7. Cahaya di Tengah Malam (R)

Ketiga remaja itu melangkah kembali ke homestay sambil melihat-lihat. Jelas bahwa badai semalam sudah membuat kerusakan yang cukup nyata pada perkebunan itu. Di kejauhan, terlihat para pekerja bahu-membahu memperbaiki atap greenhouse yang rusak. Dahan-dahan dan ranting-ranting pohon terhampar di sekitar kaki mereka.

“Wah, pasti Pak Hosea rugi banyak.” Irene memandangi dahan jeruk berukuran cukup besar yang tergeletak di tepi jalan setapak. “Atap rusak, pohon-pohon patah, apalagi ada kasus kayak begini. Padahal homestay baru dibuka. Pasti bakal jelek akibatnya kalau kasus ini sampai masuk berita.”

“Memang. Mungkin ada baiknya fokus orang-orang sekarang tertuju ke bencana longsor di bawah.” Axel menghela napas panjang.

“Menurutmu Kak Wayan pergi ke mana?” tanya Sylvie sambil mengamati lingkungan sekelilingnya. Walau mereka makin mendekati homestay, belum ada dari mereka yang melihat Wayan.

“Wah, mana kutahu.” Axel mengangkat bahu. Dilayangkannya pandangan menyisir keadaan sekitar. Mendadak, diguncangkannya lengan Sylvie.

“Vie, ada orang di sana! Kita tanya, yuk!” Mengabaikan tatapan terkejut Sylvie, Axel menunjuk ke arah jajaran pohon-pohon jeruk. Agak jauh dari mereka, di bawah sebuah pohon, seorang lelaki bertubuh agak gemuk bersandar menikmati sebatang rokok. Tanpa membuang waktu, ketiganya segera berlari menghampiri orang itu.

“Oalah, Mas Jo ternyata! Hai Mas Jo!” Axel melambai pada laki-laki itu. Lelaki itu membalas lambaian Axel dengan ramah.

“Ini Mas Jo, sopir keluargaku.” Axel memperkenalkan lelaki itu pada kedua perempuan yang bersamanya. “Mas Jo, kemarin lihat sesuatu yang menarik, nggak?”

“Tergantung. Menarik kayak apa, Xel?” Mas Jo berujar santai. “Mau dengar soal cerita penampakan yang kami lihat tadi malam?”

“Eh? Wah, bukan yang semacam itu, sih.” Axel menggaruk-garuk kepala. Ugh, memangnya ada berapa kejadian supernatural yang terjadi kemarin? gerutunya dalam hati. Sungguh, kalau ada seseorang yang datang dan bilang padanya kalau mereka sekarang sedang berada di tengah sebuah film horor buruk, Axel yakin dirinya akan percaya. Namun, ini Mas Jo yang bicara, dan Axel tahu orang itu sering melebih-lebihkan cerita.

“Terusin, Mas Jo.” Tepat ketika Axel berpikir untuk membawa kedua partner penyelidikannya pergi mencari orang yang ceritanya lebih bisa dipercaya, Sylvie tiba-tiba
menyahut. “Penampakan macam apa?”

“Lihat rumah di pojok situ!” Mas Jo mengarahkan perhatian mereka pada sebuah rumah satu lantai bercat putih, kira-kira seratus meter dari tempat mereka berdiri. “Kamu tahu, kan, kalau karyawan-karyawan Pak Hosea semua tidur di sana? Jadi, kemarin malam, setelah semua kerjaan selesai, kita semua nonton TV di ruang tamu. Ada konser ulang tahun ke-15 Buana TV, kira-kira dari jam tujuh sampai jam dua belas, lah. Nah, setelah acara selesai, salah satu
dari kami iseng melihat ke jendela. Kalau soal siapa yang ngintip pertama, saya sudah lupa. Yang jelas, tahu-tahu ada yang teriak. Otomatis, kita semua jadi pada nengok ke jendela. Kalian tahu? Ada sinar melayang-layang di kebun! Jalan-jalan ke mana-mana! Wah, pokoknya kita
semua heboh waktu itu.”

“Sinar? Sinar kayak apa, Mas?” Axel bertanya dengan suara rendah. “Lampu, api, atau yang lain?”

“Semacam api, tapi bukan juga. Sinarnya agak kabur gara-gara hujan, tapi bentuknya persis bola cahaya yang terbang! Warnanya putih kekuningan. Wah, kita semua nggak ada yang berani keluar. Kalau mau dibilang itu maling bawa senter, gerakannya terlalu mencolok
dan terlalu aneh.” Kedua lengan Mas Jo bergerak-gerak, menggambarkan naik-turunnya cahaya misterius itu. “Tahu-tahu saja, sinarnya hilang di arah Barat sana! Eh, ternyata besoknya ada mayat di sana. Aneh-aneh aja. Di kampung saya dulu, bola api berarti ada yang ngirim
santet. Mungkin Pak Hosea perlu panggil dukun setelah ini. Biar tempat ini dibersihin!”

Aduh, untung masih siang! Axel membatin. Mengapa sejak kemarin malam dia dengar cerita hantu melulu? Sudah ditakut-takuti Arini dua kali, dengar cerita sejarah Rosalind Homestay, sekarang ini! Ditambah lagi, kedua teman perempuannya tak takut sama sekali. Axel pura-pura tersenyum, meski ia tidak yakin bisa tidur nanti malam.

“Yakin Mas Jo nggak salah lihat?” Mata Sylvie tajam dan menyelidik, nada skeptis jelas terdengar dalam suaranya. “Mungkin pantulan lampu dari dalam.”

“Dik, saya sudah kerja di sini bertahun-tahun! Saya yakin itu bukan bayangan lampu. Kalau kalian masih nggak percaya juga, mau lihat videonya?”

Wah, video? Axel jadi tertarik. Walaupun Mas Jo sering mencampur adukkan kenyataan dan imajinasinya sendiri, lain ceritanya kalau ada bukti dokumentasi. Mas Jo mengeluarkan ponsel, lalu membuka galeri. Ia buka video pertama yang muncul, lalu ia
tunjukkan pada ketiga remaja itu.

“Nih, kalian lihat sendiri,” ujarnya. Video itu singkat saja, cuma semenit lebih sedikit. Meskipun resolusinya tidak bagus, terlihat jelas sebuah titik cahaya melayang melintasi kegelapan. Suara gemerisik hujan terdengar di video itu, ditimpa seruan-seruan keheranan. Gerakannya aneh memang. Cahaya itu bergerak dengan kecepatan sedang. Meskipun seolah-olah tidak beraturan jalannya, agaknya cahaya itu memang sebenarnya menuju arah Barat.
Setelah berjalan beberapa jauh, tiba-tiba cahaya itu lenyap begitu saja. Fokus kamera bergerak menelusuri perkebunan sejauh jarak dan sudut yang bisa terlihat dari jendela, tetapi cahaya itu tidak muncul kembali sampai akhir video.

“Gimana? Percaya, kan?” Mas Jo berujar penuh kemenangan.

“Eh, iya Mas, percaya,” sahut Axel pelan. “Anu, jadi, eh, biarpun memang ada sinar kemarin, tapi pasti ada penjelasannya, kok! Nggak ada yang perlu ditakutin nanti malam, oke?
Hehehe.” Ia tertawa canggung. Meskipun seolah-olah ditujukan kepada kedua teman perempuannya, sebenarnya dirinya sendirilah yang sedang berusaha ditenangkan Axel.
Mendengar hal itu, Irene hanya tersenyum simpul penuh arti. Serangan lebih frontal diluncurkan Sylvie, yang langsung berkomat-kamit mengucap kata “haishhh” tanpa suara.

“Bisa tolong diulang lagi, Mas?” Sylvie mengintip. Mas Jo melakukannya dengan senang hati. Kembali gadis itu mengamati gerakan cahaya misterius itu dengan seksama. Mungkin cuma dugaaku saja, pikirnya, tetapi ia merasa dapat menebak asal cahaya itu.

“Mas Jo yakin kalau semua karyawan Om Hosea ada dalam ruangan waktu itu?” Dengan agak ragu Axel bertanya, tidak yakin apakah ia benar-benar mau mendengar jawaban yang telah diduganya. Benar saja. Dengan wajah polos, Mas Jo menjawab penuh keyakinan.

“Yakin, dong. Dua puluh tiga orang, ada semua.”

Sylvie melirik ke tulisan tanda waktu video tersebut dikirim. Pukul 01.13 pagi. Kalau acara yang ditonton Mas Jo selesai pukul dua belas, berarti waktu kejadian tersebut berkisar
antara pukul dua belas sampai satu dini hari. Kira-kira sama dengan waktu kematian korban! Wah, ini menarik, pikir Sylvie. Ia melirik Axel, lalu tersenyum dan mengangguk penuh arti. Tanpa kata-kata pun Axel sudah tahu apa yang diinginkan Sylvie. Ya, apa lagi kalau bukan
video itu!

"Mas Jo, minta videonya, dong! Pakai Bluetooth bisa, kan?" seru Axel cepat. Melihat antusiasme Axel, Mas Jo makin bungah. Dengan senang hati pria itu mengirimkannya.

"Gimana, mau dengar cerita lagi, nggak? Ada lagi yang menarik, cerita temanku yang jadi satpam kantor di Jogja. Jadi, pada suatu malam Jumat‒" Senang karena mendapat pendengar-pendengar antusias, Mas Jo bersiap-siap dengan kisah-kisahnya yang lain.

"Wah, lain kali aja, Mas! Kita ada perlu!" Tahu betul kalau kisah-kisah Mas Jo bisa berlanjut hingga berjam-jam, Axel cepat-cepat menggiring kedua temannya pergi.

***

“Ah, niat hati mau cari informasi, malah dapat satu lagi cerita hantu!” keluh Axel begitu mereka sudah cukup jauh dari Mas Jo. “Gimana menurutmu, Vie?”

Gadis itu tidak menjawab. Seolah tidak mendengar pertanyaan Axel, ia berjalan terus, menyenandungkan melodi yang dibuatnya sendiri. Setelah mereka berjalan agak jauh, barulah mulutnya terbuka.

“Orang dewasa, membawa senter sambil menembus hujan, jalannya agak kesusahan. Mungkin senter besar, jadi sinarnya kelihatan sampai cukup jauh. Karena jalan setapak di sini sudah dipaving semua, mungkin orang itu nggak berjalan mengikuti jalur,” gumam Sylvie.

“Jadi menurutmu yang dilihat Mas Jo itu orang sungguhan?” Mata Axel melebar.

“Cuma itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal.” Masih bergumam, Sylvie menoleh pada Axel. “Menurutmu Mas Jo mungkin bohong, nggak?”

“Mas Jo adalah orang terakhir yang kucurigai bisa berbohong," sahut Axel. "Dia memang kadang suka alay kalau sudah mulai cerita horor, tapi kalau soal hal-hal lain, Mas Jo
malah bisa dibilang terlalu jujur. Sama sekali nggak bisa menyimpan rahasia. Keluargaku kenal
dia sejak lima belas tahun lalu, jadi kami tahu persis soal itu.”

“Berarti bisa dibilang kalau semua pegawai punya alibi,” sahut Sylvie, ringan tetapi serius. Axel membalas dengan anggukan. Untuk sesaat, kedua remaja itu tenggelam dalam
pikiran masing-masing.

Beberapa langkah kemudian, Sylvie menyadari kekosongan di sisi kirinya. Ia berbalik dan mendapati Irene berdiri diam mematung. Entah sejak kapan gadis itu berhenti melangkah.
Sejak di tempat Mas Jo tadi, ketika Sylvie dan Axel asyik berdiskusi, ia hanya diam dan menatap ke kejauhan, seolah pikirannya berada jauh dari situ.

“Woi, tumben kamu diam begini. Sakit?” Sylvie berjalan mengitari Irene, lalu menyentuh dahinya. Tidak demam. Sylvie makin bingung jadinya.

“Eh, apa?” Irene tersentak, seolah baru terbangun dari mimpi. “Ah, cuma capek sedikit, kok. Mungkin gara-gara kurang tidur.” Dengan senyum yang terlalu dipaksakan, diajaknya kedua temannya menjauh ke balik sebuah pohon yang posisinya agak terlindung. Setelah yakin tidak ada orang lain di sekitar mereka, barulah gadis itu menceritakan hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

“Aku takut kembali,” ujarnya dengan suara rendah. “Aku kepikiran hal ini sejak Mas Jo bilang kalau semua karyawan ada bersama-sama kemarin malam. Sejak tadi pagi, aku berusaha menghibur diri dengan percaya kalau pelaku pembunuhan ini adalah salah satu karyawan Pak Hosea yang pernah ada masalah dengan PT. Anugerah Prasatya Megah. Aku berusaha percaya kalau pelakunya jauh dari kita, tetapi setelah terkuak kalau semua karyawan punya alibi, berarti cuma kemungkinan terburukku yang mungkin. Pasti pembunuh itu salah satu dari tamu homestay. Hari ini, kita bakalan makan, ngobrol, dan tidur bersama-sama di satu bangunan dengan seorang pembunuh.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top