03. Locked

[Cyan]

Seorang laki-laki terbangun di tengah tanah tandus yang dipayungi langit sewarna abu. Ia duduk bersandarkan sebatang pohon oak tak berdaun yang mengering, tinggal menunggu ajal. Udara terasa kosong, tak ada aroma apapun yang sanggup ia cium. Tak ada bau tanah yang tersengat panas, atau bau lembab kayu oak yang seharusnya terpapar hidung, atau sekedar aroma sesuatu yang menyesap hingga ke paru-paru. Tak ada.

Ia melihat sekeliling. Matahari berpijar lemah tak bertenaga di ufuk. Gundukan demi gundukan tanah kering kerontang terhampar tak putus-putus hingga siluet lengkungnya tenggelam di horizon pengelihatan laki-laki itu. Bulu kuduknya berdiri serempak.

Hanya ia seorang yang berada di sana.
Maka ia bangkit dari tempatnya bersandar, melangkah ragu-ragu menuju entah mana, dengan kerikil-kerikil halus menggelitik telapak kakinya yang telanjang. Derap langkahnya teredam retakan halus tanah, sedangkan napasnya makin lama makin kencang memburu. Begitu pula degup jantung yang menggema hingga menimbulkan denyut-denyut keras di telinganya.

Laki-laki itu mulai cemas.

Khawatir.

Takut.

Sedetik kemudian cahaya benderang tiba-tiba saja jatuh dari langit, menyelimuti lanskap suram itu dengan pendaran yang membutakan mata. Refleks membuatnya mengalihkan pandangan. Ia terlalu kaget untuk sekedar memekik ataupun mengumpat. Cahaya putih terus merangsek ke dalam matanya, pedih dan perih. Ia angkat kedua tangannya melindungi wajah sambil melempar tubuh ke bawah. Berharap rasa sakit itu hilang.

Ketika beberapa saat kemudian cahaya tak lagi menyakitinya, ia mengejapkan matanya pelan, hati-hati. Apa itu tadi? Apa yang terjadi? Ia membatin sembari mengedarkan pandang ke sekitar.

Tentu saja ia terkejut, karena pemandangan yang sedari tadi ia lihat berubah drastis. Langit kelabu digantikan atap tinggi putih dengan lampu-lampu kecil setiap jarak beberapa meter. Tanah tandus yang ia pijak berganti dingin dan halus seperti kaca. Empat sisi tembok besar metalik membatasi ruang geraknya. Dan di hadapan laki-laki itu terdapat berderet-deret tabung transparan besar berisi cairan kebiruan. Belasan kabel kecil saling sambung-menyambung di antara deretan tabung raksasa itu, bersatu dengan kabel utama besar seperti pipa yang menghujam lantai, terhubung entah ke mana.

Ia berjalan mendekat. Pelan-pelan. Selangkah demi selangkah. Ia bergidik ngeri karena tabung-tabung itu tidak kosong. Belasan tubuh telanjang mengambang tenang di dalamnya, dengan mata tertutup dan rambut terurai layaknya sutra, seperti sedang tertidur pulas. Anak kecil, remaja, dewasa, hingga tua. Berambut hitam, merah, coklat, pirang, dan putih. Satu-satunya persamaan mereka adalah: semuanya perempuan. Sekali-dua kali, salah satu pompa di dasar tabung mengeluarkan gelembung-gelembung kecil dengan suara teredam, tanda oksigen merangsek masuk ke dalamnya.

Ia memalingkan wajah, merasa tidak pantas melihat perempuan-perempuan itu dalam keadaan sedemikian tak berdaya. Ia merasa mual. Insting primitifnya mengirimkan sinyal bahwa apa yang ada di depannya itu tak seharusnya dilakukan, tak seharusnya terjadi. Apapun itu. Pening mulai beranak-pinak di kedua pelipisnya yang berdenyut makin menggila. Kepalanya serasa ditusuk-tusuk jarum kecil puluhan kali. Tidak, ratusan kali.

Laki-laki itu mulai kesal.

Berang.

Marah.

"Di mana ini sebenarnya?!"

"Apa yang terjadi?!"

Ruangan langsung dipenuhi gema teriakan penuh emosi, tetapi hening yang menjawab amukannya. Tubuh-tubuh telanjang perempuan di dalam tabung tetap bergeming, tak ada satu hal pun yang mengganggu ketenangan mereka tertidur dalam larutan biru.

Untuk kedua kalinya cahaya putih yang entah berasal entah dari mana menyambar kedua mata laki-laki itu, membutakannya tiba-tiba. Ia mengerang, sekali-dua kali, setengah menduga sesuatu atau seseorang akan menyerang.

Tapi ternyata tidak. Begitu ia membuka mata, laki-laki itu sedang berhadapan dengan seorang remaja laki-laki berambut pirang yang sedang tersenyum simpul memandangnya. Ia terlalu terkejut untuk menyadari bahwa ia tak lagi berada di sebuah laboratorium aneh. Entah bagaimana tempat berubah lagi menjadi sebuah ruang sempit berlantai kayu dengan perapian di sudut. Api menyala sendu, seakan sudah letih membakar dirinya sendiri dan ikhlas untuk padam.

"Siapa kau?" ia bertanya pada orang di hadapannya yang masih tersenyum kecil. Derak nyala perapian bergaung lembut di antara mereka. Suasana terasa intim, familier dan..hangat. Namun itu justru membuat perasaan lelaki tersebut bergolak risih.

"Syukurlah, kau masih hidup. Apa kau baik-baik saja?" Suara remaja asing di hadapannya terdengar sejernih lonceng angin. Laki-laki itu berani bersumpah ia mampu melihat benih-benih air mata mulai muncul di sudut iris kebiruannya. Berapa usia bocah ini? 15 tahun? 16 tahun?

Laki-laki itu menggelengkan kepala. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Kau ini siapa? Apa yang kaulakukan padaku?!" Ia sengaja meninggikan intonasi di akhir, berusaha menekan remaja di hadapannya untuk menjawab. Ia butuh jawaban!

Yang ditanya terdiam sejenak, balas memandang mata laki-laki itu lekat-lekat, lalu menggeleng dengan air muka sedih bercampur lega dan segenap emosi lain yang tak sanggup dinamai. Kupu-kupu yang berhamburan di perut si laki-laki makin bergejolak tak nyaman, membuatnya ingin muntah.

"Kamu ingat siapa dirimu, Cy?"

Mata laki-laki itu terbelalak kaget, mulutnya menganga. Kata dan kalimat tercekat di tenggorokannya. Cy? Siapa Cy? Dirinyakah? Nama itu tak berarti apapun. Sama sekali tidak. Ia mengerutkan kening, mencoba menjangkau ingatan di dalam benaknya. Hanya ada ruang hitam pekat kosong yang ia temukan. Tak terisi secuil kenangan pribadi apapun...Dan itu yang paling membuatnya ngeri.

Tiba-tiba pedih hebat menghantam syaraf laki-laki itu. Merasuk hingga ke dalam tulang-belulang dan membuatnya jatuh terjengkang. Ia merasa api membakar tubuhnya dari dalam. Mulai dari dada hingga ke sekujur tubuh. Ia ingin berteriak minta tolong tapi tak ada suara yang keluar. Hanya wajah sayu si remaja pirang yang ia lihat terakhir sebelum sinar putih membutakan mata kembali menyambar penglihatan laki-laki itu, memerangkap tubuhnya dengan warna polos tak berbatas.

"Cyan..."

Rasa sakit pun hilang secepat kemunculannya. Lalu, laki-laki yang dipanggil Cyan itu membuka mata.

***

Cyan mengejap-ngejap memfokuskan pengelihatan. Semua tampak buram. Pandangannya hanya bisa menangkap siluet-siluet gelap dan titik-titik cahaya benderang yang terpaksa membuatnya kembali menutup mata. Sesuatu menggelitik hidungnya. Ia arahkan jari pada wajahnya sendiri, mencoba meraba benda apa itu. Ternyata sebuah masker plastik transparan yang dibentuk sesuai kontur hidungnya sendiri. Ia lepaskan benda itu cepat-cepat.

Kembali ia membuka mata, pelan-pelan mempelajari sekelilingnya. Sebuah ruangan dengan banyak sisi, mungkin lima atau enam, didominasi warna putih dan pastel. Ia sedang terbaring di sebuah ranjang empuk yang terletak di tengah ruangan. Ia mendongak. Langit-langit kamar berpendar seakan cahaya bersumber dari baliknya, tak ada lampu yang bisa ia lihat. Sebuah meja bundar kecil berada di samping ranjang. Segelas penuh air putih ditempatkan di atasnya. Cyan tak ingin minum walaupun ia merasakan haus mulai mencakari tenggorokan.

Ia meraba dadanya yang masih berdebar-debar kencang. Adrenalin masih melaju kuat di aliran darahnya. Cyan mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi barusan: Ia terbangun di sebuah tempat asing, kemudian berada di laboratorium tempat tabung-tabung cairan berisi belasan tubuh perempuan, lalu bertemu seorang pemuda yang..terasa familier baginya.

Cyan mengerutkan kening. Ia yakin itu cuma mimpi, khayalan yang didesain oleh alam bawah sadarnya. Namun bahkan khayalan pun tetap memiliki dasar peristiwa. Cyan bergidik ngeri membayangkan laboratorium yang ia lihat di benaknya tadi. Tubuh-tubuh perempuan hasil prosedur medis entah apa. Lalu soal remaja yang Cyan temui tadi. Siapa dia? Kenapa terasa sangat akrab rasanya melihatnya? Mendengar suaranya? Lalu, pertanyaan terbesar yang ingin ia jawab: siapa Cyan sebenarnya?

Ia menggelengkan kepala kuat-kuat lalu menghela napas panjang. Tidak ada gunanya terus memikirkan hal-hal yang tak mampu ia dapatkan jawabannya sekarang. Ia menerima fakta bahwa ia kehilangan ingatan. Amnesia. Ia tak bisa menggali detail sedikit pun tentang hal-hal personal, sekeras apapun ia berusaha. Mengingkari hal itu justru malah makin membuatnya lebih jauh dari menemukan jawaban. Ada hal-hal yang lebih penting dari itu semua, lebih urgent dan harus ia lakukan sekarang juga.

Misalnya, mencari pakaian.

Cyan turun dari ranjang, menapakkan kaki pada lantai ruangan yang ternyata tak sedingin kelihatannya. Ia berdiri agak bungkuk dengan tangan memeluk tubuhnya yang telanjang. Ia justru merasa paling tidak nyaman dengan keadaannya yang tanpa busana sedikit pun. Untung saja suhu udara terasa nyaman di sini, tidak terlalu panas ataupun dingin. Ia berkeliling menyusuri dinding putih yang mengungkung dirinya dengan ragu-ragu. Tak ada pintu yang bisa ia lihat, juga jendela. Bagaimana ia bisa keluar dari sini?

Bip

Suara itu terdengar bersamaan dengan dengung halus salah satu sisi dinding yang bergetar membuka dengan mulus, lalu menutup sejenak kemudian. Seorang wanita paruh baya berambut hitam dan berpakaian putih memasuki ruangan. Ia terlihat terkejut mendapati Cyan yang sedang berdiri di sudut, namun dengan cepat mengulas senyum.

Cyan lebih tertarik memandangi sebuah benda bulat metalik seukuran kepalan tangan yang berputar-putar di sebelah kepala wanita itu. Sebuah layar persegi kecil terpasang di salah satu sisinya, berkedip-kedip mengeluarkan cahaya merah. Robot?

"Hm...sudah sadar rupanya? MediBot* memang memprediksi kau akan sadar dalam beberapa menit. Tadinya aku tak percaya, tapi ternyata perbedaan fisik wanita dan laki-laki memang berpengaruh cukup besar terhadap kecepatan pemulihan dalam prosedur ini," ia berkomentar dengan suara serak yang terdengar janggal di telinga Cyan, entah mengapa.

Cyan tidak menjawab. Bicara saja terus. Aku memang butuh banyak informasi sekarang. Dengan atau tanpa amnesia.

"Tahu, kan? Karena kalian memiliki massa otot dan tulang yang lebih besar, juga prosentase lemak tubuh yang lebih minim dibanding kami. Kecepatan metabolisme juga berbeda," wanita tersebut melanjutkan dengan intonasi monoton yang terdengar tak acuh, seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

Cyan masih mengawasi wanita itu -yang ia asumsikan dokter atau suster- dengan pandangan tajam. Sekitar tiga atau empat meter jarak yang tersisa di antara mereka sudah cukup bagi Cyan untuk melakukan sesuatu kalau memang dibutuhkan. Apapun itu.
Maka ia hanya diam, mendengarkan, mengawasi.

"Berdasarkan pemindaian diagnostik MediBot, tidak ada komplikasi apapun dari operasi yang kami lakukan padamu beberapa saat lalu. Tekanan darah, frekuensi respirasi, denyut nadi...semua normal-normal saja. Tentu, pemeriksaan lanjutan harus terus dilakukan. Hm...Apa kau merasa pusing? Mual?"

Operasi apa yang mereka lakukan padaku? Apa ada hubungannya dengan amnesiaku? Cyan membatin. Ia memang merasa pusing dan mual, tapi itu lebih dikarenakan berada di tempat ini, menjalani operasi entah apa, oleh orang yang tak ia kenal, tanpa ingatan secuil pun.

"Tunggu, apa kau bisa paham apa yang kukatakan? Bahasa apa yang kaugunakan di Bumi sana?" wanita itu bertanya dengan kening berkerut.

Cyan ragu. Mengakui itu memang menguntungkan dirinya. Ia bisa dapat jawaban lebih cepat, komunikasi lebih lancar, dan sebagainya. Dengan asumsi wanita di hadapannya berkata jujur, dan tak punya niat buruk dengannya. Tapi berpura-pura tak paham pun memiliki keunggulan sendiri. Insting pertahanan diri alami yang ia miliki menyuruhnya untuk amat berhati-hati di tempat asing ini. Ia tidak tahu apakah dirinya berada dalam bahaya, atau mereka berniat mencelakakan dirinya atau tidak. Lagipula, apa maksudnya di Bumi sana? Memang ia berada di mana sekarang? Terlalu banyak hal-hal tidak jelas yang membuatnya makin meningkatkan kewaspadaan. Maka Cyan memilih diam.

Perawat itu mengerucutkan bibir. Ia mendekati Cyan dengan langkah santai. Robot bundar itu -MediBot?- melayang mengikuti gerakannya. "Hmm...tidak masalah kalau begitu. Prosedur operasi Cloud Nine biasa saja. Tinggal membedah otakmu dan memasang implan NeuroCloud. Mudah."

Cyan mencelus. Gelombang dingin merambati tengkuk hingga sekujur tubuhnya. Pikirannya langsung dipenuhi gambaran mengenai tubuh-tubuh perempuan di dalam larutan yang tadi ia lihat dalam mimpinya. Wanita ini salah besar kalau berharap Cyan akan mengikuti keinginannya untuk dibedah otaknya dan dipasangi implan neuro apalah seperti tikus lab. Salah besar.

Cyan berjalan mendekati segelas air yang tersedia di atas meja, lalu meraih gelas itu dengan dua tangan. Ia tak berniat mencicipi air itu sedikit pun, siapa tahu ada zat aneh yang terkandung di dalamnya. Gelas itu terbuat dari kaca biasa, dan dari sentuhan sejenak yang ia lakukan, meja tersebut terbuat dari logam keras. Sempurna.

Ia berpura-pura pusing hebat tiba-tiba melanda dirinya. Bukan hal sulit, karena memang ia masih merasa lemas di sekujur tubuh, mungkin karena operasi yang tadi dikatakan si perawat. Ia memejamkan mata erat dengan tangan memijit kening sambil mengerang kesakitan. Sandiwara Cyan langsung membuat wanita itu tergopoh mendekat. Ketika jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa senti saja, Cyan bertindak.

Ia membanting gelas pada permukaan meja. Kaca gelas pecah dengan suara derak keras. Air menciprat, sebagian ke tubuh Cyan dan wanita itu, sebagian lagi tertumpah ke lantai. Cyan langsung mengambil pecahan kaca terbesar dan mengarahkannya pada leher wanita di depannya. Wanita tersebut membelalakkan mata. Ekspresinya terkejut bercampur takut.

"Diam. Jangan teriak. Jangan minta tolong. Jangan bertindak bodoh."

Ia mengarahkan sebelah kepalan tangan menghantam MediBot yang melayang di antara mereka berdua. Cukup satu pukulan keras saja, benda tersebut langsung mengeluarkan suara statis listrik yang bercericit seperti burung gereja, lalu menghujam lantai. Wanita yang ia sandera tersentak kaget.

"Mengangguk kalau kamu mengerti."

Cyan menambah tekanan pada pecahan gelas, sekedar untuk menegaskan apa yang ia maksud. Tajamnya menembus leher wanita itu, membuat setitik darah muncul di lehernya yang pucat. Wanita itu mengangguk pelan sambil menelan ludah berkali-kali. Keringat mulai mengalir dari keningnya. Cyan bisa merasakan tubuh wanita itu mendadak kaku karena syok.

Cyan berusaha menggerus rasa kasihan yang muncul di dadanya melihat kengerian yang terpancar di air muka wanita paruh baya tersebut.
Ia tahu bahwa rasa kasihan justru berisiko membahayakan nyawanya. Jadi ia memaksa rasa iba untuk enyah jauh-jauh. Prioritas utama adalah keluar dari tempat ini sebelum pisau bedah menyentuh pelipisnya.

Benak Cyan bekerja keras memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri. Ia punya senjata, betapa pun remehnya. Ia punya sandera, seorang wanita yang terlihat tak berdaya. Sekarang, ia hanya butuh informasi.

"Mari ngobrol sebentar. Siapa namamu?"

"Ly-Lyra. Dr. Lyra."

"Ah, dokter toh ternyata? Baiklah, Dr. Lyra. Tunjukkan aku jalan keluar dari sini sekarang juga. Oh, ngomong-ngomong, tahu di mana aku bisa dapat pakaian? Aku tak bisa bilang aku nyaman berduaan dengan wanita seumuranmu dalam keadaan telanjang bulat begini."

(Bersambung)

***

"Glosarium"

MediBot: Medical Robot. Robot yang digunakan sebagai asisten dokter dalam berbagai prosedur medis.

Vote/komen/kritik/saran ditunggu ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top