3. Pertemuan Pertama (R)
Axel bersorak dalam hati. Akhirnya! Setelah insiden tak mengenakkan tadi, jadi juga ia bersantai sambil menikmati mi instan. Jujur saja, Axel tidak yakin bagaimana harus menghadapi Arini kalau mereka bertemu lagi. Sepertinya menghindar adalah pilihan yang baik, kalau-kalau perempuan itu kumat 'gilanya' lagi.
“Huh, mau makan mi saja halangannya banyak amat,” gumamnya sembari menuang
air panas ke dalam cup. Tak masalah, yang penting sekarang ia bebas merdeka! Ditaruhnya cup tersebut di meja makan. Tinggal duduk manis tiga menit, lalu makan!
Rupanya hari itu ia memang benar-benar sedang sial. Baru saja ia mengambil garpu, terdengar suara mengunyah halus yang terdengar sayup-sayup. Refleks, ia mengangkat kepala. Hati-hati ia mengamati keadaan sekitar. Aneh, meskipun tak tampak ada orang lain di ruang
makan, suara mengunyah itu tidak berhenti.
“Hm?” Axel mengerjapkan matanya, bingung. Sebuah kelebatan hitam yang baru saja tertangkap oleh sudut matanya. Sial, ia jadi teringat lagi pada kejadian tadi. Konon hantu dan sebangsanya sering menampakkan diri sekitar waktu senja, kan? Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Pikiran logisnya bekerja, mengatakan bahwa suara tersebut pasti dari makhluk hidup asalnya. Entah manusia, entah binatang, tapi pastinya sesuatu yang
bernyawa.
Hati-hati remaja itu bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari ruangan. Ia tak butuh waktu lama untuk tahu bahwa suara itu asalnya dari ceruk kecil di antara dinding dan lemari. Perlahan, Axel mengambil posisi agak jauh dan melongok. Tampak seorang remaja perempuan
kurus bergaun putih duduk di atas sebuah sofa lusuh, dengan kepala menunduk dan rambut hitam panjang terjurai menutupi sebuah kantong kresek putih berisi entah apa ....
Mendadak ia menoleh! Diiringi seruan kaget, Axel terlompat ke belakang. Punggungnya menghantam meja makan, menyebabkannya jatuh terduduk di lantai.
“Aduduh ....” Axel meringis sambil menggosok-gosok pinggangnya. Gadis itu hanya menatapnya lekat-lekat. Sesaat, ia merasa bagai ditatap oleh seekor kucing yang terganggu. Bukan hanya karena bentuk mata gadis itu, melainkan juga pandangannya yang tajam menusuk. Ya, Axel benci mengakuinya, tapi ia yakin betul kondisinya sekarang sangat memalukan. Ia menduga kalau usia gadis itu kira-kira sebaya dirinya, bahkan mungkin lebih muda. Wajahnya tidak bisa dibilang jelek, tetapi juga bukan tipe wajah perempuan favorit Axel. Agak manis, mungkin. Bentuk mukanya bundar, badannya kurus nyaris tanpa lekukan. Hampir tak ada rona di kulit putihnya. Mirip hantu atau orang sakit, pikir Axel, walau gadis
di hadapannya itu tampak sehat walafiat.
“Kaget, ya? Sori banget, deh,” ujarnya malu-malu. “Lagian posisimu sembunyi di situ, jadi kukira hantu tadi. Hehehe.” Ia terkekeh canggung. Gadis itu sama sekali tidak terkesan. Saat gadis itu duduk tegak, baru Axel menyadari isi bungkusan plastik tersebut. Ternyata stroberi! Banyak sekali stroberi. Diam-diam Axel merasa perlu berdoa agar gadis itu tidak sakit perut.
“Mau?” Sadar kalau Axel memperhatikan, gadis itu menyodorkan kantong stroberinya.
Dengan halus Axel menolaknya, mengatakan kalau ia punya mi untuk dimakan. Beberapa saat kemudian, kedua remaja itu duduk bersebelahan, kantong stroberi di antara mereka. Gadis itu asyik dengan stroberinya, sedangkan Axel dengan minya.
“Aneh rasanya duduk begini kalau nggak kenalan dulu,” ujar Axel memecah keheningan yang lucu itu. “Kenalin, aku Axel.”
“Sylvie,” sahut gadis itu sambil lalu.
“Dari luar kota, ya? Aku dari Surabaya, lagi liburan seminggu di sini. Kebetulan pemilik homestay ini omku sendiri.” Axel memasang senyum terbaiknya, kalau-kalau Sylvie menoleh. Selama ini, jurus senyuman Axel belun pernah gagal meluluhkan hati lawan bicaranya. Mulai dari cewek gebetan sampai guru killer, semua takluk. Ditambah kemampuan bicaranya dan latar belakang keluarganya yang berada, Axel berhasil menempatkan dirinya
dalam jajaran most eligible bachelor di sekolahnya. Jumlah fans? Jangan ditanya! Makanya, tidak heran kalau Axel sungguh bangga akan senyumnya itu.
Sepertinya kali ini sepertinya siasatnya berhasil lagi. Sylvie menghentikan makannya dan menatap lurus ke arahnya. Penasaran akan tanggapannya, Axel mengamati bibir gadis itu terbuka.
“Kamu memang banyak ngomong, ya. Mirip ibu-ibu arisan aja.”
Lah, kok? Dia sama sekali tidak terkesan! Sulit juga berbasa-basi dengan cewek satu ini, pikir Axel. Jujur saja, harga dirinya sedikit terusik.
“Duh, itu namanya basa basi, Sylvie,” sahut Axel. “Wah, untung aku nggak harus duduk di sebelahmu waktu perjalanan panjang. Naik kereta, misalnya, atau naik pesawat.”
“Basa basi.” Sylvie tertawa kecil. “Salah satu cara paling manjur buat dapetin informasi pribadi orang. Kadang aku heran betapa gampangnya orang cerita soal keadaan rumahnya pada orang asing. Soal tempat tinggalnya, anggota keluarganya, pekerjaannya, semua diceritakan. Makanya penipuan jadi gampang banget.”
“Yah, kamu ada benarnya, sih. Banyak banget orang yang kena tipu gara-gara basa basi! Mulai dari dibujuk ikut investasi abal-abal, namanya dicatut orang, sampai ada yang anaknya nyaris diculik. Setiap hari, banyak laporan kasus macam itu yang masuk ke kantor Kak Lionel.”
“Sebagai anak dari keluarga polisi, harusnya kamu memang lebih tahu.” Sylvie condong ke depan dan menatap Axel lekat-lekat, tangan kanannya menopang dagu. “Iya kan, Axel Mahendra?”
“Eh?” Axel nyengir bangga mendengar namanya disebut. “Yep, aku Axel Mahendra. Wah, nggak nyangka aku sebeken itu ternyata.”
“Memang nggak, tapi aku tahu kakakmu,” sahut Sylvie tajam. “Lionel Bagaskara Mahendra. Anak dari Kapolda Jatim saat ini, Yosafat Mahendra. Inspektur polisi yang
memimpin penyelidikan kasus pembunuhan Diva Florencia, dan berhasil memecahkannya minggu lalu. Bukan cuma Surabaya saja yang dibuat heboh karena kasus itu, tapi seluruh Indonesia. Ngomong-ngomong, aku memang orang Surabaya, sama kayak kamu.”
Tentu saja Axel tahu betul mengenai kasus Diva Florencia. Tiga bulan lalu, hanya beberapa jam setelah tampil di acara ulang tahun sebuah perusahaan di Surabaya, penyanyi terkenal itu ditemukan tewas dalam kamar hotelnya. Kasus tersebut hampir ditutup sebagai kasus bunuh diri, mengingat tak ada orang lain dalam kamar itu dan racun penyebab
kematiannya ditemukan dalam kue yang dibelinya sendiri. Demi memecahkan kasus tersebut,
Inspektur Lionel berhari-hari tidak pulang, sering kali turun sendiri ke lapangan demi mendapatkan informasi yang diinginkannya. Ya, Axel mengakui kalau kakaknya itu punya kemampuan analisis di atas rata-rata. Dengan sebuah bukti yang terluput dari mata penyelidik-penyelidik lain, ia berhasil menemukan pelaku pembunuhan tersebut, yang ternyata adalah
manajer Diva sendiri. Namun, apa hubungannya dengan cewek satu ini?
“Wah, kamu update berita ternyata,” ujar Axel, sedikit tak menyangka. “Jadi, dari mana kamu tahu aku adik Inspektur Lionel? Maksudku, pasti orang yang namanya Lionel di
Surabaya nggak cuma satu, kan?”
“Astaga, Inspektur Lionel pasti kecewa kalau dia dengar pertanyaanmu.” Terdengar tawa geli Sylvie. “Kukira kamu sadar soal betapa banyaknya info yang bisa didapat dari basa
basi! Terus terang, kamu cukup mengecewakan, Axel!”
“Hah, mengecewakan apanya?” sahut Axel bingung.
“Semua sudah kamu katakan sendiri dalam usaha basa basimu itu, Axel. Pertama, pemilik homestay ini bernama Hosea Mahendra. Tentu kemungkinan besar kamu punya nama keluarga yang sama, kan? Kedua, kamu sempat bilang soal 'laporan kasus' dan 'Kak Lionel'. Sudah pasti laporan kasus datangnya ke kantor polisi. Ketiga, dalam wawancara di koran kemarin, Inspektur Lionel disebut sebagai 'anak kedua dari tiga bersaudara'. Selebihnya cuma logika sederhana, really.”
Axel terdiam, heran. Belum sempat dia menyahut, Sylvie sudah berdiri. Setelah membuang sampah, ia kembali dan menatap Axel.
“Ah, sampaikan salamku ke Pak Hosea. Kualitas stroberi dari perkebunan ini memang bagus.” Ia menjilat noda merah stroberi di tepi bibirnya. “Well, it's been nice talking with you.” Gadis itu menepuk-nepuk bahu Axel ringan lalu berlalu,
meninggalkan Axel yang hanya bisa
menatap penuh keheranan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top