8. Pencarian Fakta (R)

Ketiga remaja itu menemukan Wayan sudah kembali masuk dan sedang berjalan-jalan di ruang duduk. Saat itu kira-kira pukul sepuluh pagi. Ruang duduk itu sudah kosong. Meski lampu-lampu tidak ada yang dinyalakan, cahaya matahari dari jendela sudah cukup meneranginya.

“Kak, kalau nggak keberatan, ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan,” ujar Axel membuka percakapan. “Sekadar untuk memastikan saja. Nggak apa-apa, kan?”

“Yah, selama kita semua terjebak di sini, kurasa kita harus saling percaya, kan? Jadi, kalian mau tanya apa?” sahut Wayan ringan.

“Aku lihat mayatnya sudah dipindahkan,” lanjut Axel. “Apa Kak Wayan tahu sesuatu?”

“Oh, itu atas permintaan Pak Louis,” jawab Wayan kalem. “Selain itu, rasanya memang nggak etis kalau jenazah korban dibiarkan begitu saja, mengingat polisi belum bisa datang ke sini dalam waktu dekat. Menurutku seharusnya langsung dimakamkan saja setelah pemeriksaan, tapi nggak ada yang bisa memimpin upacaranya.”

“Lho, terus gimana jadinya?”

“Anu, ada gudang bawah tanah di rumah Pak Hosea. Biasalah, rumah kuno. Dingin sekali di dalam situ. Jadi, yah, setelah para tukang membuat peti sementara, ruangan itu jadi kamar mayat dadakan.” Wayan menarik-narik ujung rambutnya dengan ragu. “Terus terang, entah ini keputusan yang terbaik atau bukan. Kami nggak ada yang pernah menghadapi kejadian seperti ini.”

“Apa Kak Wayan sempat memeriksa jenazahnya?” Sylvie ganti bertanya.

“Cuma di permukaan tubuh saja. Aku nggak punya wewenang maupun peralatan buat ngelakuin otopsi sungguhan. Yang jelas, nggak ditemukan bekas-bekas penganiayaan lain di tubuh korban, atau apa pun yang menunjukkan perkelahian. Kalaupun ada beberapa memar yang terlihat, itu terjadi setelah kematian, kemungkinan karena tubuh korban dijatuhkan dari ketinggian. Aku yakin penyebab kematian korban adalah kekurangan oksigen gara-gara jeratan tali di lehernya.”

“Tali atau kawat?” sela Sylvie.

“Ah, ya, kemungkinan kawat atau senar. Soalnya, uh, maaf kalau kedengarannya agak terlalu sadis atau gimana gitu, jeratan itu dilakukan dengan sesuatu yang tipis, tetapi tajam. Kulit leher korban sampai tersayat, meskipun enggak dalam.”

Tanpa permisi, pikiran Axel melayang ke mimpinya kemarin. Masih jelas terbayang dalam benaknya sosok wanita dengan leher tersayat yang ia lihat malam itu. Axel tidak punya penjelasan yang lebih baik selain menganggapnya sebagai sebuah firasat. Irene mengeluarkan pekikan tertahan. Sebaliknya, ekspresi Sylvie nyaris tak berubah. Gadis itu menggigit-gigit ujung pulpennya sebentar, lalu menulis dalam catatannya.

“Ah ya, memang kawat dipakai di mana-mana di kebun ini.” Axel berkomentar. “Selain itu, apa ada lagi yang Kak Wayan lihat?”

“Hmm, korban mengenakan kuku palsu.” Suara Wayan kedengaran agak bimbang. "Ada sedikit bercak darah pada kuku-kuku tangan kanannya. Ini cuma pendapatku saja, tapi ada dua kemungkinan asal darah itu. Pertama, dari luka di leher korban waktu korban berusaha melepaskan jeratan kawat dari lehernya. Kedua, mungkin terjadi sedikit perlawanan, dan pembunuhnya sempat tergores. Untuk pastinya, perlu dilakuan tes darah dan tes DNA di kepolisian nanti.”

“Ngomong-ngomong, apa ada barang yang hilang?” lanjut Sylvie.

“Ada sebuah HP ditemukan dalam kantong celananya. Kondisinya mati, kelihatannya rusak waktu korban jatuh dari tebing. Pak Louis mengonfirmasi kalau itu benar HP korban. Nggak ada dompet, uang, atau kartu kredit yang ditemukan, tapi menurut Pak Louis, semua itu ditinggal dalam kamar. Selebihnya, kalau ada perhiasan atau barang lain yang hilang, aku nggak tahu. Sepertinya semua lengkap.”

“Mmhmm.” Sylvie mengangguk-angguk kecil. “Kira-kira pukul berapa waktu kematiannya?”

“Sekitar tengah malam sampai dini hari, kira-kira antara pukul satu sampai dua pagi. Wah, sulit ngebayangin ada orang yang keluar waktu hujan lagi deras-derasnya, tapi kemungkinan besar itu yang terjadi. Berdasarkan pemeriksaanku, Marie keluar tanpa paksaan fisik.”

“Memang aneh,” gumam Sylvie. “Berarti besar kemungkinannya kalau Marie keluar atas kehendak sendiri ke tempat itu kemarin malam, di tengah hujan. Pertanyaannya, kapan tepatnya? Kenapa Pak Louis baru sadar kalau dia nggak kembali keesokan paginya?”

“Wah, aku nggak berani komentar soal itu.” Wayan menyahut diplomatis. “Salah-salah malah salah ngomong, terus keadaan jadi tambah kacau.”

***

Ketiga remaja itu menyingkir ke ruang serbaguna untuk berdiskusi. Ruangan itu memang tidak besar, tetapi cukup untuk menampung setidaknya dua puluh orang. Sama seperti bagian rumah lainnya, ruangan itu didekor dengan gaya kolonial. Hanya satu mejanya, sebuah meja jati besar berbentuk oval dikelilingi kursi-kursi kayu berbantal bundar. Tegel lantainya berselang-seling hitam-putih, seperti papan catur. Sylvie senang melihatnya. Dalam waktu singkat, dia sudah mondar-mandir menginjak tegel-tegel hitam, sambil sesekali berhenti untuk menulis apa pun yang terlintas di pikirannya dalam binder biru kesayangannya.

Sementara itu, Irene asyik mengamat-amati sebuah lemari pajangan. Senada dengan perabotan lainnya, lemari itu terbuat dari kayu jati yang dipelitur mengkilat, dengan kaca bening pada daun pintunya. Pernak-pernik dan hiasan berjajar di dalamnya, oleh-oleh yang dikumpulkan Om Hosea dari berbagai negara selama bertahun-tahun. Perhatiannya langsung tertuju pada sebilah pisau pembuka surat buatan Perancis sepanjang kira-kira lima belas sentimeter. Gagangnya berhiaskan ukiran bunga-bunga mawar kecil, dengan beberapa butir kristal kecil melingkari pangkalnya. Bilah pisaunya tipis dan mengkilat, dengan ujung lancip yang terlihat tajam. Irene menyadari kalau lemari itu tidak terkunci. Namun, ia tidak mau lancang menyentuh benda-benda di dalamnya, tak peduli betapa pun menariknya.

“Sylvie, sini sebentar, deh!” serunya. “Nih lihat, bagus banget!”

“Hmm? Maksudmu pisau itu?” Sylvie berjalan mendekat.

“Ya. Buatannya halus banget, kan? Pasti harganya mahal. Bahaya kalau ditaruh di lemari tanpa kunci begini.” Irene menekankan tangannya pada kayu yang membingkai kaca
pintu lemari.

“Ya, memang berbahaya,” gumam Sylvie. “Tepian sampingnya nggak cukup tajam untuk melukai orang, tapi kalau ditusukkan dengan arah vertikal, bisa menimbulkan cedera
serius.”

“Sylvie! Kamu pikir sekarang saat yang tepat untuk bilang seperti itu?” tukas Irene terperanjat.

Just saying.” Sylvie mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka.

“Dasar.” Irene tidak tahan untuk tidak tertawa kecil.

***

Axel lebih tertarik pada sebuah lukisan pemandangan yang tergantung di dinding sebelah kanan, bersebelahan dengan jam dinding. Gambarnya biasa saja sebenarnya. Hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning dibelah sebuah jalan aspal berkelok, dua gunung bersebelahan di kejauhan, serta matahari pagi menyembul di antara kedua gunung itu. Gambar yang selalu digambar Axel setiap ada pelajaran seni lukis dari kelas satu sampai enam SD, dan yang juga digambar setidaknya separuh dari teman-teman sekelasnya.

Tidak pernah Axel menyangka bahwa ia akan terpana melihat gambar yang sudah dilihatnya puluhan kali itu. Hamparan padi tersebut nampak hidup, bagai sungguh-sungguh sedang bergoyang tertiup angin. Tentu lukisan itu tidak bergerak, tetapi kesan itulah yang ditangkap Axel. Cahaya matahari yang menimpa gunung terlukis begitu lembut dan nyata. Sungguh sebuah fajar pedesaan yang tenang, dengan pagi berkabut yang damai dan sejuk. Di sudut kanan bawah, sebuah tulisan tertera tegas dengan cat minyak merah. Axel mendekat untuk mengamatinya lebih dekat.

“B. Simatupang, 2015. Untuk Hosea,” gumamnya. “Hei, ini hadiah buat Om Hosea!” Axel menoleh pada dua temannya.

“Hmm?” Sylvie menoleh dengan tertarik. Irene berjalan mendekat dengan antusias.

“Ini ….” Mata Irene membulat begitu dilihatnya nama yang tertera itu. “Aku nggak nyangka ommu berteman dengan Binsar Simatupang, pelukis terkenal itu! Wah, baru kali ini aku lihat karyanya langsung. Warnanya luar biasa.”

“Binsar Simatupang?” sahut Sylvie. “Tunggu, kayaknya aku pernah dengar di berita.”

“Beliau sudah ikut macam-macam pameran di luar negeri, Vie. Paris, New York, Amsterdam, Seoul, pokoknya banyak deh. Jelas kalau namanya bolak-balik disebut di berita. Wah, Axel, lukisan ini harganya bisa ratusan juta!”

“Serius? Bukan B. Simatupang yang lain, kan?” Axel memiringkan kepalanya. “Wah, hebat juga Om Hosea, lukisan mahal gini dipajang-pajang gitu aja di tempat umum.”

“Aku yakin ini lukisan asli Binsar Simatupang,” timpal Irene. “Aku cukup tahu soal lukisan. Beliau terkenal karena lukisan-lukisan pemandangan alamnya benar-benar hidup, dan ini memang sempurna.”

“Aku yakin soal penilaianmu, Irene, tapi rasanya ada yang mengganjal. Pernah nggak Binsar Simatupang ini kena kasus, atau apalah gitu? Kamu tahu aku cuma baca berita-berita
kriminal.” Sylvie memilin-milin ujung rambutnya, tampak kesal dengan dirinya sendiri. “Sepertinya aku pernah baca namanya di koran. Aduh, berita apa sih itu? Duh, sayang internet masih belum bisa dipakai.”

“Setahuku nggak pernah. Mungkin orang lain, Vie. Banyak orang yang namanya mirip-mirip.”

“Huh, mungkin juga. Sudahlah, semoga nanti ingat. Yuk, kita pindah ke sana aja.” Sylvie meraih lengan Irene lalu menariknya ke sudut ruangan, sejauh mungkin dari lukisan itu. Meski begitu, matanya sesekali masih mencuri pandang. Axel mengikuti mereka. Ketiga remaja itu kini berkumpul di sudut yang sedikit gelap, tepat di samping pohon palem mini berdaun tiga.

Axel bersandar pada dinding dan menyilangkan tangan, matanya menatap Sylvie. Dengan gerakan tangan mantap tapi lembut, gadis itu membuka catatannya, lalu menatap kedua temannya bergantian.

“Jadi ini yang sementara ini kita dapat.” Sepasang mata bulat itu memandang Axel dan Irene tanpa berkedip. “Motif pencurian hampir seratus persen bisa ditiadakan. Selain karena HP masih ada, aneh rasanya kalau ada maling berdiri berjam-jam di tempat sepi dan di bawah hujan buat menunggu mangsa. Kemungkinan terbesar, Marie punya janji temu sama seseorang saat itu.”

“Ketemuan di tengah hujan badai begitu?” balas Irene sambil mengangkat alis. “Oh, tapi kalau rencana itu dibuat jauh-jauh hari, pastinya pihak-pihak yang terlibat nggak memperkirakan kalau malam itu bakal hujan. Apa mungkin itu alasannya Marie dan Louis liburan di sini?”

“Mungkin juga, terutama kalau idenya dari Marie. Tentu saja kalau suaminya nggak terlibat,” sahut Sylvie, ikut menyandarkan punggungnya ke dinding. “Dari sebagian besar kasus yang aku baca di koran, rata-rata pelaku pembunuhan itu orang dekat korban, entah itu suaminya, istrinya, saudaranya, sahabatnya, mantan pacarnya, yah, semacam itulah.”

“Satu lagi, pelakunya kemungkinan orang yang dikenal Marie,” tambah Axel. “Orang yang cukup dia percaya, sampai-sampai dia nggak curiga dan nggak sempat memberikan perlawanan.”

“Jadi, eh, berarti pelakunya sengaja memanggil Marie ke luar untuk membunuhnya?” sahut Irene. “Jahat amat, manfaatin kepercayaan orang kayak gitu!”

Quite an interesting possibility. Kalau ngikutin cara berpikirmu itu, kecuali ada tamu homestay lain yang sudah kenal dengan Marie untuk waktu yang cukup lama, berarti suaminya
adalah satu-satunya tersangka,” tanggap Sylvie serius. “Itu yang harus kita cari tahu setelah ini.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top