14. Kabar (Tidak) Bahagia

Ekspektasi yang dikembangkan, seharusnya tahu tempat. Karena terluka pada harapan yang tidak sesuai adalah kesiaan.

Ada sebuncah perasaan penuh suka mengembang subur di dada si laki-laki. Pada sebuah kertas yang digenggamnya sekarang, harapan itu perlahan melambung.

Kalau seperti ini, seharusnya cukup, 'kan? Paling tidak, Sega sudah maju satu langkah lagi.

Sembilan puluh. Angka yang mustahil Sega dapatkan dulu, kini tercetak cantik di sudut atas kertas ulangannya. Dengan satu kotak kecil kosong di bawahnya, untuk tanda tangan papa nanti, bukti Sega sudah menunjukkan nilai cantiknya pada kedua orang tuanya.

Biasanya Sega paling malas memperlihatkan hasil ulangannya pada papa atau pun mama. Kalau bisa, dia malah ingin memalsukan tanda tangan papa, bosan harus mendengar mereka mengomel untuk hal yang sama.

Namun kali ini berbeda. Si laki-laki Virgo tidak sabar memperlihatkan hasil belajarnya satu bulan belakangan ini. Dia tidak mengharapkan pujian, kok. Tidak mendapat ceramah dari papa saja sudah lebih dari cukup.

Dia hanya ingin menunjukkan, usahanya belakangan ini mulai memperlihatkan hasil.

Harapannya kian melambung saat akhirnya, pukul 10 malam, papa pulang. Waktu yang cukup sore dibanding biasanya, yang membutuhkan tengah malam untuk papa menginjakkan kaki di rumah.

Tuhan memang sedang mendukung kebahagiaan Sega rupanya.

Maka, si pemuda berjalan penuh suka menyambut papa di ruang keluarga. Senyum senantiasa tercetak lebar menunjukkan gigi-gigi putihnya yang cemerlang. Sega curiga giginya akan kering saking lebarnya dia tersenyum sekarang.

Tapi si pemuda tidak bis membohongi diri. Ada ekspektasi yang mengembang tanpa izin sekarang.

"Pa!" panggil Sega langsung, saat papa melintasi ruang keluarga.

Kamar kedua orang tuanya berada di sebelah tangga, berseberangan dengan sofa tempat Sega sedari tadi duduk. Makanya si pemuda September bisa menunggu papa dengan tenang di ruang keluarga karena yakin papa pasti akan lewat sana.

Terdengar helaan napas kasar dari bibir pria yang berdiri cukup jauh dari Sega sekarang. Sebelum papa memutar badan dan melempar tatapan malas ke arah Sega.

Namun, antusiasme yang memeluk erat membuat Sega tidak sadar pada keengganan di balik mata sang papa. Si pemuda dengan segala cita di relung dadanya berjalan mendekat ke arah pria yang dia panggil papa.

"Papa sudah makan? Tadi Sega masakin buat Papa sama Mama." Yang hanya butuh satu detik bagi dengusan papa kembali terdengar. Jelas sekali ekspresi geli terpancar di wajah pria yang menjadi alasan kehadiran Sega di dunia. Dengan salah satu sudut bibir terangkat meremehkan.

"Dari mana kamu punya kepercayaan diri saya mau makan masakan kamu?"

Harapan Sega sederhana sekali. Makan bersama orang tuanya, mengobrol ringan, lantas menunjukkan kertas di tangannya penuh suka cita. Dia sudah membayangkan seulas senyum kedua orang tuanya terpatri di depan matanya.

Tidak perlu ucapan selamat penuh kasih, kok. Serius. Bagi Sega, senyum kedua orang tuanya sudah cukup mewakili.

Tidak perlu usapan lembut di kepala. Hanya masakannya dicicipi dengan suka cita, Sega tidak akan banyak memaksa.

Duduk tenang. Menyantap makanan yang sudah Sega siapkan. Meski tanpa tutur hangat di tengah ruang makan, Sega tidak masalah.

Dengan imaji yang dia ciptakan sendiri itu, impulsif menuntun si lelaki memasuki dapur. Sega yang tidak pernah sekali pun menjejakkan diri ke dapur untuk memasak, hari itu untuk pertama kalinya bersemangat menyalakan kompor, dan menyibukkan diri di sana. Berbekal video tutorial yang dia dapat acak dari internet dan sedikit bantuan dari bibi, masakan perdananya hadir di meja makan malam itu.

Namun sekali lagi, Sega diharuskan sadar diri. Dari perkataan papa tadi secara lantang menjelaskan, usaha apa pun yang Sega lakukan, tidak akan cukup di mata mereka.

"Dicoba dulu, Pa. Sega sengaja masak biar Papa sama Mama bisa makan masakan rumah."

Lagi, malah kekehan geli yang terlempar dari bibir tebal pria di hadapan Sega.

Bahkan untuk merasa sakit hati saja, si pemuda sudah enggan. Hatinya sudah terlalu banyak terkoyak, tidak muat untuk ditambah luka yang baru. Atau segalanya, malah akan berakhir hancur berantakan.

"Makan saja sendiri. Saya nggak sudi menyentuh masakan kamu."

Sebelum papa membalikkan badan dan melanjutkan langkah memasuki kamar, beliau kembali membuka suara. "Sadar posisimu. Kamu bukan siapa-siapa di sini."

Lantas, Sega ditinggalkan seorang diri di sana. Dengan tangan meremas erat kertas ulangan di genggaman.

Tidak, kok. Hati Sega baik-baik saja sekarang. Bisa jadi memang papa sedang lelah, makanya sambutan Sega tidak dibalas dengan layak.

Maka, sekali lagi, si pemuda bodoh yang menolak sadar diri itu melangkahkan kaki mendekat. Berdiri di depan pintu kamar yang baru beberapa detik ditutup, lantas mengetuk tanpa ragu.

Jika terlalu banyak berpikir, hanya akan berakhir Sega kembali mengurung diri di kamar, alih-alih menunjukkan nilainya.

Entah apa kata papa nanti, Sega tidak mau memikirkannya.

Tanpa aba-aba, pintu kamar terbuka, nyaris seperti dibanting malah. Karena suaranya, hampir berhasil membuat jantung Sega melorot ke lutut.

"Apa lagi? Budek ya kamu? Sudah saya bilang saya gak mau sentuh masakan kamu. Berhenti ganggu saya. Saya capek."

Sega menulikan telinga.

Sudah biasa. Yang seperti ini tidak banyak mempengaruhinya, kok. Sudah biasa. Hati Sega sudah kebal menerima perlakuan semacam ini.

Berkali-kali mantra tersebut dia rapalkan di dalam hati, sambil berusaha mengatur senyum terbaik yang bisa dia tampilkan.

Tangannya mengulurkan lembar ulangan yang sudah tidak karuan lagi bentuknya, karena Sega remat tanpa sadar tadi. Matanya menatap penuh harap pada ekspresi yang akan ditunjukkan papa, saat Sega dengan sengaja memperlihatkan angka yang tercetak di sudut atas kertas.

Namun, alih-alih menjawab, pria di hadapan Sega memelengos malas.

"Apa? Mau pamer apa? Nilai segitu bukan apa-apa buat Saga."

Demi Tuhan, Sega tidak masalah kok. Sega masih bisa menerima.

Maka, si pemuda semakin melebarkan senyum. Sengaja menelan bulat-bulat kalimat menyakitkan dari papa.

"Boleh Sega minta tanda tangan Papa? Buat bukti kalau Sega udah kasih lihat nilainya ke orang tua."

Tepat tiga detik sang papa terdiam, hanya menatap kertas ujian Sega lamat. Sebelum kepala beliau kembali mendongak, dan senyum memuaskannya kembali.

"Jangan harap saya mau menandatangani kertas itu. Minta saja ke mamamu atau bibi  Saya nggak ada waktu."

"Tapi, Pa, Sega cu—"

"Berhenti mengganggu. Saya nggak sudi melihat orang yang sudah merenggut anak emas saya."

Lantas, pintu kamar kembali dibanting. Keras sekali, tepat di depan hidung Sega.

Si pemuda menatap nyalang pada daun pintu cokelat di hadapannya. Sekeras apa pun dia mencoba menelan, ternyata sakitnya memang sebegininya, ya.

Yang papa gagal pahami adalah, dibanding semua orang, luka Sega yang paling basah menganga penuh nanah. Yang papa enggan akui, Sega juga sama kehilangannya.

Kehilangan separuh jiwa karena kebodohannya sendiri. Orang mana lagi yang memiliki hidup lebih menyedihkan dibanding Sega?

Niat hati memberi kabar penuh suka cita, ternyata hanya Sega yang dipaksa menelan bahagianya tanpa suara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top