13. Selalu Berbeda
Keduanya serupa, tapi memiliki garis takdir yang seratus persen berseberangan.
"Tuhan, ini apa?"
Saga yang baru memasuki kamar seperti langsung dimusuhi dengan berpotong-potong kemeja dan celana panjang di atas tempat tidur. Tangannya menyibak-nyibak asal pakaian tersebut. Ini barang-barangnya yang ada di lemari, 'kan? Seingatnya, semua masih tertata rapi sebelum dia pergi ke sekolah tadi. Kenapa mendadak berubah menjadi badai di atas ranjang?
Belum cukup sampai di sana. Saat matanya menatap cermin tempat sisir dan benda-benda lainnya tertata, Saga nyaris jantungan. Pomade terjungkir balik dari posisi semula. Beberapa parfum yang dia punya bertebaran di segala sisi. Koleksi jam tangannya berserakan di seluruh meja, tersebar tak beraturan.
Ini, sih, jelas sekali siapa pelakunya.
Saga langsung berderap ke luar kamar. Saking gemasnya, dia nyaris mendobrak pintu kamar yang tepat berseberangan dengan miliknya. Namun, alih-alih mengomel, dia malah dibuat menganga dengan apa yang ada di depannya.
"Ha?" Saga mendekat cepat, pada laki-laki lain yang tengah asyik mematut di depan cermin. Tangannya menarik-narik kecil kemeja yang melekat di tubuh saudara kembarnya dengan aneh. "Lo ngapain, sih? Angin apaan pakai baju gue?"
"Udah ganteng belum?" bukannya menjawab pertanyaan Saga, laki-laki itu malah menaik-turunkan alis, menatap Saga dari cermin.
"Apaan!" Saga bahkan lebih ngeri saat melihat rambut kakak kembarnya ditata rapi, nyaris klimis tanpa jambul. "Sega! Lo sadar gak, sih? Bukannya lo gatel-gatel kalo disuruh pake kemeja sama rapiin rambut?"
"Karena ini lebih penting dari alergi gue," jawab Sega diplomatis, padahal tidak menjawab apa pun pertanyaan Saga. Laki-laki yang tiga senti lebih tinggi itu kini menatap Saga aneh. "Kok lo belum ganti? Bajunya udah gue siapin di kasur kan."
Mendadak Saga merasa pening menghantam kepalanya. Jika tidak melihat pakaian rapi Sega, juga sopan-santun pada kembaran yang tidak ada santun-santunnya ini, dia mungkin sudah mengacak-ngacak wajah Sega karena sebal. "Apanya yang lo siapin?" seru Saga, berusaha menahan diri. "Yang ada kamar gue jadi kayak gudang sekarang."
"Loh?" Sega mengernyit kecil, seperti tengah mengingat-ingat. "Tadi gue bantu keluarin semua, kok, biar lo gampang milihnya. Iya sama-sama. Enggak usah terharu gitu, dong."
Saga sukses melongo. Berbicara dengan saudara kembarnya ini memang harus banyak-banyak menabung kesabaran. Tidak ada gunanya meledak di depan Sega, karena laki-laki itu hanya akan berlagak pilon. "Jelasin dulu ke gue, angin apaan lo tiba-tiba dandan rapi begini?" Saga cepat-cepat menambahkan, saat Sega akan membuka suara. "Nggak ada basi-basi kebasian lainnya!"
Sebelum menjawab, Sega melirik sinis pada Saga. Mungkin sebal karena 'jawabannya' dipotong. "Lo lupa ya, sekarang tanggal berapa?"
Mustahil Saga lupa dengan tanggal lahirnya. Setiap tahun pun, papa akan mengajak keluarga kecil mereka makan di luar. Sebuah momen yang jarang bisa didapat di keluarga mereka, omong-omong. Mengingat kantor papa yang ada di Surabaya, melihat beliau tiga hari tinggal di rumah saja sudah merupakan keajaiban. Imbasnya, mama jadi harus sering bolak-balik Surabaya—Jakarta, untuk mengurus keluarga yang memang berpencar-pencar.
"Apa hubungannya hari ini sama lo pakai baju gue?" Sega ini memang terkadang susah diprediksi. Sebelum-sebelumnya juga dia santai saja memakai kaus lengan panjang dengan celana jin panjang, tanpa repot-repot memperhatikan penampilan. Kenapa hari ini mendadak ingin tampil beda?
Sega mendengus, menatap Saga seolah-olah adiknya itu manusia paling bodoh di ruangan ini. "Sekali-kali dong, gue mau tampil keren di depan Papa sama Mama. Terus karena baju gue adanya cuma kaus, gue pinjem punya lo, deh," jawab Sega di akhiri senyuman manis.
"Tapi nggak pake obrak-abrik lemari gue, dong." Saga tak tahan lagi. Kedua tangannya yang sedang bebas segera memiting kepala Sega, menyeret kakak kembarnya ke kamar yang sudah menjelma menjadi kapal tertabrak angin topan. "Nggak mau tahu, lo harus beresin semuanya."
"Tu-tunggu dulu, dong! Baju gue, baju gue!" Sega meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari kukungan Saga. Menarik napas panjang saat berhasil terbebas. "Kusut semua kan. Udah dandan lama-lama juga."
Saga tak mau tahu. Dia berpindah ke belakang Sega, mendorong sang kakak gemas. "Beresin dulu kamar gue! Nanti Mama ngomel."
"Iya-iya, ini juga jalan. Nggak lihat?" Sega tidak lagi memberontak, menuruti dorongan tangan Saga. "Jangan pegang-pegang, dong, baju gue jadi kusut."
"Itu punya gue!" balas Saga tak acuh.
"Tumben Sega rapi gini?"
Mereka sudah sampai di restoran beberapa menit yang lalu. Sengaja menghabiskan waktu sembari menunggu makanan dengan mengobrol ringan.
"Iya, Ma, tadi pinjam kemeja Saga," Sega menjawab antusias, merasa bangga dengan keputusannya.
"Ngobrak-abrik lemari gue, maksudnya," gumam Saga lirih, sengaja memperdengarkan hanya pada Sega, yang duduk di sebelahnya. Masih sedikit sebal karena kehiperaktifan Sega.
Sebagai jawaban, Sega memberi sengiran lebar, lantas memeletkan lidah cepat.
"Mama sampai susah bedain mana yang Sega dan mana yang Saga, loh. Untung Saga pakai kacamata, jadi kelihatan." Refleks, Saga mendorong kacamata berbingkai hitamnya semakin menempel ke pangkal hidung. Saga sepenuhnya setuju, sih. Melihat Sega memakai kemeja licin dengan rambut disisir rapi, benar-benar tampak menyerupai dirinya yang tanpa kacamata. Kecuali saat kakaknya itu tersenyum dan memunculkan lesung di pipi kirinya. Poin yang membuat Saga iri, terkadang.
"Masa, sih, Ma?" Entah benar terkejut atau pura-pura, yang jelas Sega menjengitkan badan dengan tangan kanan menyentuh dada. "Padahal aku jauh lebih ganteng dari Saga, loh. Lihat baik-baik, deh."
"Sega!"
Teguran papa membuat tubuh Sega kaku beberapa saat, lantas tersenyum kecil dan menunduk. Mendadak tertarik dengan gelas minumannya. Dibandingkan mama, mengobrol dengan papa jauh-jauh-jauh lebih susah. Entahlah. Aura yang dipancarkan papa selalu berhasil membuat Sega nyaris merinding. Tidak pernah terbiasa.
"Tapi mama tetap suka, kok, sama Sega yang biasa," ucap mama tiba-tiba, dengan senyum manis keibuannya.
Ah, mama memang penyelamat Sega. Kalimat apa pun yang keluar dari mulut wanita itu selalu berhasil membuat Sega rileks. Hanya dengan mendengar suaranya saja berhasil membawa kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Obrolan singkat mereka sempat terhenti saat pramusaji mengantarkan makanan ke meja. Sekarang, di meja mereka sudah tersedia berbagai makanan. Mulai dari stik, pasta, sampai piza. Saga sebenarnya ingin memesan salad, tapi melihat banyaknya makanan di meja sekarang, dia mengurungkan niat. Sayang kalau sampai banyak makanan yang sisa.
"Sebentar lagi kalian ujian, 'kan?"
Pertanyaan papa berhasil mengisap habis kehangatan yang beberapa saat lalu dihidupkan mama. Saga bisa merasakan Sega menarik napas panjang di sebelahnya. Badan kakak kembarnya itu mendadak kaku dengan tangan menggenggam garpu lebih erat.
Saga berdeham sebentar, lantas menjawab, "Iya, Pa. Harusnya akhir bulan depan semua kegiatan sekolah sudah selesai."
Rasanya, Saga tidak ingin mendengar apa pun pertanyaan yang akan papa lontarkan selanjutnya. Melihat suasana yang tercipta di meja mereka, serta ketegangan Sega yang mendadak menjadi patung bisu, Saga bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini.
"Gimana persiapan kalian? Enggak bolos les, 'kan?" Entah kenapa Saga merasa pernyataan itu diberikan khusus untuk Sega, meski tatapan papa tertuju pada kedua anaknya.
Saat melirik ke samping, Sega terlihat memainkan makanannya tanpa minat. Andai bisa, Saga pun ingin menghentikan pembicaraan yang membuat kakak kembarnya merasa tidak nyaman. Kalau perlu, menarik pergi Sega dari suasana canggung menyebalkan ini. Saga tidak suka saat melihat Sega menjadi tak berkutik, menyapu habis keceriaan yang biasa laki-laki itu tunjukkan.
Namun, papa adalah papa. Jika Saga menghindar, sudah pasti Sega yang akan menjadi bulan-bulanan papa. Jadi, sudah menjadi tugasnya untuk menarik perhatian papa sepenuhnya.
"Alhamdulillah lancar. Minggu depan mulai pendalaman soal-soal ujian."
Papa tersenyum tipis, mengangguk-angguk puas. Tatapannya kini berganti pada Sega yang sedari tadi menunduk. "Kalau Sega, gimana persiapannya?"
Sejak kecil, papa memang sudah menekankan anak-anaknya untuk pandai pada bidang akademik. Karena bagi papa, semakin pintar seseorang, semakin lancar jalan mereka untuk mencapai mimpi di masa depan. Saga paham dan sangat mengerti apa maksud papa. Namun tetap saja, dia tidak bisa sepenuhnya setuju.
Terlebih saudara kembarnya, Sega, bukanlah jenis orang yang sangat berbakat di bidang akademik. Saga bahkan tahu seberapa keras usaha kakak kembarnya itu dalam belajar. Dan sejauh ini, meski Sega mati-matian belajar, Saga tahu bahwa sang kakak tidak bisa menikmati kegiatannya.
"Lancar, Pa. Kemarin juga udah sempat bahas beberapa soal ujian."
"Kemarin Pak Bagas hubungin papa." Jeda yang sengaja diambil papa, entah kenapa membawa dampak mengerikan baik untuk Sega maupun Saga. Tatapan papa masih terfokus pada Sega. "Katanya kamu sempat enggak les tanpa keterangan?"
Saga yang bukan pihak terserang saja merasa tenggorokannya kering saat mendengar suara dingin menusuk milik papa. Entah bagaimana perasaan Sega sekarang. Kenapa, sih, papa tidak bisa membiarkan Sega sekali saja? Toh, nilai kakaknya itu juga masih terhitung baik. Sangat baik malah, jika tidak menerapkan standar di atas awan.
"Ah, itu." Saga bisa mendengar gentar dari suara kakaknya. Dia sepenuhnya mengerti kegugupan Sega. Ini papa, pria paling perfeksionis yang pernah Saga kenal. Pria paling keras dan tanpa ampun yang pernah Saga temui. "Minggu lalu basket sekolah ada turnamen penting. Aku enggak bisa izin gitu aja."
"Dan ninggalin les?" Pertanyaan tajam papa turut membuat Saga menahan napas. Saga bahkan tidak berani melirik respons Sega seperti apa sekarang. Karena terlalu tegang, Saga merasa perutnya sakit dan mulai mual.
"M-maaf, Pa." Hanya suara lemah Sega yang keluar, nyaris sekeras bisikan.
Saga mendengar papa menghela napas panjang. "Papa nggak mau tahu, target untuk semester ini adalah lima besar paralel."
Dan ultimatum tersebut tak hanya berhasil membuat Sega serasa dijatuhi beban berjuta-juta ton, tetapi juga membuat umurnya terserap habis hanya karena kalimat singkat papa.
"Saga, bantu kakakmu kalau ada kesulitan." Dan dengan begitu, makan malam canggung tersebut berakhir dengan beban baru yang menghimpit dada.
Padahal, niat Sega berpenampilan rapi malam ini demi bisa memenangkan hati papa. Jadi, dia bisa bangga menceritakan pencapaiannya dari turnamen kemarin. Untuk pertama kalinya, sekolah mereka membawa pulang medali emas di ajang yang cukup besar. Dan Sega ada di dalam tim tersebut. Bukankah yang seperti ini bisa menjadi alasan orang tua merasa bangga?
Tapi tetap saja, apa pun yang Sega dapatkan selalu kurang, tidak cukup di mata papa. Tidak cukup, jika Sega tetap bodoh masalah berhitung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top