Tujuh
Alena menghela napas panjang untuk kesekian kalinya ketika mendengar teriakan Devan. Ia memutar bola mata malas sebelum berbalik menghadap cowok itu kesal.
"Heh, Devan! Kamu ini bener-bener ya...," Alena menunjuk wajah Devan setengah menahan frustrasi. "Bisa nggak kamu nggak teriak-teriak? Harusnya itu aku yang teriak karena aku yang cewek! Kamu itu cowok. CO-WOK!" bentak Alena, sengaja mengingatkan tentang kesenjangan gender di antara mereka.
Benar. Bagaimana mungkin Devan yang berjenis kelamin laki-laki tersebut terus menerus berteriak ketakutan. Membuat telinga Alena terasa hampir tuli. Sebenarnya siapa yang cowok dan siapa yang cewek di sini?
"Jangan salahin gue, dong! Salahin aja serangga-serangga sialan it- AAAAAAARRRGHH! JAUHIN LABA-LABA MENJIJIKKAN ITU DARI GUEEEEE!!" teriak Devan saat kaus depannya dirayapi seekor laba-laba. Devan mengibas-ngibaskan tangan ke kausnya dengan kasar. Berharap laba-laba itu segera pergi dari sana.
Alena terperangah. Well, ini adalah berita besar. Seorang Devan Adelio Sanjaya si cowok paling playboy songong sok ganteng seantero jagad raya ini takut dengan serangga? Tidak bisa dipercaya!
"Ayo cepet pergi dari sini sebelum ... AAAAAAARRGHHH!!" Sekali lagi Devan berteriak histeris ketika seekor kumbang kura-kura terbang hampir mengenai tubuhnya. Tanpa sadar, ia sudah maju dan memeluk Alena yang berdiri di depannya. Napas Devan memburu, dan tubuhnya menegang karena ia benar-benar takut.
Menghela napas panjang, Alena pun mengangkat tangannya dan menepuk punggung Devan setengah hati dengan pelan. Cewek itu bermaksud untuk menenangkan. Bagaimanapun ia juga sadar bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini, termasuk Devan.
Jangankan Devan, ketiga kakak lelakinya saja takut dengan yang namanya kecoa. Apalagi kecoa terbang. Bisa heboh satu rumah ketika hewan cokelat mungil itu berterbangan tanpa dosa di dalam rumah. Saat-saat seperti itulah, Alena selalu datang bak superhero untuk menangkap kecoa tersebut lalu membuangnya jauh keluar rumah. Hingga ia mendapatkan tatapan penuh pemujaan dari ketiga Kakak lelakinya.
Dan meskipun Alena sangat tidak menyukai sifat cowok seperti Devan, namun saat ini mereka hanya berdua. Mereka tersesat dan hanya bisa mengandalkan satu sama lain.
Setelah Devan cukup tenang, Alena segera melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Devan yang masih pucat seperti kehabisan darah.
"Jangan teriak kayak orang gila lagi. Telinga aku bisa mendadak tuli kalau kamu terus teriak," ucap Alena. Ia meraih tangan Devan dan menautkan jari-jarinya ke tangan cowok itu. "Aku bakal nglindungin kamu dari serangga-serangga itu."
TSAAAAA ...
Untuk sejenak, hati Devan berdesir lembut. Ia menatap manik mata Alena cukup lama.
"Ayo, buruan! Udah mulai gelap." Alena pun menarik tangan Devan yang ia genggam untuk kembali berjalan. Devan mengikuti saja perintah Alena.
Tak lama, pandangan mata Devan bergerak ke bawah dimana tangannya digenggam erat oleh Alena.
Sial! Gue merasa hina digandeng sama cewek cupu ini. Pokoknya habis ini, gue harus mandi kembang tujuh rupa tengah malam selama tujuh hari tujuh malam! rutuk Devan dalam hati. Tanpa sadar jika ialah yang menggenggam tangan Alena erat karena takut terlepas.
Cowok itu sangat takut jika ada serangga-serangga lain yang muncul karena bagaimanapun mereka masih berada di dalam hutan. Dan hanya Alena yang ia miliki sebagai pelindung saat ini.
***
"Kita harus ke kanan atau ke kiri?" tanya Alena seraya berbalik ke arah Devan. Malam telah tiba. Jam di ponsel Alena menunjukkan pukul 18.30 dan mereka masih tersesat tidak tau jalan kembali. Coba tadi aku yang bawa peta satunya lagi, pasti nggak bakal gini ceritanya, sesal Alena dalam hati.
Memang dalam satu kelompok diberi dua peta untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu. Namun sayangnya tadi Alena menolak untuk membawa salah satu peta karena dia malas bawa-bawa. Dan kini ia benar-benar menyesal.
Alena melirik kembali ponselnya. Masih tidak ada sinyal.
Devan baru saja membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Alena saat tiba-tiba rintik-rintik hujan turun. Membuat mereka berdua terkesiap.
Karena memang memakai jaket, Devan reflek melepasnya. Ia menjadikan jaketnya sebagai payung.
"Sini!" Devan menarik tubuh Alena agar berdiri di sampingnya. Ia membentangkan jaketnya tepat di atas kepalanya dan Alena.
"Kita ambil kanan aja," putus Devan kemudian yang disetujui anggukan oleh Alena.
Mereka berdua semakin mempercepat langkah saat rintik-rintik air hujan itu semakin bertambah banyak. Mereka yakin tak lama lagi pasti hujan semakin lebat. Kilat dan petir sudah menyambar-nyambar. Membuat Alena sedikit takut. Tapi dia juga bersyukur karena dengan adanya kilat dan petir tersebut, bisa sedikit membantu mereka untuk melihat jalan di depannya.
"Ada rumah, kita berteduh dulu di sana!" tunjuk Alena ketika tak sengaja melihat sebuah bangunan rumah kayu beberapa meter di depannya. Devan mengikuti arah pandang Alena. Dia melihat rumah itu dengan seksama. Terlihat cahaya berwarna kuning yang berasal dari dalam rumah kayu tersebut. Membuatnya mngerutkan dahi dalam-dalam.
"Enggak!" tolak Devan tegas.
"Ayo! Nggak ada pilihan lain!" ucap Alena, menarik tangan Devan begitu saja. Devan tidak melawan lagi karena hujan turun semakin deras, pun angin bertiup kencang..
"Seenggaknya kita nggak basah kuyup," Alena berkata begitu mereka telah sampai ke rumah kayu tersebut. Cewek itu mengibas-ngibaskan kemeja, rok dan juga rambutnya yang sudah lumayan basah. Devan juga melakukan hal yang sama.
Satu jam kemudian ...
Alena mendesah berat. Kakinya terasa kebas karena terlalu lama berdiri. Badannya lelah. Sedangkan langit terus menurunkan air hujan tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Semakin deras dan deras. Alena memeluk tubuhnya sendiri karena angin malam yang dingin mulai menusuk ke tulangnya.
"Permisi!"
Alena menoleh dan mendapati Devan sedang mengetuk pintu rumah kayu tempat mereka berteduh saat ini..
Hening.
"Permisi ... Ada orang?" sekali lagi Devan mengetuk pintu rumah tersebut.
Hening, tidak ada jawaban sama sekali.
Devan mulai mengacak rambut frustrasi. Ia menatap kesal ke arah pintu tersebut hingga akhirnya ...
BRAK!!
"Kamu gila?!" pekik Alena melihat Devan menendang pintu kayu rumah yang langsung terbuka lebar.
"Gue nggak tahan lagi. Gue capek berdiri. Dingin," jawab Devan acuh sambil lalu masuk ke dalam rumah kayu tersebut.
Alena sebenarnya tidak setuju akan perbuatan Devan, tetapi rasa lelah dan kedinginan akhirnya membuat Alena mengikuti Devan. Ia pun memasuki rumah kayu tersebut.
Sesaat, Alena terperangah melihat isi dari rumah tua yang terbuat dari kayu itu. Dia pikir di sana hanya ada sebidang tanah dengan perabot seadanya yang tak kalah tuanya seperti tampilan luar, tetapi ia salah.
"Ini ...,"
Devan mengindikkan bahu. Ia sudah sibuk memasukkan beberapa kayu bakar ke dalam perapian yang berada di sudut tengah ruangan. Cahaya yang Alena pikir berasal dari lampu, ternyata juga salah.
Alena mengedarkan pandangan. Ia menatap takjub pada dinding-dinding kayu yang tampak mengkilat hasil dari pelitur. Lantainya pun sama, terbuat dari kayu-kayu yang telah dipelitur. Semua tampak mengkilat bersih. Meskipun tidak ada perabotan apapun selain perapian di tengan ruangan dan sebuah almari besar yang berisi banyak buku tebal di salah satu dinding rumah tersebut, suasananya nampak hangat dan menyenangkan.
"Sebenernya ...," Devan berkata setelah selesai dengan pekerjaannya. "Gue takut ini rumah orang. Penjahat mungkin. Atau perampok? Penculik? Penjual organ dalam manusia atau--"
"Devan! Jangan nakutin!" sela Alena. Cewek berkaca mata bulat itu mendadak parno.
Devan mengindikkan bahu. " Yah, gue cuma ngomong berdasarkan logika. Coba pikir, rumah ini berada di tengah hutan. Semuanya ...," Devan menunjuk seluruh ruangan. "Sangat bersih dan terawat. Perapiannya juga udah nyala waktu kita masuk. Itu berarti sebelumnya ada orang di sini, bukan?"
Alena terdiam.
"Jadi, coba pikir baik-baik. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan penjahat, penculik, psikopat, atau pembunuh--"
"Kalau gitu kita pergi aja dari sini," sahut Alena cepat. Ia semakin parno dan takut jika ucapan Devan benar.
"Enggak mau," tolak Devan tanpa berpikir. "Lo nggak lihat di luar masih hujan deras? Ogah banget kalau kita harus hujan-hujanan. Lagipula, bukannya bakal nemuin camp kita dengan selamat, yang ada kita udah mati beku di luar sana. Atau bisa jadi kita jadi makanan srigala yang tadi kita temui."
"Tapi--"
"Nggak ada tapi-tapian. Tutup aja pintunya! Apinya bisa mati kalau lo terus berdiri di sana," tukas Devan, ia melemparkan sebuah kayu bakar pada Alena. Alena menangkapnya gesit, lalu menggunakan kayu tersebut untuk mengganjal pintu.
"Lagian gila aja guru-guru kita! Seharusnya mereka mastiin kalau hutan yang kita lewati itu aman dari segala macam binatang buas!" gerutu Devan. "Kalau tadi gue mati, gue bakal gentayangin mereka!"
Alena diam. Tubuhnya mulai terasa lebih hangat karena suhu ruangan dari perapian. Berbeda dengan Devan yang merasa kesal akibat serangan dari binatang buas tadi sehingga mengakibatkan mereka tersesat, Alena justru terusik dengan hal lain. Dan menurut ia adalah lebih penting daripada yang sudah terjadi tadi.
Alena menggigit bibir, lalu menatap Devan yang berdiri membelakanginya melalui kaca mata. "Kalau nanti penja-- maksudku pemilik rumah ini kembali ke sini, gimana?" Alena meralat kata-kata penjahat yang ingin keluar dari bibirnya karena ia takut ucapannya justru jadi kenyataan. Karena ada orang bilang kalau ucapan adalah do'a.
Devan berdecak sebelum melemparkan ranselnya ke lantai dan diikuti dengan dirinya yang merebahkan diri di sana. Menjadikan ransel miliknya sebagai bantal.
"Pura-pura aja jadi gila. Masalah selesai," komentar Devan acuh dan mulai memejamkan mata. Ia merasa sangat lelah.
"Jangan bercanda!" dengus Alena. Ia juga melemparkan ranselnya di dekat ransel Devan lalu duduk bersila menatap cowok itu yang sudah terpejam.
Cukup lama Alena memandangi wajah Devan yang sekarang ia akui memang lumayan tampan. Namun Alena tetaplah Alena. Dia bukan tipikal cewek kebanyakan yang hanya menyukai seseorang dari tampang saja.
Yah, minimal cowok itu bukan playboy seperti Devan.
"Jangan jatuh cinta sama gue," seringai Devan, masih memejamkan mata. Membuat Alena mendengus kecil mendengar kenarsisan cowok tersebut.
"Nggak akan pernah!" sanggah Alena.
Tiba-tiba Devan membuka mata lalu mengambil posisi duduk seperti Alena. Ia menatap wajah Alena dengan seksama, membuat cewek tersebut mengangkat sebelah alisnya heran.
"Kenapa?" tanya Alena yang mulai merasa risih dengan tatapan Devan.
Cukup lama Devan terdiam setelah akhirnya dia berkata, "Lo ada hubungan apa sama Aldi?"
Alena menatap terkejut pada Devan. Ia menyipitkan mata, menatap lekat ke arah Devan. "Kepo!" jawabnya.
Devan berdecih. Ia membuang muka tak suka dengan jawaban Alena. "Kalian backstreet, kan?"
"Enggak."
"Nggak usah bohong," cibir Devan. "Kayaknya gue tau kenapa Aldi ngajak lo backstreet."
Devan diam sesaat, sedangkan Alena sama sekali tidak peduli.
"Pasti dia malu punya cewek cupu kayak lo. Iya, kan?" Devan berkata sambil menaik turunkan alisnya. Ia sengaja mengejek Alena hingga membuat cewek itu menatapnya kesal.
"Diantara tujuh orang, kenapa aku harus tersesat dan terjebak dalam rumah ini sama cowok menyebalkan kayak kamu?" rutuk Alena.
"Diantara tujuh orang, kenapa gue nggak terjebak saja sama si Intan yang cantik itu? Kenapa harus sama backsteet-annya Aldi?" balas Devan.
"Aku bukan backstreet-annya Kak Aldi," sinis Alena.
Devan mencibir tak percaya. "Gimana ya kalau fans-fans fanatik Aldi itu tau ternyata Aldi nggak kayak bayangan mereka? Lo tau, Aldi itu terkenal dengan ke-jomloannya yang entah kenapa menurut para cewek di sekolah merupakan hal yang gentle dan macho padahal menurut gue nggak sama sekali. Gue justru sempat curiga kalau Aldi itu gay alias suka sesama jenis!" Devan terkekeh.
"Tapi ternyata ... nggak bisa dipercaya. Dia punya pacar. Dia nggak jomblo. Dan yang lebih parah lagi adalah ... pacarnya itu cewek cupu kayak lo! Matanya pasti katarak karena di antara ratusan siswi cantik dan seksi di sekolah yang suka dan tergila-gila sama dia, Aldi justru milih elo."
Kekehan Devan semakin menjadi, membuat Alena akhirnya menimpuk wajah Devan dengan ransel yang membuat cowok itu langsung memekik kesakitan. Berbagai umpatan namahewan di kebun binatang bahkan sudah keluar dari mulut cowok itu.
"Dasar gila!" umpat Alena. Ia membuka ranselnya dan mengambil dua bungkus roti dan sebotol air mineral dari sana.
Alena membuka satu bungkus dan memakannya dengan lahap. Sejak siang tadi ia belum memakan apapun dan sekarang ia sangat lapar.
Devan yang sedari tadi tertawa kini terdiam. Hanya bisa menatap Alena yang sedang makan sambil meneguk salivanya. Ia juga lapar, tetapi sayangnya ia memiliki rasa gengsi yang cukup tinggi. Sampai kapanpun ia pantang meminta pada seorang cewek.
Merasa diperhatikan, Alena menoleh. Devan yang sedari tadi memperhatikan makanan Alena segera memalingkan muka. Ia berpura-pura tidak tertarik dan memasang wajah cool. Namun sayang, cacing-cacing di perutnya menolak untuk bekerja sama.
Kerucuk... kerucuk....
Cacing sialan! Umpat Devan dalam hati.
Mendengar suara keroncongan dari perut Devan, Alena mendengus lalu melemparkan sebungkus roti yang lain pada Devan.
"Makan!" seru Alena.
"Tch, gue nggak lapar," tolak Devan. Alena berdecak panjang lalu dengan acuh kembali memakan roti di tangannya. Dasar songong, jelas-jelas perutnya udah bunyi! pikir Alena dalam hati.
Berulang kali Devan melirik roti di depannya. Ia lapar tapi ia benar-benar gengsi. Devan menggigit bibirnya lalu memejamkan mata sejenak. "Karena gue orangnya baik dan menghargai elo sebagai ceweknya Aldi, gue makan ini roti."
Alena mendengus. Mengutuk dalam hati kenapa cowok satu ini selain playboy, narsis, tidak punya sopan santun juga memiliki gengsi yang setinggi langit. Padahal di lihat dari wajahnya saja sangat terlihat jika Devan sedang lapar.
Tak ada percakapan setelah itu. Mereka memakan roti masing-masing dalam diam.
Beberapa jam kemudian, hujan masih tak kunjung reda, malam juga semakin larut. Alena menguap, akhirnya memilih membaringkan badan karena kelelahan seharian berjalan.
"Selamat malam, Devan," gumam Alena lirih dengan setengah mata terpejam. Dia tidak bisa menahan kantuknya lebih lama lagi hingga tertidur lelap.
Sedangkan Devan yang tidak terbiasa tidur di lantai kayu seperti itu, bergerak gelisah. Tubuhnya memutar ke kanan dan kiri. Ia heran melihat betapa mudahnya Alena jatuh tertidur begitu saja.
Devan pun menarik napas panjang. Ia mengambil jaket yang semula ia gunakan untuk menutupi tubuhnya pada Alena. Akan tetapi, setelah berpikir-pikir bahwa besok Alena akan berpikir yang tidak-tidak padanya, ia kembali mengambil jaket itu. Devan memasukkannya dalam ransel dan akhirnya ia gunakan sebagai bantal tidur.
Devan memiringkan badannya ke kiri hingga posisinya berhadapan dengan Alena. Ia mengamati wajah polos Alena yang sedang tertidur tanpa menggunakan kacamatanya. Tanpa sadar, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya.
"Selamat malam, Alena," bisik Devan sebelum akhirnya ia juga ikut terlelap dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Ia bahkan tidak sadar ketika tangannya telah berpindah ke atas tangan Alena.
Dan saat itu juga, kalung di leher Devan bersinar. Semakin lama semakin terang hingga membungkus tubuh Devan dan Alena, membuat kedua remaja tersebut melayang di udara.
Lalu, sebuah sinar ungu muncul di masing-masing antara leher bawah dan tulang belikat, membentuk sebuah pola gambar khas setengah sayap kecil berwarna hitam persis seperti bandul milik Devan.
Cahaya tersebut terus menyebar, membumbung lurus ke atas langit. Membuat hujan yang semula deras mendadak berhenti dan berganti dengan titik-titik gerimis yang tidak berarti. Cahaya putih kebiruan itu berganti dengan cahaya kuning, ungu dan putih yang kemudian berpendar-dan terus menyebar di seluruh penjuru hutan tersebut. Membentuk sebuah aurora di langit.
"Guys, kalian mesti lihat ini!" teriak salah seorang siswi yang memutuskan untuk keluar tenda karena hujan telah reda. Ia mendongak melihat ke arah langit dengan tatapan berbinar kagum.
"Wuah ... apa ini? Mustahil!" pekik salah satu siswa dengan tangan menutup bibirnya, tak percaya apa yang ia lihat saat ini.
"Aurora ....!!" Yang lain tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa diam menyaksikan. Beberapa yang lain sudah asik mengambil gambar, berlomba-lomba mengepost-nya ke media sosial untuk menceritakan hal ajaib tersebut.
Pasalnya, aurora adalah hal yang mustahil bisa terjadi di negara yang tropis ini. Semua mata yang ada di hutan tersebut menengadahkan ke langit, tersihir untuk terus menikmati keindahan yang tidak pernah mereka jumpai seumur hidup kecuali harus ke Norwegia terlebih dahulu.
Bahkan mereka juga telah melupakan adanya dua orang siswa yang sejak tadi dicari karena belum kembali ke camp.
Sedangkan jauuuh, jauhh dari hutan tersebut, sesosok wanita dengan rambut disanggul ke belakang menengadahkan kepala ke langit. Ia memejamkan mata, menghirup aroma angin di malam hari lalu tersenyum tipis.
"Sudah terjadi," gumamnya dengan mata berbinar. Ia membuka mata lalu menoleh ke belakang, menatap seorang pria dari balik bayangan sebuah gedung tinggi di apartemen tempat tinggalnya.
"Sudah kubilang kan jika hari ini akan terjadi?" lanjut wanita tersebut penuh kemenangan. Kedua tangannya terlipat ke depan dada, sementara heels merah yang ia pakai tampak mengkilat karena cahaya lampu.
Sementara pria yang ia ajak bicara, menatap wanita dengan pakaian kasual tersebut lalu mengangguk dan menghela napas. "Baik, baik! Kali ini kau menang taruhan! Kenapa sih, aku harus berurusan denganmu?" pria itu membalikkan badan, lalu di detik selanjutnya, ia sudah menghilang.
Wanita tersebut kembali menatap kejauhan malam.
"Sangat menarik," gumamnya. Sekali lagi sebuah senyuman misterius muncul di bibirnya. "Mari kita lihat, keunikan apa yang kalian miliki."
-
TBC
-
Note : Cerita ini akan berlanjut dan tamat di paltform Dreame! See you there, people! :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top