31 - Crashing Down
[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.
Selamat Membaca!
✬✬✬
Samuel berjalan dengan langkah yang terburu-buru. Kakinya menghentak dengan keras, kedua tangannya yang mengepal itu berayun secara bergantian. Bergegas dalam pikirannya yang kalut.
Samuel bahkan menghiraukan Travis yang mencegahnya pergi dari Biro Medis setelah ia menyelesaikan babaknya. Dia hanya memiliki satu tujuan sekarang. Pergi ke ruangan Frans Hwann secepat yang ia bisa.
Suara gebrakan akibat pintu yang dibuka secara paksa itu terdengar menggelegar. Dia masuk tanpa mengetuk maupun menekan bel yang ada di sana. Mata gelapnya mendapati Frans yang terkejut karena kehadirannya.
"Samuel? Bukankah kau harus melakukan pemeriksaan dulu?" tanya Frans kepada Samuel yang sudah kehilangan sumbu kesabaran.
"Frans!" bentak Samuel dengan wajah geramnya.
Urat-urat di leher dan dahinya itu tampak menonjol keluar. Dia mengepalkan tangan dengan erat. Berjalan menuju ke arah Frans, lalu melayangkan sebuah pukulan keras ke wajah mulusnya.
"Apa ini!" pekik Frans yang terhuyung ke belakang.
"Kau! Apa yang kau lakukan di belakangku, huh!"
"Apa maksudmu?!"
Samuel memejamkan matanya sesaat, mengetatkan rahangnya sembari meremas jari-jarinya. "Apa yang kau lakukan dengan aset Red Thunder!" geramnya yang membuat Frans tergemap.
Samuel tertawa sinis. "Kau mengabaikan ucapanku tentang merger dulu? Sekarang kau benar-benar menjual asetnya kepada Alastair?!"
Mata biru laki-laki itu membelalak sekaligus bergetar. Lidahnya terasa kelu. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah diam membeku.
Samuel menatapnya nanar. "Jadi yang dikatakan William padaku benar ya?" desis Samuel dengan tersenyum sinis.
"Sam-"
"Sekarang kau ingin menjelaskannya terlebih dulu, atau kau ingin menerima pukulanku lagi," potong Samuel.
Frans menghela napasnya berat. "Itu benar, aku menawarkannya kepada Alastair," jawab Frans yang membuat Samuel kembali menggertakkan gerahamnya.
"Tapi dewan belum meresmikannya," imbuhnya lirih.
"Jadi kau bersungguh-sungguh saat menyuruh kami untuk pindah?" tanya Samuel ironi.
"Aku tidak pernah main-main dengan perkataanku, Sam," jawab Frans yang menyulut Samuel untuk menggebrak meja yang ada di sampingnya.
"Kenapa? Pasti ada alasan lain selain kau ingin mengundurkan diri dari Red Thunder! Berapa hutangmu kepadanya?" geram Samuel.
"Aku bisa membayarnya untukmu, tapi batalkan dulu kontrakmu dengan laki-laki arogan itu!" lanjut Samuel dengan wajah yang merah padam.
Tenggorokan Frans seolah kering, "Aku ... tidak bisa," jawabnya lemah.
Tangan Samuel langsung menyambar kerah baju Frans. Dia bahkan sudah tidak peduli dengan luka yang ia derita akibat pertambangan di gelanggang. Rasanya emosinya itu sudah mencapai ke puncak ubun-ubunnya.
"Katakan kenapa? Apa alasanmu melakukan ini!" bentaknya.
Samuel merasa terkhianati. Frans merupakan teman yang ia kenal dengan baik jauh sebelum mereka memulai debutnya di Venturion. Dia mempercayai laki-laki itu dengan sepenuh hatinya.
Samuel dan Frans memiliki visi misi yang sama, yaitu mereka ingin menyeimbangkan Venturion. Itulah mengapa kolaborasi mereka dapat memakmurkan Red Thunder. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, Samuel mulai merasa kalau arah pandang Frans mulai bersebrangan dengannya.
Tentu saja Samuel sangat murka setelah mendengar Frans benar-benar menjual asetnya kepada Alastair. Meskipun Frans memiliki kendali penuh terhadap semua keputusan yang menyangkut Red Thunder, tetapi keputusan sepihak yang ia lakukan kali ini terasa keterlaluan.
Samuel juga ikut andil membangun Red Thunder hingga mereka mencapai posisi sekarang. Dia juga sudah bersusah payah untuk menjaga keseimbangan Venturion di bawah semua tekanan. Karena jika mereka bergabung dengan Eagle Eye, maka kekuatan yang seharusnya merata hanya akan terkumpul pada satu titik saja.
"Katakan!" desak Samuel yang sudah tidak bisa meredam emosinya.
"Dia menggunakan Elise untuk menekanku," ungkap Frans yang membuat Samuel terkesiap hingga tangannya sedikit melonggar.
"Apa?" Ucapan Samuel seolah tertahan di tenggorokannya.
Elise Howard. Wanita itu berasal dari Sektor 4. Dia adalah mantan anggota Eagle Eye yang didepak 2 tahun lalu.
Sejauh yang Samuel ketahui, wanita itu merupakan kekasih Frans. Kabar terakhir yang Samuel dengar, Elise pindah ke wilayah pedesaan untuk menjauhi media. Laki-laki itu bahkan tidak tahu di mana tepatnya wanita itu sekarang tinggal.
"Aku tidak bisa mengabaikannya, Sam. Dia ... sedang mengandung anakku," ujar Frans dengan menundukkan kepalanya.
Sekali lagi, ucapan Frans membuat Samuel terkejut hingga genggaman kerahnya terlepas begitu saja. Tubuhnya terpaku pada tempatnya. Samuel kehilangan kata-kata untuk sesaat.
"Maafkan aku karena aku tidak bisa memihakmu kali ini," ujar Frans lagi.
Samuel tertawa getir, lidahnya terasa pahit. Alasan yang laki-laki itu berikan sudah sangat jauh dari teritorialnya. Dalam situasi ini, dia tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan tindakan Frans.
"Baiklah. Aku tidak bisa menghentikanmu kali ini," ujar Samuel dengan suara berat yang bergetar.
Samuel lantas menggenggam kedua tangannya di depan tubuhnya. Dia memundurkan langkahnya. Mengangkat kepalanya angkuh sembari menatap lurus ke arah Frans.
"Tapi jangan harap aku akan menghormatimu seperti sebelumnya. Dan jangan harap aku akan mengemis di bawah kaki Alastair untuk meminta Red Thunder kembali," tegas Samuel.
Dia menarik napasnya dalam. "Kau harus mengingatnya dengan jelas, Frans. Alasan unionku hancur bukan karena aku tidak dapat mencegahnya, tapi karena ketuaku yang lebih memilih kehidupan pribadinya," tekan Samuel dengan tersenyum kecut.
"Aku akan mengakhirinya di sini. Senang sudah bekerja sama denganmu selama 5 tahun terakhir, Frans Hwann," tandasnya dengan sedikit menundukkan kepalanya dengan kaku lalu berjalan pergi dari sana.
Orang-orang yang paling ia percayai akhirnya melakukan hal yang sama. Satu per satu dari mereka mulai meninggalkannya. Samuel tahu bahwa sedekat apa pun dia dengan mereka, tetapi pada akhirnya mereka akan tetap menjadi orang asing lagi.
Samuel sadar bahwa apa yang ia bangun dengan susah payah selama ini hanyalah sebuah istana pasir. Sesuatu yang mudah hancur kapan pun dan di mana pun waktu menginginkannya, meskipun dirinya tidak mengizinkan hal tersebut.
✬✬✬
Penghangat ruangan itu masih menyala. Sekarang sudah memasuki musim panas, tetapi udara di malam hari justru terasa lebih dingin. Amaryllis duduk di pinggiran jendela sembari memandang gemerlap pemandangan Centrus.
Dia menatap microchip itu sejenak. Sebelum memasukkannya ke dalam tablet. Setelah pemasangan berhasil dilakukan, Amaryllis mulai membuka foldernya dengan penuh kebimbangan.
Kali ini bukan hanya satu foto yang ia temukan, melainkan puluhan atau bahkan ratusan foto ayah dan ibunya.
Dahinya mengernyit. "Apa dia benar-benar ayahku?"
Sosok laki-laki yang bersama dengan ibunya itu memang tampak familiar bagi Amaryllis. Jarinya kemudian menggeser berkas lain. Hingga ia menemukan sebuah folder video.
"Apa ini video jurnal?" gumamnya lirih seraya membukanya.
Amaryllis mengamati isi rekaman itu dengan saksama. Sosok yang diduga ayahnya itu kini tampak duduk di sebuah kursi hitam.
"Acerion, 14 Juni 2157. Sudah cukup lama sejak aku mengirimkan pesan terakhirku padamu, Lily," ucap suara yang terdengar asing bagi Amaryllis.
Amaryllis terkesiap. Tubuhnya bahkan tidak bergerak sama sekali. Apakah dia baru saja menyebut nama ibunya?
"Bagaimana kabarmu di Wanner? Aku harap kalian baik-baik saja di sana. Aku sangat merindukan kalian," ujar laki-laki itu dengan penuh kerinduan.
"Hari ini adalah ulang tahun Amy yang ke 7 kan? Selamat ulang tahun untuk putriku tercinta," ucap laki-laki itu sembari menunjukkan sebuah foto.
"Itu ... fotoku ...," gumam Amaryllis yang tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Maafkan Ayah karena belum bisa menemuimu. Ayah harap hadiah kecil yang Ayah berikan bisa sedikit membuatmu luluh. Ayah tidak tahu dengan pasti berapa ukuran kakimu," ungkapnya dengan terkikih kecil. "Tapi Ayah yakin kalau kau akan terlihat sangat cantik saat memakainya," lanjutnya dengan tatapan sendu dan senyuman yang lembut.
Foto itu diambil oleh Amaryllis dan ibunya ketika mereka pergi ke kota untuk merayakan ulang tahun ke tujuh Amaryllis. Dia ingat betul dengan sepasang hadiah sepatu yang ibunya berikan padanya. Sepasang sepatu dengan bunga merah muda yang menjadi favoritnya dulu.
Sepeninggalan ibunya, Eva membakar semua barang yang ia miliki. Wanita itu mengatakan padanya bahwa sia-sia saja dia menyimpan benda lawas yang tidak berguna. Eva juga menjual semua barang berharganya dengan dalih bahwa mereka membutuhan uang untuk menyambung hidup. Sebagai seorang anak yang masih belum mengerti tabiat buruk bibinya, Amaryllis belum memiliki keberanian untuk menolak ataupun memberontak.
Eva selalu mencaci Amaryllis jika ia mulai membicarakan ibunya, Lily. Padahal Amaryllis hanya merindukan sosok ibunya yang telah meninggal. Entah apa alasannya, tetapi Eva sangat tidak menyukai Lily dan sekarang wanita itu juga membenci Amaryllis tanpa alasan yang jelas.
Amaryllis merasakan pipinya sedikit basah. Matanya yang memanas menatapnya dengan tidak percaya. Bahkan sekarang pun ia masih meragukan indra pendengarannya.
"Jadi ... hadiah itu dari Ayah?"
"Amaryllis, bungaku yang cantik. Ayah tidak tahu apakah ibumu akan menyampaikan pesan ini kepadamu. Ibumu tidak pernah membalas pesan-pesan yang Ayah kirimkan padanya," ungkap Stevan dengan sedikit menunduk. "Walaupun begitu, Ayah tidak akan berhenti mengirimimu pesan dan hadiah. Ayah selalu berharap agar kau dapat bahagia, tumbuh menjadi gadis yang kuat, dan membawa cahaya hangat untuk orang-orang di sekitarmu. Ayah akan mengatakannya berulang kali bahwa meskipun kita belum pernah bertemu dan jarak kita terpisah jauh, Ayah akan selalu menyayangimu dan mencintaimu, Amy," ungkapnya dengan tatapan hangat.
"Sekali lagi Ayah ucapkan selamat ulang tahun yang ke 7. Semoga kemakmuran dan kedamaian selalu menyertaimu." Dia menjeda sebentar kalimatnya dengan senyuman sendu sebelum menutup rekamannya. "Stevan Heath, Acerion, 14 Juni 2157, video jurnal selesai."
Amaryllis masih terduduk di jendela itu. Tangannya dengan cepat membuka video lain. Memeriksanya satu per satu dengan cermat. Menonton video jurnal yang ayahnya buat di setiap hari ulang tahunnya.
Bibir dan mata Amaryllis bergetar. "Dia bahkan sudah membuat video ini sejak aku berumur 1 tahun?" gumam gadis itu dengan perasaan yang tercampur aduk.
"Aku tidak pernah tahu tentangnya."
Amaryllis tertawa sedih. "Ah ... aku bahkan tidak tahu kalau dia masih hidup hingga aku berumur 12 tahun," ujarnya ironi.
Selama ini dia hanya berasumsi kalau hadiah itu dibeli oleh ibunya dari uang yang ia sisihkan setiap tahun. Meskipun itu hanya sebuah kue coklat, gaun biru muda, ataupun topi baret berwarna lavender. Namun, bagi anak yang setiap harinya hidup dengan sederhana, hadiah-hadiah tersebut akan tampak sangat mewah di matanya.
Dahinya sedikit terangkat. Jika ia tilik kembali, ibunya memang selalu mampir ke kantor pos sebelum mereka merayakan ulang tahunnya ke kota. Gadis itu baru memahaminya sekarang.
"Tapi kenapa Ibu tidak pernah memberi tahuku?"
"Kenapa Ibu menyembunyikannya? Kenapa dia menutupinya dariku? Apa alasannya?" tanya Amaryllis bertubi-tubi pada dirinya sendiri yang merasa bahwa ia juga berhak mengetahui kebenarannya.
Amaryllis tersentak tatkala dia mengingat pesan terakhir yang ibunya sampaikan, "Amy, apapun yang Ibu lakukan selama ini, itu karena Ibu sangat menyayangimu. Ibu tidak ingin orang lain melukaimu."
Amaryllis menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Jadi ibunya memang sengaja menyembunyikannya hingga akhir hayatnya. Hal sebesar ini, sendirian?
Matanya kembali terpaku kepada salah satu video yang berputar. Kali ini wajah Stevan tampak muram dan diselimuti oleh aura yang gelap. Seolah tidak ada cahaya lagi yang mampu menerangi dirinya.
"Centrus, 14 Juni 2160. Stevan Heath, memulai video jurnal."
"Halo, Amy. Selamat ulang tahun yang ke 10," ujar laki-laki itu dengan suara yang bergetar.
Amaryllis tahu kenapa ayahnya tampak seperti ini. Tepat sepuluh hari sebelum ulang tahunnya yang ke 10, ibunya meninggal dunia. Tahun itulah yang menjadi masa terberat bagi Amaryllis remaja.
Stevan yang menahan dirinya agar tetap tersenyum, akhirnya runtuh juga. Tangannya yang mengepal di atas meja itu tampak bergetar. Satu per satu butiran air mata menetes dari pelupuk matanya.
"Aku ... aku tahu kau pasti sangat sedih atas kepergian ibumu." Dia tampak menggigit bibirnya karena kenyataan pahit yang ia dengar. "Tapi Amy ... ayo kita pergi bersama! Ayah akan menjemputmu di Wanner, kita akan bersama-sama," lanjutnya dengan tersenyum sendu. "Ayah tidak bisa kehilanganmu juga," ujarnya dengan suara tangis yang pecah.
Akan tetapi, tiba-tiba saja rekaman itu terdapat glitch dan berpindah ke rekaman lain. Namun, kali ini tanggalnya sudah berbeda. Itu bukanlah tanggal ulang tahunnya lagi. Tahun yang tertera di sana memiliki selang 2 tahun dari video sebelumnya.
"Stevan Heath, Acerion, 5 Oktober 2162. Perekaman video dimulai."
"Halo, Amy. Ayah harap pesan ini sampai padamu. Ayah tidak bisa menjelaskannya dengan rinci karena sudah tidak ada waktu lagi," ujar Stevan yang terdengar tergesa-gesa. "Ayah tahu kau gadis yang pintar. Jika Ayah belum sampai di Wanner lusa nanti, bisa kah kau pergi ke stasiun barat sendirian? Tunggu Ayah di salah satu penginapan di sana."
"Aku ... tidak bisa,"jawab Amaryllis yang bergumam begitu saja.
Dia tahu kalau itu merupakan rekaman jurnal lama. Namun, rekaman itu tidak pernah sampai di tangannya. Dia tidak bisa melakukan permintaan ayahnya.
"Kau bisa membawa beberapa bekal dan tabungan yang ibumu tinggalkan. Ayah yakin kau pasti bisa melakukannya. Ayah akan segera menyusulmu setelah urusan ini selesai."
"Tapi kita mau ke mana?" gumam gadis itu.
"Kita akan bertemu dan pergi jauh dari Noffram. Kita bisa hidup bahagia bersama dan kau mungkin bisa bertemu-" Ucapannya terpotong oleh suara dentuman keras dan suara sirine yang menggema. "Ayah harus pergi, Amy. Tolong ingat pesan Ayah."
"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada dirinya sendiri dengan mengerutkan dahinya.
Rekaman itu tiba-tiba menjadi blank dan berubah menjadi tampilan white noise. Sayup-sayup dia mendengar suara yang tertinggal pada rekaman itu saja.
"Tuan Stevan Heath, kami harus segera mengevakuasi Anda."
"Apa ... apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Amaryllis yang bingung dengan akhir rekaman yang ia tonton.
Dia kembali memeriksa setiap folder yang ada di sana dengan teliti. Berharap bahwa dia akan menemukan bagian yang hilang. Namun, tidak ada rekaman lain yang menjadi jawabannya.
Amaryllis merasakan duduknya sedikit merosot ke bawah. Gadis itu tidak menyangka akan melihat isi microchip itu semalaman. Melihatnya secara marathon justru membuatnya merasa tidak nyaman. Dia merasa semakin tidak tahu apa-apa.
"Aku ...," Kalimatnya terjeda selama beberapa saat dengan memandangi tabletnya nanar.
Berbagai emosi yang bergerumul di hatinya membuatnya sesak. Fakta baru yang ia ketahui membuat Amaryllis menggigit bibir bawahnya. Sesuatu yang ia cari dengan susah payah sejak dulu kini sudah terpampang nyata di depan matanya.
"Apakah aku harus mempercayai Alastair?"
✬✬✬
2021© Anna Utara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top