4. Rona Kesayangan
Sebelum kalian lanjut baca ini, aku mau bilang kalau alur cerita Vetmia itu campuran. Jadi, andai bab ini tentang masa sekarang, bisa jadi bab selanjutnya menceritakan masa lalu. Jadi, semoga enggak bikin bingung, ya. Happy reading^^
●○●
Jika menurutmu ada seseorang yang terlihat selalu beruntung dari yang lainnya, biar kutunjukkan; keberuntungan yang kalian inginkan pun tetap menuntut tumbal. -Garvi Sagara Direndra.
Ada lima hal yang paling Saga benci di dunia. Yaitu:
1. Perhatian berlebihan
2. Dikekang
3. Harapan yang tidak pada tempatnya
4. Dibedakan
5. Perasaan tidak berguna
Dan dia merasakan kelimanya sekarang. Detik ini. Di rumahnya sendiri. Terutama, di rumahnya sendiri.
"Jadi, liburan kali ini kamu mau ke mana?"
Itu tadi Saga yang ditanya. Dengan tangan mama yang masih memegang rapor, juga piagam penghargaan peringkat pertama paralel. Menatapinya bergantian. Diikuti mata papa yang mengawasi dari sisi kiri. Terutama, dengan Sega yang duduk di antara mereka, dan seolah tidak tampak.
"Kemarin teman papamu yang punya perusahaan travel nawarin liburan ke Jogja bertiga. Setelah mama lihat-lihat, sih, lumayan juga. Banyak tempat yang bisa didatengin." Mama meletakkan rapor, menatap Saga penuh minat. Sekali lagi, mengabaikan satu orang yang hadir di antara mereka.
"Dari Candi Borobudur, Prambanan, sampai pantai, dan Malioboro." Ck, demi Tuhan, Saga tidak perlu diberi tahu. Dia sudah paham di luar kepala ada apa saja di Kota Gudeg itu! "Oh, iya, ada Sunmor juga, kan!"
Saga hampir menyumpah, memaki pada mama, andai tidak ingat sopan santun.
Saat melirik pada Sega, kakak kembarnya itu hanya memainkan piala-yang di mata Saga hampir terlihat ingin mematahkannya-tanpa minat. Seolah tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan mama sedari tadi. Sementara dirinya, hanya bisa duduk dengan canggung, mengiyakan apa pun yang dikatakan mama.
Saga sebal pada kedua orang tuanya. Seolah, benda berkilauan di tangan Sega tidak menarik di mata mereka. Apa mereka tidak tahu seberapa keras Sega berusaha untuk mendapatkannya? Sedikit saja simpati, perhatian pada Sega, tidak akan membuat kehabisan nyawa, 'kan?
Padahal, Saga tahu betul sebanyak apa keringat yang harus kakaknya peras demi mendapat piala tersebut. Latihan tanpa ampun, tidak peduli siang dan malam demi membawa pulang piala dengan harapan, papa dan mama akan bangga.
Namun sayangnya, harapan Sega tidak pernah terwujud. karena bagi kedua orang tua mereka, hanya akademis yang penting. Lainnya, tidak akan memiliki arti.
Saga sebal juga pada kehadirannya yang tidak berguna. Sedikit pun tidak mampu membantu posisi Sega. Padahal, jika Sega di posisinya, laki-laki itu tidak akan berpikir dua kali untuk membantu.
Saga mendesah. Mendebat dan mempertanyakan keputusan mama dan papa bukanlah tugasnya. Ia sadar, dirinya hanyalah anak emas yang hanya diperbolehkan menurut. Tanpa tapi yang berkepanjangan.
"Jadi gimana?" Pertanyaan mama kembali menyita perhatian Saga. "Kamu maunya ke mana?"
Ke mana pun asal Sega ikut.
"Ikut Papa sama Mama aja." Saga diam-diam meringis. Benar-benar perbedaan yang sangat jauh dari kata hati. Sayangnya, benda tidak berguna di dalam kepalanya yang selalu berhasil mengambil alih.
Ingin rasanya menampar bibir sendiri. Kenapa tidak satu pun perkataannya yang berguna? Hanya semakin membentangkan jarak dirinya dengan Sega saja.
"Kita berangkat minggu depan, ya. Di hari pertama liburan."
Dan mungkin, selamanya pun bibirnya tidak akan pernah menyuarakan penolakan untuk papa dan mama. Bahkan, untuk menyemangati Sega di depan orang tuanya seusai pertandingan saja dia tidak mampu.
Dasar tidak berguna.
"Fakta membuktikan, orang pinter kalah sama mereka yang jago lihat peluang."
Saga mencibir, tidak tahan dengan senyum jemawa di wajah Sega. Dia gatal ingin menyumpal bibir itu dengan kaus kaki yang dia pakai jogging tadi. "Belagu. Baru menang sekali, juga."
Semalam, setelah selesai mengerjakan setumpuk latihan soal, Saga menghambur begitu saja ke kamar Sega. Membaringkan diri di kasur saudara kembarnya dengan kepala mau pecah. Diiringi gerutuan, "Badan gue kaku semua," dengan kaki menendang-nendang Sega supaya sedikit menepi dari kasur.
"Okky jelly drink kali, dikata lemes," balas Sega, sembari menggeser tubuhnya.
Saga mencibir, mendengarkan genjrengan asal Sega pada gitar. "Lo besok jogging, 'kan?" Sega mengangguk. "Gue ikut." Yang langsung membuat Sega menoleh tak percaya.
"Ngapain? Lo udah olahraga tiap hari ini," balas Sega membuat Saga mengernyit tak mengerti. Kapan? Memangnya memikul buku-buku tebal di dalam tas termasuk olahraga? "Tuh, otak lo udah berorot."
Saga mendengus, menatap Sega sensi. "Seriusan. Otot gue udah teriak-teriak minta diajak gerak."
"Halah, otot lembek kayak marshmallow aja bangga," sindir Sega yang hampir saja dihadiahi umpatan oleh Saga.
"Ya makanya gue mau ikut lo jogging, Pinter," Saga menggerutu, sebal sendiri dengan tanggapan asal Sega. "Susah bener diajak ngomong."
"Ogah, ah," tolak Sega masih berlagak cuek, malah semakin mengeraskan genjrengan gitarnya. "Yang ada gue nungguin lo yang lelet larinya. Males."
"Sok tau banget, sih," protes Saga, tidak terima. "Lihat gue lari aja nggak pernah lo."
"Ya makanya itu gue tahu."
Harga diri Saga tersentil. Dia langsung duduk, melemparkan bantal ke kepala Sega penuh nafsu. "Mau taruhan?" Tantang Saga membuat cuping Sega naik. "Kalau gue bisa ngimbangin lo, lo harus traktir gue makan dua minggu."
Sega menghentikan genjrengan gitarnya. Memutar badan sepenuhnya ke arah Saga dengan sudut bibir kanan terangkat. "Dan kalau gue menang?"
"Gue beliin apa aja yang lo mau. Sepuas lo."
"Deal!" seru Sega langsung, tanpa ragu.
Dan beginilah akhirnya. Saga harus rela direndahkan habis-habisan oleh Sega karena tadi, baru seperempat rute jogging, Saga sudah menyerah.
"Eh-eh, pihak yang kalah tolong diam, ya." Ekspresi merendahkan milik Sega malah terlihat seratus kali lebih menyebalkan dari senyum miringnya. Belum lagi, dia mencium aroma dompetnya akan dikuras habis setelah ini. "Jadi, gue minta apa, ya, enaknya?"
Nah, kan. Mendengar nada licik di suara Sega, mendadak membuat Starbuck terlihat murah dan Pizza Hut bukan apa-apa. Seharusnya, dia mengajukan syarat maksimal pemalakan, sebelumnya. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur.
Ingatkan Saga untuk tidak menerima tantangan apa pun yang sudah pasti tidak bisa dia menangkan. Juga, untuk tidak mudah tersulut emosi.
"Minta gue buat nyimpen uang baik-baik, biar gak boros." Sayangnya, Sega tidak mengindahkan. Masih sibuk berkutat dengan rencana-rencana jahatnya.
"Ah, gue tahu." Sega menjetikkan jarinya, menatap Saga dengan semangat. "Gue minta lo jadi pend-"
Suara pintu kamar yang dibuka menghentikan ucapan Sega.
"Di sini ternyata. Mama cariin di kamar tadi." Sudah jelas siapa yang diajak bicara oleh mama. Bukan Sega. "Waktunya belajar. Itu guru lesnya sudah dateng."
Tanpa harus diteriaki atau diminta dua kali, Saga segera berdiri. Melirik tidak enak ke arah Sega, "Lanjut nanti aja," lantas keluar kamar.
"Kalau mau jadi anak bandel, bandel sendiri aja. Jangan ajak-ajak adekmu." Mama mengatakannya tanpa melihat Sega. Seolah, beradu tatap saja bisa membuat mama kehilangan penglihatan.
Setelahnya, mama melenggang begitu saja. Samar, Sega bisa mendengar kalimat semacam, "nyusahin aja," dari suara mama, sebelum beliau menghilang.
Sega hanya mendengkus jengkel. Kenyang dengan perlakuan seperti ini. Terlalu lelah mengasihani diri.
Segera, dia menutup pintu kamar, meraih gitarnya lagi, dan mulai menyusun nada yang pas untuk lagu pertamanya.
Belakangan, kegiatan inilah yang berhasil membuat suasana hatinya semakin baik. Dan dia bersyukur masih memiliki alasan untuk tidak terlalu berlarut dengan kemelut kehidupannya.
Meski bukan dia yang mengalami sendiri, Saga merasakan sensasi menyesakkan tiap kali di rumah. Benar memang, dia selama ini mendapat perhatian lebih dari papa dan mama. Apa yang dia inginkan pun dalam satu detik langsung dikabulkan. Seolah, orang tuanya mau melakukan apa pun asal itu untuk kebahagiaan Saga.
Sayangnya, ada harga mahal dari sebuah kesenangan-meski Saga tidak akan menyebutkannya seperti itu. Terjebak dalam kasih sayang yang membuat sinting, misalnya. Aneh? Tapi, itulah yang Saga rasakan dari lama.
Saga itu pinter. Selalu jadi juara sekolah, sering menang olimpiade, udah gitu anaknya sopan lagi. Adalah label yang harus Saga jaga seumur hidup. Yang sadar tidak sadar, menancapkan penyakit yang sedikit demi sedikit menggerogoti akal sehatnya.
Dia tidak diizinkan cemberut saat diberondongi pernyataan menyebalkan sejenis, "Kalau Saga, sih, pasti bisa. Cuma tingkat provinsi, ini,". Seolah tidak ingat bahwa remaja menyedihkan itu juga manusia. Karena bagi mereka, Saga adalah sempurna tanpa cela.
Saga tidak akan mengeluhkan itu, omong-omong. Karena pengorbanannya, sepadan dengan apa yang selama ini mati-matian dia jaga.
Toh, memang ini jalan yang Saga pilih.
"Woeee, Cekrekan Mejikjer! Gue chat dari tadi gak bales-bales, taunya lagi mojok sama Centong Purba."
Suara cempreng bernada tinggi itu membuat Saga menoleh, sedangkan Sega tetap asyik dengan bakso di depannya.
Tangan Sega memasukkan kecap lagi dan lagi karena rasa pedas masih terasa di lidahnya. Juga menggerutu penuh umpatan pada kecerdasan Saga yang memasukkan setengah sendok sambal ke mangkuknya.
Laki-laki dengan kening lebar dan suara serak melengkingnya itu adalah Dito. Radityo Fenzi, lengkapnya. Salah satu makhluk paling banyak omong yang pernah Saga kenal dengan mulut tanpa saringannya.
Dito sudah berlari rusuh ke meja mereka dengan suara tapakan sepatu yang berlebihan.
"Edan!" seru Dito lagi, saat melirik ke dalam mangkuk bakso Sega. "Lo makan bakso apa air selokan? Butek banget itu warna."
Tanpa susah-susah meminta izin, Dito langsung mendudukkan diri di samping Saga, masih memandangi Sega takjub. Pada kuah hitam baksonya, maksud Dito.
"Mang Aming kudu nagih duit dua kali lipat ini, sih. Kecap sebotol lo abisin sendiri."
Akhirnya, Sega mendongak, menatap Dito sedetik, lantas beralih pada Saga yang sudah tersenyum-senyum geli mendengar celotehan Dito. "Kambing lo, Sa?" tanya Sega, menunjuk Dito dengan wajah polos. "Kandangin, gih, berisik banget."
"Heeee, Babi," protes Dito, tergoda melemparkan mangkuk sambal pada Sega. "Udah ganteng gini masih disamain kayak kambing."
"Mulutnya, Bapak," Sega membalas, menampilkan senyum manis. "Mau saya panggilkan Kanjeng Nyonya, biar diminumin pestisida?"
"Halah, bacot, Se." Dito kembali melirik mangkuk bakso Sega, juga piring batagor Saga dengan cemberut. "Kok gak pesenin gue sekalian, sih? Teman macam apa kalian ini?"
Saga mendesah, sudah terbiasa dengan bacotan Dito yang tidak pernah habis. "Gue gak tahu lo mau makan apa," jawab Saga kalem, kembali menikmati batagornya.
"Nilam sama Bara mana? Belum kelihatan," tanya Sega, tidak melihat sosok yang tampak seperti dua temannya yang lain. Biasanya di saat istirahat begini, mereka selalu kumpul bersama di kantin.
"Kayak gak tahu si Abah aja kalau mau UAS," balas Dito, menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir pada kebiasaan Nilam yang satu ini. "Kalau Bara .... Oiya, Goblok!" seru Dito tiba-tiba, membuat Sega mengumpat terkejut dan Saga hampir terjungkal ke belakang.
"Ya Allah, Dit!" Saga balas berseru, mendahului Sega yang hampir memaki. "Jangan bikin orang jantungan."
"Tahu lo! Ngagetin, Bego!" Sega tidak puas sepertinya, kalau belum mengumpati Dito. Sembari tangannya meraih tisu bekas dan melemparkannya pada Dito.
"Sans, Anjir, gue baru inget ini!" Dito membalikkan tisu pada Sega, tidak terima. "Pak Bento nyuruh kumpul. Lo, sih, Bi, chat grup dianggurin! Gue kira udah mati." Menunjuk pada Sega yang sudah kembali menandaskan baksonya. Padahal hanya tersisa kuah di sana.
Mendengar perkataan Dito, Sega langsung menegakkan punggung, melotot. "Yaaa, Tolol. Bilang dari tadi, Kambing!"
Sega menandaskan es jeruknya cepat-cepat. "Gue ke lapangan dulu, Sa. Lo nyusul Nilam aja ke perpus." Sega menatap Saga sebentar, lantas kembali pada es jeruknya. Cepat-cepat memasukkan es batu yang tersisa ke mulut. Mengunyahnya sampai terdengar bunyi seperti saat memakan kerupuk.
"Yaelah, masih aja ngurusin es batu." Dito berseru tak sabaran. Buru-buru menarik Sega. "Udah telat ini, Bego!"
Sega menurut saja saat di seret, sembari masih mengunyah es batu. Melambaikan tangan pada Saga, karena mulutnya masih penuh.
"Duluan, Sa!" pamit Dito, mempercepat langkah.
Saga memandangi punggung kakak kembarnya yang semakin menjauh. Beginilah adanya. Lain di rumah, lain lagi di sekolah. Dan bagi Saga, Sega tampak begitu bebas setiap kali di sekolah. Saat berkumpul dengan anak-anak lainnya.
Seolah, di sinilah Sega menemukan arti sebuah rumah.
"Lo gak tahu, sih, Dit, kenikmatan hakiki minum es itu pas kita ngunyah es batunya!"
"Cot, Se. Kita telat gara-gara lo, pokoknya!"
Samar, Saga masih bisa mendengar perdebatan Sega dan Dito. Sampai keduanya menghilang dari pandangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top