3. Senja Menangis

Duka itu nyata. Di atas gundukan tanah basah; segala doa, sesal, dan amarah berkerumun menjadi satu; mengantarkan satu lagi kepergian untuk mereka kenang.

Katanya, waktu itu jahat karena tidak mau mengerti orang-orang yang berduka. Tidak peduli pada mereka yang ingin menghabiskan lebih banyak kebersamaan dengan yang terkasih. Jika saatnya tiba, perpisahan yang akan menyulam jarak. Meski harus meraung, memohon, menangis sampai bersimpuh pun, tidak akan ada yang mendengar. Dan waktu, tetap melaksanakan tugasnya. Berjalan sebagaimana harusnya, tanpa keinginan berhenti, barang sedetik saja.

Ada banyak adegan yang terbayang di kepala Sega sekarang. Menangis, meraung, memaki pada apa pun, menyalahkan siapa saja. Ada juga pilihan berlari ke rumah, mengurung diri di kamar, enggan makan, malas membuka suara, menjadi tuli. Atau yang paling ekstrim, mencoba mengadu ketahanan dengan mobil di jalan raya. Andai dia mati berdarah-darah, maka itulah takdirnya. Dan penebusan dosanya.

Namun, semuanya segera kabur, hilang seperti debu diterbangkan angin. Hatinya mendingin, beku, dan siap hancur detik itu juga.

Pada dua orang pria yang mencangkul tanah di sana. Dan di balik tanah basah yang mulai menggunung itu, separuh jiwanya terkubur seorang diri. Kedinginan.

"Kenapa bukan kamu saja?"

Benar. Kenapa bukan dirinya saja yang ditinggalkan sendirian di dalam sana? Kenapa bukan dirinya saja, yang dibiarkan mati membusuk ditimbun tanah?

Sega tidak berani mendekat. Masih ingat betul bagaimana pelototan mama saat memperingatkan untuk enyah. Hanya mampu memperhatikan dari tempat paling belakang. Bersama keempat temannya, diam tanpa keinginan membuka suara.

Nisan sudah ditancapkan. Tertoreh nama yang hanya berbeda satu huruf saja dari miliknya sendiri.

Garvi Sagara. Menjadi pertanda kehidupannya yang dihantui penyesalan dimulai.

"Mau ke mana?"

Sega tidak menggubris. Mengabaikan sang adik yang baru pulang les begitu saja. Langkahnya meninggalkan rumah sebesar kemarahan pada penghuni bangunan menyedihkan ini. Tidak akan bisa dihentikan. Dia tidak ingin dihentikan.

"Se?! Jangan pura-pura budek, deh!"

Apa urusannya? Diam dan menyingkir, jika ingin membantu.

Dia hampir menampar tangan yang menahan bahunya, saat Saga sudah menarik diri terlebih dahulu. "Santai, dong. Gue nanya baik-baik, ini." Sang adik menatap Sega heran dengan tangan terangkat tinggi-tinggi. Mungkin bingung, karena Sega mendadak temperamental.

"Jangan ganggu gue," lirih Sega tajam. Di pundaknya sekarang sudah ada sebuah tas besar yang isinya seperti ingin tumpah. Tangan kirinya memegang kunci mobil, hasil mengendap dari kamar tidur orang tuanya. Mungkin dia akan dibunuh, kalau ketahuan mencuri mobil papa dan digunakan untuk kabur. Tapi, Sega tidak peduli. Toh, dia sudah mati di mata mereka.

"Ke mana, sih?" Saga belum menyerah, rupanya. Terus mengikuti Sega yang sudah hampir mencapai garasi. "Terus aja ngacangin, orang lagi ngajak ngomong."

Sega mendesah. Mengerem langkah, lantas memutar badan. "Berhenti ikutin gue," tangannya menunjuk pintu rumah, "masuk, dan sembunyi aja di ketiak orang tua lo! Anak emas keluarga tahu apa, sih."

Ah, sialan! Dia tidak bisa mengontrol emosinya gara-gara konfrontasi papa dan mama tadi. Meledak di depan Saga adalah hal terakhir yang akan dilakukannya. Tapi, mengingat lagi bagaimana papa dan mama yang terlalu membanggakan orang di depannya ini ....

Sega tidak terima. Dia marah. Iri. Merasa tersingkir. Semuanya seperti bersekongkol untuk membuatnya membenci Saga. Dan puncaknya, dia melimpahkan segala kekesalannya pada Saga.

"Ah, itu." Sega diam, menunggu Saga yang menerawang kosong dan mengangguk-angguk kecil.

Namun, alih-alih melanjutkan, Saga malah berjalan melewati Sega begitu saja. Membuka pintu penumpang di samping kemudi, melemparkan tas ke bangku belakang. "Gue ikut," katanya, sebelum menutup pintu begitu saja.

Serius? Di antara semua hari? Sega tahu adiknya memang suka seenaknya sendiri. Apalagi saat di depannya. Tapi tetap saja, tidak bisakah lebih paham situasi?

Terlalu malas mendebat, akan memakan waktu juga untuk mengusir Saga keluar; Sega pasrah. Mengambil kemudi, lantas menjalankan mobil sebelum papa dan mama menyadari kedua anak kembar mereka hilang.

"Gue bener-bener enggak sengaja, Se. Sori."

Sega hampir tertawa mendengarnya. Apa lagi sekarang? Bahkan, Saga pun ikut mempermainkannya? Belum semenyedihkan itukah dia di mata Saga?

"Kalian bikin band aja, terus gue bisa jadi manajernya."

Kalimat itu kembali berputar di kepala Sega. Bagaimana semangatnya Saga memberi saran, dan tidak sabar menjadi manajer. Sega sempat menolak. Jelas saja. Mau dipandang seperti apa lagi dia di mata kedua orang tuanya, 'kan? Namun ....

"Gue bakal rahasiain dari Papa sama Mama. Pegang omongan gue."

Meski sedikit ragu, akhirnya Sega setuju. Dari awal, sang adik memang tahu keinginannya untuk bermain musik. Dan mimpinya semakin dekat. Ditambah lagi mendapat dukungan dari Saga. Sega tidak merasa kekurangan apa pun.

"Sega? Kok diem? Lo gak kenapa-napa, 'kan?"

Tidak menggubris panggilan berulang-ulang dari Leva di seberang sambungan. Bahkan, nada panik di suara perempuan itu pun tidak membuat Sega angkat bicara.

Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai kemungkinan. Saga selama ini mempermainkannya? Adiknya hanya berpura-pura peduli? Saudara kembarnya hanya ingin mendapat kepercayaan Sega untuk menghancurkannya lebih keras? Jadi selama ini ... hubungan mereka palsu?

Sega menelan ludah getir. Pandangannya pada jalanan tidak sefokus sebelumnya. Tapi, dia juga muak jika melirik ke kiri. Mendapati wajah yang sama persis dengan miliknya membuat Sega linglung.

"... -i mana?"

Suara Leva hanya samar-samar terdengar memasuki gendang telinganya. Di antara bising klakson mobil, decit rem, dan derum mesin kendaraan, Sega tidak tahu harus mendengarkan yang mana.

Telinganya terlalu penuh, tapi begitu senyap. Kepalanya bising, tapi kedap tanpa isi. Bayangan demi bayangan berkelebat di matanya, tapi tidak satu pun yang tertangkap dengan jelas.

"Se, jangan gegabah!"

Seruan sang adik tidak lagi terdengar. Telinganya hanya memutar-mutar percakapannya dengan Saga. Tentang ide pembentukan band, janji saling menjaga rahasia, latihan diam-diam, sampai pengakuan pengkhianatan. Sega ... dia masih tidak mengerti. Bukankah Saga yang dari awal menghujaninya dengan semangat tanpa pupus? Lantas, kena-

"Awas!"

Jeritan ngeri Saga adalah suara terakhir yang Sega bisa artikan, sebelum benturan beruntun menghantamkan tubuhnya ke segala sisi. Terempas ke sana-kemari, merasakan beberapa bagian tulangnya bergeser, diiringi sakit dan ngilu yang tak tertahankan.

Dia tidak sadar, jika kemarahannya, berhasil merenggut satu-satunya keluarga yang benar-benar peduli.

Andai. Andai saat ini adalah terakhir kalinya dia melihat Saga; Sega akan melakukan apa pun un- Dan semuanya gelap.

Selalu ada perubahan setelah kepergian seseorang. Terlebih, bagi orang terkasih.

Tidak perlu dijelaskan lagi. Saga adalah berlian. Harta paling berharga yang selama ini dijaga sangat baik oleh kedua orang tuanya. Dan Sega, hanya potongan batu kali tak bernilai. Tidak ada apa-apanya dibanding berlian yang sudah diasah sebegitu telitinya. Batu kali itu lebih baik dibuang, daripada merusak pemandangan.

Sekarang, saat berliannya hilang, Harris dan Dhira kehilangan segalanya. Apa yang mereka jaga, mereka bangga-banggakan, sudah terkubur kedingan di tanah pemakaman. Mereka sudah terlalu lelah untuk marah. Meraung ribuan kali pun, tidak akan mengembalikan kesayangan mereka.

Yang tersisa sekarang, hanya secuil batu kali yang tak berharga. Disepuh sedemikian rupa pun tetap akan mewujud batu kali tanpa harga.

Tak ada niatan dari mereka untuk menyapa. Menatap batang hidung anak pembawa sial itu saja mereka sudah enggan. Tidak sudi. Mendapati wajah yang hampir seratus persen mirip itu mengolok-olok kesedihan mereka.

Jadi, Harris dan Dhira lebih memilih menganggap anak itu tidak ada. Ikut mati bersama buah hati tersayang mereka, dalam ironi yang menyakitkan.

Andai berpapasan, Harrish dan Dhira hanya akan pergi begitu saja, seolah tidak melihat siapa-siapa.

Sega mendesah. Biasanya, di jam-jam seperti ini akan ada manusia tidak tahu diri yang merecoki kamarnya. Mendadak masuk dengan setumpuk buku tebal-tebal. Mengganggunya yang sedang asyik bermain Piano Tiles.

"Hari ini Geografi," ucap laki-laki itu dengan sengiran lebar. Melemparkan buku-buku ke pangkuan Sega. Hampir menyambit pelipis Sega, kalau boleh ditambahkan. "Gue heran. Lo yang anak IPS, tapi gue yang ngerti Danau Singkarak itu di Sumbar."

Nada bercanda diiringi gelengan merendahkan milik Saga tidak membuat Sega marah. Dia malah gatal balas menyambit adiknya di kepala. Siapa tahu kebodohan bisa menular, bukan? Jadi, dia bisa punya teman saat papa dan mama sedang mood mengomel.

"Libur dululah sehari," tawar Sega, mengacungkan smartphone-nya ke wajah Saga. "Mabar Piano Tiles kita." Yang dibalas anggukan setuju.

"Terakhir kita bahas apa, ya?" tanya Saga, sembari menjatuhkan diri di samping kiri Sega. Seolah persetujuannya beberapa detik lalu hanya ilusi. Membaringkan diri, mencari posisi nyaman dengan tangan mulai membuka-buka buku.

Pasrah, Sega ikut berbaring, meraih bindernya. Saga yang menyiapkan semuanya, omong-omong.

"Kependudukan."

"Yak, betul!" seru Saga girang. "Pengindraan jauh." Senyum di bibir Sega berganti dengan cebikan. "Gue malah kaget kalau lo bisa inget."

"Iyain aja kenapa. Bohong dikit gitu buat sodara sendiri."

"Iya, kapan-kapan, kalau inget."

Sega mendesah. Hampir tidak percaya adik kembarnya adalah manusia paling perhatian yang pernah ditemui saat melihat Saga menjelma menjadi guru dadakan.

Selanjutnya, kakak beradik itu hanya disibukkan dengan kegiatan membalik buku sembari yang lebih tua beberapa kali mengganggu adiknya dengan sengaja. Yang terlambat Sega sadari, adalah kegiatan yang belakangan menjadi satu hal yang paling dia rindukan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top