15. Melodi di Gelap Malam (R)
Malam itu, Lucia juga tidak bisa tidur nyenyak. Berbagai kejadian beruntun hari ini mau tidak mau memenuhi pikirannya. Pandangannya berpindah-pindah ke tiga arah. Cahaya lampu koridor yang menyisip dari bawah pintu, plafon kamar yang gelap, serta cahaya bulan yang samar-samar terlihat di bawah tirai jendela.
Lucia sedikit heran ketika menyadari bahwa perdebatan yang tidak sengaja ia saksikan di siang hari bukanlah fokus utama pikirannya sekarang. Lebih dari itu, di tengah ketenangan
dan kesunyian malam, barulah ia menyadari keganjilan hari itu. Sejak pagi, dirinya hampir-hampir tidak melihat Louis. Setelah penemuan jenazah istrinya, pria itu seolah nyaris lenyap dari pandangannya. Hanya sekilas ia melihatnya di ruang makan pada jam-jam makan, sebelum lelaki itu kembali menghilang entah ke mana.
Lucia tidak perlu merasakan kehilangan untuk menyadari betapa anehnya lelaki itu menyikapi situasi ini. Tidak salah lagi, ada sesuatu yang ganjil terpancar dari wajahnya, dan
hal itu bukanlah kesedihan. Lucia menyadarinya sejak malam sebelum pembunuhan, waktu pasangan itu menuruni tangga. Sekalipun Louis berusaha menutupinya, raut wajahnya ketika menatap Marie pada malam itu tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Ada tatapan terluka di sana, sebuah kekecewaan yang tersirat. Kekecewaan yang mungkin saja berubah jadi kemarahan, dan menyebabkan pembunuhan itu terjadi.
Ah, entahlah, Lucia tidak mau terlalu banyak menduga-duga.
Setelah berkali-kali berusaha memejamkan mata, akhirnya Lucia menyerah. Gadis itu bangun dan melihat ke sekelilingnya. Matanya segera tertuju pada wajah yang tertidur pulas di sampingnya. Irene. Adik perempuannya satu-satunya. Ia, Lucia, yang membawanya ke
homestay itu. Ia yang menempatkannya di tengah drama pembunuhan itu. Ditambah lagi, ia
juga membawa sahabat Irene bersamanya! Kalau sampai terjadi apa-apa pada mereka, tentu dirinyalah yang harus disalahkan. Perlahan, ia ambil gunting dari meja rias dan ia selipkan dalam saku. Lalu, ia turun dari tempat tidurnya, mengenakan sandal, lalu menyelinap keluar. Dikuncinya pintu kamar di belakangnya, lalu diselipkannya kunci itu dalam saku celana.
Suara denting lirih piano segera menyambutnya. Entah apa lagunya, Lucia tidak tahu. Yang jelas, baru kali ini ia mendengarnya. Walau mengalun dengan manis dan lembut, gadis itu bisa menangkap kesedihan yang tersamar di balik melodi itu. Tidak dapat dipungkiri lagi, siapa pun yang memainkannya sedang melakukannya dengan sepenuh hati. Tanpa suara gadis itu menuruni tangga, lalu dicarinya sudut di belakang tangga lantai satu tempat ia sekiranya dapat menyaksikan pemandangan ruang duduk tanpa terlihat orang yang berada di sana.
Di pukul setengah dua dini hari, homestay yang sunyi terlihat layaknya potongan adegan sebuah film kuno. Sebagian lampu di ruang duduk dimatikan, menyisakan cahaya
kuning temaram dari lampu-lampu tinggi berkap krem di sudut-sudut ruangan. Lucia tidak dapat menahan rasa heran dan takjub begitu ia melihat ke arah piano. Ia terperangah. Sudah berkali-kali ia menyaksikan permainan piano di berbagai pesta dan resital, tetapi tidak pernah
sekali pun ia kehilangan apresiasi pada permainan yang benar-benar bagus.
Jari-jemari Louis menari-nari di atas tuts piano. Tak sedikit pun pria itu kehilangan fokus. Nada demi nada dimainkannya, terkadang kuat dan tegas seperti debur ombak di musim
panas, terkadang lembut seperti angin sepoi-sepoi membuai bunga-bunga di taman. Malam itu, tidak tampak Louis Alexander Prasatya si pengusaha muda yang tegas. Satu-satunya yang dilihat oleh mata Lucia adalah seorang pianis yang menyatu dengan lagunya, sebuah harmoni yang sempurna.
Lagu itu usai. Waktu Louis mengangkat kepala, ia tampak seolah sedang bermimpi. Nyaris tiada suara yang ditimbulkannya ketika ia memasang penutup piano dan mengembalikan bangku ke tempatnya. Kemudian, di luar dugaan Lucia, pria itu menoleh tepat ke arah gadis itu berdiri.
“Ayo, keluar. Aku tahu kamu di sana sejak tadi.” Suara lembutnya memaksa Lucia muncul dari balik tangga. Setelah semua keindahan itu usai, pria yang dihadapi gadis itu sekarang tampak sebagai lelaki biasa yang lelah. Kacamata yang dikenakan Louis tidak sanggup menyamarkan lingkaran hitam di bawah matanya. Walau begitu, pria itu segera menguasai diri dengan baik. Ia kini berdiri tegak di depan Lucia dengan sorot mata yang tajam dan tenang, kedua tangannya terselip dalam kantong sweater hitamnya. Dalam hati Lucia bertanya-tanya, apakah para bos perusahaan besar harus selalu tampak setenang ini di hadapan orang lain, tidak peduli seburuk apa pun masalah yang mereka hadapi? Ataukah itu hanya kebiasaan Louis saja?
“Maaf mengganggu.” Lucia berbisik lirih tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Dalam saku piyama, tangannya menggenggam gagang gunting erat-erat. Sebagai jawabnya, Louis tersenyum. Lagi-lagi, Lucia menyadari tatapan sedih dan menerawang dari kedua mata lelaki itu. Seolah sadar bahwa gadis di hadapannya sedang menjaga jarak, Louis pun tetap tinggal di tempatnya berdiri.
“Lagu ini kutulis untuk Marie. Kusimpan baik-baik supaya jadi kejutan, dan kumainkan waktu hari pernikahan kami.” Mata Louis menerawang, menelusuri sisa-sisa kenangannya. “Aku selalu percaya padanya. Bahkan sampai saat-saat terakhir, aku masih ingin percaya
padanya.”
“Itu memang lagu yang bagus,” sahut Lucia sopan. Sejujurnya, ia tak tahu tanggapan apa yang tepat. Barangkali Louis bahkan tidak butuh tanggapan. Ia mungkin hanya ingin seseorang untuk mendengarkannya, dan Lucia kebetulan jadi orang pertama yang muncul.
“Saat itu musim semi. Bunga-bunga baru mulai bermekaran. Dia ada di situ, berdiri di pelataran sambil melukis pemandangan Istana Versailles. Kalau diingat-ingat lagi, dia cuma satu dari sekian banyak turis yang datang pagi itu, tapi hari itu, dia adalah satu-satunya orang yang mencuri perhatianku. Mungkin karena lipstik merah yang dipakainya. Mungkin karena suaranya yang renyah saat mengembalikan dompetku yang jatuh. Mungkin karena sketsa-sketsa cat air yang ditunjukkannya. Mungkin karena aku akhirnya tahu kalau dia juga orang Indonesia. Atau mungkin bahkan bukan karena semua itu.” Louis berhenti sejenak untuk
menghela napas panjang.
“Apa pun alasannya, kukira takdir memang mempertemukan kami berdua. Untuk pertama kalinya, kukira aku bertemu seseorang yang mengenalku sebagai orang biasa.
Perempuan yang nggak tahu menahu soal latar belakangku, perempuan yang nggak berharap kemewahan maupun jabatan. Perempuan yang nggak memandangku sebagai penerus PT. Anugerah Prasatya Megah, perempuan yang nggak memandang hubungan kami sebagai transaksi bisnis. Aku bersyukur pernah mengenalnya, tapi seandainya boleh memilih, aku lebih baik tidak pernah mengenalnya sama sekali.”
“Saya rasa, um, Anda harus kembali ke kamar Anda sekarang, Pak,” ujar Lucia kikuk. Rasanya aneh harus bicara formal pada orang yang hanya sedikit lebih tua darinya, tapi rasanya tidak pantas juga baginya untuk bicara pada Louis layaknya teman sebaya.
“Kenapa? Do you think I'm not in my right mind now?” Ada nada sinis dalam suara Louis. “Mungkin kamu benar, tapi aku mungkin bisa gila kalau nggak ada orang buat kuajak
bicara. Aneh sekali rasanya beberapa minggu terakhir ini. Ah, kadang hidup memang suka bercanda.”
“Saya turut berduka cita.” Di titik ini, kejanggalan-kejanggalan dalam cerita Louis mulai mengganggu Lucia. Tidak salah lagi, Marie pasti telah melakukan sesuatu yang amat melukai hati suaminya. Pertanyaannya sekarang, apakah yang dilakukan Louis kepadanya? Menurut Lucia pribadi, sama sekali tidak bisa ia bayangkan seorang terhormat seperti Louis menyergap dan menjerat istrinya sendiri di tengah malam!
“Sudahlah, aku tahu apa yang kamu pikirkan sekarang.” Langkah Louis sedikit terhuyung. Seandainya Rosalind Homestay menyediakan alkohol, pasti Lucia sudah menyangka pria itu mabuk. Untuk sesaat seolah ia seperti akan menghampiri Lucia, tetapi ia berjalan lurus melewatinya menuju tangga. Kini mereka berdiri berhadap-hadapan, pagar tangga jadi pembatasnya.
“Ada sesuatu yang harus kuluruskan.” Nada lembut Louis membuat Lucia sedikit mual. “Pertama-tama, aku tidak membunuh Marie. Aku sungguh-sungguh mencintai Marie. Aku berusaha membencinya setelah aku mengetahui perbuatannya, tapi aku nggak bisa melakukannya. Meskipun begitu, kematiannya bukanlah kesalahannya. Aku harap kamu tetap berpikir begitu, meskipun kebenarannya terbuka nanti.”
Kemudian, terjadilah sesuatu yang tidak disangka-sangka Lucia. Pria itu tersenyum, barangkali senyum paling lebar dan manis yang pernah ia lihat. Suaranya mengalun bagai hembusan hawa dingin, membuat bulu kuduk Lucia berdiri.
“Kematiannya adalah kesalahanku.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top