09. Menjauh
Perlahan, segala hal meninggalkan tempatnya. Hanya menunggu waktu, keputusannya akan menuntut karma.
Semuanya dimulai dari sini. Saat Sega, Nilam, Bara, Dito, dan Leva berkumpul di rumah Dito.
Seharusnya, malam ini menjadi saat yang menyenangkan bagi mereka. Untuk pertama kali setelah sekian lama mereka memulai band, ada sebuah tawaran besar yang sangat sayang untuk dilewatkan.
RuSe. Sebuah kafe yang satu tahun belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Tempat yang paling pas untuk para remaja nongkrong, dengan desain interior berbagai tema yang menyegarkan mata dan instagramable. Wajar saja kafe dengan dua lantai dan menu kedaerahan itu semakin ramai pengunjung.
Tahu berita besarnya? Band kemarin sore milik mereka mendapat undangan eksklusif untuk tampil di RuSe.
Bukankah seperti mendapat jackpot yang tidak diduga-duga?
Dito bahkan sudah berteriak heboh sambil menunjuk-nunjukkan layar ponsel berisi direct message dengan akun resmi milik RuSe.
"Gila demi apa! RuSe, anjir! Kita dapat tawaran langsung!" jerit Dito kelewat semangat. Cowok satu ini memang suka susah mengontrol diri kalau sudah senang. Pasti kesetanan.
Apalagi sebelumnya mereka sempat melewatkan kesempatan tampil di RuSe karena ingin fokus UAS, dan masih dalam keadaan berkabung. Sekarang rasanya seperti membalas dendam untuk kegagalan yang lalu.
"Kita harus tampil maksimal!" kata Dito lagi, mulai mengetuk-ngetukkan jari di meja. "Kita perlu dress code. Gimana?"
"Jangan alay," komentar Bara langsung. "Kayak biasa aja cukup."
"Sepakat!" kata Leva langsung, saat Dito terlihat akan menimpali. "Gue gak mau ya dikira anak panti lepas, segala pakai dress code ala-ala."
"Lagian RuSe kan tempat kongkow rame-rame, ya, gue rasa dandan kasual kayak biasa juga udah cukup."
Seperti biasa. Hanya perlu satu kalimat dari Nilam untuk membuat kerusuhan di antara mereka—terutama Dito—jadi lebih terkendali. Biasanya, ada Saga juga yang suaranya lebih sering didengar. Mirip-mirip Nilam. Hanya saja, yah ... Sega tidak ingin memikirkannya lebih lanjut.
Ada satu hal lebih krusial yang sedang bercokol di kepalanya sekarang. Pada antusiasme teman-temannya, yang semakin membuat posisi Sega serba salah. Tapi, dia juga tidak bisa asal diam seperti ini. Sega sudah memutuskan, berarti dia tidak bisa mundur lagi.
Bagaimana? Memangnya dia berani merusak suasana sekarang?
"Nggak bisa! Lagu pacar gue harus dimainin. Cinta Datang Terlambat, titik! Tidak menerima penolakan."
"Yaelah, Dit. Orang nongkrong tuh buat perbaiki mood. Ya kali mau lo sodorin lagu galau sembilan tanjakan?"
"Kata siapa? Gak ada penelitian yang bilang gitu. Sok tau banget lu. Lagian nih, ya, gak dikit juga orang ke kafe buat nenangin diri. Kan makin syahdu kalo dikasih lagu mellow."
"Emang lo, di mana-mana ngegalau? Nolak Melan, sih. Mampus kan baru sadar ternyata kepincut."
"Buacot. Udah lo diem aja. Kan gue yang manggung ini."
Sega hanya menyimak saat Dito dan Leva asyik berdebat. Di sisi lainnya, dia melihat Nilam dan Bara berdiskusi lebih serius, tanpa urat seperti yang dilakukan dua manusia bobrok di sebelah Sega ini. Kedua cowok itu bahkan menurunkan nada suara masing-masing, seperti sengaja tidak ingin menjadi pusat perhatian.
"Gue gak yakin sih." Nilam terlihat sibuk dengan ponselnya beberapa waktu, sambil terus menanggapi ucapan Bara. "Tapi gue tadi udah tanya nyokap."
"Jangan dipaksain, Lam. Gue gak mau ngerepotin."
"Udah, diem aja. Nih, nyokap gue tadi udah bilang bisa. Besok lo temuin sendiri aja. Katanya Mama juga mau chat lo nanti."
"Oke. Thanks, ya."
Sega segera berpura-pura memainkan ponselnya, saat Nilam dan Bara selesai dengan obrolan yang sepertinya rahasia itu. Sok sibuk mengetuk-ngetuk layar pipihnya, padahal hanya membuka-tutup menu tidak jelas.
Tadi itu apa, ya? Kenapa Bara berurusan dengan ibu Nilam?
Sega gatal untuk bertanya. Tapi kembali lagi, ada satu kegelisahan yang lebih mencuri kekhawatiran Sega sekarang.
"Berisik lo berdua. Tanyain vokalisnya lah, mau nyanyiin apa."
"Eh?"
Sega yang merasa dirinya mendadak ditarik untuk ikut terlibat dalam obrolan jadi kikuk. Dia tidak siap ketika semua perhatian teman-temannya mendadak terpaku padanya. Jawaban yang sedang Sega cari-cari bahkan belum ketemu.
"Lo kenapa, deh, dari tadi diem?" todong Leva, yang semakin membuat Sega mengernyit tidak nyaman.
Bukan diam, Sega hanya sedang berpikir. Dan tolong, kembali mengobrol seperti tadi saja! Sega sedang menyusun kalimatnya sekarang.
"Lo kurang suka kita manggung di RuSe, Se?" kata Nilam, turut ambil suara.
"Bukan itu," jawab Sega sekenanya. "Gue malah seneng kita mulai dilirik kafe sekelas RuSe."
"Terus?"
Demi Tuhan. Bara bahkan hanya mengucapkan satu kata, tapi Sega sudah merasa punggungnya diguyur seember air es. Merinding.
"Lo gak sebacot biasanya, gitu maksud anak-anak."
Komentar nyeleneh Dito tidak bisa mengundang kejahilan Sega untuk mengumpatinya. Dia malah semakin tidak bernafsu, dan ingin menghilang dari sana saja secepatnya.
"Soalnya gue lihat dari tadi, lo kayak terjebak di dunia lo sendiri gitu. Gak ikut berisik kayak biasanya. Atau lo ada unek-unek apa gitu?"
Bagaimana bisa Nilam bertanya dengan begitu telak? Seperti tahu betul apa isi kepala Sega sekarang.
"Gue gak yakin bisa ikut manggung," kata Sega cepat, dengan fokus tidak pada siapa pun. Menatap ke mana saja, asal tidak bertabrakan dengan netra milik teman-temannya.
"Loh, kita kemarin udah sempet nolak loh, Se. Masa iya mau nolak lagi?"
Tidak ada nada penghakiman pada suara Leva. Murni bertanya karena penasaran. Perempuan itu bahkan tampak berhati-hati dengan pemilihan kata yang dia gunakan, dan hal itu semakin membuat Sega tenggelam dengan perasaan bersalah.
Semua di ruangan itu tahu betul seberapa banyak pengorbanan yang sudah dihabiskan sejak band mereka dibentuk. Awalnya hanya untuk pengisi waktu luang, supaya ada kegiatan positif saat mereka berkumpul-kumpul. Tidak ada ide sama sekali untuk menampilkan band kecil mereka ke panggung yang lebih besar.
Sampai akhirnya, Sega mencetuskan sebuah ide untuk membesarkan band mereka. Lumayan, kan? Siapa tahu bisa untuk tambah-tambah uang jajan. Atau paling tidak, mereka jadi bisa mengenal lebih banyak lingkungan baru. Langsung saja, ide spontan itu diterima tanpa berpikir panjang.
Sekarang, saat jalan mulai terbentang di hadapan mereka, Sega malah ingin menarik diri. Pasti terdengar tidak masuk akal dan sengaja mempermainkan teman-temanya.
"Gue tahu. Tapi-"
"Kenapa lagi?" Kalimat Sega dipotong dengan tajam oleh Bara. Laki-laki itu bahkan sudah menancapkan seluruh perhatian pada Sega, membuat Sega jadi menggigil ngeri. "Lo kenapa, sih, jadi suka mangkir sekarang?"
"Gue harus les. Ada beberapa kelas privat juga. Gue gak yakin bisa bagi waktu."
"Waw, sibuk, ya," sindir Bara, dengan ekspresi wajah meremehkan. "Yaudah, bubarin ajalah band-nya. Gak penting juga. Sekolah sana yang bener."
Nada merendahkan dari suara Bara membuat kuping Sega panas. "Maksud lo apa ngomong gitu?" tanyanya. Memangnya Sega tidak boleh fokus pada akademik seperti anak lainnya? Kenapa lagak Bara seperti mengerdilkan usaha Sega yang ingin memulai semuanya dari awal?
Sega tahu dirinya tidak bisa dimaafkan. Dia bahkan teramat tahu usahanya pun tidak akan bisa mengembalikan Saga di kehidupan mereka. Lantas kenapa? Sega masih punya hak untuk memperbaiki, 'kan? Dia bahkan rela mengorbankan diri untuk menyelam pada zona yang selama ini dia hindari. Lantas kenapa orang lain merasa bebas menghakimi?
"Gak ada. Cuma lo emang murid yang paling sibuk."
"Lo tahu apa, sih?" tanya Sega langsung. Kalau tidak suka ya bilang saja, tidak perlu menyindir seperti itu. "Orang yang cuma ngerti basket sama band, mana paham ucapan gue."
"Woah ... woahhh, hold on, guys!" kata Leva cepat, sebelum Bara sempat membalas ucapan Sega. "Stop right there! Kita bisa obrolin baik-baik, nggak perlu pakai urat. Oke?"
Sejak percakapan didominasi oleh Sega dan Bara, suasana di ruangan itu mendadak berubah super canggung dan mengerikan. Nilam ingin ikut terjun dalam percakapan tadinya, tapi tidak menemukan momen yang pas. Bahkan Dito saja tahu diri untuk tidak merusuh dan sudah melepas fokus dari ponsel, ikut menyimak perdebatan Sega dengan Bara.
Tidak ada tanda Sega maupun Bara akan menurunkan emosi mereka. Keduanya bahkan saling memelotot tajam, siap beradu kepalan kapan saja. Leva yang mendadak jadi penengah mereka malah jadi serba salah.
"Masalah gini doang, kok, nggak perlu diperdebatin." Leva bahkan sudah mengangkat kedua tangan, dengan seulas senyum terpaksa dari bibirnya. "Tarik emosi masing-masing dulu. Kita ngobrol setelah kepala kalian adem."
"Gak usah," jawab Bara cepat, sudah berdiri dari tempat duduknya. "Gue muak sama orang lupa diri yang ngebuang orang-orang terdekatnya buat dapatin hal baru."
"Bar, duduk dulu. Kita belum selesai." Nilam ikut membuka suara saat melihat Bara sudah akan beranjak.
"Males," jawabnya. "Lihat aja, bentar lagi juga keluar basket dia, terus ogah diajak kumpul. Sekalian aja keluar dari sekolahan, minggat aja sana. Jijik kan lo ngobrol sama sampah."
Setelah mengatakan itu, Bara pergi begitu saja. Dia bahkan tidak menyahut saat Nilam dan Dito meneriakinya.
Di tempat duduknya, Sega mendadak jadi patung. Baru sadar, kalimatnya tadi sudah keterlaluan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top