14. Penyesalan (R)

Malamnya, Axel terheran-heran mendapati Wayan berjalan mondar-mandir di sepanjang koridor lantai dua. Sesekali pemuda itu berhenti, seolah menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Bolak-balik ia mengecek jam tangannya.

“Kak Wayan?” tanya Axel. “Lagi ngapain, Kak?”

“Ah, Axel! Akhirnya kamu muncul juga.” Seulas senyum lega muncul di bibir Wayan. “Kalau kamu nggak keberatan, boleh nggak aku numpang di kamarmu malam ini?”

“Lho, memangnya kenapa?” tanya Axel kebingungan.

“Aku bertengkar sama Martin.” Ia menghela napas panjang. “Harus kuakui, dia ada benarnya. Aku memang kebawa emosi tadi. Masalahnya, kami berdua sekamar.”

"Waduh, repot juga kalau gitu," balas Axel. "Okelah, Kak! Ikut aja ke kamarku. Kebetulan cukup buat dua orang.”

"Beneran nggak papa, nih? Kalau kamu keberatan, aku bisa tidur di sofa bawah, kok."

“Nggak masalah, kok,” sahut Axel. Wayan mengacungkan jempol, lalu ikut masuk ke kamar Axel.

***

Malam itu cuacanya cukup bersahabat. Rintik-rintik gerimis terdengar sayup-sayup diselingi nyanyian jangkrik. Seharusnya, pikir Axel, kali ini ia bisa tidur nyenyak. Nyatanya tidak juga. Berulang-ulang ia tertidur dan terbangun lagi. Terkadang ia mengira sedang
berjalan-jalan di koridor atau duduk-duduk di lobi, sampai tiba-tiba matanya terbuka dan langsung disambut pemandangan langit-langit kamarnya. Untungnya, sosok perempuan misterius yang menghampirinya di malam sebelumnya tidak kembali malam itu.

Axel mulanya yakin dirinya cuma mimpi waktu ia melihat sesosok pria berdiri di tepi jendela kamarnya. Sinar bulan yang remang-remang sudah cukup untuk menerangi siluet tubuh tinggi sosok itu. Butuh beberapa detik bagi Axel untuk mengingat bahwa ia tidak tidur sendirian malam itu.

“Kak?” Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Napasnya tertahan. Cepat-cepat diliriknya sisi kasur di sebelahnya, kalau-kalau dia cuma salah lihat. Tidak, matanya tidak sedang bermain-main dengannya. Kasur di sisi kirinya memang kosong. Penghuninya, Axel harap, adalah sosok yang berdiri di samping jendela itu.

“Lho, Xel, belum tidur?” Terdengar suara Wayan. Ah, Axel bisa sedikit tenang. Ternyata memang Wayan. Untunglah bukan gangguan supernatural lagi, batinnya. Namun,
tepat ketika ia hampir menghela napas lega, sederetan pikiran lain berlomba muncul dalam benaknya bagai alarm tanda bahaya. Apa yang dilakukan Wayan di ujung tempat tidurnya? Bagaimana jika Wayan adalah pembunuh itu? Yang paling gawat, bagaimana bila ia sadar kalau Axel sedang menyelidiki kasus itu?

“Iya, nih. Biasalah, susah tidur kalau bukan di kasur sendiri!” Axel tertawa kecil, berusaha terdengar santai. Wayan tidak menyahut. Lelaki itu hanya menatap teman sekamarnya lekat-lekat. Diam-diam, tangan Axel bergerak di bawah selimutnya, lalu meraih ponsel. Otaknya berputar, memikirkan skenario-skenario antisipasi seandainya Wayan, untuk
alasan apa pun, tiba-tiba menyerangnya. Untung bagi Axel, ia tak harus melakukan itu. Setelah
beberapa saat, Wayan menghela napas panjang, lalu mulai berbicara.

“Kayaknya aku harus bicara jujur deh, Xel.” Nada serius Wayan membuat Axel memasang telinga. “Tadi sore, ada hal yang nggak kuceritakan ke kalian semua.”

“Maksudnya, Kak?” Axel bangun, lalu duduk di tepi kasur. Tahan, jangan bicara apa-apa dulu, tambahnya dalam hati. Ia tidak tahu sejauh apa pengetahuan Wayan tentang kasus ini. Meski sejauh ini Wayan belum melakukan apa pun yang memancing kecurigaan Axel, bukan berarti ia serta merta memercayainya seratus persen.

“Aku tahu kalau Martin punya alasan untuk membenci Marie Rochelle,” ujar Wayan lirih. “Baik aku maupun Yunita sama-sama tahu. Aku cuma tahu sebagian ceritanya dari cerita
dia dulu, tapi aku yakin Yunita tahu persis. Bagaimanapun, ayahnya juga korban penipuan Marie Rochelle.”

Terdengar langkah-langkah sandal Wayan berkeliling kamar. Sesekali ia menggumamkan kata-kata yang tak dapat ditangkap telinga Axel, yang sedang berusaha keras menahan rasa penasarannya. Seandainya Sylvie ada di sampingnya sekarang, pasti dia akan tertarik!

“Namanya Mawar. Mawar Abadi,” ujar Wayan membuka ceritanya. “Keluarganya pindah ke Manokwari waktu dia kelas tiga SD. Waktu itu, Martin juga baru pindah sekolah,
dan masuk di kelas yang sama. Mereka bersahabat.”

Untuk yang kesekian kalinya, Wayan menghela napas panjang. Ia meraih sebatang pensil dari atas meja, lalu memutar-mutarnya di tangan kanan. Masih sambil berjalan mondar-mandir, ia melanjutkan ceritanya.

“Sejak kecil, Mawar suka sekali menggambar. Guru-guru mereka selalu bilang kalau dia berbakat jadi pelukis terkenal kalau besar nanti. Namun, di samping itu, dia anak yang tertutup. Setiap kali ada masalah di rumahnya, selalu aku yang jadi tempat curhatnya. Setelah orang tuanya bercerai, dia pindah ikut mamanya ke Depok.”

“Terus, selanjutnya apa, Kak?”

“Selanjutnya? Yah, mereka masih sering berkomunikasi sampai kuliah. Dulu, waktu kami bertiga masih mahasiswa baru, pernah sekali Martin video call dengannya waktu kami kumpul-kumpul di kantin. Lumayan cantik orangnya. Dari penampilan dan suaranya, kelihatannya dia orang yang lembut dan sederhana. Martin bilang kalau dia kuliah di IKJ. Kebetulan, papanya Yunita sehari-hari jadi dosen tetap di sana.”

Wah, ini mulai menarik, pikir Axel. Ia sekarang duduk mendengarkan dengan seksama. Meski beberapa skenario mulai muncul dalam benak, ia putuskan untuk tetap diam
mendengarkan.

“Ayahnya Yunita itu pelukis terkenal. Koneksinya luas sekali di kalangan seniman, baik di dalam maupun luar negeri. Suatu hari, beliau mengundang Mawar dan beberapa muridnya yang lain untuk ikut dalam pameran yang diadakan asosiasinya di Paris. Ah, aku masih ingat kalau Martin bahagia banget waktu sharing berita itu ke aku.”

“Ngomong-ngomong, apa Kak Martin sama Kak Mawar ini pacaran?” sela Axel.

“Nah, itu yang kami sering jadiin bahan bercandaan. Sudah jelas-jelas Martin ada rasa sama Mawar, tapi dia nggak pernah berani ngomong. Saking geregetannya, pernah Yunita
mengancam mau bilang ke Mawar. Habisnya, Martin menunda terus! Ada-ada saja alasannya, mulai dari musimnya nggak tepat, mau nunggu wisuda dulu, nggak kuat LDR-an, pokoknya banyak, deh Ujung-ujungnya, dia beneran gagal.”

“Sampai di sini aku belum lihat apa hubungannya sama Marie,” sahut Axel dengan nada memancing.

“Sabar dulu, Xel. Nah, di bagian ini letak hubungannya. Meskipun papanya Yunita bilang ke murid-muridnya kalau semua biaya pameran sudah ditanggung asosiasi, seorang perwakilan panitia dari Perancis menghubungi mereka. Sebentar, kalau nggak salah, namanya mirip seorang penyanyi ...," Wayan mengingat-ingat. "Adele? Adeline? Ah, mirip-mirip begitu lah. Dibujuknya mereka semua mentransfer sejumlah uang dengan dalih untuk biaya
penginapan dan konsumsi selama di sana. Akhirnya, semuanya berantakan. Wanita itu dan komplotannya kabur beserta seluruh uangnya.”

“Aneh, kenapa mereka nggak ditangkap?” timpal Axel.

“Menurut Martin, seluruh komplotan itu menggunakan identitas palsu. Mereka sangat licin menghapus jejak-jejak kriminal mereka. Nggak terasa, dua tahun lewat tanpa ada
kejelasan soal kasus itu. Tiba-tiba saja, pertengahan tahun lalu, wanita itu muncul di berita dengan nama Marie Rochelle, istri pewaris PT. Anugerah Prasatya Megah. Memang nggak ada
bukti kuat yang bisa ngebuktiin kalau mereka berdua orang yang sama, tapi ada dua hal yang memperbesar kecurigaan Mawar dan Martin. Selain muka yang mirip, dua duanya sama-sama orang Indonesia yang kuliah seni di Perancis. Ketiga, usia mereka kurang lebih sama.”

“Jadi begitu ceritanya,” gumam Axel. “Kapan Kak Martin cerita semua ini?”

“Kurang lebih empat bulan yang lalu, di malam dia menerima kabar kematian Mawar.” Ada nada getir dalam suara Wayan. “Penipuan itu memang melukai hati Mawar, tapi rupanya melihat Marie Rochelle hidup enak seolah nggak terjadi apa-apa merupakan pemandangan yang lebih berat baginya. Kata Martin, itulah yang tertulis di diary Mawar, yang ditemukan terbuka di samping jasadnya. Overdosis obat tidur, kalau nggak salah, jenis yang seharusnya
nggak boleh dijual tanpa resep dokter. Yah, intinya, begitulah yang terjadi.”

***

Menit-menit selanjutnya berlalu dalam hening. Axel sesekali melirik Wayan, yang sekarang duduk di tepi ranjang dengan pandangan menerawang. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk dipan kayu, membentuk irama tidak beraturan.

“Memangnya itu aja alasannya?” ujar Axel memecah kesunyian itu.

“Maksudmu apa, Xel?”

“Memangnya itu aja yang bikin Kak Wayan curiga sama Kak Martin? Cuma karena ada kemungkinan dendam pribadi dari masa lalu? Aku rasa itu bukan alasan yang cukup kuat.”Axel menegakkan posisi duduknya. “Kecuali kalau Kak Wayan melihat sesuatu kemarin malam. Sesuatu yang bikin Kak Wayan meragukan alibi teman sekamar Kakak sendiri.”

Tanpa harus bicara pun, respon Wayan sudah menegaskan dugaan Axel. Kentara sekali kalau lelaki itu tampak terkejut dengan pernyataan tersebut. Wayan menatap Axel lekat-lekat, tangan kanannya mencengkeram tepian kasur erat-erat.

“Dari mana kamu tahu?”

“Cuma insting.” Axel mengangkat bahu. “Mengingat Kak Wayan dan Kak Martin sudah bersahabat bertahun-tahun lamanya, bahkan cukup dekat buat traveling bareng, aneh kalau Kak Wayan mendadak curiga sama Kak Martin.”

“Memang,” ujar Wayan lirih. “Kamar kami ada dua ranjangnya. Pada malam kejadian, sekitar jam satu lebih lima belas menit, aku sempat bangun sebentar. Biasalah, mau ke toilet. Waktu itu, aku sadar kalau ranjang di seberangku kosong. Yah, aku nggak mikir yang macam-macam, sih. Nah, setelah aku kembali dari toilet, aku melihat Martin berdiri di bawah tangga menuju lantai tiga. Aku lewat di belakangnya dan kembali ke kamar.”

“Jadi itu yang bikin Kak Wayan curiga sama Kak Martin? Karena Kak Martin ada di luar waktu tengah malam? Bisa jadi Kak Martin juga cuma ke kamar mandi,” tanya Axel setengah bergumam.

“Bukan itu, Xel.” Wayan menggeleng. “Waktu itu, aku sempat deketin Martin. Tapi, aku batal ngajakin dia balik. Martin lain banget kelihatannya malam itu, sungguh. Matanya tajam menatap ke sebuah pintu di lantai tiga, yang belakangan aku ketahui sebagai kamarnya Pak Louis. Aku sampai takut melihat pandangannya. Sebelum aku masuk, sekilas aku melihat ke tangannya. Dia menggenggam sesuatu di tangan kanannya. Waktu itu gelap, tapi bentuknya mirip cutter yang selalu dia bawa waktu traveling. Aku nggak sempat mikir apa-apa lagi. Aku
cepat-cepat masuk ke kamar.”

“Apa gara-gara itu Kak Wayan dan Kak Martin bertengkar?” Axel beringsut mendekat.

“Ya. Aku, yah, aku bersyukur begitu mengetahui kalau kalau luka di leher mendiang Marie bukan disebabkan oleh sayatan cutter. Paling tidak, itu nunjukin kalau kemungkinan besar bukan Martin yang membunuhnya. Tapi, ah, benar-benar sialan sifatku ini! Aku memang kelewatan tadi sore. Waktu Martin menyusulku ke atas dan berusaha menenangkanku, kubentak dia. Kusinggung soal apa yang aku lihat dia lakukan malam itu, dan ganti dia yang marah karena merasa dicurigai. Akhirnya, karena emosi, aku keluar dari kamar. Sejak itu, kami belum bicara lagi. Ah, aku kira liburan ini bisa jadi sarana kami senang-senang bertiga sebelum kembali sibuk mengerjakan skripsi, tapi malahan aku bertengkar sama Martin dan Yunita.”

Wayan menggeleng penuh sesal. “Ya sudahlah, semua sudah telanjur. Makasih banget sudah mau dengerin ceritaku. Setidaknya aku merasa lebih tenang sekarang. Maaf, ya, kalau aku
akhirnya jadi ganggu kamu tidur.”

“Beneran nih Kak Wayan nggak papa?” tanya Axel khawatir.

“Sekarang sudah nggak papa. Yuk, kita tidur lagi. Besok, nggak tahulah apa yang bakal terjadi, tapi itu urusan nanti.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top