mendengar Kapten Milla selamat. Perlahan kubaringkan lagi tubuhku di tempat tidur.

"Tapi, Tuan, aku harus menyampaikan beberapa hal kepadamu. Tangan kirimu, cederanya sangat parah, dan kami tak bisa menyelamatkannya," ucap si dokter otomaton. Aku masih mencerna ucapannya, heran, sebab aku masih melihat tangan kiriku yang terbungkus perban tebal. Ataukah ...?

"Kami harus menggantinya dengan tangan prostetik," sambungnya. Jelas aku tak percaya salah satu anggota tubuhku harus diganti dengan yang palsu.

"Tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN!"

"Maaf, Tuan." Wanita perawat menghampiri sisi kiri tempat tidurku. Dia mulai melepaskan perban yang membungkus tangan kiriku--tepatnya tangan palsuku. Ketika dibuka, tampak sebuah tangan prostetik dengan warna perak metalik.

Aku mencoba menggerakkannya perlahan. "Tidak. Ini tidak mungkin!"

"Tuan Yu'zar, aku sangat meminta maaf, tapi ini demi keselamatanmu. Jika tangan aslimu tidak diangkat, seluruh lenganmu akan membusuk secara total. Beruntung juga kau tidak menerima luka bakar, berkat baju pilotmu."

Aku membaringkan tubuhku sembari menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Terasa dingin menyengat di bagian wajah yang disentuh tangan logam ini. Beruntunglah aku tidak mati.

"Anda harus mengonsumsi beberapa obat," ucap perawat. "Tubuh Anda kehilangan banyak darah, tapi beruntung golongan darah Anda resipien universal."

Robot dokter dan wanita perawat itu meninggalkan ruanganku. Ketika pintu bergeser, tampak Kapten sudah menunggu di balik pintu. Dia mempersilakan dokter lewat dulu, lalu masuk ke dalam ruangan.

"Milla," panggilku.

Dia duduk di kursi kecil di samping kiri tempat tidurku. Pandangannya tertunduk, serta wajahnya muram, sama seperti yang kuingat terakhir kali ketika kami berada di anjungan. "Yu'zar, syukurlah kau selamat. Aku minta maaf."

Aku menaikkan tempat tidurku hingga seperti kursi rebah. "Aku masih hidup, Milla. Bagaimana pertempurannya?"

"Jangan memikirkan pertempuran dulu. Aku lebih baik menyerah di pertempuran daripada harus membuatmu terluka." Kapten membenamkan wajahnya di balik telapak tangannya. "Maaf, ini salahku. Semua ini salahku."

Aku mencoba merengkuh telapaknya dengan tangan kiriku sembari menahan rasa sakit. Aku masih kaku dengan lengan prostetik dan otot lenganku terasa linu, jadi pelan-pelan kucoba. Aku berhasil menyentuhnya, meski tanganku ini tak akan bisa merasakan telapak lembutnya lagi.  Kuturunkan tangannya hingga wajahnya tampak lagi. "Tidak perlu merasa bersalah. Aku memilih untuk bertempur, dan ini resiko yang perlu kuterima."

Dia menggenggam tangan palsuku, terlihat erat, tetapi tak bisa kurasakan. Air mata menitik di atas kulit logam, tak bisa kurasakan basahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top