03 - Tawaran
[PERINGATAN!] Cerita ini hanyalah fiksi belaka, semua karakter, alur, serta beberapa latar dalam cerita adalah milik penulis yang tidak terlepas dari berbagai inspirasi.
Selamat Membaca!
✬✬✬
Samuel masih terdiam di sepanjang perjalanan menuju ke desa Amaryllis. Mereka hanya bisa menaiki kereta tua yang sudah dianggap sebagai kendaraan tercepat di Distrik Thon. Walaupun jarak yang mereka tempuh tidaklah jauh, tetapi ia merasa bahwa waktu yang mereka lalui sangatlah lambat.
Saat Samuel mengamati pemandangan di luar jendela. Dia kembali teringat kepada Travis yang tadi ia tinggalkan di pusat kota. Samuel tidak menjelaskan secara rinci alasannya kepada Travis. Dia hanya meminta temannya itu untuk kembali lebih dulu dan menunggunya di Centrus.
Laki-laki itu menghela napasnya pelan sambil menikmati persawahan dan ladang yang terhampar di sepanjang pinggiran rel. Matanya sesekali melirik ke arah Amaryllis yang masih terjaga di sampingnya. Mengamati gadis itu dalam diam.
Amaryllis juga membisu di sepanjang jalan. Di dalam pikirannya, hanya terlintas rasa aneh sekaligus penasaran dengan orang yang tiba-tiba saja memaksakan dirinya untuk mengantarnya pulang ke rumah.
"Siapa namamu?" tanya Samuel yang memecah keheningan di antara mereka.
"Amaryllis Heath," jawab gadis itu dengan bibir tipisnya.
"Aku Samuel Raedeen, kau bisa memanggilku Samuel atau Sam."
"Baiklah, Sam," jawab Amaryllis singkat.
"Apa kau sudah lama belajar memanah?"
"Tidak, saya tidak mempelajarinya dengan giat. Saya hanya melakukannya untuk berburu."
Samuel mengangkat sebelah alisnya. "Tapi apa yang aku lihat tidak seperti itu. Apa benar yang kau lakukan sebelumnya hanyalah autodidak?" tanyanya ragu.
Amaryllis menghela napasnya. Laki-laki itu terlihat begitu penasaran. Padahal Amaryllis memang hanya belajar secara autodidak selama 14 tahun.
"Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan hal seperti ini kepadaku? Siapa Anda?"
Samuel tersenyum miring. "Kau tidak tahu aku?"
"Tidak. Memang apa pentingnya bagi saya untuk tahu siapa Anda?"
Amaryllis tidak bermaksud kasar kepada Samuel. Hanya saja dia merasa agak kesal dengan sikap aneh dari laki-laki itu. Kenapa dia begitu percaya diri seperti itu?
Samuel masih tertawa keras sembari memegangi perutnya yang tidak terasa geli. Apa gadis itu benar-benar tidak tahu siapa dirinya? Ini adalah pertama kalinya seorang gadis muda tidak tertarik kepadanya sedikit pun.
Akan tetapi, Samuel mencoba memaklumi apa yang sedang terjadi padanya. Wanner adalah kota yang cukup terpencil. Media massa dan gosip tidak bisa beredar secepat dan seliar seperti di Centrus. Hanya karena seorang gadis tidak tertarik kepadanya, bukan berarti dia tidak tampan kan? Para gadis di Centrus saja rela mengantri di hadapannya karena begitu tergila-gila dan mengidolakannya.
✬
✬
✬
Pandangan Samuel menyapu ke seluruh penjuru tempat asing itu. Mengamati rumah penduduk Thon yang berjajar cukup rapi di daerah yang padat. Beberapa barang yang sudah usang menghiasi pemukiman mereka.
Dia berjalan di samping Amaryllis dengan kedua tangannya yang berada di belakang tubuhnya, sembari berusaha untuk menyesuaikan langkahnya dengan langkah gadis itu.
Laki-laki itu sedikit mendesah. Walaupun saat ini gadis itu berjalan dengan sedikit terpincang-pincang, tetapi dia cukup keras kepala karena menolak saat hendak ia gendong lagi.
"Yang mana rumahmu?" tanya Samuel.
"Anda akan segera mengetahuinya," jawab Amaryllis.
Sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu bata bercat putih dengan pagar kayu yang sudah lapuk itu jatuh di mata Samuel. Namun, dia juga melihat seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari rumah itu. Menampilkan raut wajah yang kurang menyenangkan di awal perjumpaan mereka.
"Apa ini! Kau baru pulang?" tegur Eva sebelum mendapati Samuel yang berdiri di belakang Amaryllis. "Dan siapa yang bersamamu ini?" tanya Eva yang tiba-tiba melembutkan suaranya.
Amaryllis berdecak di dalam hati. Dia seolah tahu tentang apa yang sedang bibinya pikirkan sekarang. Pasalnya, Samuel berpenampilan dengan cukup mencolok jika dibandingkan dengan pakaian sederhana yang mereka kenakan.
"Saya hanya seorang penjelajah yang kebetulan bertemu dengan Nona Amaryllis. Saya mengantarnya ke rumah karena kakinya terkilir saat menolong saya di kota tadi," jawab Samuel yang langsung membuat Amaryllis menaikan sebelah alisnya.
"Menolong apanya?" batinnya.
"Kalau begitu, Anda adalah tamu kami. Silahkan masuk Tuan," sambut Eva yang mempersilahkan Samuel untuk memasuki rumah sederhana mereka.
Amaryllis hendak pergi ke kamarnya dan kemudian ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Namun, sebelum dia melangkah ke dalam. Eva langsung menjegal tangannya dengan cukup kasar.
"Kata Harry kau tadi pergi ke kota?" tanyanya ketus.
Amaryllis mendesah, hal yang ia khawatirkan selama di perjalanan pulang tadi menjadi kenyataan. "Iya, tadi aku pergi ke kota."
"Mana uangnya?"
Tangan Amaryllis yang terasa berat itu kemudian merogoh isi tasnya. Dia kemudian meraih sebuah kantong berwarna biru muda dari dalam sana dan membukanya untuk mengambil beberapa lembar hettar. Namun, sebelum dia menghitung kembali uang yang ia dapatkan tadi, Eva langsung merebut paksa kantong itu darinya.
"Tapi−"
"Aku yang akan memegang uangnya,"potong Eva dengan tersenyum miring. "Kau tahu kan kalau kebutuhan kita sangat banyak, Amy. Sekarang pergi dan buatkan makan malam, ada tamu yang harus dilayani."
Amaryllis sedikit mengeratkan kepalan tangannya. Dia selalu seperti ini sejak 11 tahun yang lalu. Gadis itu bahkan tidak akan memegang sepeser pun hettar jika bibinya tahu kalau dia mendapatkan uang.
Selain Harry yang bekerja serabutan, hanya Amaryllis yang membantu sedikit keuangan keluarga mereka. Eva belum bisa meninggalkan kebiasaan lamanya yang boros. Anak laki-laki sulung mereka yang 5 tahun lebih tua dari Amaryllis, yang seharusnya bisa membantu ayahnya menjadi tulang punggung keluarga hanya bisa berfoya-foya bersama temannya. Sedangkan anak laki-laki bungsu mereka, sekarang baru berusia 8 tahun.
Tidak ada pilihan lain bagi Amaryllis selain harus bekerja keras di usianya yang masih muda demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Gadis itu sudah merasakan asinnya garam kehidupan. Dia tidak bisa menjadi seorang gadis yang manja dan ingin selalu diperhatikan.
Dunianya terlalu keras dan kejam. Terkadang dia berpikir untuk lari dari sana. Namun, seburuk apa pun keadaannya, dia masih sadar bahwa mereka tetaplah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang.
Setelah menyelesaikan kegiatannya di dapur. Amaryllis langsung memanggil semua anggota keluarganya dan juga Samuel yang tengah mengobrol dengan adik laki-lakinya, Ferrel Silks, di ruang tengah agar berkumpul di ruang makan.
"Sejak kapan mereka akrab?" gumam Amaryllis yang melihat Ferrel yang tampak sedang asik mengobrol bersama Samuel.
"Amy, siapa dia?" tanya pamannya yang baru saja datang saat melihat sosok Samuel yang sudah duduk di meja makan bersama yang lain. Minus kakak laki-lakinya, Peter Silks, yang pergi entah ke mana.
"Dia tamuku," jawabnya seadanya sambil menaruh sebuah panci besar berisikan sup hangat ke atas meja.
Merasa kehadirannya diperhatikan, Samuel lantas berdiri dengan mengulurkan tangannya kepada Harry untuk berjabat tangan. "Perkenalkan saya Samuel. Saya seorang penjelajah yang kebetulan bertemu dengan Nona Amaryllis."
"Benarkah?" tanya Harry dengan sebelah alis yang terangkat.
"Dia mengantarku pulang karena kakiku terkilir setelah menolongnya di kota tadi," ujar Amaryllis dengan sedikit melirik ke arah Samuel yang tengah tersenyum kaku karena menyadari kalau Amaryllis tengah menirukan ucapannya saat berkenalan dengan Eva tadi.
"Kalau begitu, terima kasih karena Anda sudah membantu keponakan saya."
"Saya juga berterima kasih karena keponakan Anda telah menolong saya," jawab Samuel yang hampir membuat Amaryllis tertawa keras.
"Sebenarnya ada apa dengan laki-laki ini," batinnya.
"Tapi sepertinya Tuan tidak berasal dari daerah dekat sini," ujar Eva.
"Tuan ini dari Centrus, Bu," jawab Ferrel mendahului Samuel, yang disusul oleh senyuman canggung Samuel.
Amaryllis tersenyum miring. Centrus? Laki-laki ini dari ibu kota? Pantas saja dia begitu percaya diri dan sedikit tidak sopan. Amaryllis tidak menyimak apa yang mereka bicarakan. Dia memilih hanyut dalam diam dan mulai menikmati supnya.
Gadis itu melihat bibinya yang sangat antusias saat mengetahui Samuel berasal dari Centrus. Apa wanita itu berniat melakukan sesuatu? Entahlah, Amaryllis tidak ingin memedulikannya.
Lagi pula, Amaryllis sadar bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang keponakan yang menjadi beban keluarga. Setidaknya itulah yang Eva dan Peter utarakan kepadanya. Kehadirannya pun sepertinya juga tidak terlalu berarti bagi mereka.
✬
✬
✬
Setelah selesai membereskan sisa makanan di atas meja makan. Tangan Amaryllis kemudian membawa dua buah cangkir berisi teh hangat. Namun, dia tidak melihat sosok yang ia cari di dalam rumah. Kakinya pun melangkah keluar dan menemukan sosok itu tengah duduk bersandar di bawah pohon di dekat rumahnya.
"Saya membawakan Anda teh, minumlah selagi hangat," ujar Amaryllis sembari memberikan salah satu cangkir yang dipegangnya kepada Samuel.
"Terima kasih."
"Kereta yang kita naiki tadi merupakan kereta terakhir yang menuju ke kota. Karena hari sudah malam, jika Anda tidak keberatan, Anda bisa menginap di sini dan kembali ke kota besok pagi. Kebetulan hari ini kamar kakak saya kosong, jadi Anda bisa menggunakannya untuk beristirahat," ucap Amaryllis.
"Baiklah," jawab Samuel yang kemudian menyeruput isi cangkirnya dengan uap hangat yang masih tampak mengepul.
Amaryllis hendak pergi dari sana. Dia hanya mengantarkan secangkir teh hangat dan menawarkan tempat menginap kepada Samuel sebagai ucapan terima kasih karena laki-laki itu sudah membantunya hari ini.
"Tunggu! Bisakah kau menemaniku sebentar di sini?" minta Samuel kepada Amaryllis.
Tanpa menjawabnya, gadis itu sedikit mengangkat salah satu alisnya seraya duduk di sebelah Samuel. Dia melihat mata gelap laki-laki itu tengah memandangi desanya di kala malam, memperhatikan lampu remang-remang yang masih bisa menerangi gang kecil yang ada di sana.
"Apa selalu seperti ini?" tanya Samuel.
"?!"
"Ini sangat tenang dan nyaman," ungkap Samuel yang disusul dengan sebuah helaan panjang.
"Apa Anda tidak pernah melihat suasana yang seperti ini?" tanya Amaryllis heran.
"Pernah. Tapi sangat jarang."
Hening. Suara serangga malam mulai menggema memenuhi atmosfer. Sahut menyahut seakan menjadi musik pengiring di malam mereka yang tenang ini.
"Apa bibimu memang seperti itu?" tanya Samuel lirih.
"Maksud Anda?"
"Apakah dia selalu tamak seperti itu? Apakah dia selalu merebut uangmu dengan kasar seperti tadi sore?"
Amaryllis sedikit tersentak ke belakang. Dia kemudian memandangi Samuel sebentar dengan mata yang melebar. Jadi laki-laki itu melihatnya?
"Kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Samuel.
"Itu bukan urusan Anda."
"Ini menjadi urusanku sejak aku datang kemari."
Apakah laki-laki ini selalu percaya diri dan keras kepala seperti ini?
"Hidup jauh dari hiruk pikuk perkotaan seperti ini, bukankah kau harusnya bahagia? Maksudku adalah tanpa adanya kekangan dan kesibukan yang selalu menyita waktumu, bukankah rasa kekeluargaan kalian seharusnya lebih dekat?"
Amaryllis tertawa kecil dengan sinis. Dia tidak yakin dari mana perkataan Samuel berasal. Apa laki-laki itu terlalu banyak membaca buku teori sehingga dia tidak bisa membedakan realita? Ataukah ini memang hal yang selama ini laki-laki itu pikirkan?
"Apa yang dapat orang asing lakukan di dalam keluarganya sendiri?" jawab Amaryllis yang membuat Samuel terdiam sejenak.
"Aku hanyalah keponakan yang menjadi beban keluarga," sambungnya dengan sebuah senyuman miris.
Samuel menatapnya serius. "Tidak ada orang yang menjadi beban bagi orang lain. Jika kau hanya diam saja maka orang lain akan semakin menginjak-injakmu, tidak peduli itu keluargamu sendiri."
Laki-laki itu kemudian berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya dengan bersandar di pohon itu. "Apalagi dengan keadaanmu yang seperti ini. Tinggal di rumah kecil di pinggir kota yang miskin, tanpa memiliki pekerjaan yang pasti, tanpa ada penghasilan tetap. Semua orang pasti akan semakin memandangmu rendah, benarkan?"
Amaryllis mengerutkan dahinya. Kehidupannya memang tidak berkecukupan dan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu memang benar adanya. Dia tidak dapat menyalahkan perkataan Samuel yang terkesan kasar bagi kaumnya.
Jika dia tidak melakukan sesuatu, mungkin dirinya hanya akan berada di garis yang datar dan statis. Orang akan semakin menghina, menindas, dan mencemooh dirinya yang tampak lemah. Amaryllis tidak dapat menyalahkan takdir karena sudah terlahir dengan nasib semacam ini. Lantas apa yang harus dia lakukan? Dia bahkan tidak mempunyai sesuatu yang patut untuk dibanggakan.
"Apakah kau mau tahu sebuah cara untuk mengubah nasibmu?" tawar Samuel dengan seringainya.
"Memangnya apa yang bisa saya lakukan?" tanya Amaryllis penasaran dengan mata hazelnya yang membulat.
"Pergilah ke Centrus," jeda Samuel.
Gadis berambut brunette itu terdiam sejenak. Dia masih menyimak Samuel dengan serius dan menunggunya untuk melanjutkan ucapannya.
"Dan masuklah ke Venturion musim ini bersamaku, Amaryllis," lanjutnya sambil mengulurkan tangannya kepada gadis itu.
Venturion?
✬✬✬
✬Holla guys, bahasanya terlalu kaku ya? pakai saya dan Anda hahaha, karena ini memang lagi ngobrol pakai bahasa formal wkwk. Btw jangan lupa voment di bawah ya... sampai jumpa lagi ~ ❤
2021 © Anna Utara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top