11. Serba Salah
Mau memperbaiki seperti apa pun, kalau kamu sudah membuat kesalahan fatal, semuanya akan percuma. Karena sejak detik itu, kamulah yang salah atas segalanya.
Jarum jam berdetak lirih,sedetik demi sedetik, terus saja bergerak pelan tanpa melihat apakah adaseseorang yang memperhatikan. Menemani Sega yang menyepi di meja belajarnya, fokusdengan apa yang dia kerjakan sekarang.
Padahal, malam sudah semakin larut. Mungkin hanya perlu satu atau dua jam lagi matahari kembali mengambil singgasananya. Sebagian besar manusia jelas terlelap setelah berjam-jam mengurung diri dalam rutinitas menyesakkan. Dan di sini, Sega masih setia terjaga, belum mengizinkan matanya tertutup atau memberi ruang tubuhnya beristirahat.
Biasanya di lapangan seharian, sampai tenaga habis saja kuat, masa begini saja nggak mampu, begitu pikir Sega.
Di hadapan laki-laki berjambul itu, laptop masih menyala gahar, menampilkan sebuah video tutorial mengerjakan soal trigonometri. Ajaib, mengingat bagaimana perilaku Sega biasanya yang suka gatal-gatal kalau melihat angka.
Yah, meskipun video-video dan soal yang dilahapnya itu membuat Sega mengacak rambutnya setiap dua menit sekali. Melihat Sega bisa bertahan sampai semalam ini saja sudah keajaiban dunia kesepuluh.
"Anjir!" Saking sunyinya suasana di kamar, hanya mendengarkan video lewat headset, Sega jadi berjingkat kecil saat ponselnya bergetar tiba-tiba. "Siapa, sih?"
Karena konsentrasinya berhasil dibuyarkan dengan mulus, Sega jadi meraih ponsel sambil menggerutu kecil. Manusia macam apa yang masih terbangun jam 3 dini hari?
Wajahnya makin merengut saat mendapati nama Leva muncul dari layar ponsel.
Leva: Misi-misiii, spadaa. Yg cantik mau lewat!
Leva: Kok blm tidur. Padahal pengen gue spam biar pas lo buka paginya kaget
Sega jadi merengut kecil. Konsentrasinya dirusak hanya karena manusia setengah waras macam Leva? Tuhan!
Sega: Ganggu lo!
Leva: Judes bgt sih :(
Leva: Gue kan cuma chat :)
Sega: Apaan? Buruan, ngapain chat? Awas aja kalau gk penting. Gue bikin loncat tali usus lo
Leva: Sejak kapan gue perlu alasan kalau mau chat lo? Segini doang hubungan kita, Se?
Membaca balasan Leva, Sega malah tambah merasa sebal. Astaga! Waktu berharganya jadi terganggu karena bocah satu ini. Kalau bisa, Sega berharap bisa melempar Leva ke ujung bumi detik ini juga.
Sega: Serius, Levania Lali :)
Leva: Wkwkwk gue juga serius. Tadinya gue mau spam chat beneran karena lagi gabut, biar uwu kayak orang2. Taunya lo masih on. Gagalin rencana gue doang lo ah. Buang2 waktu gue!
Sega: Uwu sama Dito sono
Sega: Lo yg buang waktu berharga gue, njir! Kenapa jadi gue yg salah
Leva: Wkwk lo serius masih belajar sampe skrg? Demi apa? Ke mana Sega yg gue kenal sebelumnya?
Sega jadi terkekeh kecil. Kenapa sih teman-temannya model begini semua? Tidak bisakah Sega punya satu ekor teman yang lebih manusiawi?
Sega: Kalau temennya mau jadi lebih baik tuh didukung, bukan dipancing2 kek lo!
Leva: Ya jelas gue pancinglah! Gila apa lo mau tobat sendiri, kagak ajak2
Sega: Nunggu lo tobat sih sampai kiamat juga gak bakal jadi :)
Leva: Kan, jempol lo makin kyk Bara aja :) Sedih gue
Sega sudah berniat membalas pesan dari Leva, sampai mendengar suara derap di depan pintu. Ia sengaja membuka pintu kamar saat belajar, karena mengurung diri di ruangan yang terbatas rasanya menyesakkan. Sega menoleh ke luar. Dan saat mendongakkan kepala, Mama sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan seperti biasanya.
Ada sedikit perasaan senang saat Mama mau memasuki kamarnya. Padahal beberapa hari ini, jangankan menghampiri, bertegur sapa dengan Sega saja Mama tidak mau. Wajar kan Sega jadi berharap?
Baru saja Sega berniat menyapa, Mama sudah terlebih dahulu bersuara.
"Main laptop malam-malam, pakai wifi, lampu nyala semua. Kamu pikir bayar listrik itu murah?" Dan begitu saja, harapan yang sempat timbul harus Sega telan bulat-bulat detik itu.
Tapi tidak masalah kan? Mama sudah mau bicara dengannya, bukankah sebuah kemajuan yang tidak bisa Sega abaikan begitu saja?
"Itu, aku lagi b-"
"Main HP?" potong Mama telak, memaksa Sega kembali menarik kata-katanya. "Kamu pikir Mama gak bisa lihat? Mainnn terus sampai subuh, lupa semuanya. Kamu bisa gak sih serius sedikit aja?"
Mama salah paham. Sega bahkan belum lima menit memegang ponsel, karena terlalu sibuk mengerti materi yang tidak juga masuk batok kepalanya. Memakai wifi pun untuk memutar video di Youtube. Menyalakan lampu juga jelas sekali alasannya, mana bisa dia belajar dalam keadaan gelap?
"Tapi, Ma, a-"
"Mama pikir setelah didiamin, kamu bisa sadar diri, nyoba berubah. Sama aja! Mama sama Papa harus gimana supaya kamu sadar kalau main-mainmu itu nggak berguna? Udahlah, Mama nggak mau tahu lagi."
Tanpa berniat menunggu penjelasan Sega, Mama keluar kamar begitu saja dengan napas menghela panjang. Wanita itu bahkan tidak mempersilakan Sega untuk menjelaskan dari sisi Sega dan langsung pergi setelah apa yang ingin dia utarakan habis.
Dari tempatnya duduk, Sega hanya bisa tersenyum tipis. Matanya tidak lepas memandangi punggung kecil yang dibalut piama putih itu menjauh.
Sega ingin berlari, mengejar Mama dan menjelaskan segalanya. Tapi rasanya percuma. Tidak apa-apa, masih banyak kesempatan untuk membuat orang tuanya mengerti.
Dengan sigap, Sega segera mematikan laptop, mematikan lampu, dan memutus sambungan wifi yang sedari tadi dia pakai. Menggantinya dengan paket datanya sendiri dan menyalakan senter ponsel untuk membantu penerangan. Matanya sudah berat, tapi Sega tidak ingin tidur sekarang.
Sebelum Papa dan Mama mau mengakui keberadaannya, Sega tidak boleh santai-santai.
"Bukan itu maksud gue. Gini deh, kalau lo emang ngerasa nggak enak, lo bisa ganti. Tapi gak usahsekarang, nanti aja. Fokusin kesehatan lo dulu."
"Gue gak mau nerima cuma-cuma!"
"Cuma-cuma apa sih, Bar! Gue udah kasih opsi itu. Kalau lo mau ganti, ya silakan. Tapi nanti aja. Gue gak mau lo nambah beban." Nilam tidak mau mengalah. "Nyokap udah bilang juga kemarin."
Bara membalas Nilam dengan senyum miring. "Bebannya dateng," komentarnya sambil melirik ke belakang Nilam. Seorang laki-laki dan perempuan berjalan mendekat, dengan tangan bergerak rusuh dan bibir komat-kamit.
Bara melirik sesekali, berlagak tidak peduli. Sampai akhirnya, suara mereka memasuki gendang telinganya.
"... nggak, dong! Peach tuh cantik banget!"
"Bagus kalo buat lo. Lah gue? Jadi apaan pake warna gituan."
"Belum pernah dicoba, mana tahu hasilnya, Se. Banyak kok cowok yang manis kalau pake kaus pink."
"Tapi bukan gue orangnya."
Bara bahkan tidak mengerti apa yang mereka ributkan sekarang.
"Ck. Pesimistis, lo," gerutu Leva sebal, tepat sebelum sampai di meja tempat Bara dan Nilam duduk. "Haii, kok berduaan doang? Dito mana?" sapa Leva sambil mendudukkan diri di sebelah Bara.
Melihat Bara tak berniat menjawab, Nilam mengambil alih.
"Beli pentol yang di depan, kata Bara," jawab Nilam yang matanya sudah fokus pada Sega yang mendadak diam. "Kalian juga kenapa baru dateng?"
Desahan Leva tidak lepas dari telinga Bara. "Tuh, si tuan putri, noh." Leva mengedik ke arah Sega yang baru mendudukkan diri.
"Apaan?" balas laki-laki itu. Bara hanya diam, menyimak obrolan yang lain.
Bukannya segera menjawab, Leva hanya memutar matanya kesal. "Ya elo, sekalinya rajin jadi gak masuk akal. Belajar sih belajar, tapi waktu istirahat ya dipake makan!"
"Botak sialan!" umpat Dito yang tiba-tiba sudah ada di meja mereka juga dan duduk di sebelah Sega. "Buang-buang energi gue aja!"
Bara mendesah pelan. Kenapa teman-temannya tidak bisa datang dengan cara yang normal?
"Lah, ngapa?" tanya Leva. "Katanya lo beli pentol, mana?"
"Gak ada!" Dito bersungut-sungut kesal. "Dicegat gue sama si Botak. Lo tau kan? Satpam baru noh."
Di depan Bara, Nilam terkikik kecil. "Pak Pudin yang udah lo sogok cabut, ya? Baru juga bisa bebas keluar, udah ketahan lagi."
Di sekolah mereka memang selama jam sekolah sebenarnya tidak diperbolehkan keluar dari gerbang. Mengingat semua kebutuhan sudah ada di dalam sekolah. Dari peralatan tulis, print, fotokopi, sampai scan pun ada semua. Artinya, tidak ada alasan bagi siswa untuk keluar sekolah tanpa izin.
"Kenapa sih Pak Pudin kudu keluar? Diganti macem si Botak pula. Susah mau disogok dia."
"Lo sogok pakai apa emang?" tanya Leva kepo. "Lo kasih ceban biar boleh keluar?"
"Kagak. Gue bilang beliin pentol buat dia juga. Eh, tawaran sepenuh hati gue itu ditolak mentah-mentah."
"Pentol doang mah dia bisa beli sendiri, anjir! Gak modal banget lo nyogoknya!" Leva memprotes keras.
"Saran lo juga sama aja, Bangke! Ceban doang mah kecil. Mana berasa dibanding bayaran dari sini."
"Maksud Leva tuh, ceban tambah 0 satu lagi minimal," komentar Nilam, ikut menanggapi obrolan tidak penting di meja tersebut.
"Ya kalau caranya gitu, gue yang gak jadi jajan, Babi!" sungut Dito sembari membanting badan di sebelah Leva. "We need Pudin come back!"
"Gue tahu cara nyogok yang 100% berhasil, Dit," kata Leva, sengaja memancing kekepoan Dito.
"Apa tuh apa? Kasih tahu. Perut gue udah ngidam pentol, nih."
"Kenalin cewek ke si Botak, pasti langsung dikasih keluar. Jangankan beli pentol, mau pulang juga takis!" seru Leva yang segera dibalas delikan kesal oleh Dito.
"Yaelahh, gue aja jomlo, sok-sokan kasih jodoh orang," gerutu Dito. "Pedih amat nasib gue kalau sampai botak punya cewek, tapi gue jomlo. Mau dibawa ke mana muka gue?"
"Idiot!" komentar Bara langsung, yang dihadiahi cekikikan Leva dan Nilam.
"Eh, ini tumben-tumbenan temen sepergoblokan gue bisu. Ngapa lo, Se? Diem-diem aja, sariawan?" tanya Dito tiba-tiba, sepertinya baru sadar Sega yang mendadak jadi pendiam.
"Bacot, Dit," sergah Sega, yang malah membuat Dito berseru heboh.
"Whoaaa, lo mau saingan kejudesan sama Bara? Anjim! Gak bisa, gue gak mampu kalau ada dua Bara di geng kita!"
Mendengarnya, Bara jadi kesal. Dengan gemas, dia melempar botol air mineral kosong arah Dito, lantas mengumpat kecil. "Berisik!"
Masalahnya, hubungannya dengan Sega belakangan ini sedang tidak baik. Dan Dito malah berteriak-teriak menyebalkan, tidak peka sama sekali. Bara sih tidak akan mau menurunkan ego untuk mengajak Sega berbicara lebih dulu. Enak saja! Jelas-jelas yang salah Sega, kenapa Bara yang harus mengalah, kan?
Sampai Sega bisa menggunakan otaknya kembali, Bara bersumpah tidak akan mau menyenggol Sega barang sejengkal pun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top