13. Perdebatan dan Alasan (R)
Irene tidak punya pilihan lain selain menceritakan semua yang ia saksikan. Diceritakannya perselisihan itu dengan singkat, tanpa menambah atau mengurangi satu bagian pun. Sylvie mendengarkan penuh perhatian, binder dan pulpen siap di tangannya. Axel ikut mendengarkan sambil sesekali mengangguk.
“Maaf aku nggak cerita lebih awal,” ujar Irene lemah. “Waktu itu aku nggak ngerti apa yang sebernarnya terjadi. Sampai sekarang aku masih bingung, sejujurnya.”
“Itu yang harus kita cari tahu,” sahut Sylvie, menepuk-nepuk pundak Irene. “Good job, Irene. Untuk sekarang, kita pura-pura nggak tahu aja di depan mereka. Kelihatannya Marie Rochelle ini bukan orang yang terlalu baik-baik juga. Aku penasaran apa Pak Louis, atau mungkin orang lain di tempat ini, tahu soal ini.”
***
Setelah makan malam, para tamu homestay berkumpul dalam kesunyian. Sebagian besar dari mereka memilih berkumpul di ruang duduk seperti hari sebelumnya. Yunita dan Wayan duduk berseberangan di pucuk-pucuk sofa panjang, sama-sama terlihat canggung. Martin, yang tidak mau terjepit di tengah situasi tersebut, memilih duduk di karpet bersama Axel. Sylvie, Irene, dan Lucia duduk berdempetan di sofa panjang yang satu lagi. Arini duduk di sofa kecil dengan kepala tertunduk, menghindari kontak mata. Aryo berdiri bersandar di balik sofa itu sambil membolak-balik sebuah koran lama dengan tatapan bosan.
Beberapa orang lain tidak ada di sana. Om Yunus dan Tante Mutia sudah pindah menginap ke rumah Om Hosea. Sejak ditemukannya mayat istrinya, Louis tidak terlalu banyak muncul di hadapan tamu-tamu yang lain. Tidak ada yang berani mempermasalahkannya. Tanpa perlu diskusi, ada sebuah perjanjian tidak tertulis di antara para tamu yang tersisa untuk membiarkan lelaki itu sendirian dengan kedukaannya, setidaknya untuk saat ini.
“Hei.” Suara Wayan memecah keheningan. “Jujur, aku nggak mau ngomong soal ini, tapi aku rasa ada baiknya kita saling cerita soal kegiatan kita sejak kemarin malam sampai hari ini. Bukannya aku menuduh salah satu dari kalian atau gimana, tapi paling nggak kita bisa merasa lebih tenang.”
“Aku sama Yuni termasuk juga, nih? Kan kita rombonganmu?” sahut Martin heran.
“Yah, aku sih pasti percaya penuh sama kalian, tapi mereka-mereka ini? Kemungkinan enggak.” Wayan menunjuk Sylvie, Irene, dan Lucia. “Setidaknya ayo kita buat cewek-cewek ini bisa tidur nyenyak malam ini, kan?”
“Aku masih tetap pada pendirianku. Semua tamu homestay ini orang baik-baik. Kalau psikopat itu masih ada di sekitar sini, aku yakin dia sembunyi di salah satu sudut perkebunan ini.” Yunita menyilangkan tangannya di depan dada.
“Aku setuju sama Kak Wayan,” timpal Axel. “Maaf Kak Yunita, aku nggak setuju sama pendapat Kakak. Meskipun banyak bangunan yang terpencar-pencar di tempat ini, semuanya masih dipakai. Mustahil karyawan-karyawannya Om Hosea yang setiap hari keluar masuk nggak sadar kalau tahu-tahu ada orang asing di sana.”
“Jujur aja, aku percaya sama semua orang di sini kecuali dia,” ujar Martin dengan suara rendah sambil melirik ke arah Arini. “Kalau ada satu orang yang mau aku dengar alibinya, dia itu orangnya.”
“Ka.... Kalau aku, aku lebih curiga sama Pak Louis!” Arini terperanjat. “Aku bahkan nggak kenal siapa perempuan itu. Kalau pelakunya manusia, bukan hantu, bukannya biasanya suami yang membunuh istri-istrinya? Di koran-koran kan begitu!”
“Hus, jangan sembarangan nuduh! Untung orangnya lagi nggak ada di sini!” Aryo segera menegur adiknya. Arini diam tertunduk, cepat-cepat menggumamkan maaf, lalu semakin membenamkan diri di jok sofa.
“Sudahlah, pelakunya pasti salah satu karyawan perkebunan. Mungkin dia dikejar-kejar utang sampai jadi gelap mata, dan berniat merampok korban. Mungkin juga dia bekas karyawan PT Anugerah Prasatya Megah yang sakit hati dengan perusahaan.” Aryo
menyilangkan lengannya.
“Itu juga nggak mungkin.... Ow!” Sembari menggosok-gosok pinggang kanannya yang baru saja disepak Sylvie, Axel melirik gadis itu dengan sengit. Yang dilirik cuma mengangkat bahu, sambil tetap mengayun-ayunkan kaki. Axel menghela napas panjang, lalu beringsut menyingkir. “Maksudku, setahuku karyawan-karyawan Om Hosea semuanya orang-orang lama, yang sudah lebih dari lima tahun bekerja di tempat ini. Om Hosea orang yang tegas, dan nggak segan-segan memecat karyawan yang ketahuan mencuri atau berjudi. Memang, kalau dipikir-pikir lagi, teorinya Kak Aryo masih mungkin terjadi. Tapi, aku tetap sama pendirianku yang awal. Paling nggak, kalau kita sharing satu sama lain soal kegiatan kita, minimal sesama tamu homestay nggak perlu sampai tuduh-tuduhan kayak gini.”
“Cukup, guys. Kita putusin aja sekarang.” Wayan bangkit dari sofa. Mahasiswa kedokteran itu berjalan ke ujung ruang duduk, memastikan semua yang ada di situ bisa melihatnya. “Aku bakal mulai bicara sekarang. Siapa-siapa yang setuju sama ideku ini bisa menceritakan kegiatannya setelah aku selesai. Mengerti?”
“Huh, terserah kamulah.” Yunita membuang muka. Selain dia, tidak ada lagi tanggapan. Setelah terdiam sekitar semenit, Wayan menarik napas panjang, lalu mulai bercerita.
“Aku dan Martin masuk kamar sekitar pukul sepuluh malam. Nggak lama kemudian, kita berdua pergi tidur,” tutur Wayan. “Waktu dini hari, mendadak aku dibangunin sama
Martin. Ternyata, dia mendengar suara longsor itu. Waktu kita berdua keluar kamar, di bawah sudah ribut. Nah, kita turun ke lantai satu dan langsung gabung sama tamu-tamu lainnya.”
Cerita itu diamini oleh Martin, yang menambahkan kalau ia tertidur duluan sebelum Wayan. Seusai cerita Martin, Axel mengangkat tangan. Dengan singkat diceritakannya
kegiatannya, mulai dari saat ia kembali ke kamar, tidur, hingga terbangun dan bertemu Sylvie. Selanjutnya, giliran Sylvie bercerita, dengan sedikit-sedikit ditambahi oleh Irene dan Lucia. Senada dengan yang lainnya, mereka masuk kamar kurang lebih pukul sepuluh malam. Lucia sempat ke toilet sekitar pukul sebelas malam, tetapi tidak melihat ataupun mendengar apa pun selain bunyi hujan badai. Sylvie yang pertama terbangun karena bunyi longsor itu dan segera berlari keluar kamar (bagian ini juga diamini oleh Axel), sementara kakak-beradik Van Cornell menyusul setelah cepat-cepat merapikan penampilan. Saat Irene dan Lucia turun, sudah ada Wayan dan Martin di bawah.
“Jadi, cuma kalian saja yang mau bicara?” ujar Wayan setelah Sylvie selesai. “Mas Aryo? Mbak Arini? Yun?”
“Kalian pasti lihat kalau aku masuk kamar duluan, kan? Nah, aku langsung tidur sampai pagi,” ujar Yunita acuh. “Okelah, aku ngaku kalau tidurku nggak nyenyak. Kalau hujan, kamar seluas itu ternyata dingin juga kalau cuma ditempati satu orang. Ditambah lagi aku agak sakit kepala setelah seharian berjalan-jalan. Aku rasanya baru ketiduran sebentar waktu aku dengar suara longsor itu. Setelah itu aku turun. Selesai.”
“Terima kasih, Yun,” sahut Wayan kaku. “Dari Kak Aryo atau Kak Arini mungkin ada yang mau disampaikan?”
“Kalian semua lihat apa yang aku lakukan kemarin malam,” jawab Aryo kalem. “Aku menenangkan Arini dan membawanya masuk ke kamar. Setelah itu, aku menemaninya sampai waktu tidur. Arini tidur seperti bayi sampai keesokan paginya, dan jadi yang terakhir bangun. Waktu kami akhirnya turun, kalian semua sudah berkumpul di bawah. Iya kan, Rin?”
“Benar, Kak.” Arini mengangguk pelan, masih menghindari kontak mata.
“Nah, semua orang yang ada di sini sudah bicara.” Wayan menepukkan kedua belah tangannya dengan puas. “Makasih atas partisipasinya. Aku harap kalian semua bicara jujur hari ini. Oh ya, sebelum tidur nanti malam, jangan lupa kunci pintu dan jendela kamar kalian masing-masing. Tadi aku sempat usul ke Pak Hosea supaya seluruh kunci kamar diserahin ke satu orang karyawan terpercaya yang bakal mengunci semua pintu, supaya baik Pak Hosea maupun kita semua yakin kalau nggak ada yang bisa keluar kamar sepanjang malam. Sayang, gara-gara sebagian besar kamar nggak punya kamar mandi dalam, terpaksa ide itu nggak bisa dijalanin.”
“Heh, Wayan, memangnya kamu sudah gila, apa? Masa mau mengurung kita semua dalam kamar?” potong Yunita berang.
“Kalau itu bisa menjamin para tamu aman melewati malam, kenapa enggak?” balas Wayan, tegas dan dingin. “Aku sendiri nggak keberatan dikurung dalam ruang sempit kalau
itu berarti Si Pembunuh nggak bisa menyentuhku. Aku memang nggak tahu siapa pelakunya, atau kenapa Marie Rochelle yang dipilih jadi korban, tapi aku tahu satu hal. Aku nggak mau jadi korban berikutnya.”
“Cukup, Yan! Pikiranmu lagi nggak jernih sekarang! Kita nggak perlu jadi paranoid kayak gini! Yan! Yan!” Martin cepat-cepat bangkit berdiri, tetapi Wayan sudah keburu pergi
menaiki tangga. Pemuda Papua itu buru-buru menyusul temannya, diiringi dengkusan kesal Yunita. Arini menyaksikan adegan itu dengan wajah ketakutan. Dengan sigap Aryo membawa adiknya pergi. Oke, baru jam lima sore tapi suasananya sudah bikin frustrasi, pikir Axel. Ia
menangkupkan tangan ke kepala dengan putus asa, sambil mengeluh keras-keras.
“Huh, kacau! Kacau semua!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top