10. Melepaskan
Tidak ada yang bisa terbiasa pada sebuah kehilangan. Meski begitu, bukan berarti kamu bisa membuang segala hal yang berharga karena sekelumit penyesalan.
Jika sudah menyesal satu kali, jangan melakukan sesuatu yang membuatmu merasakan penyesalan kembali.
Suara pekikan diiringiumpatan melengking terdengar membahana di ruangan bernuansa putih-abu itu. Tawa geli bercampur kikikan nyaring menggema, memantul dari dinding-dinding putihyang dipenuhi poster Avril Lavigne. Suasana yang begitu hangat, penuh sukacita. Poster-poster yang menempel di dinding pun tak akan keberatan bersaksibahwa kenyamanan yang tercipta di sana tidak terbantahkan.
Di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi seruan itu, sekelompok remaja yang masih berseragam tampak santai duduk melingkar di atas karpet. Di tengah-tengah lingkaran mereka, beberapa stoples tergeletak, dengan berbungkus-bungkus kosong makanan ringan.
"Aduh-aduh, bentar, perut gue sakit, demi Tuhan." Leva terbahak-bahak dengan mata berair, saking puasnya dia tertawa sekarang. Tangannya bahkan sibuk memukul-mukul pundak Bara yang duduk di sebelah kanannya, menyalurkan humor yang masih kental mendominasi.
"Dit, lo diem dulu deh, Anjir! Saran lo gak ada yang bener," umpat Sega yang mukanya sudah semerah buah bit. Kulitnya memang sedikit cokelat karena banyak terpapar matahari saat bermain di lapangan. Makanya, saat wajahnya bersemu merah karena kesal atau malu, membuat kulit Sega alih-alih menjadi merah muda, malah meninggalkan gurat merah tua. Gosong. Begitulah sebutan yang Dito daratkan untuk Sega.
"Kenapa malah ketawa, sih?" protes Dito sambil meremas bungkus Lays yang sudah kosong. "Gue serius, Babi. Kurang ajeb apa coba saran gue?"
Bukannya langsung menjawab, Sega malah menoyor kepala Dito saking gemasnya, meski ujungnya kembali tertawa.
"Ajeb-ajeb mata lo!" umpat laki-laki berkulit sedikit cokelat itu. "Emang lo mau ke club?"
"Ya siapa tahu kita dapet undangan tampil ke Jenja atau Fable. Kan sedap," kilah Dito lagi, sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Lo sih, Se, kalo mimpi setengah-setengah. Tuhan jadi bingung kabulinnya gimana. Mau dikasih sekelas Dragonfly tuh kelebihan, kalo kafe-kafe kecil banyak protesnya. Salah lagi."
"Kan, goblok memang. Club mane yang ngisi musik pake lagu mellow, Bangsat!" Memang ya, meladeni Dito tuh isinya jadi penuh hujatan. Bobrok level maksimal.
"Selalu ada yang pertama kali buat semua hal, Se." Jawaban Dito membuat dahi Sega menyernyit. Rasanya bukan begitu, deh. "Ah, capek gue ngomong sama lo. Susah diajak bermimpi tinggi."
Sega mendesah kesal. Harusnya dia yang lelah di sini, kenapa jadi Dito?!
"Logic, Dit," komentar Nilam tiba-tiba, yang membuat mata Dito berbinar-binar.
"Tuh, Nilam aja setuju!" sorak Dito heboh, merasa mendapat dukungan. "Memang cuma Nilam yang mengerti aku."
"Tapi saran lo nggak logic," tambah Nilam yang langsung disambut cekikikan oleh yang lain.
"Mampus!" seru Sega langsung saat Dito mendadak kicep.
Keterdiaman Dito mengundang teman-temannya yang lain semakin tertawa puas. Nilam bahkan sudah melepas kacamata untuk membersihkan air mata yang keluar saking puasnya tertawa.
"Dito has been slain!" kata Leva, menirukan suara ala-ala Mbak di game Mobile Legend.
Satu kebahagiaan paling hakiki dari kelompok bobrok mereka adalah menertawakan Dito sampai mampus. Serius. Rasanya tidak ada tandingan kalau sudah mem-bully Dito. Seperti candu. Narkoba sih lewat.
"Lagian, band macam apa yang pakai nama Dityo Fams. Lo mau bikin band atau fans club?" Sega masih belum puas mencaci Dito, rupanya.
"Jangan lupa Dalgona's Vercity." Bara yang sedari tadi hanya menyimak jadi ikut mengompori.
"Dark Mamba masih paling epic sih buat gue." Leva pura-pura berpikir, seolah apa yang dia ucapkan barusan begitu penting dan sangat serius.
Lagi, para remaja tanggung yang berkumpul di kamar Dito itu kembali tertawa puas. Kali ini Dito ikut tertawa juga, meski gemas karena sarannya malah ditolak semua.
"Udah-udah. Nanti aja kita merayakan kebodohan Dito. Lanjut dulu soal band nih. Dari tadi belum ketok palu juga," lerai Nilam karena teman-temannya mulai keluar jalur lagi.
Memang. Di kelompok bobrok mereka, hanya Nilam dan Saga yang paling waras. Itu pun kalau tidak terbawa keidiotan Dito sesekali.
Tapi nih, ya, kalau diingat-ingat, Dito jago pelajaran eksak, loh. Bisa masuk golongan Nilam dan Saga. Seharusnya. Hanya saja ya ... begitu. Siapa yang percaya Dito pandai matematika? Leva yang mengenal langsung saja masih menolak fakta itu mentah-mentah, meski tiap ulangan matematika selalu mengejar sontekan dari Dito.
Masalahnya, ini bentukannya kayak Dito, loh. Serasa keajaiban dunia tidak, sih? Mencomot kalimat Nilam, mungkin Tuhan kasihan terlalu banyak menghadiahkan kekurangan pada Dito, makanya diberi otak encer untuk hitung-hitungan. Sayangnya, sel kebodohan Dito lebih mendominasi. Jadilah seperti sekarang.
"Gimana kalau Laras?" tanya Saga tiba-tiba, memotong perdebatan yang baru akan dimulai lagi. "Gue nggak terlalu mikir filosofi atau apanya. Suka aja karena simpel."
"Laraa, ya. Not bad, sih. Disebutnya juga enak," komentar Nilam tanggap. "Gue suka."
"Laras Biru? Kalau Laras aja gitu berasa kosong gak, sih? Mirip nama orang. Kayak lebih estetik kalau ada Biru-nya." Sega ikut memberi suara. Yang lain menimang-nimang saran yang masuk dengan serius.
"Gue oke," kata Bara singkat, terlihat serius juga memikirkan nama.
Leva ikut mengangguk serius. "Bagus. Gue juga oke, deh."
"Gimana, Dityo Fams? Lo oke?" tanya Sega pada Dito yang mendadak jadi penyimak.
Laki-laki cungkring itu masih diam beberapa detik, sebelum tertawa kecil. "Hehehe, gukguk, Se," katanya. "Gue juga oke. Harus gue akui namanya lebih manusiawi dari saran gue."
Hari itu, terbentuklah komitmen baru di antara mereka berenam. Sebuah tanggung jawab dan bukti keakraban baru kembali terlahir. Dan harapan mereka, lewat Laras Biru ini bisa membantu mereka mempererat pertemanan dan bisa belajar tanggung jawab.
Sega mendesah panjang,tiba-tiba saja otaknya memutar sendiri kenangan saat semuanya masih terasa jauhlebih manusiawi. Kenapa, sih, kepalanya akhir-akhir ini jadi terlalu sensitif?Disenggol sedikit saja rasanya langsung ingin duduk di pojokan, menyumpahitakdir yang belum bisa diterima. Lalu berujung meringkuk seorang diri, sibukmenyalahkan diri.
Terlalu melankolis.
Hah, menyebalkan. Kapan coba Sega bisa keluar dari lingkaran setan ini? Haha hihi seperti teman-temannya yang lain gitu, loh.
"Lo serius, Se?" Sebuah suara tiba-tiba menyusup ke telinga Sega, sukses mengembalikan kesadarannya.
Laki-laki yang sedari tadi asyik melamun itu jadi mendongak sedikit, balas menatap Nilam. "Serius apa? Gue masih sekolah, nih, belum berani seriusin anak orang," seloroh Sega yang entah kenapa tidak terdengar lucu sama sekali di telinga lawan bicaranya.
"Cuma berdua ini. Nggak usah pura-pura gak punya dosa," komentar Nilam telak.
Di tempatnya duduk, Sega jadi meringis kecil. Sepertinya dia salah menyeret Nilam untuk mengajari matematika di perpustakaan. Sega malah jadi disudutkan begini.
Tanpa sadar, Sega jadi melihat kondisi sekitarnya. Tidak ada orang yang dia kenal dekat di perpustakaan. Yang lain pun sepertinya sibuk dengan buku masing-masing. Tapi, bukan berarti Sega mau menjawab pertanyaan Nilam, sih.
"Gue tanya lagi. Lo serius mau keluar Laras Biru?" Nilam menolak menyerah. Laki-laki berkacamata itu bahkan sudah menatap lurus ke mata Sega, tidak ingin jawabannya dibelok-belokkan lagi.
"Gue udah bilang mau keluar, kan. Berarti udah."
"Serius?" tanya Nilam lagi. Sega curiga Nilam mendadak tuli. "Gue kenal lo. 99% mustahil lo ninggalin temen."
Sega tertawa kering, menatap Nilam tanpa ada humor terselip di dalam matanya. "Lo kenapa mendadak jadi cerewet, deh."
"Jangan muter-muter, gue lagi gak mood bercanda," peringat Nilam dengan serius. "Cuma gue yang bisa lo ajak ngomong sekarang pake kepala dingin. Mau berharap ke siapa? Bara? Nasib baik lo gak babak-belur sekarang. Siapa lagi? Dito? Lo tahu dia gimana, otaknya udah digadein. Leva juga pasti iya-iya aja sama keputusan lo, gak berani nanya langsung gini."
"Sumpah, lo berisik banget sekarang. Kayak bukan Nilam," komentar Sega, kali ini tanpa berani menatap mata Nilam. Berasa kena laser.
"Gue bakal jadi manusia paling bacot sampai lo mau jelasin ke gue."
Sega mendesah keras. Kesal juga pada kekeraskepalaan Nilam. Sejak kapan seorang Nilam bisa sepenuntut ini?
"Lo mau gue jelasin apa?" tanya Sega akhirnya.
"Lo tahu maksud gue."
Untuk ke sekian kalinya, Sega mendesah panjang. Menatap kosong pada meja di hadapannya, entah menjatuhkan fokus ke mana.
"Gue cuma perlu waktu. Buat diri gue sendiri. Buat nerima keadaan yang sekarang. Buat belajar damai. Apa pun yang bisa gue lakuin buat perbaiki semuanya. Dan itu artinya gue gak bisa bagi fokus ke band ataupun yang lainnya."
"Dan ninggalin temen-temen lo?" tanya Nilam telak.
Iya. Ninggalin semua, mungkin. Sega tanpa sadar mengulum senyum getir untuk dirinya sendiri.
"Gue cerita bukan buat lo provokasi."
"Sori, kelepasan," kata Nilam sambil mengedikkan bahu sambil lalu. "Rencana lo apa?"
"Ya ini, nyeret lo ke perpus. Ngajarin materi yang gak gue kuasai. Belajar lebih serius," jelas Sega yang sepertinya tidak membantu meringankan perasaan Nilam. Karena laki-laki berkacamata itu sudah mendesah panjang sekarang.
Nilam melepaskan kacamatanya yang berembun terkena keringat. Mengelap lensa beningnya dengan dasi yang dia kenakan sebelum memakainya kembali.
Sebuah tarikan napas panjang terdengar, sebelum Nilam kembali membuka suara. "Lo nggak lagi cosplay jadi Saga, 'kan?"
Tidak ada nada provokasi dalam suara Nilam. Bahkan nada suaranya agak menggantung dan semakin lirih di ujung, tanda bahwa laki-laki itu pun sangsi dengan ucapannya sendiri. Tapi kenapa? Sega malah merasa tertohok dan seolah-olah didorong menuju tepian jurang.
Lo nggak lagi cosplay jadi Saga, 'kan? Pertanyaan itu bergema, memantul berulang kali dari telinga kiri ke telinga kanan. Semakin lirih dan beramai-ramai menggerus kesadaran Sega.
"Nggak." Sega bahkan tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Semuanya terlalu tiba-tiba. Dan Sega tidak siap dengan pertanyaan Nilam.
Memangnya dia sedang berpura-pura jadi Saga? Apakah rasa bersalah membawa Sega tanpa sadar menuntut diri menjadi seperti Saga?
"Gue cuma mau bikin Papa sama Mama seneng," lanjut Sega, masih dengan suara mengambang yang sama. "Bukannya mau jadi Saga."
Jawaban tadi adalah isi bisikan yang berulang kali Sega rapalkan di kepala, berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya memang sepenuhnya untuk pertanggungjawaban. Tapi entah kenapa ... sudut hatinya masih menolak menerima sugesti yang Sega paksakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top