6. Tidak Ada yang Berbeda

Bergumul dengan perasaan negatif tidak akan lantas membuat kita merasa baik. Semua orang tahu. Tapi, manusia tidak bisa mengatur perasaan yang timbul dan tenggelam di hatinya, 'kan?

"Gimana? Undangan RuSe mau diambil?" Nilam membenarkan letak kacamatanya yang melorot, dengan pandangan masih fokus pada ponsel. "Yes or no? Biar gue kabarin si Setya."

Keempat anak yang lain masih diam, saling mengalihkan tatapan. Entah sedang membuat pertimbangan atau melongo idiot seperti yang Dito lakukan sekarang.

Mereka sedang berkumpul di ruang tamu rumah Nilam. Duduk terpisah-pisah di atas sofa besar berbahan kain ungu gelap. Bara di dekat pintu masuk, tepat di bawah jendela besar berkosen putih. Tak jauh di sebelahnya, Nilam duduk dengan kaki bersila, berhadapan dengan pohon kaktus besar di seberang ruangan. Leva di sisi satunya, di bawah hiasan mozaik acak yang menempel di dinding. Dan Sega, tentu saja, di sebelah perempuan itu. Oh, satu lagi, Dito mengambil posisi nyaman dengan berbaring di depan pohon kaktus dan sebuah dudukan dari batang kayu. Menempelkan punggung pada karpet tebal ruang tamu Nilam.

Berbicara soal RuSe, adalah salah satu kafe kekinian yang belakangan ini menjadi salah satu spot favorit anak-anak muda nongkrong. Rubrik Sewindu, begitu namanya, meski lebih sering disebut RuSe, karena lebih singkat. Selain karena desainnya yang instagramable dan minimalis, didominasi warna putih dan cokelat karamel yang memberi kesan tenang; makanan dan minuman yang disediakan di RuSe pun cukup bervariasi. Ditambah lagi setiap malam minggu selalu menampilkan live music dengan memanggil band-band lokal yang menambah meriah suasana RuSe.

Dari kabar yang beredar di media sosial mereka, RuSe juga berencana membuat spot baca untuk para pecinta buku di kafenya. Sekarang mungkin kafe kekinian memang menjamur, tapi sangat sedikit yang memfasilitasi pengunjungnya dengan bilik khusus untuk membaca buku. Maka dari itu, RuSe berinisiatif membuat ruangan khusus bagi pecinta literasi dan membangun perpustakaan kecil di sana.

Sementara tangannya masih sibuk memetik dengan asal gitar di pangkuan, kepala Sega sibuk memikirkan beberapa kemungkinan. Kira-kira, bagaimana respons teman-temannya, ya?

"Kalau gue bilang," kata Sega pelan, dengan mata melirik karpet, "kita ambil jeda sampai selesai ujian ... gimana?"

Sega tahu saran yang dia utarakan terdengar sangat konyol. Semenjak band mereka terbentuk, baru dua kali mendapat kesempatan manggung. Itu pun hanya kafe kecil yang baru berusaha memikat pengunjung. Lantas saat band kecil mereka mendapat undangan tampil di kafe sekaliber RuSe, rasanya tidak tahu diri kalau menolak. Andai bukan karena Nilam yang mengenal salah satu pemilik RuSe, mereka mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan ini.

Tapi, Sega sedang ingin fokus pada hal lain. Sesuatu yang mungkin lebih penting dari band mereka, kalaupun memang layak disebut begitu. Karena sejatinya, dia hanya sedang mengutamakan egonya sekarang.

Hening beberapa menit, hanya diisi oleh petikan jemari Sega yang terdengar semakin lirih dari sebelumnya. Dia tidak tahu apa yang teman-temannya lakukan sekarang, karena sedari tadi dia hanya menunduk, berpura-pura fokus pada gitar. Mungkin saja ada beberapa mata yang memandangnya, tapi Sega tidak ingin peduli. Dia hanya ingin mendengar respons dari pertanyaannya.

"Ngelihat kondisi sekarang, gue juga setuju ambil break beberapa waktu." Leva, yang mendadak menjadi manajer utama band mereka ikut angkat bicara. Sebelumnya yang menjabat posisi itu adalah Saga, dengan Leva yang sesekali membantu. Namun karena kejadian ... mau tidak mau Leva yang mengambil tempat kosong tersebut.

"Yang lain gimana?" Saat Sega mengangkat kepala, Nilam sudah melemparkan tatapan bergantian pada Dito dan Bara, karena keduanya hanya diam. "Bar?" tanya laki-laki berkacamata itu lagi, karena tidak mendapat jawaban.

Beberapa detik diam, sebelum Bara mengembuskan napas panjang. "Terserah."

Tabiat Bara. Sega sudah tidak terkejut soal yang satu ini. Meskipun terdengar kasar dan terkesan tidak pedulian, Bara tidak berniat melakukannya. Hanya, memang begitu karakternya.

"Nggak bisa gitu, dong." Nilam menyedekapkan tangan, menuntut jawaban lebih jelas. "Mau ambil at-"

"Kalau mau break, yaudah, break. Gue juga gak ada maksain tampil," potong Bara cepat dengan nada tajam.

"Bar ...," Nilam diam sebentar, sebelum melanjutkan, "oke. Gue juga setuju kita ambil break. Tapi harus ada tanggal pastinya kapan kita aktif lagi."

"Kalian diskusi aja, gue mau balik." Bara sudah berdiri dengan tangan kanan mencangklong tas punggungnya. "Nanti hasilnya chat ke gue."

Setelah itu, Bara langsung pergi dari rumah Nilam, tidak berniat mendengar apa pun dari yang lain.

"Dia kenapa, sih?" tanya Leva begitu Bara menghilang di balik daun pintu. "Sensitif banget."

"Biasanya emang begitu, kan?" Dito yang sedari tadi diam menanggapi dengan enteng.

"Nggak, kok. Lo inget-inget, deh. Bara memang suka seenaknya. Tapi yang belakangan ini kayak beda gitu." Leva belum menyerah. "Atau gue lagi halu?"

Di sisi lain, Sega sudah meletakkan gitar milik Nilam di meja. Dia membenarkan pernyataan Dito, tapi juga setuju dengan statement Leva. Bara memang selalu pedas dan tajam. Tapi hari ini-belakangan ini, dia merasa laki-laki itu lebih berengsek dari biasanya. Jika diangkakan 1-10, kejudesan Bara yang biasa ada di level 7, dan hari ini meningkat ke level 15.

Sega yakin Nilam pun merasakan hal yang sama. Dan entah teori ngawur dari mana, Sega merasa Bara menjadi semakin tajam karena dirinya.

Sepulang sekolah, Sega berniat kembali mengurung diri di kamar. Namun entah bagimana-karena apa, dia tidak tahu-Sega merasa sepi malah menekan kewarasannya nyaris kering-kerontang.

Kegiatan yang sebelumnya selalu berhasil mengikis kesepiannya, kesia-siaan yang sukses membuatnya merasa baik-baik saja-mungkin juga hanya sugestinya saja-hari ini tidak memiliki efek yang sama. Dia tidak bisa merasa baik-baik saja, bahkan bertingkah seolah semua sudah pada tempatnya pun tidak bisa.

Kosong.

Ada perasaan asing yang janggal, membuat dadanya terasa gamang.

Tidak tahan dan tidak berniat membiarkan perasaan mengesalkan itu terus bercokol memenuhi dada, Sega beranjak. Mengganti seragam dengan kaus hitam tanpa lengan dan celana pendek putih. Membiarkan seragamnya tergeletak begitu saja di atas karpet, memilih meraih dua buah diktat secara acak dari rak buku-percayalah, seluruh buku-buku yang ada di kamar Sega adalah tanggung jawab Saga-dan keluar kamar.

Mengejutkan, atau sebuah keajaiban dunia, melihat seorang Sega menyentuh buku di luar sekolah. Meminjam kata-kata Leva, "Sega dan belajar tidak pernah bisa disandingkan." Tapi sekarang, laki-laki itu malah sudah duduk tenang di karpet tebal ruang keluarga. Meletakkan buku di atas meja.

Mungkin jika Leva sedang di sini sekarang, perempuan itu sudah akan menyeret Sega maraton ke rumah sakit. Meneriaki Sega gila, kesurupan Mbak Ina-hantu siswi yang dipercaya tinggal di sekolah dan mati karena kerajinan belajar-dan jenis kehebohan lain yang tidak ingin Sega bayangkan.

Masalahnya, mengurung diri di ruangan sempit dengan kewarasan nyaris habis adalah hal terakhir yang Sega pikir bisa dia lakukan. Bisa-bisa kesintingannya kemarin, menggores silet ke pergelangan tangan, kembali terulang.

Seperti yang sudah-sudah, tepat seperti perkiraan Sega. Rumah masih sesepi biasanya. Bahkan suara kendaraan di jalan raya pun tidak sampai ke dalam rumah. Mengingat bangunan yang Sega huni sekarang berada di dalam perumahan, jauh dari peradaban jalan raya. Rasa-rasanya, Sega mungkin bisa bebas berteriak kesetanan seperti orang gila dan tidak akan ada tetangga yang terganggu. Sesepi itulah rumahnya sekarang.

Hening yang lama kelamaan terasa mengikis kewarasan.

Kata orang, sepi selalu membawa ketenangan. Benarkah? Kenapa Sega tidak bisa merasakannya? Atau dirinya sedang tidak sehat, sehingga tidak bisa merasakan efek dari kesunyian yang memeluknya? Entahlah.

Dua buah diktat yang ada di depannya sekarang adalah Ekonomi dan Sosiologi. Sudah sebuah kepastian jika Sega memilih menyingkirkan Ekonomi dan membuka diktat Sosiologi. Dia jauh lebih pede dengan kemampuan menghafalnya, daripada ilmu eksak yang membutuhkan ketelitian.

Ekonomi mungkin memang masih memiliki teori yang bisa dia lahap. Tapi seingat Sega, materi terakhir di kelasnya adalah Perpajakan. Baru melihat rumus menghitung Pajak Penghasilan saja sudah membuat kepala Sega pening. Tidak, deh. Yang satu itu mending nanti saja.

Bahkan di tengah membaca pun, fokusnya seperti dipermainkan. Hanya membaca satu paragraf yang sama berulang-ulang, tanpa ada satu kata pun yang masuk kepala.

"Tahu nggak? Lo itu dasarnya nggak bisa diem, ngomong terus kerjaannya. Bahkan buat belajar pun, lo jenis yang lebih cepet ngerti kalau dijelasin langsung, bukan baca doang. Istilah kerennya, sih, tipe auditori."

Mendadak Sega teringat sebuah obrolan di suatu sesi belajar dengan Saga. Dia sendiri terkejut masih mengingat omongan Sega waktu itu. Padahal jika memorinya tidak salah, saat Saga menjelaskan dulu, dirinya tidak menyimak, asyik bermain ponsel.

"Makanya tiap gue ngajak belajar, selalu jelasin sendiri. Tipe kayak lo, lebih cocok kalau diajak diskusi." Sega berusaha mengingat-ingat lagi. "Karena lo tipe orang yang gampang paham kalau ada suara. Jadi gue saranin lo belajar sambil dengerin musik, entah instrumen kek, atau mau koplo sekalian juga gak masalah. Terutama pas belajar sendiri."

Sega mendengus. Setiap saran yang diberikan adik kembarnya, selalu diakhiri dengan kalimat-kalimat menyebalkan atau aroma jemawa yang kental. Meski begitu, dia yakin apa yang dikatakan Saga benar. Adik kembarnya itulah yang selama ini menjadi pembimbing belajarnya. Jelas saja Saga tahu tips paling pas untuk membantu dirinya lebih cepat mengerti.

Ironis, bukan? Orang lain lebih mengerti tentangmu daripada dirimu sendiri.

"Kalau mau ambil cara belajar gue, lo perlu baca satu bab keseluruhan dulu, baru nanti dicatet seinget lo. Bacanya yang bener-bener baca, sambil dipahamin, itu bakal jauh lebih ngebantu buat nginget poin pentingnya. Setelah selesai, baca sekali lagi, terus lengkapin informasi-informasi yang masih kurang. Dan done. Gue dua kali proses udah berhasil dapet semua poin pentingnya."

Sega mencibir, meski akhirnya berdiri juga, mengambil buku catatan di dalam kamar. Mungkin tips Saga juga bisa dia aplikasikan.

Sebelum benar-benar bergelut dengan "Diferensiasi Sosial" dan segala teori yang memakan puluhan halaman tersebut, Sega mengambil ponselnya. Sengaja menyalakan airplane mode supaya tidak terganggu andai ada pesan masuk. Membuka Spotify dan memutar lagu yang sudah diunduh.

Broken bottles in the hotel loby
Seems to me like I'm just scared of never feeling it again
I know it's crazy to believe in silly things
But it's not that easy

I remember it now it takes me back to when it all first started
But I've only got myself to blame for it and I accept it now
It's time to, let it go, go out and start again
But it's not that easy

[High Hopes - Kodaline]

Buru-buru Sega menampar kedua pipi, membebaskan diri dari iblis di dalam kepala yang mendadak bertingkah. Idiot, cukup dengarkan saja, tidak perlu diresapi sampai mengundang kegilaan.

Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya lambat-lambat, yakin tidak lagi menjebak diri pada melankolis, Sega mulai berkutat dengan diktatnya. Membiarkan suara merdu Mark Garrigan melantun, mengisi keheningan di ruang keluarga.

Meski perasaan kosong, sepi, dan menyesakkan samar-samar masih memenuhi dadanya, Sega berusaha mengabaikan. Dia sedang belajar, kan? Dia tidak ingin mengizinkan iblis di kepalanya kembali mengambil alih, kan?

Bagus. Ini adalah langkah pertama yang harus dia lakukan. Memperbaiki kehidupannya yang berantakan.

Pikir Sega, seperti yang sudah-sudah, rumah akan berpenghuni selain dirinya tidak kurang dari pukul 10 malam. Dan sekarang, jarum pendek baru mendekati angka 6, dan jarum panjang di antara angka 8 dan 9, Sega dikejutkan pada suara langkah kaki di belakang punggungnya.

Sega memutar badan, dan mendapati lirikan penuh tanya dari mama. Detik selanjutnya, Sega memberikan senyuman lebar, nyaris menyengir malah. "Tumben Mama jam segini udah pulang?" tanyanya, berusaha basa-basi.

Mungkin mama akan bangga mendapati dirinya belajar. Dan jika sedang beruntung, kekesalan mama bisa berkurang, meski hanya seujung kuku.

Namun, alih-alih tatapan bangga, malah terdengar dengusan sinis membuat senyum di bibir Sega berubah masam.

"Kenapa? Nggak mau mama pulang?"

Sebisa mungkin Sega berusaha senyumnya tidak luntur dari bibir. Meski semakin pahit dan menyiksa, menampilkan raut baik-baik saja, saat hatinya mendadak seburuk biasanya.

Dengan gerakan patah-patah, Sega menggeleng kecil. "Nanya aja, Ma," jawab Sega setelah menguasai diri, meski suara yang dia hasilkan sedikit bergetar. "Biasanya Mama sama Papa kan pulang nyaris tengah malam, makanya kaget pas lihat Mama jam segini udah di rumah."

Bukannya menjawab atau paling tidak memberi tanggapan, barang dengusan atau apa pun itu, mama malah melenggang begitu saja. Entah tidak sadar pada perubahan raut di wajah Sega, atau memang tidak peduli, Sega tidak bisa menebak yang mana.

It's okay, batin Sega pada diri sendiri. Biasanya juga begini, kan? Udah biasa.

Namun, meski ribuan kata penyemangat dia bisikkan, tetap saja tidak membuat perasaannya baik-baik saja. Padahal, dia pun tahu berat untuk papa maupun mama untuk melihat Sega tanpa kebencian.

Jelas, kan? Dia memiliki rupa yang sama persis dengan anak emas mereka. Dan setelah anak itu harus ... pergi, bagaimana bisa papa dan mama menatap wajah Sega, tanpa membuat mereka teringat pada Saga?

Harusnya Sega tahu itu. Tidak. Sega tahu. Dia juga paham. Hanya saja, wajar kan jika rasanya tetap menyakitkan? Atau egois kalau dirinya ingin menuntut perhatian lebih dari mama?

"Lagi belajar?" atau, "Tumben pegang buku?" Atau, katakan Sega tidak tahu diuntung, dia lebih memilih melihat mama marah padanya. Entah kata kasar seperti apa pun itu, rasanya akan lebih bisa diterima hatinya, alih-alih pengabaikan yang menyesakkan.

Sega menarik napas panjang. Dia berusaha menyunggingkan senyum, sebisa mungkin menyemangati diri sendiri.

It's okay. Gapapa. Masih banyak waktu buat menangin hati mama.

Kali ini saja. Untuk yang terakhir kalinya, Sega ingin berusaha. Meski hanya sedikit, dia tetap mendamba kasih sayang orang tua. Mama, paling tidak. Jadi, biarkan dirinya bertebal muka. Toh, ini mamanya.

Boleh, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top