3. Bertahan 'Tuk Sekali Lagi
Kamarku senyap, hanya ditemani suara berdetik dari jam jarum kuno milik Ayah. Aku berdiri di depan cermin, menanggalkan jubah hitam-emas yang juga dulu miliknya. Kali ini, untuk pertama kali aku berani menyentuhnya, bahkan mengenakannya di atas pundakku selama pertempuran. Kubentangkan jubah itu di depan mata. Lalu kuberpikir, apakah arwah Ayah sudi melihatku dengan jubah ini berdiri di anjungan.
Aku kenakan jubah itu kembali. Jubah ini lebih panjang di sisi kanan, sehingga lengan kananku hampir tertutup dan di sisi kiri hanya menutupi pundak. Wajahku tampak serius di cermin. Akhirnya aku tanggalkan lagi dan kulepaskan pula gaun kaptenku.
Jika aku tak memakai pakaian kehormatan itu, seperti sekarang, aku hanya penumpang biasa Viatrix.
Aku duduk di kursi kerja yang empuk dan nyaman, di depan meja kerja mewah yang terbuat dari kayu, entah diimpor dari planet mana. Aku menidurkan kepalaku di atas meja, jauh lebih nyaman ketimbang di anjungan.
Layar di depan meja kerja menyala, dan aku mendapat sapaan dari Vidi. "Selamat malam, Kapten. Kerja bagus hari ini."
Aku tak menghiraukannya, sebab sapaan ini hanyalah protokol dari si arwah kapal. Aku membangkitkan kepalaku, dan menengok ke arah gambar Erenam yang tergambar di layar.
Selama ini, aku mempelajari Erenam lebih lanjut. Pendapatan luar biasa dari pertambangan di Bulan Pertama bisa membiayai pengamatan di sana. Memang perompak Edeatu bukanlah sekelompok saintis yang mengembara ke dunia tak diketahui untuk urusan ilmiah, tetapi ilmu tentang mengamati planet sudah menjadi dasar perjalanan antariksa untuk menemukan harta karun. Terlebih lagi, aku menemukan kemungkinan daratan oranye tandus itu untuk ditinggali.
Namun, apakah aku benar-benar ingin menjadikannya rumah?
Pertama kali aku menginjakkan kaki di sana, aku hanya berjalan-jalan singkat bersama Yu'zar. Namun, setelah sekian lama pengamatan, aku menemukan sesuatu yang menarik dari Erenam.
Aku berdiri dari kursiku, beralih ke sebuah tabung kaca yang kusimpan di atas sebuah nakas. Tabung kaca itu berisi sebuah pot transparan yang di dalamnya terdapat tanah berwarna oranye. Di atas tanah itu, tumbuh sebuah bunga yang indah berkelopak biru tua dengan bintik putih kecil. Aku menyebutnya eremina, bukti keajaiban Erenam.
"Aku lupa sesuatu!" ujarku. Aku segera mengambil tabung lain berisi air dan sebuah suntikan. Aku menyuntikkan air dari bagian bawah tabung vas bunga itu. "Maaf, sobat kecil, pertempuran tadi membuatku lupa untuk memberimu minum."
Bunga itu sensitif, tak bisa tahan di udara seperti di kapal. Yang paling unik dari bunga ini adalah, di bawah tempat bunga ini tumbuh, di situlah terdapat air yang terkubur di dalam tanahnya.
Benar, ada air yang tersembunyi di balik batuan Erenam.
Meski begitu, Erenam bukanlah tempat yang 100% layak huni. Air mereka terpendam di kedalaman tanah, karena temperatur di atas permukaan tanah cukup panas untuk membuatnya menguap. Sehingga, selain membuat lapisan oksigen, temperatur permukaan di Erenam perlu diturunkan secara global.
Terdengar mustahil, tetapi aku sudah tahu bagaimana caranya.
Alarm tamu berbunyi. Aku menoleh sembari menaruh tabung air di atas lantai. "Siapa itu?"
"Ting-nong! Saviela membawa makanan enak malam ini," balas si tamu yang sebelumnya menirukan suara bel dengan mulutnya sendiri. Seperti anak kecil, memang.
"Masuklah! Aku tak mengunci pintu."
Pintu kamar bergeser, dan sosok yang menunggu di balik pintu terlihat. Saviela masuk membawakan dua kue mangkuk di tangannya. Spontan aku bertanya, "Sintetis atau asli?"
"Tentu saja sintetis. Setelah pertempuran tadi, aku tidak sempat memasak. Tapi, ini enak!" jawabnya. Saviela duduk di sebuah sofa panjang, dan aku juga duduk di sana.
Makanan sintetis memang sangat umum di Viatrix. Untuk perjalanan jauh yang memakan waktu lama, kami tak begitu khawatir soal pangan, karena masa penyimpanan makanan sintetis yang lama. Juga penyajiannya mudah, hanya perlu alat masak sederhana seperti kompor atau oven mikrogelombang pun sudah bisa. Sementara soal rasa, makanan cepat saji semacam itu tak menang dari makanan yang harus membuatku menunggu lama, tetapi rasanya tak jauh beda dengan makanan "asli".
Aku menikmati kue ini, rasanya manis dan menggugah jiwaku yang lelah. "Enak!" ujarku.
"Kau tak terlihat di ruang makan selama jam makan malam, jadi kubawakan saja kue-kue ini."
Aku tak menghiraukan Saviela yang duduk di samping dan memakan kue yang satu lagi. "Aku mau tambah!"
Aku sekilas melihatnya menggelengkan kepala. Seperti saat kami kecil dulu, jika Saviela membawa makanan, akulah yang akan menghabiskannya. Sementara dia hanya senyum-senyum atau menertawakanku, mungkin juga menahan kesal karena diriku yang rakus.
Kami tumbuh di kapal ini. Menyaksikan orang-orang datang dan pergi. Mengunjungi tempat di berbagai penjuru Galaksi yang tak kami ketahui. Hingga dia duduk di anjungan dan aku berdiri sebagai Kapten.
"Mereka datang lagi. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Saviela, memecah konsentrasiku yang sedang menghabiskan kue mangkuk yang manis dan lezat.
"Mungkin aku akan berpikir untuk pergi ...."
"Kau yakin? Bukannya kau ingin membuat rumah di sana, di daratan Erenam?" tanyanya lagi.
Aku menaruh mangkuk kosong di atas meja. "Perburuan perompak sedang terjadi di mana-mana. Kemarin, aku dapat kabar, belasan kapten kapal yang menjalajah Daerah Belum Terjelajah ditangkap. Bisa jadi kita sasaran berikutnya."
"Lalu, kita akan pergi ke mana?"
Aku dan Saviela sudah terbiasa berpindah-pindah. Bahkan tak jarang Viatrix hanya singgah sebentar di suatu planet, seperti di Dameon dan Gundarna dulu. Bagi perompak antariksa yang berlayar di laut hampa, kami harus mengenal planet-planet beserta daratannya agar tak sulit menemukan tempat singgah selanjutnya.
Untuk kali ini, aku hanya menggeleng. "Aku belum tahu."
"Eh, maaf aku malah bertanya yang berat-berat," ucapnya.
"Tak apa. Aku harus memikirkan ini. Kalau tidak, semua penumpang Viatrix bisa dalam bahaya."
Saviela terlihat seolah sedang meregangkan tubuhnya, lalu menguap. "Aku ngantuk. Lebih baik kau tidur juga. Jadi kapten juga perlu istirahat." Dia beranjak, membawakan dua mangkuk bekas makanku.
"Terima kasih, ya. Mungkin aku tak akan makan jika kau tak datang."
Pintu kamarku terbuka. Saviela melangkah ke sisi lain, disusul tertutupnya pintu ketika dia melambaikan tangan. Kini aku sendiri, beranjak dari kursi empuk ini dan berjalan menuju tempat tidur. Ketika aku hendak merebahkan tubuhku, aku memperhatikan beberapa hiasan dinding, seperti lukisan dan bendera yang tergantung.
Akhirnya aku menumbangkan tubuhku di atas tempat tidur, lalu memadamkan lampu utama. Namun mata, tubuh, dan pikiranku masih menolak untuk terlelap. Aku hanya bisa menatap langit-langit sembari memikirkan kembali yang telah terjadi hari ini.
Apa benar aku ingin menjadikan planet oranye itu sebagai "rumah"? Ataukah aku hanya tertahan oleh sifat rakus dari semua yang bisa aku dapat di sini?
Apa yang sebenarnya kucari dalam hidupku?
Saat terbaring, aku menatap langit-langit. Di atas sana, bersinar bintik-bintik yang menyala ketika ruangan kamar ini redup. Itulah lukisan Sang Galaksi yang digambar dengan cat terang-dalam-gelap. Melihatnya seolah benar-benar menatap Sang Galaksi yang maharaya.
"Apakah Erenam ada di sana?" Aku menunjuk sebuah bintik kecil, di sekitar bagian timur lukisan Sang Galaksi–Daerah Belum Terjelajah.
Jika melihatnya seperti ini, aku tak akan pernah tahu posisi sebuah bintang di Galaksi. Sang Galaksi punya sekitar dua miliar bintang, masing-masing mereka setidaknya punya satu planet yang mengitarinya. Sebuah planet bahkan tak akan terlihat di proyeksi Galaksi dengan bentuk apapun. Namun ketika aku melihatnya dari anjungan, tampak seolah bola raksasa yang mengembara di gelapnya ruang hampa.
Alam semesta jauh-jauh lebih besar dari yang aku bayangkan.
Tanganku masih menunjuk titik yang tadi, tetapi pandanganku beralih ke bagian ujung Sang Galaksi. Bagian yang sangat jauh. Bahkan dengan perjalanan DAC (di atas kecepatan cahaya), perlu waktu yang tak singkat untuk mencapai sana.
Lalu, sebenarnya apa yang kucari saat ini?
Jemariku melemah, lenganku tumbang dan mendarat di atas kasur, kehilangan energinya. Mataku enggan menutup, masih menatap lukisan Sang Galaksi yang berpendar di langit-langit.
Akhirnya aku memejamkan mata. Mengistirahatkan tubuh dan pikiranku yang teramat lelah ini.
***
Alarm kapal yang mengerang dan lampu merah yang berkedip hampir tak membangunkanku. Mataku membuka, tetapi tak merasa aneh dengan sensasi kedipan lampu, dan telingaku tak merasakan kebisingan seolah ini hal yang biasa.
Tak ada malam yang tenang.
Saat ku sadar, dengan cepat aku bersiap dan berlari menyusuri lorong menuju anjungan. Jubah hitam yang aku kenakan tak menghambat lariku, justru lebih ringan ketimbang jubah putih yang biasa aku kenakan sebelumnya. Sistem lacak di dekat pintu anjungan mengenaliku, tahu aku sedang tergesa-gesa sehingga langsung membuat pintu terbuka tanpa harus membuatku memperlambat langkah.
Di dalam, belum tampak semua awak anjungan. Aku langsung berlari menuju mimbar kendali. Layar utama menyala, menampakkan hasil deteksi radar yang menunjukkan penyusup, jauh di sekitar ujung tata surya Erenam.
"Yu'zar!" Aku memanggil lelaki berambut putih-perak yang berdiri di dekat mimbar kendali sembari berlari ke arah meja kendali. "Apa yang terjadi?"
"Kapal Serikat muncul di ujung sistem. Kita harus mencegah mereka sampai ke sini."
"Kenapa kapal-kapal itu pergi ke ujung sistem, bukan langsung ke teritori Erenam?" tanyaku.
Pintu lantai bawah terbuka, suaranya menyela pertanyaanku. Keempat awak anjungan sudah muncul. "Kapten, kami sudah di sini," ujar Qamary.
"Lebih baik kita langsung pergi ke arah musuh kita. Cegah selagi bisa, hadapi selagi mampu."
"Yera-Yera Yo!"
Viatrix lepas landas dari galangan, langsung meluncur bebas menuju gelapnya ruang angkasa. Kapal violet ini harus meninggalkan Bulan Pertama lagi, setelah beberapa jam sebelumnya sudah bertarung dengan kapal Serikat. Namun, inilah yang harus aku hadapi, di saat Serikat melakukan Operasi Perburuan Perompak.
Tak ada malam yang tenang.
"Lima belas menit menuju ujung sistem, Kapten. Dari pantauan stasiun, mereka berada di wilayah planet ketujuh, tetapi mereka benar-benar cepat," ucap Qamary.
"Apa Viatrix belum bisa melacaknya?" tanyaku.
"Belum, Kapten. Sekarang, kapal masih tersambung dengan radar stasiun," jawab Saviela.
"Baiklah, fokuskan tenaga menuju mesin. Kita kejar mereka!"
Viatrix terbang sangat cepat, dari Erenam si planet keempat menuju sebuah planet batuan raksasa di urutan orbit ketujuh. Kapal ini masih belum bisa melacak mereka, karena pantauan radar kapal yang terbatas.
Saviela berteriak, "Sambungan dengan stasiun terputus, Kapten!"
"Baiklah, kita terus maju saja."
"Bisakah kita menghadapi mereka?" Yu'zar bertanya, suaranya tiba-tiba muncul setelah sebelumnya dia sangat diam. Dengan spontan aku menoleh ke arahnya yang berdiri di sebelah meja kendali.
Aku tak yakin, takut. Setelah pertempuran sebelumnya kumenangkan dan Erenam gagal jatuh ke tangan Serikat, mereka pasti mengirimkan tenaga yang lebih besar. Namun di sisi lain, jika aku mundur, Erenam-lah yang akan jadi korban. Planet oranye dengan dua bulan itu akan kembali ke tangan Serikat.
Kali ini aku akan bertahan untuk sekali lagi.
"Aku tidak mau semua yang sudah kita kerjakan menjadi sia-sia," ucapku, menatap dalam-dalam kedua bola mata birunya.
Yu'zar mengangguk dengan senyuman tipis tergambar di wajahnya. "Benar. Kita harus mempertahankah apa yang jadi milik kita."
Aku pernah mengatakan hal serupa itu kepadanya. Tatapannya yang bertemu denganku membuatku tenang. Aku ikut tersenyum, sembari memastikan diri ini untuk bersiap dengan pertempuran di depan.
Waktu +13 menit setelah pelayaran ....
Dari kejauhan, kapal-kapal kecil bergerak mendekati Viatrix, begitu cepat. Memang tak sebanding jika ukurannya dibandingkan dengan kapal ini--mereka jauh lebih kecil. Namun mereka datang dengan formasi tiga kapal ditambah satu kapal induk yang ukurannya lebih besar terbang di belakangnya.
"Kapten, mereka itu kapal milik Serikat," ucap Saviela yang mencoba mengenali identitas musuh yang datang.
Aku menatap jendela raksasa. "Kita akan hadapi mereka, apa pun risikonya." Dari atas mimbar kendali, aku bisa menatap masing-masing pos awak anjungan lainnya. Aku menatap mereka satu per satu bergantian. "Hitung waktu menuju jarak tembak."
"Dua menit, Kapten. Kapal milik musuh sekarang tak bergerak secepat tadi," balas Qamary.
Aku melangkah mundur sejenak, duduk di atas kursi komando sembari memikirkan skema empat lawan satu yang akan dihadapi. Area pertempuran akan sangat jauh dari Bulan Pertama Erenam, sehingga meriam pertahanan tak akan bisa menjangkau musuh.
Hanya ada dua menit untuk berpikir sebelum pertempuran panjang, setelah 13 menit sebelumnya hanya kugunakan untuk menguatkan jiwaku.
Aku berdiri lagi, kembali ke depan mimbar kendali. Yu'zar langsung melangkah ke arahku. "Bertahanlah sekuat mungkin. Giring mereka sampai ke jarak tembak meriam stasiun. Maksimalkan tenaga menuju perisai energi. Kita menyerang jika ada kesempatan."
"Yera-Yera Yo!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top