7. Langkah Pertama

Tidak ada yang lebih pasti dari kematian. Berhentilah menyalahkan diri dan perbaiki sebelum segalanya kian rusak. Seperti hatimu.

Katakan saja Sega si egois. Idiot bodoh tidak tahu diri. Manusia tidak bertanggung jawab yang memilih lepas tangan dari penyesalan. Sega, adalah definisi kecacatan kemanusiaan. Biar saja. Terserah mereka mau berkata apa. Toh, kebanyakan dari mereka hanya mau melihat sisi luarnya saja. Mereka tidak tahu, borok menganga yang masih berdarah-darah di sudut hati Sega. Mereka juga tidak tahu, penderitaan, penyesalan, perasaan tidak berguna macam apa yang bercokol merusak kewarasan. Semenjak insiden hari itu, kecelakaan yang merenggut sisi manusianya, Sega mati rasa. Bencana itu ... menelan semua suka cita yang dia punya, mencederai kepercayaan yang seujung rambut pun tidak ada.

Berkali-kali pertanyaan serupa menggunung, berteriak nyaring mengusik jiwanya yang separuh mati. "Kenapa bukan kamu? Kenapa harus sang cahaya yang mati?" Begitu bising. Nyaring. Mengerikan di tengah kegelapan dada yang tak tertembus. Lantas, satu lagi pernyataan mematikan mengambil suara.

Kamu ... memang pembawa sial.

Menyesakkan, tapi dipenuhi kebenaran yang memuakkan. Sega memang pembawa sial. Mungkin saat menciptakannya dulu, Tuhan sedang diliputi kebencian. Melayangkan seluruh keburukan tertanam pada seonggok daging calon bayi merah yang siap berkelana menyesaki bumi. Tidak berguna. Penuh kecacatan. Terlalu fasih menghancurkan segala.

Tapi ... memangnya salah Sega? Jika memang kebaikan enggan mengerumuninya, Sega-kah yang harus ditumbalkan? Diakah ladang segala kegagalan?

"Kenapa kamu gak ikut mati saja?" adalah pertanyaan terakhir papa yang sampai hari ini, detik ini, menusuk-nusuk sukma Sega tanpa ampun.

Saga adalah cahaya, begitu terang dan menyilaukan. Dan refleksi dari sesuatu yang begitu cemerlang, membentuk sebuah bayangan pekat yang mengikuti ke mana pun perginya sang lentera. Keduanya selalu beriringan. Sang cahaya yang mencuri perhatian, dan bayangan penadah pengabaian.

Jika cahayanya mati, sudah seharusnya bayangan ikut pergi. Begitulah takdir yang tertulis. Dan sudah dipastikan, seharusnya Sega ikut terkubur di sisi pelitanya.

Namun, Sega muak. Rasanya mau muntah, meluapkan semua kesintingan pada pengabaian tak berbelas. Dia juga ingin panggung perhatian. Tidak. Sega butuh perhatian, seseorang yang mau mengerti. Karena satu-satunya orang yang peduli, sudah dia kirim masuk peti mati.

Jika mustahil didapatkan, Sega harus menciptakannya sendiri. Dan semuanya dimulai sekarang.

Belakangan, Sega jadi suka menempel pada Nilam dan Dito. Terkejut, kan? Seorang Sega, menjadi anak ayam makhluk bobrok macam Dito. Jika daftar keajaiban dunia akan ditambahkan, kejadian satu ini patut dipertimbangkan.

Tidak sampai sana saja. Sudah satu minggu belakangan ini, Sega lebih rajin mengunjungi perpustakaan daripada kantin atau lapangan basket. Siapa yang akan percaya? Sega, si biang onar PeKa-Petra Kanigara-mendadak menjelma menjadi manusia rajin di hari yang cerah, saat langit masih biru. Memangnya masuk akal?

"Sampai sekarang gue masih gak habis pikir." Leva yang duduk di bangku depan Sega memandang takjub. "Ini Sega, loh. Manusia yang level malesnya lima tingkat di atas gue."

"Lo aja yang gak wajar, Lev," sindir Dito, mengalihkan perhatian sejenak dari deretan angka di hadapannya. "Malesnya murni dari DNA. Macem ni bocah sebelah gue." Dito mengedikkan dagu pada Sega yang tidak begitu peduli.

Sudahkah seseorang memberi tahu, meskipun bobrok dan tidak punya otak, Dito itu pandai matematika. Sudah menjadi rahasia umum malah, setiap ada tugas atau ulangan yang berhubungan dengan eksak, Dito adalah salah satu tujuan utama teman-teman di kelasnya untuk dipalak sontekan.

"Songong lo, Dit. Mentang-mentang pinter."

Bukannya marah, Dito malah tertawa puas. "Kapan lagi kan gue punya kesempatan ngatain. Biasanya gue mulu yang kena."

"Eh, Dit, ini tadi gimana ngali matriksnya? Kolom ke baris, atau baris ke kolom?"

Dito kembali fokus pada bagian yang ditunjuk Sega, sebelum mengembuskan napas bosan. "Seneng sih, akhirnya satu lagi temen gue mau tobat," katanya. "Tapi kok susah banget ngertinya."

Meski begitu, Dito tetap saja menjelaskan sekali lagi. Yah, kalau dilihat-lihat kesabaran laki-laki tengil itu mulai habis, karena respons Sega yang tidak juga mengerti pada penjelasan Dito.

"Perkalian matriks tuh konsepnya gampang. Cukup inget baris pertama dikali kolom pertama, buat ngisi matriks baris satu kolom satu." Dito menjelaskan, sembari menggoreskan beberapa garis tipis di buku Sega. "Kalau lo paham di luar kepala, ngerjainnya bakal lebih gampang."

Dito melingkari sebuah nomor soal di diktat Sega, lantas menuliskannya di buku tulis. "Ambil contoh soal nomor 3 ini. Matriks 3y+5, 2x-1, 5+x, 10-2y; dikali mat-"

"Gue kerjain sendiri dulu, Dit," potong Sega, merebut bukunya dari pelukan Dito. "Nanti kalau ada yang gak paham, gue tanya lagi."

"Oke. Itu nanti perkaliannya tinggal disubtitusiin biasa. Paham caranya, 'kan?" Anggukan Sega dihadiahi sengiran puas oleh Dito.

"Lo gak mau ikutan juga?" tanya Dito tiba-tiba, yang sudah menancapkan fokus pada Leva.

"Gak usah tengil!" Leva sewot. Jelas sekali Dito hanya menyindir. Laki-laki itu tahu betul tabiat Leva seperti apa. Tidak akan pernah memegang buku jika tidak sedang Ulangan Akhir Semester. Seringnya malah dia mengandalkan suntikan jawaban dari anak-anak kelas, jadi terlalu malas untuk belajar sendiri. Sangat tidak Leva.

Kata Saga dulu, "Lo bukannya nggak pinter, kurang belajar aja. Tuh, sepaket sama itu." Tentu saja 'itu' yang dimaksudkan adalah Sega. Siapa lagi. Tapi memang Leva tidak sebegitu bermotivasi dalam belajar. Baru melihat bacaan tebal di diktat saja kepalanya sudah pening. Jadi ... tidak deh. Biar pintarnya diambil Dito dan Nilam. Leva cukup begini saja.

Sedangkan Sega, Leva sedikit mengerti. Sejatinya, laki-laki itu sama malasnya dengan Leva. Berkali-kali pun Sega berkata, "Gue tuh gak cocok duduk diem, tenang di tengah kelas. Bahasa alaynya nih, jiwa gue di lapangan, jadi sorotan orang-orang." Sayangnya, orang tua Sega terlalu keras. Bagi mereka, sorotan yang diperlukan bukanlah teriakan penuh kekaguman pada permainan di tengah lapangan. Bukan pula pemujaan nyaris fanatik pada penampilan di atas panggung. Hal-hal tidak mendasar seperti itu, tidak bisa diterima bagi lingkungan keluarga Sega. Tabu.

Makanya, Sega mati-matian belajar sesuatu yang tidak begitu menarik minatnya, demi membuat kedua orang tuanya mau mengakui kehadiran Sega. Beruntungnya, Saga, sang adik kembar yang memang cemerlang dalam hal akademis sejak kecil, mau membantu-memaksa, jika perlu diperjelas-Sega menelan teori demi teori, rumus-rumus memusingkan menjejali kepala. Namun sekali lagi, bakat yang unjuk gigi di sini. Sekeras apa pun Sega berusaha, tidak akan sanggup menyusul kecemerlangan Saga. Segigih apa pun Sega mencoba, dia tidak berbakat pada diktat-diktat mahatebal pegangan calon cendekiawan.

Ilmuwan, adalah tempat berpulang bagi Saga, bukan Sega. Entahlah. Mungkin imbas papa Sega yang begitu berambisi menjadikan diri salah satu kaum aristokrat, yang sayangnya, meletakkan beban nyaris tidak masuk akal tersebut pada kedua anaknya.

Imbasnya, mungkin Sega yang paling tidak diuntungkan.

Dan melihat Sega yang sekarang, belajar tak kenal ampun sampai mengorbankan basket dan band-nya, Leva tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Padahal dua kegiatan ini adalah tempat Sega bisa melepaskan diri. Rumah bagi kekusutan isi kepala Sega yang sudah tak berbentuk. Tempat terakhir Sega menjadi dirinya sendiri. Dan jika laki-laki itu melepaskannya ... entah apa jadinya Sega nanti. Leva tidak ingin memikirkannya.

Tenggelam dalam gemilang cemerlang saudara kembarnya, mengurung diri dalam kepekatan mematikan. Selama ini, Sega sengaja mengabaikannya. Selagi masih ada Saga, saudara sekandungnya itu di sisinya, Sega akan baik-baik saja. Segala kesakitan, kesintingan, dan keremukan di relung jiwanya, masih bisa ditahan karena percikan kilau milik Saga. Awalnya, dia kira semua akan baik-baik saja. Saga akan selalu ada di sampingnya, menjadi pendorong, dan cahaya di tengah kepekatan hati.

Tapi ... takdir memang suka bermain-main, 'kan?

Dan sekarang, saat ketakutan akan kesendirian menguak. Kengerian atas kesepian yang mengambil tempat. Kebisuan nyaring memekakkan telinga. Sega tidak tahan. Badannya menggeliat-geliat, berusaha keluar dari kubangan gulita yang mendekap erat. Menarik diri yang segagah cacing keluar dari lumpur pesakitan.

Cahayanya sudah mati. Sang bayangan seharusnya ikut pergi. Tapi, Sega ciut untuk angkat kaki. Dia juga takut sendiri. Badannya dihantam segala penolakan diri, juga caci maki menuntut mati. Sega ... tidak ingin mati.

Egois. Bodoh. Tolol. Idiot.

"Kenapa kamu harus ikut lahir?"

Sekali lagi, sabetan lidah tajam milik papa menghunjam dalam, merobek gendang telinga Sega. Jika tidak sadar diri dan teringat pada sopan-santun, Sega mungkin sudah berteriak kesetanan sekarang. Ah, dia memang setan di mata penghuni rumah ini. 'Kan?

Jika bisa memilih, Sega juga tidak ingin terlahir di dunia ini. Untuk apa? Dicaci maki oleh orang tua sendiri? Dijadikan kambing hitam atas segala kesialan yang bertandang? Atau, menjadi bulan-bulanan kemarahan tanpa dasar? Sega benci. Sangat tidak bisa dimengerti. Tapi, dia bisa apa? Situasinya sama menyedihkannya sekarang. Dialah yang membunuh satu-satunya harapan papa. Jelas saja kan kalau pria itu marah?

Dan di sini, Sega malah sibuk mencari pembenaran diri? Setelah apa yang dia lakukan? Tidak tahu malu.

Ironis.

Terjebak dengan isi kepala menyakitkan semacam ini malah membuat Sega semakin kepayahan, enggan melepaskan diri. Sepertinya memang dirinya yang salah di sini. Harusnya Saga saja yang dilahirkan. Harusnya, Sega tidak pernah hadir di antara Saga dan papa mama. Karena Sega-lah, semuanya luluh-lantak sekarang. Hancur, tanpa sisa.

"Lo tuh terlalu sering nyalahin diri sendiri. Overthingking. Bikin sinting diri sendiri aja. Kalau ada apa-apa tuh jangan langsung ditelen bulat-bulat, dilihat lagi, emang lo yang salah di situ, atau perasaan lo yang berlebihan aja. Kalaupun memang lo yang salah ya nggak apa-apa, manusia. Selama nggak diulangin lagi, berarti lo berhak memaafkan diri sendiri."

Sega menarik napas panjang. Sebenarnya yang lebih tua di sini siapa, sih? Bahkan setelah pergi pun, kalimat-kalimat Saga masih tertancap jelas di dada Sega. Tapi tidak, Sega yang salah di sini. Dan kesalahannya, tidak akan pernah bisa dimaafkan. Selamanya.

Namun, bukan berarti semua harus tetap lebur seperti sekarang, 'kan? Mungkin ... meski tidak banyak, Sega bisa melakukan beberapa perbaikan.

Bukan! Dia akan memperbaiki semuanya menjadi sedia kala.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top