Enam

Halaman sekolah tampak penuh dipadati oleh kendaraan dan juga orang-orang, entah dari kalangan siswa-siswi kelas XI yang hendak ikut camping maupun para orang tua yang mengantarkan anak mereka.

Salah satu dari mereka, ada Alena yang kini tengah berdiri berhadapan dengan ketiga kakaknya. Alka dengan kemeja hitam bergarisnya, Alvian dengan kaos merahnya dan juga Aldi yang memakai pakaian serba hitam mulai dari celana training, kaus dan jaket. Tak lupa, ia juga memakai masker dan topi. Itu semua pun atas dasar permintaan konyol dari Alena. Adik kesayangannya itu masih tidak ingin teman-temannya tau jika Aldi adalah kakaknya.

Jangankan Aldi, sekarang saja sudah banyak pasang mata yang mencuri lirik pada Alka dan Alvian. Untung saja mereka cukup tau diri untuk menjaga sikap di depan orang asing sehingga tidak ada yang berani mendekati mereka berdua.

"Inget ya Alena! Kalau Kakak nelpon langsung di angkat!" peringat Alvian. Ia menatap Alena serius.

"Nggak usah berlebihan, Kak. Alena sudah tujuh belas tahun, aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa jaga diri sendiri dan--"

"Kakak nggak peduli. Aku bakal nelpon kamu setiap satu jam sekali dan kamu harus angkat," sela Alvian yang membuat Alena membulatkan mata tak percaya. Seriously? Satu jam sekali?

"Kak Alvian berlebihan, dih! Telepon sehari sekali aja kenapa, sih? Belom nanti telepon dari kak Alka sama Kak Aldi. Alena itu di sana buat kegiatan bukan buat nerima telepon setiap satu jam sekali kayak CEO!" dengus Alena sebal. Dia mengerucutkan bibirnya ke depan. "Lagipula aku di sana CUMA tiga hari dua malam!"

Alvian ikut mengerucutkan bibir. Ia maju untuk memeluk tubuh adik perempuan satu-satunya. "Bagi kamu mungkin cuma tiga hari dua malam, tapi bagi Kakak itu sangat lama." Alvian melepas pelukannya lalu mengangguk. "Okelah! Sehari sekali. Dan kamu HARUS angkat! Kalau nggak--"

"Aku pasti bakal angkat," potong Alena cepat. Ia tersenyum pada Alvian, dan di balas oleh Kakak keduanya itu.

"Tapi kamu tetep harus kirim pesan setiap satu jam sekali," tambah Alvian. Membuat senyuman Alena memudar, berganti dengan sebuah tatapan garang ingin membunuh.

"Kak Alvian!!" Alena siap protes.

"Pilihannya hanya iya atau kamu nggak Kakak ijinin ikut camping? Kita bisa pulang sekarang."

Alena mengalihkan pandangannya ke arah Aldi, meminta pertolongan. Namun Aldi hanya terkekeh sambil mengindikkan bahu acuh.

"Oke! Nanti aku USAHAKAN buat kirim pesan tiap satu jam sekali," jawab Alena kesal pada akhirnya. "Kecuali kalau kegiatan jelajah alam. Alena nggak mungkin bisa kirim pesan. Bisa-bisa malah tersesat."

Alvian mengangguk puas. "Deal! Tapi kalau acara udah selesai, kamu harus langsung hubungi Kakak."

Alena mengangguk..

"Semua barang lengkap, kan? Obat-obatan semuanya udah? Lotion anti nyamuk? Jaket? Selimut? Pe--"

"Udah semua Kak Alka," sahut Alena. Setelah selesai berurusan dengan kakak yang super duper protektif, sekarang ia harus berhadapan dengan kakak yang punya kekhawatiran berlebihan padanya.

Wajah Alka menegang, membuat Alena mendesah. Ia maju dan memeluk tubuh kakak pertamanya. Mengelus punggung pria itu dengan sayang.

"Kak Alka tenang aja. Alena bisa jaga diri. Alena janji bakal baik-baik aja."

Alka mendesah dan mengangguk. Ia membalas pelukan adiknya erat-erat. "Kalau kamu ngerasa nggak enak badan sedikit saja, obatnya langsung diminum. Entah itu pusing, meriang atau--"

"Iya, iya," ucap Alena cepat. "Sekarang boleh aku berangkat?" Alena menaikkan sebelah alisnya. Alka memejamkan mata sesaat lalu mengangguk.

"Hati-hati di sana." Alena mengangguk sebagai jawaban.

Sebenarnya kekhawatiran Alka bukannya tidak berdasar. Alena adalah adik perempuan satu-satunya dan yang paling kecil di rumah. Wajah Alena yang sangat mirip dengan almarhumah mamanya jugalah yang membuat Alka sangat mudah mengkhawatirkannya. Alka tidak ingin terjadi hal buruk pada perempuan satu-satunya di keluarga mereka.

Setelah selesai dengan Alka, giliran Aldi yang menghampiri Alena. Tanpa banyak bicara seperti kedua kakaknya, Aldi langsung menarik Alena dalam pelukannya.

"Kamu harus hati-hati di sana. Kalau ada cowok brengsek yang deketin kamu dan berbuat kurang ajar sama kamu, kamu bisa memberinya sedikit pelajaran." Aldi menyusupkan sebuah benda kotak berwarna hitam ke tangan Alena. Gadis itu menunduk untuk melihat benda tersebut dan matanya membulat sempurna seketika.

Sebuah penyetrum tubuh.

"Kak Aldi nggak serius, kan?" tatap Alena tidak percaya.

"Buat jaga-jaga," senyum Aldi. Ia mengacak rambut Alena dengan sayang seperti biasa.

"Ya udah sana masuk! Bis nya udah mau berangkat!" ucap Aldi. Alena mengangguk dan segera berbalik. Dia melambaikan tangannya pada ketiga kakaknya sebelum masuk ke dalam bis.

"Belum-belum aku sudah kangen banget sama dia," desah Alvian ketika bis tersebut sudah mulai berjalan. Aldi dan Alka hanya diam. Namun jauh dalam hati mereka, juga berkata hal yang sama.

***

Alena merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ketika turun dari bis. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama tiga jam, akhirnya mereka sampai di lokasi.

Sebuah lapangan rumput terbentang luas di sana. Cukup luas untuk bisa mendirikan puluhan tenda dan api unggun di tengahnya. Beberapa murid sudah berjalan berkumpul ke tengah lapangan untuk mendengarkan arahan dari para guru. Tak ingin membuang waktu, Alena pun segera menyusul mereka.

Satu jam telah berlalu dan puluhan tenda telah didirikan. Alena berada satu tenda dengan Rani dan Gea. Yang membuat Alena sedikit kesal pada mereka berdua adalah, sepanjang satu jam ini mereka selalu membicarakan Devan, Devan dan Devan.

"Jadi, pacar Devan yang sekarang Maudi? Si cewek centil itu?"

Gea mengangguk membenarkan. "Aku dengar sih gitu. Baru aja kemarin putus sama Sisca, hari ini udah pacarin si Maudi," ucap Gea.

Rani menghela napas. Matanya melihat ke arah tenda seberang khusus pria. Di sana, nampak Devan sedang bermesraan dengan Maudi. Entah kenapa ia masih menyukai Devan. Padahal Devan juga yang telah menyakiti dan mempermainkan hatinya dulu. Yah, bukan sepenuhnya salah Devan sih. Salahnya juga sebenarnya. Karena bukan rahasia umum lagi jika Devan adalah cowok playboy dan suka berganti pacar dalam waktu kurang dari seminggu.

Benar, yang bodoh adalah cewek-cewek yang mau saja termakan rayuannya.

"Gea, Rani! Batuin dong beresin ini." Karena tak tahan lagi akhirnya Alena menegur mereka. Tangannya memakai sarung tangan tebal untuk membersihkan daun-daun kering di sekitar tenda mereka. Rani hanya menatap datar Lena dan kemudian menatap Gea, seolah dengan begitu bisa berbicara lewat mata.

"Alena ... kamu nggak lihat kulit aku itu putih mulus terawat? Sayang dong kalau dipakai buat kotor-kotoran kayak gitu," jawab Rani menatap sarung tangan Alena dengan jijik.

Gea mengangguk membenarkan ucapan Rani. "Kamu beresin sendiri aja ya, Len? Kamu kan cupu. Jadi meskipun kulit kamu juga putih, bersih dan mulus kayak Rani dan aku, tetep aja nggak bakal ada cowok yang ngelirik ke arah kamu," timpal Gea.

Alena mendengus jengah. Dengan hati dongkol sedongkol-dongkolnya, ia pun hanya bisa pasrah melanjutkan membersihkan daun-daun kering itu lagi. Mengumpulkannya dan memasukkannya dengan kasar ke dalam sebuah plastik besar, membayangkan jika sampah-sampah itu adalah Rani dan Gea.

"By the way, Len ... kayaknya gue pernah lihat lo pulang diboncengin Kak Aldi, deh."

Deg!

Pertanyaan dari Gea membuat gerakan Alena terhenti seketika. Ia melihat ke arah Gea dan Rani yang menatapnya penuh curiga.

"K-kapan? M-mana mungkin aku pulang diboncengin sama kak Aldi?" jawab Alena terbata. Dia mengalihkan pandangannya, kembali membersihkan daun-daun kering untuk menutupi kegugupannya.

Jika Rani adalah fans fanatik Devan, maka berbeda dengan Gea. Gea lebih menyukai Aldi. Dari sejak kelas sepuluh dulu. Bahkan Gea adalah ketua dari fansclub Aldi. Gea juga adalah orang yang paling rajin membuat surat cinta untuk Aldi.

"Benar juga, sih! Mana mungkin kak Aldi mau sama cewek cupu kayak lo? Gue pasti salah orang," ucap Gea, membuat Alena mendesah lega.

"Beresin yang bersih ya, Len. Kita berdua ada urusan. Bye!" lanjut Gea yang langsung saja pergi bersama Rani meninggalkan Alena.

***

Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Teriknya matahari sore sengaja dihiraukan oleh para murid yang kini tengah dikumpulkan menjadi satu di tengah lapangan. Di depan sana, seorang guru pembimbing sedang memberi arahan dengan sebuah TOA di tangan kanannya.

"INGAT! BERJALANLAH SESUAI RUTE DI PETA! JANGAN SAMPAI TERPISAH DARI KELOMPOK KALIAN! MENGERTI?!"

"Mengerti, Pak!!" jawab seluruh murid dengan serentak.

"BAIKLAH. INGAT, KALIAN HARUS KEMBALI MEMBAWA BENDERA SESUAI DENGAN WARNA DI PETA TIAP KELOMPOK. BENDERA ITU KAMI SEMBUNYIKAN DI TEMPAT-TEMPAT TERTENTU, JADI KERJASAMA KELOMPOK SANGAT DIBUTUHKAN! KALIAN DI PERBOLEHKAN MEREBUT BENDERA KELOMPOK LAIN. DAN JIKA KALIAN KEMBALI KE SINI TANPA MEMBAWA BENDERA, MAKA HUKUMAN AKAN MENANTI KALIAN. MENGERTI?!"

"Huuuuuu ...," seru para murid bebarengan.

"TIDAK ADA PROTES!! SEKARANG MARI KITA MULAI ACARA JELAJAH ALAM LIAR!"

***

"Jadi, siapa namamu, pretty girl?"

Alena memutar bola mata jengah ketika mendengar suara Devan yang tengah menggoda seorang cewek berambut lurus sebahu yang berjalan tepat di depannya. Cewek kelas sebelas jurusan bahasa. Tentu saja Devan tidak mengenalnya karena berbeda gedung. Tiap jurusan memang memiliki gedung yang berbeda.

"Intan," jawab cewek itu malu-malu.

"Oh, nama lo cantik banget kayak wajah lo," gombal Devan menampilkan senyuman mautnya dan membuat cewek bernama Intan itu tersipu.

Alena mendengus geli dalam hati dalam hati seraya bertanya-tanya kenapa kebanyakan cewek itu lemah dengan wajah tampan dan rayuan gombal? Alena benar-benar tidak habis pikir.

Untung saja, ia bukanlah salah satu dari kebanyakan cewek-cewek itu. Terlebih lagi Alena yang sudah mengetahui sifat seorang Devan. Untuk apa punya tampang tampan di atas rata-rata jika kelakuannya minus?

"Kalau kegiatan camping unfaedah ini selesai dan kita udah balik ke Jakarta, lo mau nggak kencan sama gue?"

Intan berhenti hanya untuk menatap Devan bertanya. "Bukannya lo udah punya pacar?"

Ha! Demi BOT kerang ajaibnya spongebob yang menyebalkan! Akhirnya akan ada seorang cewek waras yang menolak Devan. Alena ingin menertawakan wajah kaku yang sekarang ditunjukkan oleh Devan. Namun itu tidak berlangsung lama.

"Kalau lo mau kencan sama gue, gue mau kok mutusin pacar gue saat ini juga," tukas Devan, lagi-lagi menampilkan senyuman maut andalannya. Ia menjulurkan tangan kanannya untuk membelai pipi Intan. "Demi cewek secantik lo, gue akan ngelakuin apapun. Gimana?"

Demi Tuhan, Alena ingin muntah saat itu juga. Ia merutuk dalam hati kenapa dari puluhan siswa dia harus satu kelompok dengan si playboy itu?

Intan baru akan menjawab ucapan Devan ketika Rani --mantan Devan yang sialnya juga sekelompok dengan Alena-- tiba-tiba berjalan menerobos di antara Devan dan Intan. Membuat tangan Devan yang berada di pipi Intan langsung terlepas.

"Please, deh! Kita itu di sini buat nyari bendera bukan buat lihat pertunjukan sok romantis kalian!" sarkas Rani. Wajahnya memerah karena cemburu, ia menatap tajam ke arah Intan.

"Whoa ... selow, babe! Lo jalan saja duluan sama mereka," tunjuk Devan dengan dagu pada lima orang lainnya yang juga berada satu kelompok dengannya. "Gue masih ada urusan sama calon pacar gue." Devan mengerlingkan sebelah matanya pada Intan, membuat pipi cewek itu bersemu merah.

Rani yang melihatnya semakin kesal. Ia memberengut, lalu berjalan ke arah Intan. Tanpa ada yang sempat mencegah, Rani sudah menjambak rambut Intan.

"Dasar cewek kegatelan! Lo tau kan Devan udah punya cewek? Namanya Maudi. MA-U-DI!!" teriak Rani. Sedangkan Alena dan empat orang lainnya hanya bisa membulatkan mata melihat kelakuan Rani pada Intan.

Sekilas, Alena melirik ke arah Devan dan mendengus tak percaya mendapati cowok itu justru sedang terkekeh geli melihat pemandangan tersebut.

Belum hilang keterkejutan Alena dan empat orang temannya, Intan sudah membalas jambakan Rani.

"Lo pikir gue nggak tau? Itu cuma alasan lo daong karena lo cemburu, kan? Dasar mantan sialan!" teriak Intan tak ingin kalah.

"Lo bilang apa? Gue mantan sialan?! Elo tuh yang cewek sialan!" balas Rani. Kini kedua tangannya sudah berada di atas kepala Intan, begitupula sebaliknya.

"Rani, Intan! STOP, atuh! Jangan berantem!" Hilda, cewek kelahiran Bandung yang juga dari jurusan bahasa itu mencoba melerai. Namun naas, Hilda justru terkena pukulan Rani yang saat itu berniat melayangkan tamparan pada Intan.

Hilda langsung terjengkang ke tanah.

Alena yang melihatnya langsung maju menolong Hilda dan menjauhkannya dari perkelahian dua cewek gila tersebut.

Sementara itu, Bagas, Ahmad dan Satria ikut maju untuk melerai Intan dan Rani. Bagas memeluk tubuh Rani dari belakang, menariknya menjauh dari Intan diikuti oleh Ahmad yang juga memperlakukan hal yang sama pada Intan. Sementara Satria berusaha untuk melerai dari tengah.

"Awas ya lo! Hidup lo nggak akan tenang di sekolah!" ancam Rani.

"Lo pikir gue takut?! Teman-teman gue lebih banyak daripada temen-temen klub dance lo!" balas Intan.

"Lo nantang gue?!" Rani mulai memberontak hebat dari pelukan Bagas, berusaha melepaskan diri untuk kembali menyerang Intan. Bagas pun semakin kuwalahan menahan tubuh Rani. Hingga akhirnya, ia melepaskan pelukannya setelah Rani menginjak kakinya keras-keras.

Rani berlari menerjang tubuh Intan yang masih ditahan mati-matian oleh Ahmad. Sedangkan Satria sudah memilih menyingkir terlebih dahulu karena takut duluan merasakan hawa membunuh dari Rani. Satria memang salah satu siswa dari jurusan IPA yang terkenal kutu buku. Maka dari itu, dia tidak berani untuk mencegah gadis bar-bar macam Rani. Sayang nyawa, gengs ...

Ahmad yang melihat hal itu membalik tubuh Intan agar tidak terjadi perkelahian lagi. Namun sungguh malang nasibnya, demi menjauhkan Intan dari Rani malah justru dia yang akhirnya terkena jambakan. Ahmad pun akhirnya melepas pelukannya dari Intan dan saat itu juga Rani melepaskan jambakannya dari Ahmad. Dan tanpa bisa dicegah lagi, kedua cewek itu kembali ke posisi semula. Saling jambak-menjambak.

Sedangkan tak jauh dari sana, seorang Devan tertawa terpingkal-pingkal menyaksikannya. Di tangannya sudah ada sebuah ponsel yang merekam video perkelahian antara Rani dan Intan. Bagi Devan, bisa menyaksikan perkelahian antara dua orang cewek demi dirinya adalah sesuatu yang membuat ia terhibur. Bahkan acara stand up comedy masih kalah jauhhhh.

Kegaduhan tersebut terjadi selama lima menit tanpa ada yang mencoba lagi untuk menghentikan. Mereka berharap dua cewek gila itu segera kelelahan dan berhenti bertengkar sehingga mereka bisa melanjutkan perjalanan.

Tetapi, semuanya jadi mematung ketika tiba-tiba terdengar suara geraman keras di dekat mereka. Dan kurang dari tiga detik kemudian, seekor serigala berwarna hitam pekat dengan iris mata berwarna kuning terang meloncat ke arah mereka

Entah dari mana datangnya hewan buas itu. Yang jelas, hewan itu berhasil membuat suasana yang tadi sangat gaduh jadi hening seketika. Semua mendadak jadi patung dengan wajah pucat pasi.

Diam, tidak ada yang berani membuat pergerakan sekecil apapun saking takutnya. Intan dan Rani masih dalam posisinya saling menjambak, Devan yang masih merekam dengan ponsel, Bagas dan Ahmad yang diam mematung, Hilda yang memeluk erat lengan Alena sambil memejamkan mata ... dan Satria yang celananya sudah basah karena terkencing. Kakinya bergetar hebat dan wajahnya sudah sepucat mayat.

Serigala besar bermata kuning terang itu mengamati delapan orang tersebut secara bergantian. Cukup lama hingga serigala tersebut akhirnya menggeram rendah dan melolong panjang.

Karena insting bahaya dari masing-masing, Devan sebagai satu-satunya orang yang berada cukup jauh dari posisi serigala tersebut berteriak. "LARIIII ...!!"

Teriakan Devan seperti mantera bagi tujuh siswa lainnya. Tanpa banyak protes mereka segera berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

Mereka terus berlari tanpa mempedulikan ranting-ranting pohon yang menggores lengan atau wajah mereka. Yang ada di pikiran mereka hanya satu. Lari agar selamat dari hewan buas tersebut.

Setelah dirasa cukup jauh berlari dan tidak ada tanda-tanda serigala yang mengejar, Devan memutuskan untuk berhenti. Dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba mencari pegangan ke sebuah pohon besar yang ada di sampingnya. Tetapi ...

BRUK!

Seseorang malah menabrak punggungnya, membuat Devan dan si penabrak jatuh seketika.

Devan mengerang karena merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, ditambah lagi ada seseorang yang menindih punggungnya. Namun seakan tau diri, orang tersebut segera berdiri.

"Sorry."

Devan mengabaikan ucapan maaf dari mulut orang tersebut. Dengan muka kesal, ia segera berdiri, tak lupa memberikan tatapan membunuh pada sosok cewek di depannya.

"Kalau jalan tuh pakai mata!" umpat Devan.

Alena mendengus, menatap Devan tak suka.

"Dua kesalahan. Yang pertama, aku nggak jalan tapi lari! Dan yang kedua, setau aku semua orang itu kalau jalan ya pakai kaki, bukan pakai mata!" sembur Alena. "Hanya orang bego' yang bilang 'kalau jalan itu harus pakai mata'," tambah Alena yang langsung mendapat tatapan tajam dari Devan karena merasa dihina. Cewek cupu sialan!

Karena kesal, Devan menunjuk muka Alena. "Dengar ya--"

"Kita di mana?" Alena memotong terlebih dahulu ucapan Devan. Ia menatap bingung sekelilingnya. "Yang lain kemana?" ujarnya setengah panik.

Mendengarnya, Devan ikut celingukan. Ia baru menyadari jika sejak tadi mereka hanya berdua, Devan terbelalak, ikut panik seperti Alena. Sepertinya tanpa sadar mereka berdua terpisah jauh dari kelompok.

"Sial!" umpat Devan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top