1. Rosalind Homestay (R)
Pagi hari, 15 Desember.
Rumah peninggalan Belanda itu berdiri tegak di tengah luasnya perkebunan. Sinar matahari terpantul pada catnya yang putih susu, hasil renovasi besar-besaran yang selesai
sebulan lalu. Keempat pilarnya megah menyambut setiap tamu yang berkunjung. Sepasang jendela kaca patri bergambar bunga mawar merah mengapit pintu utama, yang hari itu terbuka lebar menyambut hari pertama grand opening Rosalind Homestay.
Axel Putra Mahendra harus mengakui kalau ide pamannya hebat juga. Setelah mewarisi perkebunan itu dari mendiang Kakek, Om Hosea‒demikian Axel biasa memanggilnya‒memutuskan untuk merenovasi bangunan mangkrak tersebut menjadi homestay, serta mengubah konsep perkebunan menjadi area wisata agrikultur. Demikianlah, setelah beberapa penataan ulang, Perkebunan Mahendra Jaya siap menjadi destinasi wisata terbaru di tengah sejuknya Trawas, suatu daerah dataran tinggi di kota Mojokerto.
“Axel! Ayo masuk!” Tampak Om Hosea melambaikan tangannya di depan pintu masuk homestay. Axel tersenyum, lalu menyeret kopernya melintasi jalan berlapis paving. Mumpung sekolah sudah libur dan Natal masih sepuluh hari lagi, Axel berencana mengabiskan waktu di homestay baru tersebut. Lumayan, refreshing sejenak dengan jauh dari gawai. Meskipun sinyal internet di tempat itu bisa dibilang mengenaskan, tetapi sinyal untuk sekadar telepon dan SMS biasanya ada kalau cuaca sedang cerah.
“Makasih, Mas Jo!” Om Hosea melambaikan tangan pada sopir yang mengantar Axel. Sujono, yang akrab disapa Mas Jo, adalah sopir langganan keluarga Mahendra. Usianya kira-kira tiga puluh lima tahun, seorang ayah dengan dua anak. Kalau tidak ada anggota keluarga yang pergi ke luar kota, Mas Jo mengantar buah dan sayur produksi pertanian Om Hosea ke supermarket-supermarket di Surabaya dan sekitarnya. Lelaki bertubuh pendek dan agak gemuk
itu membalas ucapan terima kasih Om Hosea, lalu membawa mobil Avanza silver yang dikendarainya ke garasi.
“Masuk! Masuk! Sudah, taruh aja kopernya di depan!” Om Hosea menarik lengan Axel, setengah menyeretnya masuk ke bekas ruang tamu yang telah menjelma lobi mungil bernuansa putih. Dalam sekejap pria paruh baya itu sudah menjelaskan setiap sudut homestay dengan berapi-api. Bangunan kuno tak terlalu menarik bagi Axel. Namun, sebagai keponakan yang baik, ia tersenyum dan menyatakan persetujuannya pada bagian-bagian yang dirasa perlu.
“Rumah ini memang cantik kan, Xel? Coba lihat jendela-jendela kaca patri itu. Zaman sekarang, nggak ada yang bisa bikin sehalus dan sedetail itu! Tegel lantainya juga masih asli, hampir nggak ada kerusakannya sama sekali! Kalau lantai keramik zaman sekarang, baru beberapa bulan keramiknya sudah pecah semua! Ya kan, Xel?”
“Iya, Om, rumah zaman Belanda memang beda.” Axel menyahut sopan. “Tapi, rumah ini kan sudah kosong puluhan tahun. Masa nggak ada, hm, kejadian seram gitu?”
“Coba kamu lihat, ada yang seram, nggak?” Om Hosea menunjuk ke arah sinar matahari yang menembus jendela. “Ruangan ini sudah direnovasi supaya terang. Kalau malam, sudah ada lampu-lampu. Tambahan lagi, Om sudah adain syukuran minggu lalu, sekalian soft
opening. Pokoknya kamu nggak perlu takut tidur sendirian, deh!”
Betapapun ia tak peduli pada tata ruang, Axel harus mengamini kalau ruang duduk itu memang cantik. Ruangan itu berbentuk persegi panjang, tepat terletak di belakang ruang tamu yang sudah dialihfungsikan menjadi lobi dan resepsionis. Sepasang pilar memisahkannya dari ruang makan. Sebuah karpet tebal berwarna merah marun terhampar menutupi sebagian lantainya, tempat sofa-sofa berada. Televisi layar datar di salah satu sudut ruangan jadi satu-satunya symbol peradaban modern di situ.
Senada dengan arsitektur ruangan, sofa-sofa itu bergaya klasik dengan pelapis kulit sintetis berwarna cokelat gelap. Sebuah coffee table dari rotan terletak di tengah karpet, dikelilingi sofa-sofa tersebut. Di sudut ruangan, terletak sebuah grand piano berwarna hitam. Di sisi lain ruangan, tepat di seberang jendela-jendela berkaca patri, terdapat sebuah pintu yang mengarah ke ruang serbaguna. Tangga menuju lantai dua berada di samping ruangan tersebut.
“Ngomong-ngomong, sudah berapa kamar yang di-booking, Om?” Cepat-cepat Axel berusaha mengalihkan pembicaraan ketika dilihatnya Om Hosea akan mulai bercerita tentang lukisan-lukisan di lobi. Mata lelaki paruh baya itu berbinar melihat ketertarikan Axel.
Ditunjuknya kamar-kamar di lantai atas sambil bercerita dengan semangat.
“Semuanya, Xel! Dua kamar di sebelah sana itu dipesan rombongan mahasiswa, dua cowok dan satu cewek. Kamar yang besar itu dipesan tiga cewek remaja dari Surabaya. Yang satu sudah kuliah, sedangkan yang dua lagi kira-kira sebaya denganmu. Kamar di pojok itu
didiami kakak beradik, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki itu orang bank kenalan Om, yang perempuan agak unik. Pekerjaannya, hm, apa ya? Sepertinya penulis kolom horoskop di majalah wanita. Penampilannya mirip peramal di film-film gitu, lho. Terus, di lantai tiga ....”
Kelihatannya, Om Hosea berhasil mengumpulkan orang-orang yang unik pada percobaan pertamanya. Selain yang telah disebutkannya, ada pula dua pasang suami istri. Yang
sepasang kira-kira seusia Om Hosea, dan sepasang lagi baru saja menikah beberapa bulan lalu. Terhadap sepasang tamu terakhir ini Om Hosea memberi penekanan khusus.
“Kamu tahu PT. Anugerah Prasatya Megah, perusahaan makanan dan minuman multinasional itu? Pasangan yang menginap itu adalah anak pertama pemilik PT. Anugerah
Prasatya Megah, Louis Alexander Prasatya, bersama istrinya. Kamar mereka di lantai tiga, bekas kamar utama rumah ini. Nah, kamarmu sendiri juga di lantai tiga, di pojok kiri. Kamarnya memang agak kecil, tapi Om pilihkan kamu kamar ber-AC dengan kamar mandi dalam. Sudah, kamu istirahat dulu sana! Pasti capek setelah perjalanan tadi.”
“Got it, Om!” Axel mengacungkan dua jempol pada pamannya itu. Seorang pegawai membawakan koper Axel ke lantai tiga. Sembari menaiki tangga, berbagai pikiran menyenangkan mengisi benak remaja lelaki itu. Suasana tenang, bangunan bagus, dan cuaca cerah. Apa yang bisa salah dengan itu?
***
“Kita sampai, Sylvie!”
Hari sudah menjelang sore ketika dua orang gadis remaja turun dari mobil Xenia hitam yang dikemudikan seorang wanita muda. Sebuah tas ransel besar menggantung di punggung gadis pertama, tampak terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Rambut hitamnya tergerai sampai
ke punggung, berdesir lembut diterpa angin sepoi-sepoi. Warnanya kontras dengan blus turtleneck putih susu berlengan panjang yang ia kenakan. Celana panjang hitam bermodel
pensil membalut kakinya. Kulitnya putih pucat, bagai tak pernah tersentuh sinar mentari. Seuntai kalung berliontin semanggi berdaun empat melingkari lehernya.
Kegiatan luar rumah memang bukan favorit Sylvie Amanda, nama gadis pertama itu. Ia lebih suka berdiam di dalam ruangan dan menonton dokumenter true crime sepanjang hari. Hasil-hasil analisisnya tersimpan rapi di dalam sebuah binder biru laut, yang kini terselip erat di bawah ketiak. Langkahnya ringan dan cepat melintasi pekarangan homestay, matanya
cermat mengamati setiap sudut.
Sahabatnya, si gadis kedua, adalah seorang gadis keturunan Indonesia-Belanda. Sepasang mata cokelat hazel, hidung mancung khas bangsa Eropa, dan bibir mungil yang manis berpadu serasi dengan kulit kuning langsat yang bakal membuat iri para bule yang berjemur di pantai-pantai Bali. Irene Monica van Cornell memang dikaruniai penampilan bak seorang peri dari negeri dongeng tropis. Ia sungguh sadar pada rupa menawannya itu. Hari itu, dikenakannya sehelai rok terusan musim panas bermotif bunga-bunga yang ringan. Sebuah topi anyaman jerami melindungi rambut ikalnya dari sengatan sinar UV, sekaligus melengkapi penampilan tropisnya.
Penampilan Irene kontras dengan kakaknya, sang pengemudi mobil. Meski memiliki ciri blasteran yang sama, Lucia Margaretha van Cornell lebih nyaman mengenakan celana jins biru tua dan kaus oblong merah. Rambut cokelat tembaganya dipotong pendek di atas bahu, ujung-ujung helainya menyembul sedikit dari tepi topi bisbol merah yang ia kenakan.
Kacamata berbingkai plastik merah berlensa bulat telur membingkai kedua mata cokelatnya. Memang, sebagai ilustrator di sebuah studio game, ditambah pekerjaan sampingan sebagai pengusaha online shop, kepraktisan menjadi prioritas utama Lucia. Sebuah ransel laptop berwarna hitam menggantung di pundaknya, warnanya senada dengan koper kecilnya.
Setelah membereskan segala urusan terkait bagasi dan administrasi, ketiganya berjalan-jalan keliling perkebunan. Tumben memang, di bulan Desember yang seharusnya masuk musim hujan, matahari bersinar terang meskipun sudah pukul empat sore. Hampir tak ada awan di langit, kecuali beberapa gumpal awan kumulus kecil. Di mana-mana, terlihat para pekerja
kebun lalu-lalang. Dedaunan berdesir halus dihembus angin sepoi-sepoi, menimbulkan suara alam yang menyenangkan.
Segera Sylvie mengitari pelataran depan penginapan. Matanya cepat menangkap gambaran kebun-kebun yang terletak dalam jarak pandang. Greenhouse-greenhouse yang
berjajar untuk melon, semangka dan stroberi, buah-buah apel yang hijau kecil-kecil bergelantungan di pohon-pohon di sebelah Utara, serta jajaran pohon jeruk mandarin penuh jeruk bergelantungan.
“Kayaknya ini hari baikmu deh, Vie.” Lucia menuding keranjang-keranjang stroberi yang dibawa keluar oleh para pekerja. “Tuh, buah kesukaanmu lagi panen besar!”
“Oh ya? Well, that's a great news, I suppose.” Sylvie mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi menjadi ekor kuda. “Yuk, kita ke kebun stroberi!”
Ketiga gadis itu pun berlomba-lomba sampai ke tujuan. Tawa dan senda gurau bergantian terdengar dari mulut mereka, beradu suara sepatu kets di jalan paving. Ya, mereka
bertekad untuk memanfaatkan liburan bersama ini sebaik-baiknya. Mencoba hal-hal baru, menikmati suasana baru, bersantai sejenak dari rutinitas kota yang monoton. Memang, dengan cuaca sebagus itu, semua rencana agaknya bakal terlaksana. Namun, siapakah manusia yang tahu pasti akan hari depan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top