8. Serba Berantakan
Sang siluet berniat lari dari takdir yang membebat erat. Bermimpi menemui cerita baru yang tidak pernah ia rasai sebelumnya. Entah pengampunan atau kehancuran yang menanti, dia tidak peduli.
Hari ini adalah hari besar. Setidaknya, begitulah yang Sega rencanakan untuk dirinya. Berkali-kali dia harus diingatkan, semestanya tidak pernah memihak. Dunianya terlalu gelap, apatis pada kerisauannya. Dan jika dirinya sendiri ikut terpuruk, semuanya akan semakin di luar kendali.
Setidaknya, dengan sisa kewarasannya sekarang, dia ingin menyelamatkan semesta orang-orang terdekatnya. Karena dia tahu, miliknya sudah mati tak bersisa, ikut terkubur bersama penyesalan dan ribuan perasaan tak berguna. Sebesar apa pun rasa dukanya, sedalam apa pun perasaan ingin memperbaiki segalanya, keadaan tidak akan bisa menjadi semula.
Jika ingin melangkah dengan kepala mendongak tinggi, Sega harus menerima fakta itu. Meski artinya, dia harus menghadapi luka paling mengerikan.
Biasanya, langkah awal selalu menjadi hal paling berat yang bisa dibayangkan. Dan Sega sudah bertekad. Dia sudah melewati langkah pertama yang kata orang tidak mudah dilewati.
Entah bagaimana respons orang-orang nanti, Sega masih percaya langit memberi kesempatan kedua. Dia masih bernapas. Dia hidup. Dan Saga tidak. Itu artinya, semesta kembali menguji. Sanggupkah Sega?
Meski dengan langkah setengah gugup dan maju tidak maju, Sega akhirnya berdiri di sini. Di depan sebuah pintu kayu yang tertutup rapat. Di dalam ruangan itu, dunianya, kehidupan yang menerima Sega apa adanya berkumpul. Dan hari ini, dia sudah memiliki sebuah keputusan bulat.
Satu kali. Dua kali. Perlu beberapa tarikan napas sampai Sega merasakan ketenangannya kembali. Meski hanya separuh. Tapi, begini sudah cukup.
Tangannya mendorong pelan, menimbulkan derit lirih saat engsel pintu bergerak. Di hadapan Sega sekarang, teman-teman satu timnya sedang sibuk saling mengoper bola diiringi teriakan dan umpatan sebal.
Sega meringis kecil. Mentang-mentang sedang latihan sendiri tanpa pelatih, teman-temannya jadi seenaknya merasa bebas tanpa menyaring isi ucapan mereka.
Namun bukannya kesal, Sega malah termenung sebentar. Rasanya, dia ingin tersenyum lebar sekarang. Gatal sekali ikut bergabung pada kerusuhan di tengah lapangan. Namun, bukan itu tujuan Sega hari ini.
Laki-laki itu kembali memantapkan diri, melangkah lebih pasti memasuki ruangan. Harapan Sega hanya satu. Keputusan impulsifnya tidak mengundang penyesalan di kemudian hari.
Baru satu langkah Sega mendekat, salah seorang di lapangan menyadari kehadirannya. Sega tidak bisa menahan diri untuk meringis, saat orang itu mendekat. Di antara semua orang, kenapa harus dia?
"Yo," sapa cowok itu. "Seragam lo mana? Bentar lagi mau sparing, nih."
Sega berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya sudah benar. Akal sehatnya memaksa Sega kembali mempertimbangkan, karena dia lebih dari yakin keputusannya akan menghasilkan penyesalan baru di kenudian hari. Namun, Sega bisa apa?
Semestanya, tidak mempersilakan Sega memiliki keputusan memilih.
"Gue dari Pak Bento barusan," kata Sega memulai prakatanya. Yang Sega tahu sekarang hanya satu. Membicarakan rencananya dengan Bara adalah pilihan yang kurang bijak. Tapi bagaimana? Laki-laki ini yang muncul di depannya sekarang.
Sega sempat melirik ke arah lapangan, mencari keberadaan Dito. Lebih terasa nyaman jika berbicara dengan teman laki-lakinya yang memiliki otak seperempat kapasitas dari orang lain itu. Namun, Dito terliht sedang asyik dengan beberapa anak lain yang saling mengoper bola.
"Terus?" Bara masih belum menangkap raut tidak nyaman dari wajah Sega. "Gue udah tahu Pak Bento gak bisa dateng."
Bukan itu yang ingin Sega katakan, demi Tuhan. Bagaimana harus memulainya sekarang, dengan Bara di depannya.
Temperamen Bara adalah satu hal. Dan memancing emosi temannya yang satu ini, adalah pilihan terakhir yang ingin Sega lakukan hari ini. Namun sekali lagi, ternyata semesta sedang senang bermain-main dengan drinya.
"Gue tanya," kata Bara lagi, karena tak kunjung mendapat jawaban, "seragam lo mana? Kita udah mau sparing."
Mungkin, Bara sudah menangkap gelagat aneh dari Sega, karena laki-laki itu sudah menyipitkan mata, menatap Sega intens sekali. Sega takut dia bisa terbelah dua karena tatapan temannya ini. Punggungnya bahkan sudah menggigil kecil.
Dengan gerakan kikuk, Sega melepaskan tasnya dari punggung. Dia mengeluarkan sebuah kaus putih tanpa lengan dengan nomor punggung 6.
"Ini."
Sega mengangsurkan kaus itu ke tangan Bara, diikuti senyum kikuk yang masih belum hilang dari bibirnya. Karena Bara tidak menjawab, Sega melanjutkan.
"Gue balikin. Gue keluar dari tim."
Jeda yang terbentuk di antara mereka serasa bom waktu yang siap meledakkan jantung Sega sewaktu-waktu. Bara masih tidak mengatakan apa pun. Sega sendiri tidak berani mengangkat suara lagi. Keterdiaman Bara adalah godam mengerikan yang melumpuhkan fungsi kepala Sega.
"Kenapa?"
Tidak ada tendensi kemarahan pada nada suara Bara. Seperti air yang mengalir. Hanya memiliki riak kecil karena tertiup angin lembut. Tapi entah kenapa, Sega malah merasa ancaman yang tersimpan di balik suara yang terlalu tenang itu terkesan menyeramkan. Sega tidak suka saat Bara marah. Tapi, dia lebih tidak suka jika Bara terlalu tenang seperti ini.
"Gue mulai les hari ini," jawab Sega setengah mencicit. "Jadi gak yakin bisa ikut latihan kayak biasa."
"Oh."
Hanya begitu respons Bara. Cowok itu bahkan tidak menatap Sega sedikit pun, hanya memandangi kaus di tangannya dengan ekspresi yang tidak bisa Sega jelaskan.
"Oke. Gue bawa seragamnya." Lantas cowok itu berbalik dengan kaus di tangannya.
Serius? Begitu saja?
Sega tidak yakin dengan apa yang dia lakukan sekarang. Namun, suaranya sudah lebih dulu keluar saat kepalanya bahkan belum sempat memproses.
"Lo gak marah?"
Bisa dibilang, Sega sedang mengusik singa lapar sekarang. Dengan tidak pekanya, dia malah mengejar Bara dan menuntut balas. Bukankah seharusnya dia bersyukur saja karena tidak mendapat amukan dari temannya itu?
Bara berhenti melangkah. Dia memutar badan setengah, tidak menatap ke arah Sega sepenuhnya. Detik berikutnya, tawa sinis menyusup telinga Sega.
"What for?" tanya Bara, diikuti dengan tatapannya yang kini lurus ke mata Sega. "Gak guna. Lo udah buang semuanya. Ngapain gue harus repot-repot nyembah supaya dipertahanin? Lucu lo."
Di tengah ketakjubannya pada kalimat sinis yang dilontarkan Bara, Sega hanya sanggup menatap punggung temannya itu menjauh. Bahkan tak sekalipun Bara melirik ke arahnya.
Samar-samar, Sega bisa mendengar percakapan Bara dengan salah seorang pemain.
"Sega gak main?" tanya cowok itu yang sudah berdiri di sisi Bara, sempat melempar senyum sekilas ke arah Sega.
"Gak butuh," jawab Bara sinis, serasa mencubit ulu hati Sega.
Begini ya rasanya. Saat kekecewaan seseorang berada pada level tertingginya, daripada marah, mereka lebih memilih bersikap tidak peduli. Seperti yang Bara lakukan sekarang.
Wajar saja, kan? Yang dikatakan Bara memang benar. Dia membuang semua orang yang menyayanginya.
Siang itu, Sega meninggalkan lapangan dengan perasaan campur aduk. Entah, pilihannya sekarang, tidak memberi perasaan tenang apa pun di hati Sega. Namun, si laki-laki memilih mengabaikan dan memaksa bahunya berdiri tegap.
Ini adalah bayaran untuk pilihan yang dia ambil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top