5. Tanpa Makna

Penyesalan boleh menghantui, itu manusiawi. Tapi, tolong ingat untuk tidak pernah menyerah. Bisa?

Entah apa tujuan hidupnya sekarang. Sega sendiri pun tidak tahu. Ingat cara bernapas saja rasanya menakjubkan, saat berjalan sepuluh meter membuat dirinya tersandung lima kali.

Seolah, apa pun yang dia lakukan tidak pernah benar sekarang. Maunya berdiri, tubuhnya malah luruh menjadi gundukan tidak berguna di sudut kamar. Inginnya melupakan sejenak perasaan kosong yang bersarang menjadi sumber kesintingannya, tapi semakin dia berusaha mengenyahkan, pikiran menyakitkan itu kian menyerang tanpa ampun.

Sega tidak tahu. Inikah hukuman yang harus dia tanggung setelah membunuh satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya? Jika iya, bukannya terlalu gampang? Mencabut nyawa Sega detik ini saja rasanya masih kurang.

"Apa, sih? Gak cocok banget lo menye-menye begini!" Suara menghina saudara kembarnya mendadak muncul di kepala Sega. Tapi, dia sedang tidak ingin mendengarkan siapa pun. Hanya ingin meringkuk menjadi orang yang tidak berguna. Seperti biasanya.

Apa kata mama? Mungkin wanita itu berharap kehilangan anak sekalian, jika hanya menyisakan Sega di sini. Papa pun tidak akan jauh beda, 'kan? Memangnya siapa Sega? Hanya remaja sok dewasa, merasa paling menderita, lantas merusak segalanya.

Hah! Prestasi yang menakjubkan. Mungkin seharusnya dia berpesta sekarang. Merayakan kesuksesannya menjadi manusia paling tidak berguna di dunia.

Punggungnya semakin menggulung rapat, menyembunyikan badan menjijikkannya sebanyak mungkin pada sudut dinding di balik ranjang. Bahkan untuk menyalahkan diri sendiri saja dia sudah muak. Orang yang paling tidak berguna ini, mulai lelah memaki. Lantas dia harus bagaimana?

Mati!

Entah siapa yang berbisik saat ini. Hatinya yang sudah lelah menerima semua beban menyesakkan satu minggu belakangan ini? Atau otaknya yang bosan memikirkan cara menebus semuanya? Mungkin keduanya, bekerja sama memaksa Sega mengakhiri segalanya dengan ... mati.

Bukannya Sega tidak pernah memikirkannya. Malah, hampir setiap detik dia membayangkan sebilah logam tipis mengiris pergelangan tangannya. Atau seutas tali bersimpul menggantung ketat di lehernya.

Mungkin dengan begitu, dia bisa bertemu Saga.

Tapi, otak warasnya mendadak terbangun, saat sebuah silet mulai menggores kulit pucatnya. Memangnya akan mengubah apa, kalau kamu ikut mati? Dan irisan yang seharusnya dalam, memotong nadinya, berubah menjadi goresan-goresan menjijikkan. Meneteskan darah merah yang Sega sendiri tidak yakin. Perasaan sakit mana yang paling mendominasi?

Hatinya yang sekosong tanah pemakaman di tengah malam, atau goresan menganga berdarah-darahnya?

Bukannya kata orang, saat mengiris tangan bisa memberi ketenangan? Katanya melukai diri secara sengaja, bisa membuat kita lupa sejenak pada perasaan sesak. Bohong! Sega malah merasakan sakitannya menjadi berkali lipat. Sudah cukup dadanya didera sesak tak berperi, masih harus merasa perih di pergelangannya yang berdarah.

Mungkin, ini salah iblis mengerikan yang bersemayam di kepalanya. Entah sejak kapan, mulai menyuburkan pikiran tidak sehat Sega. Memaksa laki-laki itu menelan bulat-bulat segala penyesalan pada semua yang terjadi.

Dan idiotnya, Sega terlalu termakan bujuk rayu sang iblis. Menuhankan pikiran tidak warasnya di atas segala hal, dan menjadi pesakitan seorang diri.

Terjaga nyaris sepanjang malam seharusnya menjadi hal yang biasa, dia pun sering melakukannya sejak dulu. Tapi saat kepala terus memikirkan kutukan demi kutukan tanpa henti, malah berubah menjadi malam yang menyeramkan. Sega dipaksa terus mengingat penyesalan, dosa tak termaafkannya sepanjang malam. Menghantui setiap menit, mengenyahkan kantuk terbang entah ke mana.

Sega lelah. Dia ingin beristirahat barang sejenak dari pergumulan perasaan menyiksa di dadanya. Tapi memikirkan dirinya tertidur nyaman di atas ranjang hangat rumah, sedangkan Saga terbaring di bawah timbunan tanah dingin dan keras pemakaman. Sega tidak sanggup membiarkan dirinya merasa baik-baik saja. Dia tidak merasa pantas mendapat semua kenyamanan ini.

Harusnya dia dijebloskan ke penjara saja. Dibiarkan terkurung di balik jeruji besi yang mengintimidasi. Setidaknya, mungkin, perasaannya bisa menjadi lebih baik. Rasa bersalah yang selalu bercokol ini bisa berkurang, meski sedikit.

Saat menatap cermin, Sega termangu. Dia nyaris tidak mengenali pantulan yang balas memandanginya di balik cermin.

Rambut cokelat yang biasanya berantakan, hari ini jauh lebih berantakan dan kusut tak terawat. Jambul yang berdiri angkuh hari ini tidak ada, lesu seperti pemiliknya. Sepasang netra yang sering terlihat dengan binar-binar jahil tampak mati, kehilangan kilau semangat di dalamnya. Lingkaran hitam menyeramkan tercetak jelas di bawah mata. Belum lagi pipi yang lebih cekung, menonjolkan tulang-tulang pipi seperti orang kekurangan gizi.

Secara keseluruhan, penampilan Sega di balik seragamnya hari ini adalah: mengerikan. Dia bahkan tidak peduli dengan kulit wajahnya yang mulai kusam dan kasar dari sebelumnya. Tidak punya waktu untuk sekadar memakai sabun wajah, di saat sebelumnya sering memaksa Saga ikut memakai masker agar kulit tidak kering.

Sega mengembuskan napas panjang, berusaha menguasai diri. Kamar adalah area pribadi, dia bebas melakukan apa saja. Tidak perlu menyembunyikan yang dia rasakan, selama mengurung diri.

Tapi, begitu kakinya melangkah keluar, dia harus berlagak semuanya baik-baik saja. Mungkin papa dan mama tidak akan peduli. Bukan, mereka memang tidak peduli. Tapi, Sega tetap tidak ingin menunjukkan sisi tidak berdayanya di depan mereka berdua. Topengnya cukup tebal untuk mereka pecahkan.

Sega mencengkeram pergelangan kirinya yang tertutup handband hitam, meringis kecil. Masih tersisa sensasi perih di balik handband-nya, meski luka itu sudah dia bersihkan dan olesi salep pereda nyeri.

Ironis, kan? Niatnya mengiris tangan adalah untuk menjemput mati. Tapi saat melihat darah menetes-netes tanpa henti, Sega mendadak takut nyawanya benar-benar diambil dari raga.

Pukul 07.17, saat Sega menyalakan ponsel yang sengaja dia matikan sejak hari pemakaman. Puluhan pesan dari berbagai aplikasi langsung memberondong masuk. Tanpa membukanya pun Sega tahu, isi pesan-pesan tersebut hanyalah ucapan bela sungkawa kosong. Dia tidak butuh.

Ibu jarinya baru akan menekan tombol silang-menghapus seluruh notifikasi yang masih terus membanjiri ponsel-saat sederet nama muncul, mencuri fokusnya.

Garvi Sagara. (You have one email).

Dengan tangan gemetaran, Sega membuka email yang dikirim oleh ... Saga?

Dia sempat berpikir sedang berhalusinasi. Namun, saat menatap ponselnya baik-baik, pada alamat surel yang tertera. Ini benar-benar milik Saga.

Ting Tong! You've got a message from your handsome bro!

Yo, Makhluk menyedihkan. Haha, gue kirim beginian dong ke elo. Semoga enggak jadi menjijikkan aja.

Lo oke, 'kan? Gue tahu! Pasti masih seberengsek biasanya (yah, mau gimana lagi, gue terlalu manis buat ditandingin). Biar gue tebak, gak ada guru yang jantungan lagi, 'kan? Motor lo masih utuh? Atau, udah lo pretelin lagi kayak bulan lalu? Lo memang gak ada duanya, deh, buat hal-hal unfaedah. Juara!

Sega mendengus, mencoba menguasai diri saat sesuatu menyentil dadanya. Cengkeramannya pada ponsel mengerat, saat kata demi kata kembali memasuki pemahamannya.

Gue tahu lo nggak baik-baik aja (karena gue juga ngerasain, walaupun nggak akan sebanding sama situasi lo). Dan yang bisa gue bilang cuma: thanks. Lo berhasil bertahan sejauh ini. Buat orang lain mungkin bukan apa-apa. Tapi bagi gue, itu sesuatu yang bahkan gak akan pernah bisa diganti sama apa pun. Jadi, biarin gue egois sekali ini aja. Gue mau lo lakuin apa pun yang lo mau. Bisa? Soalnya gue lebih suka ngelihat lo yang bebas, nggak tahu diri, nggak peduli komentar sirik orang-orang.

Alasannya satu, sih, Sega itulah yang bener-bener hidup. Bukannya orang sok rajin belajar demi pujian Papa. Atau pura-pura manis buat perhatian Mama. Lo tahu? Itu tugas gue. Jangan ambil posisi gue, dong. Cukup jadi diri sendiri. Oke?

Oh iya, lo kalau mau jadi berengsek cukup ke Dito aja, jangan gue kena juga. Dipikir gue cenayang, bisa baca pikiran? Sinting! Marah-marah nggak jelas, main tonjok gak pakai mikir, dikata gue bakal terima lo maki-maki nggak jelas?

Paham? Pasti enggak. Ck, gue tahu lo bego, jadi biar gue bikin sejelas-jelasnya. Cerita ke gue, Segara Bolot Direndra! Kuping gue masih dua, kalau lo lupa. Salah satu fungsinya buat denger cerita lo, bukan bacotan lo yang enggak guna. Gampang, kan? Gue juga pengen lagi, lakuin sesuatu buat ngebantu. Bukan cuma nontonin lo dituntut ini-itu sama Papa Mama (sori buat yang itu, gue juga enggak berkutik sama mereka berdua).

Jadi, cerita ke gue, ya? Nah, berhubung email ini kekirim pas gue lagi di Jogja, ceritanya tunggu gue balik dulu. Yakali gue telfonan sama lo berjam-jam, sayang pulsa. Bakal gue kejar sampai lo mau buka-bukaan sama gue, anyway.

Udahlah. Geli juga ngetik ginian ke elo. Cewek juga bukan, kenapa romantis banget. Gue mau muntah dulu.

See you soon, Bro. Jangan kabur pas gue balik, ya!

Sega kehilangan pijakan. Badannya oleng, nyaris terjun menghantam lantai, andai tidak cepat-cepat bertumpu pada kasur. Jangan kabur pas gue balik, ya! "Tapi lo nggak akan balik," gumam Sega, kembali merasakan sensasi tikaman menyakitkan di ulu hati.

Dia tidak menangis. Sudah terlalu banyak air mata yang keluar. Kantung air matanya mungkin sudah kering sekarang, hanya menyisakan perih yang membuat mata merah.

Jadi diri sendiri? Di saat seperti ini? Mana bisa?

Mungkin terdengar jahat, tidak tahu terima kasih, atau apa pun itu sejenisnya. Tapi, Sega benar-benar risi dengan berbagai perhatian yang ditujukan padanya. Sega diperlakukan seolah dirinya barang paling berharga di dunia, mudah retak. Dan dia tidak suka, juga tidak pantas mendapatkannya.

Kerap kali teman-temannya menyambangi bangkunya, sekadar bertanya keadaan atau mengucapkan bela sungkawa. Sejujurnya, Sega tidak butuh itu. Dia hanya perlu sendiri, tanpa diganggu simpati-simpati yang entah memang mereka rasakan atau hanya formalitas belaka. Dan untuk membalasnya, Sega hanya memberi senyum kering sembari berterima kasih. Hanya itu usaha maksimal yang bisa dia lakukan.

Andai boleh meminta, dia ingin teman-temannya berhenti memberi perhatian berlebih seperti sekarang. Bertingkah saja seolah tidak ada apa-apa. Ajak Sega bercanda, bergosip tentang Dito yang mencoba mendekati kakak kelas idola yang langsung ditolak mentah-mentah. Atau tentang Nilam yang lagi-lagi dikejar seorang adik kelas fanatik yang tidak pernah berhenti menggodanya.

Serius. Sega merasa lebih bisa menerima perlakuan mereka yang seperti itu, alih-alih merongrong perhatian yang membuat dirinya tidak nyaman. Paling tidak, dia bisa merasa, oh, masih ada sesuatu yang sama setelah semua bencana ini.

Tapi, dia tidak bisa, 'kan? Toh, teman-temannya (mungkin) memang tulus berduka bersamanya. Ingin memberi semangat lewat kalimat-kalimat lembut versi mereka. Sengaja mengajak Sega mengobrol, agar tidak melamun.

Dan mengatakan dengan blak-blakan bahwa dirinya terganggu ... terdengar sangat tidak menghargai.

Mungkin masalahnya ada pada Sega. Dia yang terlalu berlebihan menanggapi perlakuan teman-temannya. Mementalkan segala perhatian yang mereka berikan, karena ketidaknyamanannya. Ya. Sega yang berengsek di sini.

"Udah ya, Guys, Sega udah bilang dia gapapa," ucap Leva tiba-tiba, entah datang dari mana. Kalimatnya langsung menarik perhatian anak-anak lain. "Biarin dia sendiri dulu, jangan diganggu sama pertanyaan yang sama berulang-ulang."

Sega nyaris bisa merasakan kelegaan lolos dari dadanya.

Leva benar, dirinya lelah jika dipaksa menampilkan senyum tiap kali ada yang menyapanya. Mengutip kata orang, pura-pura bahagia perlu tenaga yang banyak. Dan sekarang, baru setengah waktu yang dia habiskan di sekolah, Sega sudah merasa lemas, tidak bertenaga.

"Sepet banget, sih, muka lo?" tanya Leva, menarik kursi di samping Sega dan duduk di sana. "Pulang nanti ikut, yuk! Mau main ke tempat Nilam."

"Ngapain?" Sega mendadak merasa kepalanya berat, ingin direbahkan barang sejenak. Menjemput tidur yang sepanjang malam mempermainkannya.

Leva mengedikkan bahu, tampak tidak tahu juga. "Ide Dito, kali," kata perempuan itu sambil lalu. "Lo tahulah kelakuan temen lo yang satu itu."

Sega hanya bergumam tidak jelas sebelum menguap lebar. Tangannya menggaruk kepala, merasakan rambut yang lebih kasar dari biasanya, karena baru hari ini menyentuh sampo, setelah satu minggu tidak mencium air.

Meskipun tatapan-tatapan penasaran sesekali masih ke arahnya, Sega berusaha tidak peduli. Berlagak tidak menyadari jika masih banyak lirikan ingin tahu. Memilih mendesah panjang sembari menempelkan kepala ke meja. Matanya terpejam rapat. Padahal seminggu ini dia hanya meringkuk tidak berguna di dalam kamar. Tidak bertemu siapa pun. Tidak mengizinkan seorang pun mengganggu. Tapi badannya merasa lelah, dengan otot-otot kaku, dan kepala penuh kabut.

Entah bagaimana nanti Sega bisa melanjutkan hidup, mungkin dia hanya perlu berusaha sedikit lebih keras. Dia tidak bisa menyerah begitu saja, meskipun setiap sudut kepala membujuknya tanpa ampun. Tidak, setelah surel yang dikirim Saga.

Meski perasaan menyedihkan masih menghantui, meski kehidupannya mungkin tidak akan pernah sama lagi, Sega ingin mencoba. Dia ingin melakukan semuanya dengan baik, meraih pencapaian apa pun yang belum sempat Saga rasakan.

Intinya, dia harus bertahan untuk Saga. Kalau begini tidak apa-apa, 'kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top