30 - Gallantry dan Fakta

[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.

Selamat Membaca!

✬✬✬

Pembukaan Gallantry diawali dengan atraksi dari angkatan udara Noffram. Mereka adalah angkatan kemiliteran berasal dari Sektor 7, Ducantia. Sektor yang difasilitasi dengan persenjataan lengkap dan menjadi pusat keamanan nasional. Satu-satunya sektor yang dilarang untuk mengirimkan penduduknya untuk mengikuti Venturion.

Pesawat jet yang terbang di angkasa itu kini mulai menunjukkan berbagai manuver. Aksi akrobatik yang mereka lakukan dengan pesawat tempur itu membuat semua orang berteriak riuh. Mereka mengukir logo Gallantry dan Venturion di angkasa, meninggalkan insiden yang pernah terjadi di babak sebelumnya.

Amaryllis tampak sesekali bertepuk tangan. Sebenarnya dia juga terpukau dengan aksi akrobatik udara tersebut. Hanya saja, pertemuan terakhirnya dengan Alastair sedikit mengganggu pikirannya.

"Para hadirin yang terhormat! Selamat datang kembali di Venturion yang ke 64. Hari ini mari kita sambut babak yang telah kita nanti-nantikan, Gallantry! Dimana mereka yang terkuat yang akan mendapatkan gelarnya!" ujar pemandu acara kali ini yang diikuti oleh terbukanya kubah yang ada di tengah arena yang mampu menampung sekitar 225.000 penonton.

Gelanggang luas berbentuk hexagonal itu sekarang menampakkan dirinya. Pagar transparan memanjang yang berkelip itu membatasi pinggirannya. Lantai bermotif kotak-kotak besar mulai terbuka dan memunculkan berbagai macam senjata, kecuali senjata api dari bawah gelanggang.

Arena Gallantry merupakan arena gladiator yang mengharuskan pesertanya untuk berduel satu lawan satu. Setiap duel akan dilakukan dalam 2 set permainan. Di mana setiap set akan diberikan waktu selama 15-20 menit hingga salah satu peserta menyerah atau dapat dikalahkan. Jika selama 2 set permainan kedua peserta memiliki skor yang seri maka akan ditambahkan 1 set permainan lagi sebagai penentuannya.

Beberapa lensa kamera mulai menyoroti Amaryllis. Gadis itu mulai terbiasa dengan sorotan yang datang tiba-tiba untuk mengekspos wajahnya. Dia kemudian melambaikan tangannya pelan dengan seulas senyuman kaku.

Dia dan tiga orang lainnya yang duduk di bangku bercorak silver itu mendapatkan sorotan secara bergantian. Amaryllis sedikit menoleh ke dua orang yang duduk di sebelah kirinya. Mereka adalah anggota Antares yang kemarin memenangkan Acumen. Tampaknya kedua orang itu pulih dengan cepat.

"Kau harus tersenyum, Amaryllis," desah Gavin yang masih melambaikan tangannya.

"Aku sudah tersenyum," jawab Amaryllis.

"Seperti itu kau bilang senyum? Warna bajumu yang cerah sama sekali tidak cocok dengan wajah murammu," kritiknya.

"Apa itu penting bagimu?"

"Kau akan menjadi partner bisnisku selama setahun ke depan, jadi tunjukkan sesuatu yang bagus."

Amaryllis ingin menjawabnya lagi, tetapi gadis itu sedang tidak mood untuk berbicara terlalu banyak. Dia lantas menyandarkan punggungnya, sembari merapatkan kedua lututnya.

"Sepertinya hari ini aku tidak akan bisa fokus melihat permainannya," pikirnya.

Amaryllis memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum ia kembali memfokuskan pandangannya kepada pasangan pertama yang mulai memasuki gelanggang Gallantry. Kali ini peserta Gallantry tidak memakai armor yang berat, tetapi mereka memakai baju zirah berwarna hitam yang lebih ringan agar dapat bergerak dengan lebih leluasa. Selain itu mereka juga memakai helm pelindung dengan warna yang senada.

Pertarungan pertama Gallantry pun dimulai dengan suara desingan besi yang saling beradu. Senjata yang digunakan di Gallantry memiliki lapisan khusus. Mereka mempunyai semacam lapisan yang serupa dengan laser. Memiliki pengaturan otomatis untuk mengeluarkan jumlah panjang gelombang tertentu, yang dapat merobek armor itu dan menyebabkan luka pada kulit melalui efek termal dan fotokimianya.

Selain itu, senjata dan zirah yang mereka pakai juga dilengkapi dengan circuit breaker. Mencegah bahaya kelistrikan yang mungkin timbul akibat pancaran laser di benda berbahan konduktor itu.

Satu per satu pasangan peserta menyelesaikan duel mereka. Menyisakan 2 pasangan untuk babak final Gallantry musim ini. Pasangan duel final pertama adalah Isabella Quin dari Eagle Eye dan Vera Silbert dari Phoenix. Kemudian pasangan kedua adalah William Acre dari Eagle Eye dan Samuel Raedeen dari Red Thunder. Sorak-sorai itu terdengar semakin riuh saat pasangan duel final pertama memulai pertarungan mereka.

Sayang sekali Clara tidak bisa melangkah hingga ke final karena dia berhasil dikalahkan oleh Isabella. Anggota Eagle Eye yang berasal dari sektor yang sama dengan Callana.

Amaryllis memperhatikan mereka dengan saksama disepanjang pertarungan. Hingga dia kemudian dikejutkan oleh seruan dan tepukan tangan Gavin yang keras. Pemuda itu bahkan sudah berdiri dari tempat duduknya sembari menepuk tangannya dengan keras. Dia tampak begitu senang karena Isabella berhasil memenangkan pertarungannya.

"Kau lihat kan! Kami akhirnya menang lagi!" serunya kepada Amaryllis.

"Kalau begitu selamat atas kemenangan unionmu," ujar Amaryllis.

"Tidak. Kau seharusnya menyelamati kami dua kali," ujar Gavin yang membuat gadis itu mengangkat alisnya.

"Aku pikir kau yang seharusnya menyelamati union kami setelah ini," jawab Amaryllis dengan tersenyum.

"Aku yakin William yang akan memenangkannya," ujar Gavin percaya diri.

"Aku tidak berpikir begitu. Jangan remehkan Red Thunder dan Samuel," balas Amaryllis.

"Okay! Kita lihat saja nanti!"

Pasangan duel terakhir kini sudah memasuki gelanggang berbentuk hexagonal itu. Pagar-pagar transparan dengan lampu yang berkelip sudah menyala kembali. Menandakan pertarungan set pertama akan segera dimulai.

Samuel pun mengambil sebuah pedang dengan tangan kanannya. "Aku tidak menyangka akan berduel denganmu lagi, William," ujar Samuel dengan sedikit mengayunkan pedangnya.

"Aku juga tidak menyangkanya, Sam. Tapi kali ini, aku yang akan mengalahkanmu."

Bunyi dimulainya pertarungan sudah berkumandang di tengah gelanggang itu. Samuel memegang pedang itu dengan kedua tangannya. Ia sudah menyiapkan kuda-kudanya. "Dalam mimpimu, William!" seru Samuel seraya melayangkan pedang itu ke arah William.

Suara hantaman kedua bilah besi itu terdengar cukup keras. William berhasil menangkisnya dengan baik. Kemudian membalas serangan Samuel dengan cepat.

Pertarungan mereka semakin intens. Tidak ada satu pun celah bagi mereka untuk mengambil napas. Gerakan kaki dan tangan Samuel semakin cepat. Hingga kemudian suara besi yang jatuh ke lantai itu terdengar dengan keras.

William membeku pada tempatnya. Pedang laki-laki yang berasal dari Sektor 1 itu terlempar cukup jauh dari tangannya. Dia bahkan tidak sempat bergerak untuk mengambil senjata lain karena mata pedang Samuel kini sudah berada di lehernya.

"1-0 William," ujar Samuel tersenyum miring dari balik helm bertopeng itu yang kemudian menarik kembali pedangnya.

"Mengesankan," jawab William dengan seringainya.

Mereka berdua kemudian sedikit berjalan mundur. William mengambil senjata lain yang ada di sana. Ia kemudian memilih sebuah gada, begitu pula Samuel yang mengambil senjata yang serupa. Selama 5 menit mereka berusaha untuk mengatur napas sebelum memulai set kedua.

"Ini baru permulaan," ujar William yang kemudian langsung menghantam Samuel dengan gada.

Pukulan keras membuat Samuel mengeratkan otot tangannya. Dia berhasil menahannya dengan perisai IR di punggung tangan yang muncul dari sarung tangannya, sebuah alat yang mirip dengan gelang UHD.

Kakinya lalu melompat ke belakang, mencoba menghindari gada yang William ayunkan. Beberapa kali ia balik mengayunkan gadanya ke arah William, tetapi laki-laki itu terus berhasil menghindari dan menangkis serangannya.

"Apa kau tahu apa yang Frans lakukan?" tanya William yang kemudian mulai mengayunkan gadanya kepada Samuel.

"Jangan coba-coba memprovokasiku, Will," sergah Samuel disela-sela tangkisannya.

"Aku tidak memprovokasimu," ujar William lagi.

Hantaman kedua benda itu menggema di antara mereka. Gada mereka masih saling beradu di tengah sana. "Aku hanya ingin jujur padamu," lanjutnya.

Genggaman tangan Samuel pada gagang benda itu semakin menguat. Mungkin saja jika bukan karena zirah yang menutupi tubuhnya, otot-ototnya pasti sudah mencuat keluar.

"Dia menjual Red Thunder kepada Alastair," ujar William sebelum ia melayangkan pukulannya dengan keras.

Tumbukkan keras yang menyentuh zirahnya itu terdengar nyaring. Perhatian dan pertahanannya berhasil dialihkan oleh William. Pukulan itu membuat Samuel jatuh meluncur ke belakang.

Suara keras gada yang menumbuk lantai itu membuatnya kembali tersadar. Untung saja dia berhasil menghindarinya dengan cepat. Samuel dengan gesit langsung mengambil sebilah pedang seraya berdiri kembali.

"Omong kosong," desis Samuel.

William kemudian melemparkan gadanya. Lalu beralih ke sebuah pedang yang tergeletak di lantai arena. Aturan Gallantry, tetaplah aturan. Jika lawan berhasil bangkit dan memegang senjata lain yang berbeda maka mereka juga harus memakai senjata yang setara untuk melawannya.

"Kau bisa menanyainya setelah ini," balas William

Desingan besi yang saling menekan dan bergesekan satu sama lain itu kini terdengar nyaring. Sambung menyambung tanpa jeda di pertarungan yang semakin keras itu.

Tangan Samuel bergerak dengan gesit. Mencoba mencegah William yang terus-menerus menyerang pertahanannya. Namun, sebuah gerakan tak terduga dari William justru membuat laki-laki berambut merah itu limbung.

Melihat ada kesempatan untuk menjatuhkannya, William segera mengarahkan kakinya untuk menjegal Samuel. Membuat pedang Samuel terlepas dari genggamannya. Ketika sekali lagi Wiliam menebaskan senjatanya.

Suara nyaring cincin-cincin besi yang berburai jatuh ke lantai membuatnya seketika membeku. Ia belum merasakan rasa sakit apa pun pada robekan zirah di lengan kirinya. Namun, cairan merah itu sudah tampak merembes di antara logam yang ia kenakan.

"Aset Red Thunder akan segera menjadi milik kami," ujar William lirih sembari mengarahkan ujung pedangnya kepada Samuel.

Samuel tampak mengepalkan tangannya dengan keras. Dia mengetatkan rahangnya dari balik topeng besinya. Menahan emosinya yang ingin meluap keluar.

Amaryllis hampir melompat dari bangkunya. Gadis itu menggenggam lengan bangku yang ia duduki dengan cukup erat. Dia tidak mengerti kenapa Samuel kehilangan konsentrasinya sejak set kedua dimulai.

Permainan dihentikan selama 10 menit karena William berhasil melukai lengan Samuel. Sementara itu, set ketiga sedang disiapkan karena skor mereka seri.

Tim medis mulai menangani Samuel dengan menekan lukanya agar perdarahannya dapat berhenti. Lalu mereka mulai membersihkan luka sayat termal di kulitnya. Mereka kemudian menyemprotkan Recure-sebuah cairan yang berisikan bacitracin, analgesik, ekstra plasenta, dan juga senyawa penstimulasi aktifnya fibroblas untuk mempercepat proses re-epitalisasi jaringan ikat di kulit-sebelum membebat luka itu dengan perban.

Meskipun tangannya sedikit kaku dan nyeri, tetapi Samuel berusaha menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Tangannya meraih sebuah pedang, sembari berjalan menuju ke tengah arena. Laki-laki itu mencoba untuk memfokuskan pikirannya ke set terakhir. Walaupun sebenarnya cukup sulit baginya untuk kembali fokus setelah mendengar perkataan William.

Tangannya menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Samuel berusaha mengatur napasnya. Ia menghembuskan napasnya panjang. Kali ini dia harus menyelesaikannya dan memberi laki-laki itu pelajaran.

Suara hantaman pedang kembali memenuhi arena itu. Lantai arena berdecit nyaring akibat alas kaki mereka yang saling bergesekan. Mereka bertarung dengan lebih sengit di set terakhir ini.

Ayunan cepat pedang William membuat Samuel terperanjat. Untung saja dia berhasil melompat untuk menghindarinya. Samuel lantas mulai membalas serangan William. Dia mengayunkan pedangnya dengan keras ke arah laki-laki itu, sembari mencari celah untuk segera mengalahkannya.

Tepat di saat William berusaha menahan pedang yang kini berada di atas kepalanya, Samuel langsung mengambil kesempatannya. Dia menjegal kaki William dan membanting tubuhnya dengan keras ke lantai. Bunyi derakan antara zirah dan tulang terdengar cukup keras.

William meringis ketika tubuhnya sudah menghantam lantai. Samuel mengarahkan ujung pedangnya ke atas dada William. Dia kemudian membuka topeng besinya sembari menampilkan seringai.

"Sudah aku katakan. Aku yang menang," ujar Samuel.

William kemudian sedikit menyangga tubuhnya dengan sebelah sikunya. Dia lantas juga membuka topengnya dan tersenyum lebar. Samuel menarik kembali pedangnya saat tanda akhir permainan dibunyikan. Nama laki-laki berambut merah itu terpampang jelas di papan skor yang melayang di atas mereka.

"Selamat kalau begitu," jawab William yang kemudian berdiri dan berjalan mendekati Samuel. "Tapi kami memenangkan sesuatu yang lebih besar," bisiknya.

✬✬✬

Amaryllis berjalan keluar dari arena Gallantry. Setelah bergelut dengan keringat dingin yang mengucur di telapak tangannya selama permainan berlangsung, akhirnya ia merasa senang dan lega karena Samuel berhasil mempertahankan gelarnya di musim ini.

Gadis itu sebenarnya ingin mengucapkan selamat secara langsung dan melihat keadaan laki-laki itu setelah selebrasi berakhir. Namun, sebuah hal yang lebih mendesak membuatnya mengalihkan niatnya. Alastair mengiriminya pesan untuk menemuinya sekarang di atap Tower Lunaris, gedung yang tak jauh dari arena Gallantry dilaksanakan.

Langkah kakinya terkesan memburu. Ia sesekali kembali meremas jari-jarinya yang terasa dingin. Setelah berhasil sampai di atap Tower Lunaris, matanya melihat punggung tegap laki-laki yang hendak ia temui itu.

Merasa ada yang berjalan mendekatinya, Alastair lantas membalikkan tubuhnya. "Halo, Amaryllis," sapanya dengan tersenyum lebar.

"Bagaimana kau bisa memiliki foto ayahku, Alastair?" tanya Amaryllis yang langsung kepada intinya.

"Aku mengenalnya dengan cukup baik," jawabnya.

"Bagaimana mungkin kau mengenalnya? Dia bahkan sudah meninggal sejak 21 tahun yang lalu sebelum aku dilahirkan," geram Amaryllis meredam suaranya yang hampir bergetar.

Ibunya mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal sejak dia masih berada di dalam kandungan. Sejak Amaryllis dilahirkan hingga sekarang pun dia selalu menganggap ayahnya sudah meninggal sejak lama, meskipun ia tidak tahu bagaimana ayahnya meninggal atau di mana dia dikebumikan. Tidak masuk akal jika Alastair yang jelas-jelas 4 tahun lebih tua darinya itu mengenal ayahnya.

"Tidak. Ayahmu tidak meninggal sejak 21 tahun yang lalu. Dia baru meninggal tepat sekitar 9 tahun yang lalu," ungkap Alastair.

"Apa katamu?" tanya Amaryllis yang terkesiap.

"Apa yang harus aku lakukan agar kau mempercayaiku?" tanya Alastair yang kemudian mendekati Amaryllis seraya mengambil sesuatu dari balik jas beludrunya.

"Apa ini masih kurang bagimu? "tanyanya sembari memberikan selembar foto berlapis glossy itu.

Amaryllis tercenung. Kali ini bukan hanya sosok ayahnya yang ada di sana, melainkan juga ada sosok ibunya. Amaryllis menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Ia bahkan dapat mengenali kalung dan gaun yang ibunya kenakan di dalam foto itu. Kalung yang tergantung di leher ibunya itu adalah kalung yang sama dengan kalung yang dijual oleh Eva. Sedangkan gaun yang ada di foto itu sama dengan gaun usang yang selalu ibunya simpan hingga akhir hayatnya.

Sebelum Amaryllis mengatakan sepatah kata, Alastair kembali menunjukkan hal lain kepadanya. Dia menunjukkan sebuah potongan video dari tablet transparannya, sebuah video yang diambil di waktu yang sama dengan foto tersebut. Amaryllis melihat dengan mata yang berkaca-kaca. Video itu membuatnya hati terasa sesak, ia kembali merindukan sosok ibu sekaligus ayahnya.

"Ayahmu, dia bernama Stevan Heath. Berasal dari Sektor 1, Acerion," ujar Alastair.

"Bagaimana ... kau mendapatkan semua ini?" tanya Amaryllis dengan sedikit menggelengkan kepalanya.

Pada awalnya ia ingin menampik semua ini. Jika ayahnya tidak meninggal sejak 21 tahun yang lalu, melainkan baru meninggal 9 tahun yang lalu, kenapa laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengunjungi mereka? Kenapa laki-laki yang ibunya sebutkan sebagai ayahnya itu seolah tidak peduli padanya?

9 tahun yang lalu, usia Amaryllis baru menginjak 12 tahun. Di usia itu pula setelah kematian ibunya dia harus mulai membanting tulang. Dia harus berhenti di sekolah menengah pertama karena keluarga mereka sudah tidak mampu membiayainya lagi. Di saat itu juga, Amaryllis merasakan kalau dia mulai terjerembab di dalam pusaran kehidupan yang malang.

"Dulu, ayahmu adalah seorang peneliti di Lucid Corp," ungkap Alastair yang membuat Amaryllis kembali terkesiap. "Ayahmu adalah orang yang baik dan luar biasa. Dia tidak bermaksud untuk menelantarkanmu di Wanner. Dia hanya memiliki beberapa alasan yang menahannya untuk bertemu denganmu," imbuhnya.

"Kenapa kau tiba-tiba mengatakan semua ini kepadaku, Alastair? Apa yang kau inginkan?"

"Karena aku hanya ingin membantumu. Masih ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu," jawabnya yang kemudian meraih tangan gadis itu yang membuat Amaryllis terkejut.

"Tapi aku tidak ingin menceritakannya dengan cuma-cuma. Yang aku inginkan tidaklah banyak. Aku hanya ingin kau bergabung dengan unionku, "lanjutnya dengan memberikan sebuah microchip ke dalam genggaman tangan Amaryllis.

"Aku harap kau bertindak bijaksana dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang aku tawarkan, Amaryllis."

Amaryllis menatapnya tidak percaya. Dia belum tahu apa yang ada di dalamnya, tetapi ia merasa itu pasti sesuatu yang penting. Manik matanya kembali bergetar. Pilihan mana yang akan ia ambil sekarang.

✬✬✬

Halo,bagian 30 sudah diupdate 🙂. Makasih buat pembaca yang sudah mampir ke cerita ini. Jangan lupa untuk ninggalin jejakya, kalian bisa pencet bintang kalau kalian suka dgn cerita ini, tinggalinkomen di bawah, dan boleh juga tambahin cerita ini ke perpustakaan kaliam ☺️✨ dah~ dan sampai jumpa 🌼

2021 © Anna Utara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top