44 - Arachnida

[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.

Selamat Membaca!

✬✬✬

Rasa pening itu masih menyergap kepalanya. Bau daun kering yang terbakar tercium jelas di ujung penghidunya. Walaupun rasa ngilu itu masih terasa, tetapi sekarang sudah cukup berkurang.

Gadis itu mencoba untuk duduk di sebelah perapian kecil yang masih menyala. "Ah!" ringisnya ketika denyutan di kepalanya terasa begitu menusuk.

Amaryllis mulai membuka lebar matanya. Mengamati di mana dia berada sekarang. "Apa ini? Dari mana?" tanyanya yang melihat perban yang melilit lengan dan juga kasa yang menutupi pipinya.

Ketika suara patahan ranting itu terdengar di telinganya, Amaryllis langsung mengacungkan panah yang ia ambil dari sisi tubuhnya.

"Kau sudah bangun?"

"Sam?" gumam Amaryllis dengan tampang yang masih sedikit linglung.

"Kau bisa menurunkan panahmu, Amy," ujar Samuel yang datang dengan membawa air.

"Apa yang terjadi? Berapa lama aku seperti ini?" tanya Amaryllis sembari memegangi kepalanya.

"Kemarin kau meledakkan banyak Eleceiba," jawab Samuel dengan merentangkan tangannya lebar-lebar, berusaha menjelaskan seberapa banyak jumlahnya.

"Kemarin? Jadi aku seharian tidak sadarkan diri?"

"Minum ini dulu," ujar Samuel seraya mengulurkan botolnya kepada Amaryllis.

"Terima kasih."

"Apa kau lupa kalau Eleceiba itu dapat berefek besar bagi saraf tubuhmu?" tanya Samuel sedikit mendengus. "Yang kau lakukan itu berbahaya, Amy," tegurnya.

"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Amaryllis meringis.

"Lalu bagaimana dengan Callana? Kau juga baik-baik saja kan?" tanya Amaryllis kemudian.

"Aku sudah mengirimnya keluar bersama dengan Isabella, Erica, dan salah satu anggota Phoenix."

"Lalu William?"

"Dia berhasil kabur."

Amaryllis mengerutkan dahinya. Pikirannya membuncah. Ia mencoba mengumpulkan jiwanya yang terpencar setelah tak sadarkan diri cukup lama.

"Oh Amy!" seru sosok yang Amaryllis kenali itu ketika dia menghampiri mereka dengan membawa beberapa bahan makanan.

"Hans!" seru Amaryllis.

"Aku bertemu dengannya tadi pagi. Sayangnya Clara sudah tereliminasi duluan kemarin," ujar Samuel.

"Iya. Anak-anak Black Rose berhasil menyerang kami dan mendapatkan salah satu tokennya. Sayangnya aku tidak bisa membantu Clara karena terbawa longsoran," papar Hans.

"Sayang sekali mereka mendapatkannya, tapi tidak apa-apa. Kita akan segera menemukan yang lain,"ujar Samuel.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Samuel yang memperhatikan gadis itu lagi.

"Aku rasa sedikit membaik, hanya saja masih pening," jawab Amaryllis.

"Tapi dari mana kau mendapatkan semua ini?" tanya Amaryllis sembari menunjuk perbannya.

Laki-laki yang ia tanya itu hanya tersenyum canggung. "Kau menggunakan tokenmu?" sergah Amaryllis.

"Keadaannya genting. Luka sayatmu itu lumayan parah, jadi aku meminta satu set perlengkapan medis yang cukup lengkap. Selain itu, aku harus segera membuatmu sadar setelah tersetrum Eleceiba dalam jumlah yang banyak," papar Samuel yang terdengar sedang membela diri.

"Sam!"

"Ini juga bisa berguna untuk kita nanti," dalih Samuel yang membuat Amaryllis mendengus pasrah.

"Lihat! Sayatan di lengan dan pipimu itu sangat parah. Kalau aku tidak segera menanganinya, itu akan meninggalkan bekas," ujar Samuel sembari menyiapkan beberapa kasa untuk mengganti balutan luka Amaryllis.

"Lalu apa masalahnya kalau berbekas? Masih tersisa beberapa hari lagi, kau bisa menggunakan barcodemu untuk kepentingan lain," dengus Amaryllis.

"Akan cukup buruk bagi seorang wanita jika dia memiliki bekas luka di wajahnya," jawab Samuel dengan tersenyum lembut sebelum melepaskan balutan kasa di wajah Amaryllis.

Gadis itu meringis kesakitan. Rasa perih itu seolah membakar wajahnya. Walaupun Samuel sudah menyemprotkan recure, tetapi tetap saja masih terasa begitu sakit.

"Kemarikan Hans!" ujar Samuel meminta daun pohon yodium yang mereka petik tadi.

"Aku tidak tahu kau mengenali tanaman semacam ini," celetuk Amaryllis dengan sedikit menggertakan gerahamnya untuk menahan rasa nyeri.

"Aku lebih dulu terjun di Venturion. Jangan kira aku tidak tahu tanaman sederhana seperti ini," tanggap Samuel menghela napasnya panjang.

"Ini akan terasa sedikit perih," ucapnya sebelum mengoleskan getah daun itu ke pipi Amaryllis.

Gadis itu memejamkan matanya dengan mendesis pelan. Dia tidak mengira rasa perih itu akan separah ini.

"Callana berhasil menyayat pipimu cukup dalam," ujar Hans dengan membulatkan matanya karena melihat luka iris yang menganga di pipi Amaryllis.

"Aku tahu, dia berhasil menyayatku dari jarak yang sangat dekat," ringis Amaryllis.

"Aku akan membuat perhitungan dengannya nanti," gumam Samuel lirih.

"Ya?" tanya Amaryllis yang tidak terlalu jelas mendengar gumaman Samuel.

Setelah mengobati dan mengganti kasa di pipi Amaryllis, Samuel lantas memegang sebuah perban. "Lenganmu," minta laki-laki itu.

"Aku bisa melakukannya sendiri," jawab Amaryllis yang mengambil perban yang dipegang laki-laki itu.

"Baiklah," jawab Samuel dengan sedikit mengangkat tangannya.

"Jadi Hans, selain Black Rose siapa lagi yang kau temui?" tanya Samuel.

"Carlos Hank dari Antares, selain itu aku tidak tahu. Tapi sebelumnya aku dan Clara berhasil mengeliminasi Paul dan Gemma Antares, lalu Suzan Eagle Eye," jelas Hans.

"Wow, itu berarti Antares tidak punya kesempatan lagi di sini," ujar Samuel terkekeh.

"Aku bisa lihat polanya sekarang. Kemungkinan yang tersisa adalah William, Gavin, Carlos, dua anggota Black Rose, lalu aku pikir Vivian juga masih di sini," lanjutnya.

"Kita masih bertiga, jumlah kita masih unggul dibandingkan mereka. Lalu kita, Black Rose, dan Eagle Eye masing-masing memiliki satu token. Itu artinya masih tersisa dua token yang belum diklaim, jadi kita harus bergegas mendapatkan salah satunya hari ini," ujar Hans.

"Hans benar. Kita harus mendapatkannya hari ini. Kemudian di hari terakhir, kita hanya perlu merebut satu token lagi dari peserta lain," jawab Samuel dengan mengelus dagunya sendiri.

"Harusnya kau mencari token itu dulu kemarin," tegur Amaryllis lirih kepada Samuel.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu, kau lebih penting."

Amaryllis mengangkat sebelah alisnya. Sementara itu, Samuel memasukkan barang-barang yang tersisa ke dalam tas. Dia kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Amaryllis berdiri.

"Kita harus bergegas," ujar Samuel yang mengajak mereka untuk bergerak.

Amaryllis menghela napasnya. "Jadi sekarang harus ke mana?" tanyanya.

"Kita akan masuk ke gerbang pohon itu," tunjuk Samuel.

Mereka bertiga sudah berdiri di depan gerbang pohon itu. Mereka sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya karena terhalang oleh pagar tanaman yang tinggi.

"Kau yakin belum ada yang masuk ke sini?" tanya Amaryllis.

Samuel mengangguk. "Peserta lain yang aku lihat pergi ke arah tenggara kemarin. Tidak ada satu pun orang yang kemari."

"Bagaimana cara membuka pintunya?" tanya Hans yang menunjuk akar lebat yang menutupi sisi depan gerbangnya.

"Mungkin dengan ini bisa," jawab Samuel seraya mengambil segitiga yang mereka punya sejak mendapatkan token pertama dan menempelkannya ke dinding itu.

Benar saja tebakan Samuel. Setelah memindai segitiga itu, akar yang menutupi gerbang itu mulai terbuka sendiri. Saat sudah terbuka dengan lebar, mereka dapat melihat ada tempat lain yang berada di balik gerbang pohon itu.

"Jadi apa selanjutnya?" tanya Hans.

"Kita akan masuk ke dalam," jawab Samuel seraya melangkah masuk duluan.

Mereka mengamati tempat itu dengan hati-hati. Tembok tanaman yang tinggi menghalangi pandangan. Mereka masih tampak awas ketika melewati lorong gelap tanaman merambat yang ada di sana.

"Jadi ini tempat si pemintal? Di sini terlalu sunyi," ujar Amaryllis pelan.

"Mungkin," jawab Samuel.

"Em ... teman-teman? Apa kalian tahu ini kulit telur apa?" tanya Hans yang menemukan sesuatu yang aneh itu.

Samuel mengambil benda lonjong yang diselimuti oleh bahan semacam serat kapas. Dia mengamatinya dengan saksama. Sepertinya dia pernah menjumpai benda semacam itu saat turun ke Valka 3 tahun yang lalu.

"Jika tebakanku benar, sepertinya ini milik si pemintal," ujar Samuel tersenyum miring.

"Tapi ini mirip dengan telur serangga," ujar Amaryllis.

"Benar. Ini memang bungkus telur arachnida. Kita harus bergerak cepat," tanggap Samuel.

"Maksudmu tarantula raksasa?" sergah Hans.

"Tarantula?" gumam Amaryllis yang masih mengikuti Samuel dari belakang.

"Semuanya jadi masuk akal. Kita harus menghindari jaring-jaringnya yang sangat lengket," ujar Samuel.

Amaryllis mulai berpikir sebesar apa tarantula itu hingga Hans saja menyebutnya raksasa. Namun, daripada berpikir tentang ukurannya, sebenarnya dia lebih khawatir tentang apa yang dapat dilakukan oleh tarantula itu. Seberapa berbahayanya dia?

Semakin dalam mereka memasuki tempat itu, justru tempatnya menjadi semakin terang. Amaryllis melihat banyak tumbuhan bioluminesensi yang memancarkan cahaya. Matanya membulat tatkala melihat rumput dan tanaman yang ada di sana semakin berpendar dalam kegelapan. Namun, ketika dia mendongak ke atas, ia justru menangkap sebuah jaring sutra raksasa yang menggantung di atas mereka.

"Sam," panggilnya dengan lirih dengan sedikit menarik lengan laki-laki itu agar dia mengikuti arah pandangnya.

Bersamaan dengan keheningan yang tercipta. Suara dersikan dan derakan dari balik rimbun daun terdengar oleh pendengaran mereka. Mereka bertiga sontak menolehkan kepalanya ke sumber suara.

"Lari!" seru Samuel di saat tarantula raksasa itu muncul dari balik kegelapan dengan mata merah yang menyala.

Kaki-kaki mereka bergerak dengan gesit. Mencoba berlari secepat mungkin sebelum tarantula itu menggapai mereka. Kaki-kakinya yang panjang dan berbulu itu ternyata bergerak jauh lebih cepat dibandingkan dengan kaki mereka.

"Bagaimana ini?" sergah Amaryllis yang panik.

"Dia hanya satu kan?" tanya Hans yang berlari di sampingnya.

"Aku tidak tahu! Pancing dia ke tempat terbuka!" seru Samuel yang kini berlari di depannya.

Amaryllis beberapa kali tersentak akibat suara jeritan yang makhluk itu buat. Tarantula itu sangat mengerikan dengan kaki panjang dan mulut berbulunya. Dia tidak habis pikir bagaimana cara Centrus menciptakannya.

"Ke sana!" tunjuk Amaryllis ketika dia melihat ada sisi tanah yang lapang tanpa ada atap daun di atasnya.

Mereka berbondong-bondong menuju ke tempat itu. Tarantula yang masih mengejar meraka pun ikut menuju ke sana. Serangga besar itu masih mengincar mereka.

Melihat tarantula itu semakin mendekat, Amaryllis lantas menyiapkan panahnya.

"Jangan tembak di situ, Amy!" cegah Samuel ketika Amaryllis akan menembak kaki tarantula. "Di sana!" tunjuk Samuel kepada bagian lembut yang ada di bawah tubuh serangga itu.

Amaryllis mencoba menembaknya dengan panah. Namun, dia meleset untuk mengenai bagian bawahnya. Tarantula itu tampak semakin menggila.

"Alihkan dia dengan suarmu!" perintah Samuel kepada Hans untuk menyalakan batang suar.

Ketika cahaya merah suar itu dinyalakan. Tarantula itu mengalihkan perhatiannya kepada Hans. Dia bersiap untuk mengejar pemuda itu.

"Ini buruk!" sergah Hans yang berusaha berlari menghindari kaki-kaki berbulu yang mencoba meraihnya.

"Tokennya ada di bawah tubuhnya!" tunjuk Samuel kepada benda berkedip yang ada di sana. "Tahan dia dengan panahmu, aku akan mengincar bagian perutnya," perintah Samuel dengan menyiapkan pedangnya.

"Ini cukup sulit, Sam," desah Amaryllis seraya kembali menyiapkan anak panahnya.

Meskipun bioluminesensi menerangi tempat itu, tetapi memanah di tempat redup lebih sulit jika dibandingkan dengan di tempat terang. Amaryllis harus menajamkan penglihatannya dua kali lipat. Ditambah dengan lengannya yang terluka, membuat gerakannya semakin terbatas.

Amaryllis mengamati pergerakan serangga itu. Dia mulai mengambil ancang-ancang dengan meregangkan tangannya. Lalu mengarahkan sebuah anak panah yang siap untuk ditembakkan.

Samuel dan Hans dengan berani maju ke depan serangga itu. Mereka masih berupaya membuat tarantula itu menunjukkan titik lemahnya. Menyerangnya dengan pedang dan suar yang mereka pegang.

"Sekarang!" seru Samuel yang memberikan sinyal agar Amaryllis menembakkan panahnya.

Satu panah biru berhasil mengenai bawah tubuhnya. Aliran listrik yang menjalar di bulunya membuat tarantula itu berjingkat. Sebelum tarantula itu bergerak lebih liar, Amaryllis menembakkan sebuah panah merah.

Tidak cukup dua, Amaryllis kembali menembaknya dengan beberapa panah lagi. Serangga besar itu semakin belingsatan karena panah yang menusuk dada dan perutnya. Kaki-kaki panjangnya itu berjingkat tinggi karena sengatan listrik yang masih mengalir ke seluruh tubuhnya.

Melihat kesempatannya yang ada di depan mata. Samuel lantas menyiapkan pedangnya kemudian meluncur tepat ke bawah tubuh tarantula itu. Dia mengarahkan pedangnya ke atas untuk bagian perutnya.

Sedangkan Hans, melompat ke atas tarantula itu dan menusuk kepalanya. Setelah pergulatan yang cukup alot. Akhirnya mereka berhasil melumpuhkan serangga berparu-paru buku itu.

"Kita berhasil!" seru Amaryllis seraya berlari menuju ke arah Samuel.

"Ini dia tokennya," ujar Samuel mengambil benda berkedip berbentuk juring yang mencuat keluar dari belahan perut tarantula.

Hans menatapnya dengan bergidik. "Ini menjijikan," ujar Hans saat melihat cairan biru pucat yang ada di mana-mana.

Sebuah proyeksi hologram kemudian muncul melalui benda itu. "Selamat datang di juring empat. Kalian telah berhasil menemukan token arena sesuai dengan petunjuk yang telah kami berikan. Saat ini semua token sudah berhasil diambil oleh para peserta. Pergilah ke sentral dan buktikan bahwa kalianlah yang pantas untuk menjadi pemenang Venturion yang ke 64! Semoga kemakmuran dan kedamaian selalu menyertai kita semua!"

Mereka bertiga bersorak ria, "Kita berhasil! Tinggal langkah terakhir!"

"Jadi langsung keluar dari sini dan menuju ke sentral?" tanya Amaryllis bersemangat.

Samuel langsung merebahkan tubuhnya ke rumput. "Bisakah kita istirahat sebentar? Hanya 30 menit," ujarnya.

"Iya, benar!" timpal Hans yang juga ikut merebahkan tubuhnya.

Amaryllis tertawa kecil dan ikut bergabung dengan mereka. Dia mencoba mengatur napasnya yang hampir habis. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak di bawah kilauan kunang-kunang, sebelum kembali berpacu dengan waktu di akhir permainan.

✬✬✬

2021 © Anna Utara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top