9. Tentang Tujuan (R)
Begitu kembali ke ruang duduk, ketiga remaja itu mendapati Lucia sedang menelepon.Menelepon! Secercah harapan muncul di benak ketiga remaja itu. Mungkin sinyal sudah tersambung, dan mereka bisa pergi lebih cepat dari perkiraan!
“Lucy! Lucy! Apa sudah ada sinyal?” Irene berlari-lari kecil menghampiri kakaknya. Sejak kecil, ia memang terbiasa memanggil kakaknya langsung dengan nama panggilan saja.
“Telepon dari Mama," sahut Lucia setelah mengakhiri panggilan. “Sinyal memang ada, tapi jeleknya luar biasa! Bisa nyambung sebentar aja sudah keajaiban. Yah, pokoknya, aku sudah bilang ke Mama kalau kita semua baik-baik saja. Perkebunan Mahendra Jaya nggak termasuk daerah longsor, dan seharusnya ada cukup makanan dan minuman di sini sampai jalan tersambung kembali.”
“Anu, kamu nggak bilang soal ‘itu’, kan?” balas Irene penuh arti. Mendengar hal itu, Lucia tertawa kecil dan menepuk-nepuk bahu adiknya.
“Jelas nggak, lah! Kalau Mama sampai dengar, bisa-bisa histeris.” Lucia merendahkan suaranya dan melambai, memberikan sinyal agar Sylvie dan Axel ikut mendekat.
“Selama kita nggak bisa ke mana-mana, mendingan kita jangan bilang siapa-siapa soal pembunuhan ini. Selain cuma bikin khawatir orang lain, jangan-jangan kita malah salah bicara."
“Salah bicara?” sahut Irene bingung.
“Maksudku, aku nggak mau ada di antara kita yang dituntut Pak Louis Prasatya gara-gara memberikan info ke orang yang salah,” lanjut Lucia, masih setengah berbisik. “Kalian tahulah gimana para Crazy Rich Indonesians itu! Kalau sampai kena perkara sama mereka, panjang urusannya!”
***
Saat mereka melintasi lobi, jam di ruang duduk berdentang dua belas kali. Makan siang sudah disediakan. Meskipun macam-macam makanan sudah berjajar di meja makan, agaknya belum ada orang lain yang datang untuk makan. Lucia mengambil makan siangnya dengan cepat lalu pergi ke teras belakang, diikuti oleh Irene. Sylvie menambahkan sepotong
ayam goreng dan sesendok sayur kangkung ke piring nasinya, mengambil segenggam kerupuk,
lalu duduk di sofa di sudut ruangan, tempat yang juga menjadi singgasananya kemarin.
“Jadi, menurutmu habis ini kita harus ngapain, Detektif?” ujar Axel sambil duduk di samping Sylvie, hampir mirip bisikan. Gadis itu melirik sekilas dengan pandangan terganggu, tanpa sadar menggeser posisinya beberapa sentimeter menjauhi Axel.
“Masih kupikirin,” sahut Sylvie singkat, lalu menghela napas panjang. "Pastinya, jangan harap suasananya sama seperti kemarin. Aku yakin bukan kita aja yang berpikir kalau
pelakunya ada di antara para tamu. Mengingat kita rata-rata sama-sama baru kenal, sama-sama belum tahu persis sifat masing-masing, aku yakin suasananya nggak akan seakrab kemarin.”
“Terus, ada ide soal siapa yang harus kita datangi habis ini?”
“Seharusnya aku yang tanya begitu, Calon Polisi.” Sylvie mengangkat alis. “Logikanya, kamu paling sudah belajar satu-dua hal dari pekerjaan kakak dan papamu itu.”
“Hei! Cuma gara-gara keluargaku polisi, bukan berarti aku mau jadi polisi juga, oke?” sahut Axel, tanpa sadar menggunakan nada yang sedikit ketus.
“Lah, malah ngegas! Kan kamu yang nanya duluan!” Sylvie melirik Axel dengan sengit. Mendapatkan tantangan langsung, Axel balas melempar lirikan tersengitnya. Sial,
dalam lomba lirik-lirikan demi mempertahankan dominansi itu, Axel kalah telak. Setelah kurang lebih lima detik, ia cepat-cepat berpaling dan mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai kering. Meski ia tidak melihat ekspresi Sylvie, Axel yakin betul gadis itu sedang nyengir lebar merayakan kemenangannya.
“Sori kalau aku kedengarannya kasar,” ujar Axel meminta maaf, masih sambil sesekali mengerjapkan mata. “Maksudku, betapa pun aku kagum sama pekerjaan mereka, aku nggak merasa cocok dengan bidang penegakan hukum. Soal itu, kakak-kakakku jauh lebih pandai,
juga lebih bertanggung jawab. Keluarga besarku berharap aku juga mendaftar akademi kepolisian setelah lulus SMA, tapi kalau boleh jujur, sepertinya aku mau kuliah aja. Jurusan akuntansi atau manajemen bisnis, mungkin. Aku belum tahu.”
“Baguslah! Memang kamu nggak cocok jadi polisi, kok.” Sylvie menyahut ringan. “Mana ada polisi bagus yang sok ganteng bin sok eksis kayak kamu? Bukannya menangkap penjahat, malah berkeliaran jadi buaya jantan.”
“Heh?” Mendapati jawaban yang sama sekali tidak disangkanya, Axel cuma bisa mengangkat alis. “Memangnya aku begitu?”
“Kan kamu sendiri yang bilang kemarin.” Sylvie terkekeh. “In all seriousness, though, kebanyakan video motivasi dan kata mutiara selalu nekanin soal pentingnya mengejar mimpi. Orang-orang bicara soal hidup mengikuti passion, meskipun jalan yang kamu pilih nggak dianggap sebagai jalan yang menjanjikan oleh orang-orang di sekitarmu. Aku pribadi menghargai semua pilihan orang selama itu nggak melanggar hukum dan agama, tapi pada kenyataannya banyak hal yang menghalangi orang hidup sesuai passion. Bisa jadi karena ekonomi keluarga nggak mencukupi, fasilitas yang nggak tersedia, nggak ada dukungan dari orang-orang terdekat, dan banyak lagi. Tapi, kalau orang tuamu nggak keberatan dan setuju membiayai, just go for it. Jadi karyawan ataupun wiraswasta mungkin kedengarannya klise, tapi jelas bukan pekerjaan jelek.”
“Aku suka pandangan realistis kayak gitu,” sahut Axel. “Syukurlah, terakhir kali aku bicara dengan Papa, kayaknya sih beliau nggak keberatan. Kakak-kakakku agak kecewa, tapi mereka kelihatannya nggak akan melarang. Semoga aja keadaan tetap gitu seterusnya.”
“Good to hear.” Sylvie menggigit kerupuk di tangannya, ekspresi wajahnya menghangat. Mata bulatnya menerawang. Sekilas tampaknya ia seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi cepat-cepat dibatalkannya.
“Kamu sendiri, apa cita-citamu?” tanya Axel, lengannya bertopang pada kepala sofa. “Ah, tunggu, jangan bilang dulu. Biar kutebak. Kayaknya kamulah orang yang mau jadi polisi di ruangan ini, Vie.”
Mendengar hal itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Sylvie. Diletakkannya piringnya di atas pangkuan, lalu ia menoleh menatap Axel. Raut wajahnya menampakkan rasa puas atas tebakan tersebut.
“Iya, dulu,” sahutnya. "Dengan kondisi fisikku yang sekarang ini, jangankan lolos seleksi, baru pertama datang aja mungkin sudah ditolak. I’m not a very healthy person, you know. Lagipula, bukannya nggak sembarang orang bisa diterima jadi detektif? Kalau aku sampai masuk ke divisi lalu lintas atau humas, wah, kayaknya sebulan pun aku nggak bakal tahan, deh.”
“Terus, apa rencanamu sekarang?”
“Ini kali ketiga dalam lima belas menit terakhir kamu tanya soal rencanaku. Biar kuperingatin dulu, kamu bakal ketawa.” Sedikit rona muncul menghiasi pipi pucat Sylvie. “Aku pernah belajar menyanyi lagu klasik, jenis yang biasa dibawakan di panggung-panggung opera. Sampai sekarang juga masih, biarpun sudah nggak sesering dulu. Tapi, cita-citaku yang asli mungkin kedengaran kayak cita-cita anak kecil.”
“Ah, biasanya nggak juga, kok. Aku pernah baca kalau di Amerika sana ada komunitas orang-orang yang bercita-cita jadi putri duyung,” balas Axel. “Setelah dewasa, kebanyakan
dari mereka jadi performer pertunjukan putri duyung di taman wisata akuarium. Intinya, yah, kadang cita-cita masa kecil itu nggak seabsurd kedengarannya. Maksudku, di zaman sekarang ini, bikin video prank di YouTube aja bisa bikin orang kaya. Eh, tapi bukan berarti aku setuju sama konten yang merugikan orang lain, lho.”
“Jadi kamu janji nggak bakal ketawa?” Ada nada mengancam dalam suara Sylvie.
“Aku janji.” Axel tersenyum dan mengacungkan jempol.
“Baiklah.” Sylvie menghela napas panjang. Ada jeda waktu yang cukup lama sebelum ia benar-benar berbicara. “Aku mau jadi consulting detective.”
“Hm? Maksudmu kayak di serial Sherlock Holmes itu?” Axel mengangkat alis. Tidak
terlalu mengejutkan seharusnya, tapi tetap saja ia tidak tahan untuk tidak tersenyum.
“Tuh kan, kamu ketawa sungguhan!” Sylvie menyibakkan rambut ke belakang telinga, wajahnya memerah. “Kedengarannya kayak khayalan bocah, kan?”
“Nggak, lanjutin aja.” Axel tersenyum. Walau wajahnya menahan malu, mata gadis di sampingnya itu bersinar-sinar penuh semangat. Axel tidak butuh pengetahuan psikologi untuk mengetahui bahwa Sylvie sangat mencintai impiannya.
“Setelah lulus SMA, aku mau coba daftar ke jurusan kriminologi,” ujar Sylvie. “Kalau nggak diterima, mungkin aku ke psikologi. Dunia kriminal itu menarik. Ego, hasrat, dan kepribadian manusia, semua saling silang membentuk suatu rencana kejahatan. Paling nggak, kalau aku pada akhirnya nggak berwenang menangkap pelakunya, aku bisa membantu menguraikan jaring yang rumit itu.”
Axel merasa seakan ditampar. Betapa tidak pedulinya dia pada masa depannya sendiri! Jujur, sebenarnya ia hanya tidak tahu arah. Setelah kedua kakak laki-lakinya bergabung dengan kepolisian, ia tak yakin dapat menyamai prestasi mereka. Selain itu, pekerjaan yang penuh peraturan dan birokrasi bukanlah hal yang diinginkannya untuk menghabiskan masa dewasa yang menjelang. Namun, soal apa yang sebenarnya mau dilakukannya kelak, Axel belum punya rencana pasti. Keinginannya yang sekarang pun sedikit banyak dipengaruhi teman-temannya, yang notabene terlahir dari keluarga pengusaha. Ia tidak punya bakat menonjol, prestasi akademiknya biasa saja, hobi yang benar-benar didalami pun tak ada.
Di saat yang sama, timbul rasa kagumnya pada Sylvie. Sekaligus iri, dalam arti yang positif. Dari sekian banyak gadis yang ditemuinya, belum ada yang seperti yang satu ini. Dalam banyak hal ia kekanak-kanakan dan seenaknya sendiri. Namun, hidupnya bebas. Ia tidak memusingkan diri dengan berbagai drama dan kegalauan. Bicaranya terus terang, tindak-tanduknya apa adanya. Yang terpenting, ia tahu apa yang akan dilakukannya di hari depan. Entah apa lagi kejutan yang bakal ditunjukkan gadis ini padanya.
“Heh, kok bengong? Makan yang fokus, ntar dihinggapi lalat!” Axel dikejutkan dengan tusukan ujung sendok Sylvie ke pinggangnya.
“Eh? Wah, iya.” Axel nyengir. “Ngomong-ngomong, mukamu lebih bagus kalau ada warnanya gini. Jadi nggak terlalu mirip hantu, deh!”
“Mind your own business.” Sylvie mengeluarkan cengiran khasnya. “Habis ini, kita kembali lagi ke kasus kita.”
Sedikit spoiler tentang backstory Sylvie di sini, dia pernah satu tahun penuh tidak sekolah karena dirawat di rumah sakit. Bahkan sampai sekarang, kesehatannya tidak bisa kembali seperti dulu. Kapan-kapan kuceritakan alasannya. Di sini bukan tempatnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top