50 - Babak Baru
[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.
Selamat Membaca!
✬✬✬
Warna keemasan dengan logo yang khas itu tampak dominan pada gedung berlantai 50 itu. Orang bersetelan rapi berlalu lalang di lobi besarnya, menyibukkan diri mereka dengan tugasnya masing-masing. Melewati logo elang keemasan yang terpasang di tengah Gedung A, basis union Eagle Eye.
Eagle Eye. Union yang hampir berumur 8 tahun itu, merupakan satu-satunya union tertua yang masih bertahan hingga sekarang. Salah satu union yang mempelopori diadakannya 5 tahapan babak Venturion sejak 5 tahun yang lalu.
Selain sebagai union yang bertahan paling lama, mereka juga tercatat sebagai union dengan kemenangan terbanyak selama satu dekade terakhir. Menjadikan Eagle Eye sebagai union paling bergengsi yang digadang-gadang sebagai wajah negara mereka.
Lantai marmer bermotifkan geometri itu tampak mengkilap. Mungkin lebih mengkilap daripada besi karat yang dipoles berkali-kali. Namun, kilapan itu berbanding terbalik dengan riak muram yang terpancar dari wajah wanita berambut pink blonde itu.
"Kau tahu kenapa aku menyuruhmu kemari?" tanya Alastair yang tengah menggunting beberapa dahan tanaman bonsai yang tidak berguna.
"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Callana lirih karena nyalinya menciut.
Suara pangkasan dahan itu terdengar cukup keras di telinga Callana. Wanita itu menelan ludahnya susah payah karena merasa kecanggungan yang tidak tertahankan. Alastair masih menatapnya dalam diam selama beberapa saat. Lalu meletakkan guntingnya dan menghampiri Callana yang berdiri di depan mejanya dengan kaku.
"Apa kau melakukan kesalahan?" tanya laki-laki itu yang mengulangi pertanyaan Callana sembari menangkup wajah Callana dengan tangan kanannya.
"Kau melakukan kesalahan yang besar, Calla," ujarnya dingin dengan sedikit mendorong wajah wanita itu hingga dia jatuh berlutut.
"Aku mohon, maafkan aku Al! Aku janji tidak akan mengulanginya lagi!" mohonnya dengan terduduk di lantai.
"Tidak akan mengulanginya lagi? Bahkan perbuatanmu ini tidak akan aku maafkan! Berani-beraninya kau merusak calon aset berhargaku, Callana!" berang Alastair dengan mata biru yang mengkilat.
Callana membelalakkan matanya. Dia memang sudah pernah melihat kemurkaan Alastair sebelumnya. Namun, kemarahan laki-laki itu sekarang tampak lebih mengerikan. Kenapa dia bisa semarah ini hanya karena dirinya melukai wajah gadis Wanner itu?
"Kenapa kau seperti ini? Melukai seseorang di Venturion itu hal biasa, Al!" bela Callana.
Callana tidak tahu apa dipikirkan oleh Alastair saat ini. Setelah pengumuman Alastair kemarin, rasanya dia ingin meluapkan amarahnya kepada laki-laki itu. Dia tidak terima dengan keputusan Alastair yang menerima Amaryllis pindah ke Eagle Eye.
Kenapa Alastair membuat keputusan yang terdengar konyol di telinganya? Apakah yang dia lakukan selama ini belum cukup untuk memenuhi ambisinya?
Suara keras pecahan vas keramik yang dilemparkan membuatnya terdiam dalam sekejap. Pecahan-pecahan itu tersebar ke lantai mulus itu. Menandakan kemarahan sang pelempar kini sudah mencapai puncaknya.
Alastair menatap Callana tajam. "Apa kau lupa dengan siapa dirimu sebelumnya?"
"Kau hanyalah batuan sungai yang aku pungut dan aku poles dengan emas. Apa kau lupa?" geram laki-laki itu sinis seraya merogoh sesuatu dari laci mejanya dengan kasar.
"Seorang gadis muda dan ibu remaja yang terpuruk dalam kemiskinan di tengah kilauan Chroma. Yang dulunya hanya bisa mengenakan pakaian bekas dan memakan sisa orang lain. Sekarang bisa mengenakan pakaian bagus dan menikmati hidangan terbaik di Noffram!" berang Alastair dengan melemparkan foto bocah laki-laki berusia 7 tahun yang ia genggam.
Callana mengetatkan rahangnya. Tangannya menggenggam ujung rok yang ia kenakan dengan erat. Suaranya seolah tertahan di tenggorokannya.
Callana hampir melupakan kebiasaan buruk Alastair. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan untuk mencari titik kelemahan rekannya. Titik terlemah yang dapat ia gunakan untuk memuluskan jalan ambisinya.
"Jangan coba-coba menyentuh anakku!" geram Callana.
Alastair menundukkan badannya untuk mengimbangi posisi Callana yang bersimpuh di lantai. Iris birunya itu tampak mengkilat. Tangannya menyentuh rambut terang wanita itu dengan gerakan yang lembut.
"Apa kau lupa siapa yang menjadikanmu seperti sekarang? Yang menolongmu dan anakmu itu?" desis laki-laki bermata biru itu. "Aku hanya memintamu mematuhi perintahku, tapi kau malah bertindak seenaknya sendiri!"
Callana hanya menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap langsung kedua mata Alastair yang membara. Tangan wanita itu tampak bergetar di atas pangkuannya.
"William mengalami gegar otak ringan, beberapa tulang rusuknya bahkan patah dan menciderai paru-parunya. Kau sudah membuat nyawa William terancam karena mengabaikan perintahku. Dan kau juga sempat-sempatnya menyerang Amaryllis dengan buruk," papar Alastair tersenyum kecut.
"Semua tindakan barbarmu itu hampir membuat rencanaku gagal!" geram Alastair dengan sedikit menarik rambut halusnya hingga Callana mendongakkan kepalanya.
Callana menggigit bibir bawahnya. "Maaf ... maafkan aku, Alastair. Aku memang terlalu gegabah," ujarnya lirih karena ketakutan.
Alastair tersenyum miring. "Aku akan mengampunimu. Tapi, kau tetap harus membayar perbuatanmu dengan mahal," jawab laki-laki itu dengan melepaskan genggamannya pada rambut indah Callana.
Callana tersentak. "Tidak! Tolong berikan aku satu kesempatan lagi!" sergah Callana yang mencoba meraih kaki laki-laki itu.
"Tenang saja. Aku tidak akan menyentuh apa yang aslinya memang milikmu. Aku hanya akan mengambil apa yang aslinya milikku," ujar laki-laki seraya mencopot dengan paksa pin elang yang terpasang di kerah baju Callana.
"Tidak! Aku mohon padamu, Alastair! A-aku ... Will ... William bisa menjelaskannya padamu-," ujar wanita itu parau yang bersimpuh dengan posisi hampir bersujud ke lantai.
"William tidak ada di sini untuk membelamu! Bawa dia pergi dari sini!" perintah Alastair kepada pengawalnya.
"Apa kau ingin membuangku seperti Elise!" pekik Callana tatkala pengawal mulai memegang tangannya.
"Setidaknya Elise masih berguna walaupun sudah aku depak," decih laki-laki itu.
"Al! Tolong jangan lakukan ini. Kau tidak bisa melakukan ini kepadaku! Aku sudah melakukan segalanya untukmu! Alastair!" teriak Callana ketika para pengawal menyeretnya keluar dari ruangan itu.
✬✬✬
Amaryllis tampak menghela napasnya pelan. Sehari setelah pengumuman kemarin, dia langsung mengurus kepindahannya. Tidak ada waktu lagi baginya untuk bernapas lega. Dia harus segera memulai babak baru hidupnya setelah memutuskan untuk bergabung dengan Eagle Eye.
Gadis yang sekarang terkenal seantero Centrus itu termenung di dalam kamarnya. Sesekali dia masih membaca ulasan berita mengenai kepindahannya ke Eagle Eye. Seperti yang dikatakan Lucia, semua orang tampaknya masih terkejut dengan keputusannya.
Hari ini gadis itu mengemasi barang-barangnya. Ia memantapkan hatinya sebelum keluar dari sana. Sebelum dirinya benar-benar pindah dan menetap ke tempat baru yang dielu-elukan oleh banyak orang.
Di sela aktivitas berberesnya. Hanya satu orang yang terbesit di benaknya. Seseorang yang tanpa ia sadari sudah menjadi bagian penting dalam kisah hidupnya.
"Apa kau benar-benar semarah itu padaku, Sam?" gumam Amaryllis lemah.
Pertemuan terakhir mereka yang terkesan buruk masih membayanginya. Kerisauan itu mulai mengambang ke permukaan lagi. Melingkupi dirinya yang sudah berjalan sejauh ini. Seandainya dia bisa memutar balikkan waktu, apakah dia akan memilih jalan yang berbeda?
Suara dentingan bel pintu membuat kesadarannya kembali. Amaryllis sontak membukakan pintu kamarnya. Membiarkan wanita berambut perak itu masuk dengan buah tangannya.
"Kau datang cepat sekali, Lucia!"
"Kau tahu, aku masih marah padamu, Amy," gerutu Lucia dengan membawa satu cup es teh chamomile itu. "Aku hanya minum ini saat aku stress. Ini untukmu," ujarnya dengan memberikan cup itu kepada Amaryllis.
"Terima kasih, sepertinya aku juga butuh ini," jawab Amaryllis dengan sedikit menyeruputnya.
"Kenapa? Kau itu sudah menggemparkan seluruh Noffram," tanya Lucia yang melihat wajah muram Amaryllis.
"Jujur saja, kepindahanmu ini masih memberiku terapi syok. Bahkan Cress Inc saja sampai mengirimimu banyak hadiah karena mereka tetap ingin menjadi sponsormu," desah wanita itu dengan memegangi kepalanya.
"Apa aku tidak boleh pindah?" tanya Amaryllis balik.
Mulut Lucia tenganga. "Bukannya tidak boleh, Sayang. Hanya saja orang-orang tidak menyangkanya. Tapi benar-benar tidak ada yang memaksamu untuk pindah ke sana kan?" tanyanya memicingkan mata.
Amaryllis mengerucutkan bibirnya. "Tidak ada," dusta Amaryllis yang kembali meminum tehnya. "Ini enak!"
"Tapi apa alasannya? Aku pikir kau sudah betah di Red Thunder?" tanya Lucia lagi yang menuntut penjelasan lebih rinci.
Amaryllis meletakkan gelasnya ke atas meja. Pertanyaan itu bukanlah pertayaan pertama yang ia dengar, karena Travis juga menanyakan hal yang sama kepadanya kemarin. Laki-laki itu mendatanginya tepat setelah dia kembali dari kamar inap Samuel.
"Aku hanya sedang berusaha mencari jawaban dari suatu hal," ungkap Amaryllis dengan tersenyum tipis.
Wanita itu mengangkat kedua alisnya. "Jawaban semacam apa yang kau cari dengan pindah union?" dengusnya pelan.
Amaryllis mengangkat bahunya. "Pokoknya sesuatu."
Lucia menghela napasnya panjang. "Sebenarnya tidak masalah kau mau pindah ke mana atau ikut siapa. Tapi Amy, apa kau benar-benar yakin memilih Eagle Eye?" tanya Lucia lagi.
"Aku yakin. Jika aku ragu maka aku tidak mungkin menandatangani kontraknya," jawab Amaryllis.
Wanita itu melebarkan matanya. "Baiklah! Kalau kau yakin maka aku juga akan yakin."
"Yakin untuk apa?" tanya Amaryllis yang bingung.
Lucia menggenggam tangannya erat. "Aku juga telah meyakinkan diri untuk ikut denganmu!"
"Apa maksudmu?" sergah Amaryllis.
"Kau itu museku! Tanpamu, bagaimana aku bisa mendapatkan inspirasi untuk karyaku, Amy!" jawab wanita itu yang membuat Amaryllis terbelalak.
"Kau masih bisa mendapatkan inspirasi tanpa harus mengikutiku," sanggah Amaryllis dengan dahi yang mengernyit.
"Itu akan berbeda hasilnya! Lagi pula, kau pasti butuh teman di sana. Jika kau butuh teman mengobrol atau untuk hal lain, aku akan selalu ada untukmu," ujar Lucia dengan tersenyum lebar. "Kita kan teman."
Amaryllis merasa hatinya yang menghangat. Dia tidak menyangka bahwa Lucia akan bertindak sejauh ini untuknya. "Terima kasih banyak, Lucia. Kau sudah banyak membantuku hingga sekarang," ucap Amaryllis yang merasa haru karena ada orang yang peduli padanya di titik ini.
✬✬✬
2021 © Anna Utara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top